Selasa, 07 Januari 2014

Dunia Murakami [Cerpen Jawa Pos, 5 Januari 2014]

Cahaya bulan tak pernah tampak, dan jalanan kini begitu lengang. Toko-toko telah lama tutup, lampu-lampu taman pun sudah dipadamkan. Aku melesat dengan sebuah mobil kekar buatan Jepang, membelah malam, menyingkap paksa tirai gerimis yang terus berderai. Mobil ini bagai kuda besi yang berderap-derap melaju di padang rumput yang basah dan sunyi.
Saat ini jarak adalah sesenti demi sesenti yang menyiksaku. Jarak antara aku dan kau. Mobilku terus melaju kencang. Berpacu, berpacu, berpacu! Jangan sampai terlambat. Musik kusetel kencang-kencang, terdengar musik ala R&B David Guetta dari sebuah stasiun radio swasta yang tak pernah berhenti mengudara. Stasiun radio itu telah mengubah informasi kemacetan lalu-lintas menjadi hiburan yang ditunggu-tunggu pendengarnya.
Saat kita terakhir bertemu–beberapa jam lalu–kau mengenakan kaus dan celana jins, meskipun pakaianmu tak minim, dadamu begitu besar hingga membuat kausnya terenggang ketat
Aku menatapmu takjub dan bersiul spontan saat kau mendekatiku. Aku mohon maaf, bukannya aku lancang melakukan sebagian aktivitas pelecehan seksual yang jelas-jelas tercantum dalam peraturan perusahaan. Sampai-sampai tatapanku seperti menjelajahi sekujur tubuhmu. Terus terang tatapanku terkunci pada setiap lekuk tubuhmu. Masa bodoh dengan peraturan perusahaan, aku rela menerima surat peringatan karena memandangmu dengan pukau. Pura-pura tak melihat belahan dadamu dibalut kaus ketat adalah tindakan lelaki bodoh.
Berkat kompromi kita minum di sebuah restoran yang berdekatan dengan toko buku di sebelah tenggara kantor selepas jam kerja. Aku banyak merayumu sepanjang minum bergelas-gelas red wine kegemaranmu. Jujur aku kurang suka wine, minuman itu membuatku cepat mengantuk. Pilihanku sebenarnya pada vodka, itu lebih mantap, membuatku lebih lepas. Sambil mencicipi menu makan tapas, aku melontarkan ucapan-ucapan gombal yang paling dahsyat.
Matahari menjelang terbenam ketika aku dan kau meninggalkan restoran itu dan melangkah memasuki sebuah toko buku di pojok jalan. ”Aku mencari sebuah novel,” katamu. ”Novel?” tanyaku.
Sekolom cahaya jatuh ke lantai toko buku saat kami memasukinya.
Lampu-lampu halogen digantung pada kait-kait besi di dinding membuat rak-rak kayu bermandikan cahaya. Dinding toko buku terbuat dari batu-batu kasar ditumpuk rapat saling menempel membentuk sudut miring. ”Pantas kamu memilih toko buku ini untuk mencari novel, ah novel apa tadi?”
”Aku belum menyebutkan judul novel yang kumaksud, Tio,” jawabmu sambil berpaling tersenyum padaku yang berjalanan di belakangmu. Aku begitu menikmati dirimu, menikmati wewangian Boss Nuit Pour Femme nan sensual.
Aku terus mengekormu, memandang pantatmu yang elok dan begitu padat terbungkus jins yang beruntung itu menuju suatu koridor. Kau berbelok di sudut lain koridor dan segera memasuki sebuah ruang.
”Novelnya ada di sini!” cetusmu sambil menunjuk ruangan yang kita masuki.
Matamu berbinar-binar ketika novel itu kau ambil dari raknya. Novel yang cukup tebal, bisa dipakai sebagai senjata beladiri disaat terdesak.
”Haruki Murakami, 1Q84!” ujarku spontan.
Yup!” katamu mantap, memandang sampul novel itu.
”Aku sudah baca buku Murakami yang lain... Norwegian Wood dan Dunia Kafka, hanya dua itu, karya dia yang lain belum baca, yang itu juga belum,” kepalaku menjulur menunjuk ke arah buku yang kau pegang dengan bahagia.
Tiba-tiba kau berkata, dan perkataanmu membuatku terkejut namun tak mampu kutahan tawaku, kerena kupikir kau bercanda.
“Tio, aku akan masuk ke dalam buku ini. Aku adalah tokoh utama novel ini!”
”Hah?” Aku terperangah dan terdiam sejenak. Lantas aku tergelak. Beberapa pengunjung toko mengeluh. Seorang dari mereka, perempuan separuh baya yang terlihat memesona karena memakai gaun rancangan desainer terkenal, kuduga. Ia melotot dan mendesis. Ia menaruh jari telunjuknya tepat pada bibir yang dibuat melancip.
”Maaf!” seruku.
Ketika itu kau mendadak lenyap dari pandanganku. Kau benar-benar hilang. Hanya sebuah buku tebal Murakami yang jatuh berdebam lantas tergolek di lantai toko buku ini. Plastik pembungkusnya terlepas, dan novel tersebut dalam keadaan terbuka.
”Aurora!” jeritku.
Pengunjung toko yang menyaksikan kau mendadak lenyap masuk ke dalam buku, tercekat. Perempuan anggun yang tadi melotot dan mendesis padaku berteriak histeris, lantas pingsan. Ia benar-benar melihatmu hilang dan masuk dalam novel itu seperti kesiur angin yang menyelinap di celah jendela.
Aku memungut novel Murakami dan bergegas menuju kasir untuk membayar novel tebal ini. Kasir itu ragu-ragu ketika ia menindai novel Murakami ini, karena ia tahu, kau ada di dalam buku ini sekarang! Aku cepat-cepat pergi meninggalkan toko. Berharap dengan cemas, aku sekadar bermimpi saja.
Di luar toko, gumpalan awan kelabu seakan berpagut dengan pucuk-pucuk gedung pencakar langit, senja cepat berganti malam. Aku berlari menuju parkiran mobil diiringi hujan gerimis yang siap menderas. Di dalam mobil hanya menggunakan penerangan minim segera kubaca novel tebal ini untuk melacakmu.
Setelah membaca beberapa halaman novel ini, aku tahu cara menyusulmu, Aurora. Aku tahu, sangat tahu. Tunggu aku di tahun 1984!
Pukul sebelas malam. Sebenarnya aku cukup gusar, menatap nanar novel Murakami yang ada di tangan kiriku, tangan kananku mencengkeram erat setir mobil seraya terus mencari celah cahaya untuk menembus ruang dan waktu. Aku berkendara melewati Cawang. Memutar arah untuk lewat jalan tol, lantas mobilku melenggang di jalan tol yang lengang ke arah Bogor.
Wiper kaca mobil berdesir-desir menyingkap tetesan hujan yang terus menerus menimpa kaca mobilku. Pikiranku melayang pada novel ini lagi. Jadi kau sekarang menjelma, Aomame, nama tokoh utama perempuan dalam novel ini. Seorang instruktur kesehatan (cocok sekali dengan tubuhmu yang bugar dan aduhai itu), dan kau seorang pembunuh bayaran tanpa ampun. Ya ampun, mengerikan sekali! Aurora, maksudku, Aomame, sadar kah kau, dalam cerita itu kau telah berpindah ke dunia surealis dan kau sendiri tak pernah tahu jawabannya. Dunia di mana ditandai dengan meningkatnya jumlah bulan menjadi dua. Makanya, Murakami menyebutnya 1Q84. Plesetan tahun 1984 itu dijadikan judul novel ini, cerdas sekali ia!
Baiklah, baiklah. Satu-satunya cara menemuimu, aku harus menjadi Tengo. Tokoh lelaki novel sialan ini. Entah kebetulan, entah tidak. Tokoh perempuan bernama Aomame, kau Aurora. Aku Tio, nama tokoh novel ini Tengo. A ketemu A. T jumpa T. Ya, kubaca tadi, Tengo berprofesi guru matematika dan penulis lepas. Ia menerima tawaran dari seorang editor untuk menjadi ghost writer dengan menulis ulang karya berjudul Air Chrysalis (Kepompong Udara) milik gadis aneh berusia 17 tahun bernama Fuka-Eri. Sejak itu banyak masalah muncul dalam kehidupan Tengo (kalau aku bisa sampai pada tahun 1984, berarti ia itu diriku). Dan masalah memuncak, ketika Tengo sadar bahwa dunianya mendadak berubah persis seperti apa yang dituliskannya dalam Air Chrysalis, di mana jumlah bulan meningkat menjadi dua.
Imajinasi yang luar biasa bukan? Brengsek benar Murakami, ia telah mencuri kau dariku, Aurora. Kini ia memaksa aku memasuki tahun 1984, dengan cara memacu mobilku sekencang-kencangnya, membelah jalanan malam yang kelam, tepat pukul nol-nol, akan ada seberkas cahaya yang harus aku terobos,  saat aku sudah melintas pada cahaya itu dengan kecepatan tinggi tentunya, aku akan sampai di tahun 1984, tahun di mana latar kisah karya Murakami ini terjadi.
Seberkas cahaya tampak terang benderang di ujung jalan tol ketika aku melewati wilayah Cibinong. Aku pacu mobil ini semakin kencang, semakin cepat, sekencang-kencangnya bagai kilat halilintar, dan aku, hilang! Melesat cepat dan hampa.
Langit merendah dan membungkus kami. Sekarang aku paham kenapa Aurora masuk ke dalam buku, kenapa aku bersusah payah menembus masa lalu di tahun 1984. Karena aku dan Aurora harus menjadi manusia yang hampa, yang tiada, yang kosong, agar jarak bukan lagi sesenti demi sesenti yang menyiksa. Agar kami menjadi imajinasi.
Bagi seorang pencerita, rasanya ideal sekali jika cerita kami berakhir dengan luar biasa. Akhir yang membahagiakan. Kalian menahan napas menanti hal itu di akhir cerita ini bukan? Kedengarannya bagai dongeng saja. Tapi ini sama sekali bukan dongeng. Percayalah.***

Cerpen ini terinspirasi dari Novel 1Q84 karya Haruki Murakami

Jakarta, 5 Maret 2013 – 1 Januari 2014


Bamby Cahyadi. Lahir di Manado, 5 Maret 1970.  Bergiat di Komunitas Sastra Jakarta (Kosakata). Menulis cerpen di berbagai koran dan majalah. Kumpulan Cerpennya, Tangan untuk Utik (2009) dan Kisah Muram di Restoran Cepat Saji (2012).

Jumat, 03 Januari 2014

Curhat Dua Generasi (Cerpen Suara Karya, 4 Januari 2014)

Lelaki Tua yang Tak Pernah Puas

Usia saya sudah tak muda lagi, mendekati enam puluh tiga tahun. Seumur hidup saya ini, saya telah mengalami perkawinan sebanyak tiga kali. Perkawinan pertama hanya berlangsung delapan tahun, lantas kandas bagai kapal laut yang karam mencium batu karang.
Perceraian terjadi karena masalah ketidakharmonisan rumah tangga. Biduk pernikahan saya pecah berantakan, akibat rasa tidak puas diri saya. Persoalannya sebenarnya sepele, apalagi pada zaman sekarang tentunya. Ya, istri saya ternyata bukan gadis lagi saat saya menikahinya. Ia bukan perawan! Selama delapan tahun saya mencoba menahan derita batin ini akibat rasa tidak puas padanya.
Namun saya tak berhasil mengatasi perasaan ketidakpuasan itu. Terlebih lagi apabila saya membaca tulisan tentang “perawan” atau teman-teman sekantor bergosip masalah “keperawanan” seorang perempuan, hati saya selalu merasa tersinggung dan teriris.
“Wah, sungguh beruntung si Badu, ia menikah dengan perawan yang masih fresh from the oven,” celetuk sejawat saya saat itu. Hati saya langsung mendidih.
“Pasti seprai ranjangnya penuh dengan titik-titik noda merah,” seru sejawat saya yang lain di seberang meja. Hati saya membara mendengarnya. Panas, panas, panas!
“Kalian jangan menyindirku!” hardik saya, sejawat saya di kantor saling berpandangan dan pecahlah tawa mereka. Begitulah, saya menjadi lelaki yang sangat muda tersinggung.
Tak lama setelah perceraian dengan istri saya yang tak perawan itu, saya tergiur oleh kecantikan seorang perempuan keturunan Arab dan ia berstatus janda. Gayung bersambut, sang janda yang Arab itu mau menikah dengan saya. Perkawinan pun terjadi.
Ah, tapi sungguh menyedihkan. Bahtera rumah tangga bersama perempuan keturunan Arab itu hanya berlangsung dua tahun. Ya, dua tahun! Persoalannya pun cukup memalukan, saya tak mampu mencukupi kebutuhannya secara ekonomi. Istri saya yang Arab itu sungguh doyan belanja dan pelesir.
Dua kali saya berstatus duda dengan menghasilkan empat orang anak. Tiga anak dari istri saya yang tak perawan itu dan seorang anak dari istri saya yang keturunan Arab itu. Semuanya masih kecil-kecil. Tentu saja semuanya ikut ibunya.
Atas tawaran dan petunjuk kedua orang tua saya pada waktu itu, akhirnya saya menikah untuk ketiga kalinya. Saya menikah dengan seorang guru bahasa Inggris berstatus janda dengan dua anak. Sehingga anak saya menjadi enam. Ambisi untuk menikahi perempuan perawan saya paksakan enyah dalam sanubari saya, musnah dalam kehidupan saya. Bukan karena saya menyerah, tapi saya sadar diri  pada saat itu, saya bukan jejaka lagi.
Ternyata dengan sikap menerima kenyataan, tidak berambisi menikahi seorang gadis yang masih perawan, kehidupan rumah tangga saya yang terakhir ini bisa bertahan 24 tahun lamanya. Dari istri saya yang guru berstatus janda dengan dua anak, saya dikaruniai dua orang anak lagi. Sehingga total anak saya ada delapan.
Terus terang, malu sebenarnya saya mau bercerita kondisi saat ini, dalam usia tua seperti sekarang ini, saya sangat haus akan bacaan-bacaan berbau porno, film-film bernapas porno, begitu pula gambar-gambar beraroma porno. Otak saya isinya porno melulu.
Melalui internet saya berhasil melampiaskan hobi berburu sesuatu yang porno-porno. Saya bahkan tahu ada 10 peringkat bintang porno berusia paling muda sedunia. Melihat mereka darah saya bergelegak. Berahi saya morat-marit.
Padahal dalam umur yang setua sekarang ini, saya pun telah berusaha untuk memperkuat iman dengan membaca buku-buku agama, menghadiri berbagai majelis taklim dan mendalami berbagai pengetahuan tentang ajaran-ajaran agama. Tetapi apa daya, semua itu tak mempan.
Rasa tidak puas dalam kehidupan seksual saya benar-benar mengganggu ketenangan jiwa saya. Masalahnya, di saat-saat saya masih ingin mencari kepuasan biologis, istri saya yang berumur 51 tahun itu tampaknya sudah mulai pasif. Sehingga apa pun yang berhubungan dengan hubungan intim pasangan suami istri, inisiatif selalu timbul dari saya.
Pernah saya berterus terang mengemukakan apa yang sebenarnya saya inginkan darinya. Ia mengerti dan bersedia memenuhi apa yang saya minta. Ia minum jamu-jamuan tradisional dan obat herbal dari China agar singset dan libidonya membara. Ia pergi ke salon, totok wajah, totok payudara dan totok vagina. Tetapi itu hanya berlangsung beberapa minggu saja, lalu ia pasif kembali seperti sebatang pohon pisang yang tergolek di atas ranjang.
Oh, bagaimana saya mengatasi rasa tidak puas selagi saya masih mampu melakukan hal itu? Jujur, saya tidak mau meniru hal-hal yang sering dilakukan oleh pejabat atau elite partai di negeri ini, nikah siri. Bagi saya, pernikahan ketiga ini yang terakhir.
Walapun, hal-hal porno selalu menari-nari di benak saya, menggelayuti di kepala saya yang rambutnya sudah tersapu warna kelabu pada setiap helainya dan menancap pada otak saya. Jijik saya menikahi secara siri seorang perempuan muda perawan pula.
Biarlah orang tua tak tahu diri yang lain yang melakukannya. Bukan saya. “Bukan begitu Miyabiku sayang?”
Kepala saya serasa dikangkangi oleh Miyabi yang manis itu. Masih untung Miyabi, bukan sapi. “Ha..ha..ha!” Tawa saya lepas sekali.

Perempuan yang Mencintai Dirinya Sendiri

Saya seorang pelajar berusia 17 tahun, duduk di bangku kelas III SMK. Saya mendapat haid pertama kali pada usia 12 tahun. Waktu itu saya merasa sangat malu, sehingga saya tidak mau memberitahu kepada siapa pun. Termasuk ibu saya.
Namun pada akhirnya ibu saya tahu. Terus terang saya sangat takut waktu masa haid datang pada waktu itu. Ibu saya yang membelikan pembalut wanita di super market.
Pernah suatu kali, pembalut bocor dan menodai pakaian saya yang serba putih (padahal tayangan iklan pembalut tersebut di televisi, katanya anti bocor), sehingga apabila haid datang dan saya harus bepergian saya menjadi sangat gelisah.
Bila pelajaran olahraga tiba, saya sering berpura-pura sedang sakit, saya begitu takut orang lain akan tahu saya sedang haid. Pengalaman saya ini mirip sekali dengan tayangan iklan di televisi, tetapi begitulah faktanya.
Sebenarnya bukan masalah haid ini yang akan saya ceritakan. Begini, saya mempunyai masalah, akhir-akhir ini  saya sering bermimpi bermesraan dengan teman sejenis. Saya sering bermimpi bergumul, bermesraan dan bercinta dengan perempuan. Hal ini membuat hati saya cemas, sekaligus bahagia. Saya sangat menikmati mimpi-mimpi indah tersebut.
Waktu saya masih SMP, saya pernah berteman akrab dengan Irawati. Ia murid baru di sekolah kami, ia baru pulang dari Amerika mengikuti orang tuanya yang diplomat. Irawati lah yang menghampiri saya ketika saya pura-pura sakit karena haid datang. Ia dengan ramah bertanya pada saya, apakah saya baik-baik saja?
Lalu akhirnya saya cerita sebenarnya saya tidak sakit, tapi lagi datang bulan. Irawati lantas tertawa ngakak. Selanjutnya ia menawari saya sebuah pembalut wanita yang ia sering kenakan. Pembalut itu super tipis, berbeda seperti yang ibu saya sering belikan di super market.
“Percayalah, ini dijamin anti bocor,” katanya meyakinkan dan bukan bermaksud beriklan.
Tiba-tiba pertanyaan bodoh meluncur dari bibir saya, “Apakah pembalut setipis ini dapat menghilangkan kegadisan seseorang?”
Irawati kembali tertawa ngakak, “Suatu hal yang jauh dari kenyataan,” katanya setelah tawanya reda. Ada desiran halus yang menggetarkan saraf-saraf saya ketika melihat Irawati tertawa ngakak seperti itu.
Entah mengapa, saya nurut saja ketika Irawati meminta agar saya segera memakai pembalut pemberiannya, ia mengantar saya sampai di depan pintu toilet sekolah. Ia berjaga di depan pintu toilet, dan entah kenapa darah saya semakin berdesir-desir.
Irawati lantas menjadi sahabat saya. Kami semakin akrab. Saya tahu Irawati menyukai saya. Tapi saya tak tahu perasaan suka seperti apa yang menyeruak dari hati saya menyelinap ke hati Irawati, atau sebaliknya.
Saya ingin sekali dipacari Irawati, padahal pada waktu itu ia sudah memberikan sinyal kuat bahwa ia akan memacari saya. Tapi saya tolak dengan halus, terus terang saya takut dosa, saya masih takut pada Tuhan. Yang jelas Irawati pernah mencium bibir saya dengan begitu membara
Lepas SMP, Ira pindah ke Kanada. Ia ikut orang tuanya yang ditugaskan negara. Sekarang Irawati jauh dari saya, dan saya selalu rindu padanya.
Banyak teman laki-laki yang suka terhadap saya, bahkan ada yang terang-terangan mengucapkan kata-kata cinta di kantin sekolah. Entah gombal, entah beneran. Semuanya saya tolak. Jadi saya belum pernah pacaran sama laki-laki.
Saya menjadi tidak suka laki-laki. Padahal saya ingin sekali bisa mencintai laki-laki. Lantas melupakan Irawati yang lesbian. Tapi saya mencintai Irawati, saya menyukai perempuan, serupa saya mencintai diri saya sendiri.
“Hai, peluklah saya, saya sangat menginginkannya. Peluklah saya dengan mesra”. Tulis saya di penghabisan halaman catatan harian. ***


Catatan: Kalau ada kesamaan curhat dengan cerpen ini, yang pasti itu bukan plagiat

Jakarta, 30 Mei 2013


Bamby Cahyadi, lahir di Manado, 5 Maret 1970. Bergiat di Komunitas Sastra Jakarta (Kosakata). Buku terbarunya, Kisah Muram di Restoran Cepat Saji (Gramedia Pustaka Utama, 2012)