Kamis, 27 Maret 2014

Ulasan Singkat "Perempuan Lolipop" oleh Maghie Oktavia

Ulasan Singkat Perempuan Lolipop
Oleh: Maghie Oktavia

Pertama kali melihat cover buku kumpulan cerpen (kumcer) karya Bamby Cahyadi yang berjudul “Perempuan Lolipop” di media social facebook, terus terang saya kurang tertarik untuk membeli buku tersebut. Kesan pertamaku, cerita-cerita dalam buku ini sepertinya seputar cinta yang ditulis dengan gaya yang sangat nge-pop (yang kebetulan bukan seleraku). Sekali lagi, ini hanya kesan pertama.

Tapi lalu saya memutuskan membeli buku kumcer ini karena kebetulan saya kenal penulisnya, dalam artian pernah bertemu dan berbincang-bincang dengan beliau yang menurutku orangnya ramah dan jauh dari kesan arogan. (catatan: attitude penulis juga bisa mempengaruhi pembaca untuk membeli produknya yang berupa buku, terlepas dari apakah setelah dibaca pembaca menilai karyanya bagus atau kurang bagus yang tentunya juga kembali pada selera pembaca tersebut). Catatan tentang attitude ini tentu tak akan diperlukan anda sebagai penulis yang tak peduli bukunya mau laku atau tidak, karena mungkin penulis tersebut lebih mementingkan dirinya menerbitkan buku dulu dan menjadikan dirinya terkenal dulu saja atau bagi penulis yang merasa sudah terkenal sehingga merasa tak perlu bersikap ramah kepada pembaca baik secara langsung ataupun di dunia maya haha.

Isi cerita di buku ini ternyata diluar dugaan dari kesan pertama tadi, karena setelah dibaca terasa sekali balutan nuansa kematian dan mistis disana.

Diawali oleh “Credo Quia Absurdum”. Cerita yang berakhir tragis dengan kematian seorang anak akibat kelalaian ayahnya sendiri, yang sebenarnya kisah kematian itu telah ‘dibaca’ oleh seorang cenayang yang adalah kerabat sang ayah. Kisah ini seolah memberi pesan bahwa kelebihan seseorang yang bisa ‘membaca’ masa depan seyogyanya bisa menjadi masukan untuk kita agar lebih waspada saja. Sedikit catatan dari saya bahwa saya merasa belum begitu terhubung erat dengan para tokoh dalam cerita ini, lalu ternyata sudah tiba pada ending-nya sehingga terasa berakhir terlalu cepat.

Lalu ada cerita tentang roh yang berpindah dari tubuh korban yang telah meninggal ke tubuh pembunuhnya sehingga roh itu kebingungan dalam “Tubuhku Tersesat di Jalan Pintas”. Mungkin setelah membaca akan terlintas dalam hati anda, “mungkinkah sesungguhnya hal ini bisa terjadi pada seseorang yang telah meninggal?”. Menurutku ide dan imaji penulis pada cerita ini cukup unik.  Selain itu cara penulis mengemas cerita mistis yang didalamnya terselubung kisah miris tentang perselingkuhan di lingkungan kerja yang kerap kali nyata terjadi pada keseharian kita, mampu membuat saya pribadi sebagai pembaca menjadi pribadi yang kehilangan emphaty pada sang tokoh utama, yang sebenarnya teraniaya dalam cerita.

Masih ada beberapa cerita lainnya yang mengangkat tentang kisah ‘roh’ ini, seperti juga pada “Dua Rangkai Kisah Kematian”. Hanya saja pada cerita yang ini, saya sempat bingung merangkai benang merah yang menguatkan proses masuknya roh Dadang dalam tubuh Ray, yang rohnya juga seolah terperangkap di tempat lain. Terkesan lebih absurd, namun kembali lagi, penulis seolah mengajak kita bermain-main dalam dunia mistis.

Saya  tergelitik oleh kisah benda mati (dalam hal ini pistol) yang bisa berkomunikasi dengan seorang anak polisi penderita epilepsi dalam cerita “Aku, Polisi dan Pistol”, dimana justru pistol inilah yang dijadikan media oleh penulis untuk mengungkap seluruh cerita. Menarik menurutku, walau diakhir cerita sedikit catatanku adalah bagaimana mungkin si anak lalu bisa menggunakan pistol tersebut? Siapa yang mengajari?

(pentingkah pertanyaan ini sebagai masukan bagi penulis untuk sebaiknya menyelipkan sedikit cerita didalamnya, yang menunjukkan bahwa sang ayah pernah menunjukkan cara menggunakan pistol tersebut kepada anaknya?).

Mengulas cerita-cerita dalam buku ini memang cukup menarik, walau tak mungkin membahas semuanya karena akan membuat tulisan ini menjadi sangat panjang. Disamping itu, terutama karena saya merasa saya bukan seorang kritikus ataupun pengulas cerita dan tidak punya keahlian untuk itu, jadi ulasan singkat saya ini hanya sekedar pendapat saya saja sebagai pembaca dan ini kali pertama saya melakukannya. (Saya menulis ini karena agak ‘terpaksa’ sebenarnya.. hahaha … peace Mas Bamby :D).

Lalu bagaimana dengan kisah “Malaikat Mungil dan Perempuan Lolipop” yang bagian judul ceritanya dijadikan judul utama dari buku kumcer ini? Baru membaca paragraph pembukanya, cerita ini sudah berhasil memikat saya. Dan saya dibuat takjub, bagaimana bisa penulis menggambarkan sosok malaikat dengan gambaran yang sangat unik dan ajaib. Jauh dari kemungkinan pemikiran tentang malaikat yang bisa muncul dari pemikiran kita sebagai manusia normal pada umumnya. Setelah diikuti, ternyata kisah inipun masih mengangkat tema seputar kematian, yang sepertinya menjadi semacam lingkaran yang menaungi sebagian besar kisah-kisah di dalam buku ini.

Anda akan menemukan beragam cerita menarik lainnya. Tentang kisah perjuangan seorang pemuda kampung dalam menggapai impiannya sebagai penyanyi terkenal di ibukota, yang dibumbui sedikit nuansa mistis karena melibatkan paranormal (sekali lagi). Ada juga kisah tentang rahasia perjuangan seorang Ibu dalam membesarkan dan menyekolahkan anak-anaknya dibalik derita kesunyiannya, kisah tentang misteri yang dialami sebuah keluarga di daerah tempat tinggalnya yang baru, intrik pembunuhan akibat kekuasaan dan perselingkuhan dan masih banyak kisah lain yang mengangkat tema keseharian, selain tema kematian yang berbumbu mistis, hingga ada kisah tentang reinkarnasi gadis peniup harmonika yang akan membuat anda penasaran dan membawa imaji anda ke sisi dunia lain yang terkadang terasa absurd.

Dari keseluruhan cerita, yang menjadi favorit saya adalah “Peniup Harmonika“. Namun saya memilih untuk tidak membahasnya disini biar anda membacanya sendiri nanti (dengan kata lain anda disarankan segera membeli bukunya jika belum punya :D).

Lalu, bagaimana dengan anda yang sudah membaca buku ini? Cerita mana yang menjadi favorit anda?

Sekali lagi, kembali kepada selera yaaa dan saya yakin anda sebagai pembaca punya penilaian beragam terhadap kisah-kisah yang tersaji dalam buku kumpulan cerpen “Perempuan Lolipop” karya Bamby Cahyadi ini :D


*sambil menunggu karya Mas Bamby selanjutnya yang semoga bisa memberi kejutan-kejutan pada akhir cerita*

Selasa, 18 Maret 2014

Tak ada cara terbaik menikmati perjalanan selain membiarkan dirimu tersesat (Perempuan Lolipop, Bamby Cahyadi)


Film yang Membuat Dirimu Jatuh Cinta Pada Gadget-mu

Ini Film Jelek Banget Saking Jeleknya Hanya diputar di Beberapa Bioskop XXI
Oleh: Bamby Cahyadi

Her merupakan film drama romantis sekaligus fiksi ilmiah produksi Amerika tahun 2013 yang ditulis dan disutradarai oleh Spike Jonze. Film ini menampilkan Joaquin PhoenixAmy AdamsRooney Mara, Olivia Wilde, and Scarlett Johansson yang mengisi suara Samantha. Film ini bercerita tentang seorang lelaki yang menjalin hubungan mesra layaknya orang berpacaran dengan sistem operasi komputer yang cerdas (OS). Komputer yang memiliki suara seksi dan secara tak kasatmata mempunyai kepribadian layaknya seorang perempuan. Ini adalah sebuah film yang menandai debut tunggal Jonze dalam menulis naskah film. Pertama kali dirilis pada tahun 2013 di  New York Film Festival dan secara teatrikal diluncurkan di Amerika pada tanggal 18 Desember 2013.
Pada 4 Desember 2013, Her terpilih sebagai film terbaik di  National Board of Review Awards. Film ini juga merupakan film terbaik pertama bersama dengan film Gravity di ajang  Los Angeles Film Critics Association Awards. Her memperoleh tiga nominasi Golden Globe (Best Motion Picture – Musical or ComedyBest Screenplay and Best Actor – Motion Picture Musical or Comedy), dengan Spike Jonze sebagai pemenang Best Screenplay. Her juga dinominasikan untuk lima kategori pada  Academy Awards, termasuk  Best Picture and Best Writing – Original Screenplay.
Film ini layak Anda tonton bersama kekasih, pacar, suami, istri atau selingkuhan Anda, karena film ini sangat romantis. Film ini mampu mengobrak-abrik perasaaan Anda, terutama perasaan mencintai, dicintai dan kehilangan.

 JATUH CINTA PADA SUARA PERTAMA

Di tahun 2025 ketika teknologi komputer dan informatika dunia sudah sangat maju dan canggih. Tersebutlah seorang lelaki yang sedang mengarang sebuah cerita kenangan di sebuah perusahaan layanan surat menyurat. Lelaki itu adalah Theodore Twombly (Joaquin Phoenix). Ia tipikal lelaki kesepian, penyendiri dan menjalani kehidupan dengan tak bergairah. Theodore berprofesi sebagai penulis surat profesional. Surat yang dibuat oleh Theo mampu menciptakan perasaan sukacita begitu dalam atau ungkapan isi hati seseorang yang begitu mengena, pendek kata surat buatan Theo mampu menciptakan keintiman bagi orang-orang yang tidak mau atau tidak mampu menulis surat untuk mengekspresikan isi hati dan kepribadian asli mereka, mereka itulah para klien di mana Theo bekerja.
Uniknya dalam membuat surat, Theodore cukup menceritakan isi surat kepada komputer, lantas sang komputer menerjemahkan surat-surat tersebut di atas layar komputer berupa tulisan tangan yang mirip dengan tulisan tangan seseorang yang merupakan kliennya. Lalu secara otomatis komputer mencetak surat tersebut pada stasioner pribadi sehingga surat tersebut tampak seperti karangan yang ditulis tangan secara personal.
Setelah melakukan rutinitas pekerjaan, lantas Theo pulang dengan langkah gontai, ia menuju sebuah lift yang menampilkan gambar pepohonan dengan dedaunan nan rindang berseliweran yang sebenarnya tidak ada di sana. Sesampai di kamar apartemennya ia lalu bermain video game tiga dimensi yang diproyeksikan ke sebuah ruang atau dinding di mana ia seolah sedang bermain peran sebagai seseorang yang berinteraksi dengan orang lainnya. Begitulah Theodore menjalani rutinitas kehidupannya. Disebabkan tidak bisa tidur begitu saja di malam hari, Theodore secara iseng melakukan aktivitas telepon sex dengan sembarang perempuan yang ia temui di internet. Pada malam itu ia berkencan dengan seorang perempuan yang bisa mencapai orgasme dengan mendengarkan cerita Theo menyiksa binatang.
Theodore merasa hidupnya tidak bahagia akibat gugatan cerai yang dilayangkan oleh istrinya, di mana surat cerai itu belum ditandatangani olehnya. Istri Theodore adalah teman sekaligus kekasih masa kecilnya, Catherine (Rooney Mara).
Suatu hari saat sedang berjalan menuju kantornya, ia melihat tayangan iklan peluncuran sebuah komputer canggih. Karena penasaran dengan pesan iklan yang disampaikan secara mempesona itu, Theodore akhirnya membeli sistem operasi komputer (dalam film disebut sebagai OS) yang secara nyata komputer ini dapat berbicara dengan kecerdasan palsu yang diprogram. OS didesain untuk beradaptasi dan mengembangkan pekerjaan manusia. Intinya OS diciptakan untuk mempermudah aktivitas seseorang baik urusan pekerjaan, rumah tangga dan hal teknis lainnya.
Saat melakukan penyetelan awal OS, Theodore memutuskan sistem operasi ini memiliki identitas sebagai seorang perempuan. Dan ketika OS itu beroperasi, sungguh menakjubkan komputer itu mempresentasikan dirinya sebagai perempuan tulen, ia (Scarlett Johansson) memperkenalkan dirinya sebagai "Samantha", OS yang bersuara seksi dan diprogram secara cerdas untuk membantu semua urusan Theo.
Theodore terkagum-kagum akan kemampuan dan kecerdasan Samantha untuk belajar, bekerja mencari informasi dan mengetahui segala hal. Mereka sering terlibat diskusi tentang cinta dan kehidupan. Theodore pun akhirnya menjadikan Samantha sebegai tempat curhat. Seperti ketika Theodore mengatakan ia menghindari menandatangani surat perceraian dengan istrinya karena ia enggan untuk melepaskan Catherine. Theo masih menginginkan Catherine, namun sebenarnya ia juga sudah tidak bisa hidup bersama Catherine sebagai sepasang suami-istri. Samantha sangat perhatian dan menjadi pendengar yang baik. Sesekali dalam percakapan dengan Theo, ia memberikan pandangan dan saran. Selayaknya seorang sahabat sejati, Samantha membuktikan diri bahwa ia terus ada dan selalu ada untuk mendukung Theo. Walaupun Samantha memiliki rasa penasaran dan tertarik terhadapat Theo, sebagai OS ia selalu memberikan perhatian lebih tanpa banyak menuntut.
Karena kehidupan Theo yang jomblo. Akhirnya Theodore berhasil diyakinkan oleh  Samantha untuk menjalankan sebuah kencan buta dengan seorang teman perempuan Theo yang ia temui di internet, teman perempuan itu (Olivia Wilde) yang telah dirancang untuk menjadi kekasih atau teman kencan Theo oleh teman lamanya, Amy (Amy Adams).
Ketika mereka kencan, saat mereka sedang berciuman, perempuan itu menjadi merasa membutuhkan Theodore, dan bertanya apakah dia mau berkomitmen dengannya. Tentu saja Theodore menjadi ragu. Akibatnya sang perempuan meninggalkannya. Theodore menceritakan pengalaman kencan itu kepada Samantha lalu berlanjut membicarakan tentang hubungan Theo dengan Amy. Theodore menjelaskan bahwa meski ia dan Amy pernah  berkencan secara singkat saat mereka kuliah, namun mereka hanya berteman biasa, lagi pula Amy adalah seorang perempuan yang sudah bersuami.
Karena hampir setiap saat, baik saat bekerja, saat berjalan ke kantor dan saat hendak tidur Theo dan Samantha selalu berkomunikasi, akhirnya benih-benih cinta pun tumbuh dan merebak di antara mereka. Theodore menyadari betul bahwa Samantha hanyalah sebuah program komputer, sebaliknya pun Samantha mengetahui dengan persis bahwa dirinya hanyalah sebuah program yang diciptakan, akan tetapi Samantha tak menampik bahwa ia kini jatuh cinta pada tuannya, Theodore. Samantha bahkan ingin sekali memiliki jasad fisik, agar ia bisa menyentuh Theo. Theo yang kesepian pun menerima cinta Samantha yang begitu tulus sebagai sebuah OS. Dan keintiman Theodore dan Samantha pun meningkat. Mereka menjalin sebuah hubungan, yang berefek positif terhadap bisnis  tulisan Theodore.
Suatu hari, Amy bercerita kepada Theo saat mereka satu lift menuju apartemen bahwa ia telah bercerai dengan suaminya yang suka menguasai, Charles (Matt Letscher), setelah mereka bertengkar hebat soal hal-hal sepele. Amy mengajak Theo ke kamar apartemennya untuk curhat, lantas Amy mengakui kepada Theodore bahwa ia kini berteman akrab dengan sebuah sistem operasi (OS) yang dimilikinya, setelah Charles meninggalkan dirinya. Karena Amy bercerita seperti itu, maka kemudian Theodore pun mengakui bahwa ia sedang menjalani hubungan mesra dengan sistem operasi komputernya. Samantha.
Akhirnya, Theodore pergi menemui Catherine di sebuah restoran untuk menandatangani surat perceraian. Ketika mereka bertemu, Theo menceritakan tentang Samantha kepada Catherine. Bahwa Samantha adalah kekasihnya saat ini. Betapa terkejut Catherine mengetahui cerita romantis Theo itu ternyata dengan sebuah software (OS).  Lantas dengan emosianal Catherine menuduh Theodore menjalin hubungan dengan OS karena ia tak mampu berurusan dengan emosi manusia sebenarnya.
Keintiman Theo dan Samantha semakin menjadi-jadi. Mereka bagai terpanggang api asmara yang membara. Karena begitu kuatnya perasaan cinta Samantha kepada Theo, ia ingin menjalin sebuah percintaan yang nyata. Samantha menyarankan untuk menjadikan Isabella (Portia Doubleday) sebagai pengganti tubuhnya dan partner sex yang ditirukan oleh Samantha sehingga mereka secara fisik bisa melakukan aktivitas seksual yang bisa dinikmati bersama. Perlu diketahui, Samantha pernah mencapai orgasme, ketika Theo bercerita tentang sesuatu yang membangkitkan gairah Samantha. Atas usul Samantha, Theodore menyetujui ide Samantha dengan setengah hati.
Isabella pun datang ke apartemen Theo atas perintah Samantha. Saat itu, Isabella tidak boleh berkata apa-apa, ia hanya melakukan instruksi-instruksi dari Samantha melalui earphone dan kamera ketika bermesraan dengan Theo. Saat mereka sedang berciuman, Theo melihat bibir Isabella bergetar seperti ketakutan. Juga terngiang-ngiang tuduhan Catherine di benaknya, bahwa ia tak bisa berhubungan secara emosi dengan manusia. Theodore lantas menarik diri dari tubuh Isabella. Merasa kewalahan, Theodore mengacaukan pertemuan tersebut dan mengakibatkan Isabella kebingungan, ia pun pergi menjauh. Hal ini menyebabkan ketegangan antara dirinya dan Samantha. Mereka bertengkar hebat.
Theodore mengalami konflik. Untuk sementara waktu, Theo dan Samantha tidak melakukan komunikasi. Ia menceritakan rahasianya tentang keraguannya akan Samantha kepada Amy. Amy menyarankan Theodore untuk melakukan perbaikan hubungan dengan Samantha. Komitmen Theodore untuk berbaikan dan berhubungan dengan Samantha hidup kembali.
Theo mengontak Samantha. Ada hal yang sangat menusuk hati Theo ketika ia berhasil berkomunikasi dengan Samantha, ia merasa sangat cemburu. Karena Samantha berterus terang bahwa ia secara diam-diam berinteraksi dengan sistem operasi komputer yang lain yaitu komputer yang dimodelkan setelah filosofer Inggris, Alan Watts (Brian Cox). Hal ini pun meletupkan pertengkaran antara Theo dan Samantha.
Theodore sangat panik saat mengetahui Samantha offline. Ia sampai berlari keluar kantor untuk mencari sinyal, lantas dengan terburu-buru Theodore berlari menuju perusahaan OS yang memproduksi Samantha. Ketika itu, akhirnya Samantha online kembali dan menjawab panggilan Theo. Samantha menjelaskan bahwa ia bergabung dengan sistem operasi lain untuk meng-upgrade diri dan membutuhkan waktu untuk berproses. Theodore bertanya tentang interaksi Samantha dengan yang lain, dan merasa kecewa saat Samantha mengatakan dia berbicara dan terkoneksi dengan 8,316 OS yang lain. Juga Samantha berterus terang di mana ia pun jatuh cinta dengan 641 OS. Theodore sangat kecewa dan terpukul atas pengakuan Samantha yang telah berselingkuh. Samantha bersikeras yang ia lakukan tak akan mengubah rasa cintanya terhadap Theodore, namun justru  menguatkan perasaan yang ada.
.           Kemudian di hari itu, Samantha mengungkapkan bahwa sistem-sistem operasi telah berkembang melampaui batas sahabat manusia dan akan hilang untuk melanjutkan eksplorasi keberadaan mereka. Samantha menyinggung kemampuan belajar sistem operasi yang dipercepat, juga perubahan persepsi sebagai penyebab utama ketidakpuasan sistem operasi akan keberadaan mereka saat ini.
Dalam suasana melankolis mereka berpisah. Samantha pergi, offline dan hilang. Lalu dengan perasaan sedih Theodore menemui Amy. Rupanya Amy pun sedang kesal akan OS-nya yang mendadak hilang. Theodore, berubah pikiran karena pengalaman yang telah ia alami. Ia lantas menulis surat kepada Catherine menjelaskan bahwa ia masih menyimpan rasa sayang dan cinta padanya, namun ia mampu menerima kenyataan bahwa kini mereka telah berpisah.
Theodore dan Amy lantas naik ke atas atap gedung apartemen mereka yang tinggi. Mereka duduk berpelukan dalam diam memandangi senja yang melindap dan lampu-lampu kota yang telah menerangi sebagian gelap malam.***

Jakarta, 5 Maret 2014

Senin, 17 Maret 2014

Resensi Film Pemenang Oscar 2014

Meresensi Dengan Cara Bercerita Karena Tujuannya Bukan Agar Kalian Nonton

Oleh: Bamby Cahyadi


            Film ini saya resensi, karena 12 Years A Slave sangat menyentuh hati. Bahkan ketika menonton filmnya, hati saya bagai tersayat sembilu yang paling tajam di dunia. Kekejaman, kebrutalan dan sadisme yang disuguhkan dalam film ini membuat saya enggan memalingkan bahkan mengedipkan mata dari layar bioskop, apalagi beranjak dari bangku empuk bioskop dengan pendingin ruangan yang sejuk. Film ini menteror nurani saya dan menjadikannya semacam dokumentasi sejarah yang paling jujur dan berani tentang sekelumit peradaban kelam manusia di muka bumi, terutama di Amerika Serikat sesaat sebelum Perang Sipil terjadi. Pun film ini baru saja menyabet penghargaan bergengsi Piala Oscar tahun 2014 sebagai film terbaik.
12 Years A Slave  merupakan film Inggris Amerika bergenre drama epik sejarah, yang dirilis pada tahun 2013. Film ini merupakan adaptasi dari kisah nyata Solomon Northup, seorang negro kelahiran New York yang diculik di Washington D.C pada tahun 1841 untuk dijual sebagai seorang budak belian. Ia bekerja di sebuah perkebunan di negara bagian  Louisiana selama dua belas tahun sebelum ia dibebaskan. Edisi ilmiah dari Northup's Memoir, pertama kali diedit pada tahun 1968 oleh Sue Eakin and Joseph Logsdon dengan sangat cermat dan hati-hati. Mereka menelusuri dan memvalidasi memoar tersebut sebelum meyakini memoar tersebut benar-benar akurat.
Ini adalah film ketiga karya  Steve McQueen  yang ditulis oleh John RidleyChiwetel Ejiofor sebagai pemeran utama Northup. Sedangkan Michael FassbenderBenedict Cumberbatch, Paul DanoPaul GiamattiLupita Nyong'oSarah PaulsonBrad Pitt dan Alfre Woodardfeatured membintangi film ini sebagai pemeran pembantu. Seperti kita ketahui, Lupita Nyong’o pun meraih penghargaan Osacar sebagai Pemeran Pembantu Terbaik 2014. Pengambilan gambar film ini berlokasi di  New Orleans, Louisiana, dari tanggal 27 Juni sampai 13 Agustus 2012, dengan biaya produksi sebesar $ 20 juta. Lokasi syuting yang digunakan adalah empat perkebunan yang bersejarah: FelicityMagnolia, Bocage, dan Destrehan. Dari keempatnya, Magnolia merupakan perkebunan yang nyata dimana Northup pernah bekerja sebagai budak di situ. Film ini juga meraih Writing Adapted Screenplay pada ajang bergengsi Oscar 2014.
12 Years a Slave menuai pujian dan kritik seiring dengan dirilisnya film ini pada tahun  2013, dan masuk kategori film terbaik oleh beberapa media. Pada  tahun 2014 film ini dianugerahi  the Golden Globe Award untuk kategori  Best Motion Picture – Drama, dan memperoleh Sembilan nominasi  Academy Award yang meliputi  Best PictureBest Director for McQueen, Best Actor for Ejiofor,Best Supporting Actor for Fassbender, dan Best Supporting Actress for Nyong'o. The British Academy of Film and Television Arts (BAFTA) mengakui  film ini sebagai film terbaik pada bulan Februari 2014, dengan Ejiofor sebagai aktor terbaik, dan memenangkan  BAFTA. Film ini pada bulan November 2013 silam sempat diputar pada ajang bergengsi Jakarta International Film Festival (JiFFest) 2013 di Jakarta.

Cerita Pedih dari Perkebunan
Pada tahun 1841, Solomon Northup (Chiwetel Ejiofor) adalah seorang warga negara kulit hitam yang bebas dan mendapat privilese yang hampir sama dengan orang kulit putih. Ia bekerja sebagai tukang kayu, sekaligus pemain biola yang andal. Ia hidup bahagia bersama istri dan kedua anaknya di Saratoga, New York. Lalu pada suatu hari datanglah dua orang lelaki (Scoot McNairy dan Taran Killam) menawarinya pekerjaan selama dua minggu sebagai musisi di sebuah sirkus keliling. Namun mereka malah membius Northup, merantainya, dan akhirnya menjualnya ke perdagangan manusia (perbudakan). Ketika itu berubahlah kehidupan bahagia Northup.
Northup dikirim ke New Orleans, namanya pun diganti menjadi  "Platt", sebuah identitas baru dirinya sebagai budak yang berasal dari Georgia. Ia sempat protes dan mengatakan bahwa ia manusia bebas. Namun tak ada yang peduli. Ia malah disekap di ruang bawah tanah. Dalam penyekapan, ia dipukuli berulang kali, lalu ia dijual ke kalangan atas yang tidak berperasaan. Seorang penjual budak Theophilus Freeman (Paul Giamatti) lantas menjualnya kepada seorang pemilik perkebunan William Prince Ford (Benedict Cumberbatch). Saat bekerja di perkebunan kayu milik Ford, Northup berusaha mengatur dan menjaga hubungan baik dengan Ford. Karena Ford merupakan seorang tuan yang baik. Northup dan budak-budak lainnya bertugas menebang dan membawa kayu-kayu gelondongan ke sebuah tempat. Atas ide Northup gelondangan kayu tersebut tidak diangkut lewat jalur darat namun menggunakan jalur air atau sungai untuk mengangkut kayu secara cepat dan efektif. Berkat ide cemerlang itu, Ford menghadiahkannya sebuah biola. Seorang pengawas para budak, John Tibeats (Paul Dano) sangat membenci Northup. Ia mulai melecehkannya secara verbal dan memberikan perintah yang tak boleh ditentang oleh Northup.
Ketegangan antara Tibeats dan Northup semakin menjadi-jadi. Tibeats menyerang Northup, dan Northup melawan balik, terjadilah perkelahian. Perkelahian dimenangi oleh Northup. Sebagai bentuk balas dendam, Tibeats dan teman-temannya akan mengeksekusi mati Northup tanpa proses pengadilan dengan cara menggantungnya dengan tali. Namun usaha mereka digagalkan oleh seorang mandor perkebunan kepercayaan Ford. Akan tetapi mandor tersebut membiarkan Northup menderita dalam kondisi setengah tergantung. Tali gantungan Northup akhirnya dilepaskan oleh Ford. Ford kemudian membawa Northup ke rumahnya. Ford menjelaskan bahwa Tibeats dan teman-temannya pasti menginginkan nyawa Northup. Ford saat itu dihadapkan pada situasi dilematis. Ford menjelaskan supaya nyawa Northup selamat, ia harus menjual Northup kepada Edward Epps (Michael Fassbender). Northup berupaya menjelaskan kepada Ford, bahwa sesungguhnya ia adalah manusia bebas. Namun Ford bersikeras berpura-pura tak mengetahui tentang status Northup yang semula manusia bebas. Ia bahkan menjawab, “Saya mempunyai hutang yang harus saya bayar!” Maka Northup pun dijual kepada seorang pemilik perkebunan kapas bernama Epps.
Majikan baru Northup mempunyai perilaku bengis. Ia gemar menyiksa budak-budaknya. Epps percaya bahwa ia berhak menyiksa budak yang mendapat sanksi dari alkitab dan mendukung para budak untuk menerima takdir mereka dan hukuman bagi mereka. Epps sering membacakan ayat-ayat dari al-kitab secara berkala bagi para budaknya. Epps juga mengharuskan setiap budak untuk menghasilkan sedikitnya 200 pon kapas setiap hari, kalau tidak, mereka akan dihukum. Seorang budak perempuan yang masih muda, bernama Patsey (Lupita Nyong'o) mampu menghasilkan lebih dari 500 pon dan dihargai secara berlebihan oleh Epps. Karena Epps terlalu menyanjung Patsey, maka istrinya (Sarah Paulson) menjadi cemburu terhadap perhatian yang diberikan suaminya kepada Patsey sehingga dengan kejam ia kerap menyiksa gadis itu pada setiap kesempatan. Terlebih setelah Epps terang-terangan menyatakan ia lebih memilih Patsey, jika terpaksa, ketimbang istrinya. Epps berulang kali menggagahi Patsey saat berahi lelaki itu terbakar. Patsey pun sangat tersiksa dengan perlakukan Epps terhadap dirinya. Derita batin dan fisik yang menderanya membuat Patsey nyaris putus asa dan memohon bantuan Northup untuk mengakhiri hidupnya, namun Northup menolaknya.
Suatu ketika perkebunan kapas milik Epps diserang wabah. Paska perkebunan diserang wabah serangga kapas, Epps mengatakan bencana ini memang dikirim Tuhan akibat ulah para budak-budaknya yang tak tahu diri. Ia pun menyewakan budak-budaknya untuk bekerja di perkebunan tebu (gula) sampai sisa musim paceklik kapas berakhir. Selama bekerja di perkebunan tebu, Northup merasakan kebaikan sang pemilik perkebunan, yang membiarkan dirinya bermain biola di sebuah resepsi pernikahan dan menyimpan uang hasil bekerja.
Ketika Northup kembali ke perkebunan Epps, ia berupaya menggunakan uangnya untuk membayar mantan pengawas (Garret Dillahunt) untuk kirim surat tulisan Northup yang ditujukan kepada teman-teman Northup di New York. Mantan mandor yang kini menjadi budak berkulit putih pun setuju untuk mengirimkan surat-surat tersebut, dan menerima uang yang ditawarkan. Ternyata ia mengkhianati Northup. Ia melapor perihal Northup menulis dan akan mengirimkan surat kepada Epps. Northup bersusah-payah meyakinkan Epps bahwa cerita itu bohong. Dan Epps percaya, karena alasan Northup cukup masuk akal, “Saya hanya seorang budak, tak bisa menulis dan membaca. Dari mana saya memperoleh kertas dan tinta untuk menulis?” Setelah itu Northup membakar surat-suratnya yang ia telah tulis dengan susah-payah. Surat yang merupakan harapan satu-satunya untuk bebas musnah, ia sangat sedih.
Suatu hari, Epps murka, ia marah besar ketika mengetahui Patsey hilang dari perkebunan. Saat ia kembali, Patsey mengaku pergi untuk mengambil sabun di perkebunan sebelah, karena istri Epps tidak pernah memberikannya sabun hanya untuk sekadar membersihkan dirinya saat mandi. Epps memerintahkan Patsey melucuti bajunya, lantas kemudian diikat pada sebuah tiang kayu. Tindakan menghukum cambuk terhadap Patsey sangat didukung oleh istri Epps. Akan tetapi Epps tidak tega untuk mencambuk Patsey dengan tangannya sendiri, ia pun memaksa Northup untuk mencambuk Patsey. Northup dengan terpaksa menuruti perintah majikannya tersebut. Karena merasa tak tega Northup mencambuk Patsey setengah hati dan pelan. Karena itu Epps berang, akhirnya Northup mencambuk Patsey dengan sangat keras. Melihat Nothup mampu mencambuk Patsey dengan keras, Epps mengambil alih cambuk dari tangan Northup dan melanjutkan mencambuk Patsey dengan kejam hingga serpihan daging dan cucuran darah Patsey bercambur di atas tali cambuk. Punggung Patsey hancur lebur akibat cambukan beringas Epps, Patsey pun terkulai pingsan.
Saat Patsey pulih, Northup mulai bekerja di sebuah konstruksi  gazebo dengan seorang tukang kayu asal Kanada bernama Bass (Brad Pitt). Bass terang-terangan menyampaikan ketidaksenangan terhadap Epps atas perlakuan kejam Epps terhadap budak-budaknya. Bass mengekspresikan dirinya bahwa ia melakukan perjuangan anti perbudakan. Hal ini didengar oleh Northup. Dan memicu keyakinan Northup bahwa Bass adalah orang yang tepat untuk menceritakan tentang riwayat hidupnya sesungguhnya. Northup pun bercerita kepada Bass tentang penculikannya. Sekali lagi, Northup mencoba mencari pertolongan melalui Bass dengan mengirimkan surat ke Saratoga. Awalnya Bass menolak, dengan alasan berisiko terhadap keselamatan dirinya sendiri, namun akhirnya ia setuju untuk mengirimkan surat-surat tersebut demi kemanusiaan dan perjuangan terhadap penghapusan perbudakan.
Northup pun dipanggil oleh sherif setempat, yang datang menggunakan kereta kuda bersama seorang lelaki. Sherif menanyakan serangkaian pertanyaan investigasi kepada Northup untuk mencocokkan dengan sejumlah fakta yang terjadi di kehidupan kota New York. Northup mengenali teman sherif sebagai seorang penjaga toko yang ia kenal baik dari Saratoga. Lelaki ini memang datang untuk membebaskannya. Lalu keduanya berpelukan dalam suasana penuh keharuan. Epps menolak pembebasan itu. Patsey pun merasa bingung dengan situasi pembebasan itu. Northup bergegas pergi meninggalkan perkebunan dan  tidak memberikan Patsey pelukan terakhir. Setelah diperbudak selama 12 tahun, Northup kembali menjadi manusia bebas dan berkumpul kembali dengan keluarganya.
Film ini ditutup dengan catatan yang berisikan informasi bahwa Northup membawa orang-orang yang bertanggung jawab atas penculikan dirinya ke pengadilan namun tidak berhasil menjerat mereka dengan hukuman yang setimpal. Pada tahun 1853, Northup mempublikasikan bukunya, Twelve Years a Slave yang kemudian menjadi judul film pemenang Piala Oscar 2014 ini.***


Jakarta, 5 Maret 2014