Cerpen PEMUDA PENJAGA LIFT dimuat di Jurnal Bogor, Minggu 13 September 2009:
PEMUDA PENJAGA LIFT
Oleh: Bamby Cahyadi
Seperti pagi kemarin, kulihat kamu sudah berada di lobi apartemen ini. Setelah mengganti bajumu dengan seragam, yang menurutku lucu, dan mengisi kartu absensi. Kamu telah siap untuk bertugas. Pagi ini kukira, sama saja dengan pagi-pagi sebelumnya. Pagi yang kering. Sudah lama air hujan malas turun untuk menyirami tanah. Untung kita berada di dalam apartemen ini, sehingga terik matahari tak terasa di sini.
“Selamat pagi, ke lantai berapa Pak?” Tanyamu dengan nada suara yang sangat sopan pada seorang lelaki berpakaian safari rapi dan perlente. Kini kamu telah berada di dalam lift, mengerjakan rutinitasmu, menjaga lift. Bertanya dan membantu orang yang keluar-masuk lift untuk mengantar mereka ke lantai yang mereka kehendaki.
Lelaki itu kemudian memperlihatkan lima jarinya tangannya tanpa bicara. Kamu rupanya sudah paham, tombol lift kamu pencet angka 5. Kamu selalu berpenampilan rapi, rambutmu selalu tersisir dengan sedikit minyak rambut yang membuat rambutmu berkilau apabila tertimpa cahaya lampu lift. Mengingatkan aku pada tokoh-tokoh film di tahun enampuluhan.
Lantas kamu terlibat percakapan basa-basi dengan lelaki perlente itu. Kudengar ia akan mengunjungi sanak keluarganya yang tinggal di sini. Pembicaraan kalian terhenti, ketika di lantai 2, lift berhenti. Beberapa orang masuk bersama, mereka menuju lantai paling atas. Terdapat kolam renang di sana. Mungkin mereka mau berenang pagi ini.
Ya, kamu juga selalu tersenyum ramah kepada setiap orang yang menggunakan lift ini. Setiap hari. Mungkin di setiap shift-mu karena pasti kamu pun membutuhkan libur untuk mengatasi kebosanan menjaga lift, dan rutinitas bertanya ke lantai berapa ke setiap orang yang menggunakan lift di apartemen ini. Rutinitas yang membosankan, kupikir. Namun, kamu menjalaninya dengan senang hati. Itulah, maka aku sangat suka memperhatikan kamu.
Sudah lama aku ingin berkenalan dengan kamu. Ingin sekali aku bertanya tentang minyak rambutmu yang membuat rambutmu menjadi licin berkilau. Selain itu aku sangat tertarik dengan ketulusan hatimu, menjalani profesi, yang kukatakan membosankan ini. Karena dari semua karyawan bagian servis di apartemen ini, cuma kamu yang sangat bersahaja.
***
Hari ini, kamu tidak berada di dalam lift ini. Seorang wanita muda menjaganya, mungkin kamu libur. Wanita muda itu tidak seramah kamu. Senyumannya menyerupai sebuah sunggingan bibir yang dipaksakan. Mirip menyeringai, tidak tulus. Sepertinya ia sangat terpaksa menjalani profesi penjaga lift daripada tidak bekerja sama sekali. Tidak sepertimu yang begitu tulus melakukan pekerjaanmu.
Terkadang wanita muda penjaga lift penggantimu itu, pura-pura sibuk ketika ada orang yang masuk ke dalam lift. Aku tahu, ia hanya malas membuat sebaris senyum di bibirnya. Heran juga ia bisa bekerja di sini.
Wahai pemuda penjaga lift, sudah hampir sebulan kamu tidak menjaga lift dan sebulan ini beberapa petugas pengganti silih berganti. Kamu kemana? Apakah kamu sakit? Ataukah kamu mendapatkan pekerjaan baru? Aku kok rindu kamu.
Ya, sungguh tak menyenangkan menyambut pagi tanpa kehadiran kamu. Lobi apartemen terasa hampa. Rasanya, aku berada di apartemen asing. Sungguh suasana seperti ini membuatku merasa melankoli.
Terus terang, ingin sekali aku bertanya kepada temanmu, wanita muda yang sekarang menjadi penjaga lift itu. Sebab sudah sebulan kamu tidak bertugas. Tetapi tentu tidak aku lakukan, aku tidak mau semuanya berubah menjadi runyam dan kacau. Selain itu, aku tidak suka dengan wanita muda yang berwajah masam itu. Lebih baik aku tak menegurnya saja.
Pagi ini suasana lobi apartemen terasa sangat sepi dan begitu lengang. Aktivitas apartemen belum dimulai, seperti biasa aku memasuki lift dengan langkah gontai menuju kamarku. Berharap-harap cemas, dirimu hadir di sini. Bertemu dengan kamu dan memperhatikanmu diam-diam. Oh, aku suka sekali melakukannya.
Aha…! Aku sangat senang dan gembira sekali. Pagi ini aku menemui kamu berada di dalam lift dan sudah bertugas kembali. O Tuhan, terimakasih. Harapku bisa melihatmu di pagi ini terkabul. Aku sangat gembira, kukira aku telah berlonjak-lonjak saking girangnya. Rona pipiku memerah malu.
“Mau ke lantai berapa Mbak?” tanyamu dengan suara yang sangat ramah. Aku terkejut bercampur bahagia kamu sudah menjaga lift lagi. Sambil memandang heran padamu aku mengacungkan kesepuluh jariku. Meniru gerakan lelaki perlente bersafari yang kulihat bulan lalu. Aku ke lantai 10. Kamu memencet tombol angka 10. Aku masih tak percaya, kamu bertanya kepadaku.
Aku bingung mau mengajakmu bercakap-cakap. Kulihat kamu juga terlihat malu-malu di hadapanku. Sesekali kamu melirikku. Ketika aku hendak berkata-kata mengajakmu bicara.
Tiba-tiba lift mendadak berhenti di lantai 5 padahal tidak ada seorang pun yang berhenti untuk ke luar ke lantai 5. Pintu lift terbuka, meninggalkan suara denting. Masuk wanita muda penjaga lift penggantimu itu, ia bersama temannya, tetapi mereka tidak menegurmu. Kamu pun diam saja tidak menegur mereka. Aku dan kamu terdiam dalam bisu, hanya teman-temanmu yang berbicara. Pembicaraan mereka tampak sangat serius.
“Sudah sebulan aku bekerja di sini, baru kali ini aku merasakan bulu kudukku berdiri dan merinding seperti ini,” kata wanita muda itu kepada temannya dengan ekspresi seperti orang yang ketakutan.
“Ya, aku juga merasakan hal yang sama,” balas teman wanita muda itu sambil bergidik dan memegang lehernya sendiri. Rupanya bulu kuduknya meremang.
“Apa mungkin rohnya si Markum penjaga lift yang meninggal kecelakaan motor sebulan yang lalu sedang gentayangan di sini ?” lanjut wanita muda penjaga lift itu kepada temannya sambil memencet tombol lift ke lantai dasar.
Aku tersentak, mengalihkan pandangan padamu. Kamu tertunduk.
“Mungkin saja. Dulu juga waktu seorang gadis bunuh diri loncat dari lantai 10. Dan tubuhnya hancur di halaman parkiran, di lift ini sering terjadi sesuatu yang aneh-aneh dan menyeramkan,” kata temannya sambil masih memegang tenguknya.
“Kenapa gadis itu bunuh diri?” Tanya wanita muda itu.
“Katanya sih, gadis itu kesepian. Orangtuanya memberikan fasilitas apartemen, tetapi mereka tidak pernah menjenguk gadis itu,” jelas temannya dengan bibir bergetar ketakutan.
“Iya, ya, bisa jadi si Markum lagi gentayangan di sini. Dia khan, meninggal saat mau menuju ke sini untuk menjaga lift ini. Hiiiiiih!” Kedua wanita itu menjerit dan buru-buru ke luar dari lift ketika sampai di lantai dasar.
Terus terang aku sangat terkejut mendengar pembicaraan mereka. Pandanganku beralih kepadamu yang sedang berdiri manis di pintu lift sambil tersenyum, mengangguk-angguk kepala seraya mengangkat bahumu menatapku. Kamu bernama Markum. Pantas kamu bisa menegurku pagi ini.***
Jakarta, 29 Juni 2008
3 komentar:
turut menikmati tulisan yang ada
Assalamualaikum!
Saya Adelia, boleh nanya nggak alamat emailnya jurnal bogor pa an? soalnya pengen banget bisa ngirim cerpen n dimuat di sana. Makasih ya! :)
emailku:rapunzelside@rocketmail.com
Saya suka cerpennya mas
Posting Komentar