ARS LONGA, VITA BREVIS
Oleh: Bamby Cahyadi
Ars longa, vita brevis.
Itu kalimat yang meluncur dari mulut ayahku ketika ia bertengkar sengit dengan
ibuku.
Ayahku mengundurkan diri dari restoran cepat saji
terbesar di jagad ini ketika usiaku 6 bulan, ketika itu ayahku menyatakan
berhenti bekerja dari perusahaan waralaba restoran cepat saji itu dengan
haru-biru. Konon kabarnya ia menangis tersedu-sedu saat menyerahkan sehelai
surat pengunduran diri pada atasannya. Tentu saja ia
menangis, bayangkan, ia bekerja di restoran itu genap 16 tahun, waktu yang
tidak boleh dikatakan singkat. Sebab apa? Apabila ia–maksudku waktu 16 tahun
itu seorang bocah laki-laki–mungkin kini ia sudah ahli merancap bahkan bisa
saja ia menghamili anak gadis orang. Ya, itu bisa-bisanya aku saja.
Ayahku tidak pernah menyangka bahwa ia akan menjadi
bagian dari perusahaan yang begitu terkenal dan mendunia yang papan-papan
iklannya bisa kita saksikan di layar televisi ketika ada pertandingan sepakbola
level benua bahkan dunia, misalnya Piala Eropa, Piala Dunia atau Olimpiade
dihelat. Betul sekali, perusahaan ayahku selalu menjadi sponsor utama
perhelatan olahraga itu. Membanggakan tentunya. Sayangnya saat itu aku belum
lahir. Tapi tidak apa-apa, bukan soal besar bagiku. Karena aneka pernak-pernik
dari restoran cepat saji itu kini menjadi mainan milikku, mulai dari boneka Hello Kity, Kungfu Panda, Snoopy
hingga karakter Ronald yang semuanya
suplemen dari menu Happy Meal.
Semula ayahku bercita-cita menjadi wartawan meski ia
jebolan Fakultas Ekonomi jurusan Manajemen. Hmm, agak aneh juga. Tapi memang ia
itu ayah yang aneh pada kenyataannya. Harap bersabar mengenai cerita perilaku
aneh ayahku. Bagian ini baru prolog. Kalau pun aku tak ceritakan karena tulisan
ini telah menjadi sebuah cerpen. O ya, ayahku kini bekerja di sebuah restoran
cepat saji yang lain yang tak sebesar yang pertama.
Ayahku Sarjana Ekonomi, tapi keinginan terbesarnya
bekerja menjadi Jurnalis. Ia pun menyelesaikan kuliahnya terlambat setahun, lantaran ia terlalu asyik jadi aktivis mahasiswa. Kudengar cerita
masa mahasiswanya yang heroik dari obrolan dengan ibuku, ketika itu ia memang
suka menulis dan aktif bergiat di Unit Pers Mahasiswa di kampusnya. Bahkan ia
pernah menjadi ketua senat mahasiswa, ia aktivis dan tukang demo. Semakin
menarik, bukan? Padahal kita tahu menjadi aktivis mahasiswa di zaman rezim
Soeharto sangatlah pelik untuk tidak mengatakannya sulit.
“Aih, aku ingin sekali bercerita tentang masa muda
ayahku, tentu yang kuketahui dari ibuku, dan langsung dari sumbernya, ayahku,”
seruku kegirangan sendiri.
Kucing-kucing si Farel, tetanggaku yang semula anteng
terkantuk-kantuk saling peluk dan garuk-garuk bulu di depan teras rumahku mendadak terbangun dan
mengeong. “Sabar ya, Mpus!” kataku pada kucing-kucing itu setengah berbisik, separuhnya
lagi menghardik. Kucing-kucing Farel beranjak pergi berhamburan sambil
mengibas-ibas ekor mereka, melirikku dengan
benci.
Namun ada yang mengganjalku, apabila aku yang bercerita,
tentu cerita ini akan bertutur dengan naratornya
aku sebagai “Aku”, aku yang sebagai sudut pandang orang pertama. Hal
ini tentu tidak adil, aku hanya akan menyerupai Haruki Murakami yang serba-tahu
dalam novel-novelnya. Lagi pula saat ini aku akan berulangtahun yang ke-6 di
bulan Oktober
nanti. Jadi tak mengapa aku menjadi bocah sok tahu untuk
sementara waktu.
Namun setelah kupikir-pikir, tak jadi perihal luar biasa
dan merepotkan bagiku, bahkan aku pernah dengar ada cerita yang diceritakan
oleh seekor monyet, anjing, babi, kecoak bahkan sebuah benda
mati sekalipun sebagai orang
pertama yang bertutur. Dengan begitu, hal itu memberi peluang bagiku untuk
bercerita tentang ayahku saat ia masih belia, atau siapa saja yang terlibat
dalam kisah ayahku. Mungkin, atau bisa jadi, Anda juga akan terlibat dalam
cerita ini. Seru bukan?
Iya, ya ya. Aku sudah menduga, kalian akan mengatakan
secara lugas, bahwa aku anak kecil sok tahu, anak kecil yang terlalu banyak
berkhayal, imajinatif, maniak fantasi dan sekadar berbual. Bukan kah hal itu ciri
khas anak kecil sekali untuk tidak menuliskannya banget. Dan sudah kukatakan pada paragraf
sebelumnya. Hal ini membuatku terkikik.
Sebentar.
Hari ini masih pagi, hari Minggu. Ayah dan ibuku masih
tidur ketika ayam jantan peliharaan Pak Tohir, bapaknya si Farel, berkokok
limabelas kali. Aku sangat tak paham, mengapa ayam Pak Tohir itu selalu
berkokok limabelas kali, tak kurang pun tak lebih. Padahal apabila patokan
hitungan adalah jam, maka seharusnya ayam itu berkokok 12 kali sesuai angka
pada jam, angka 1 hingga 12. Atau 24 kali, sesuai hitungan dalam 1 hari terdiri
atas 24 jam. Bisa juga 7 kali, secara simbolik bahwa 7 kali merupakan jumlah
hari itu dalam 1 minggu dengan sebutan hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat,
Sabtu, dan Minggu. Ya, hari ini hari Minggu, hari ke-7. Seharusnya ayam Pak
Tohir berkokok cukup 7 kali petanda ini hari, hari Minggu. Kulihat jarum pendek
pada jam dinding menunjukkan angka 8. Bolehlah juga setelah ayam itu berkokok 7
kali, lantas menyambungnya dengan berkokok sebanyak 8 kali penanda jam saat
ini. Lho? Ya ampun! Bukan kah secara matematis kokok ayam
15 kali tadi sudah menerjemahkan
hari ke-7 dan tepat pukul 8 pagi ini. Betapa tololnya aku ini. Tapi, maklumlah
aku kan hanya anak kecil.
“Koran-koran!”
Di depan pagar, Pak Badiru loper koran langganan ayahku sudah
berdiri. Sepeda ia sandarkan pada sisi pagar yang lain. Agak terlalu mainstream loper koran selalu
menggunakan sepeda sebagai alat transportasi, tapi kenyataannya demikian. Seperti
seorang pacar yang menerima surat dari sang kekasih, aku berhambur ke arah
pagar dengan mata berbinar-binar.
“Dek, bapakmu masih tidur ya?” tanya Pak Badiru.
“Iya pak, biasaaa!” jawabku singkat dengan tarikan
panjang pada kata biasa.
“Ini Kompas Minggu, ini Jawa Pos, ini Media Indonesia,
ini Pikiran Rakyat, dan ini Nova... eh ada Tribun Jabar, nich!” ujar Pak Badiru
sambil mengangsur 5 buah koran dan sebuah tabloid ke tanganku.
“Lho, koran Republikanya mannaaaa?” sergahku dengan
tarikan panjang pada kata mana.
“Astaga. Saya lupa bawanya, Dek!” Pak Badiru menepok
jidatnya sendiri.
“Huh, dasar pikun!” gerutuku. Tentu dalam hati, tak sopan
menghardik orang tua seperti Pak Badiru dengan suara lantang seperti toa masjid
yang beberapa bulan lalu di Tanjung Balai dijadikan alat provokasi untuk
membuat kerusuhan.
“Nanti siang saya ke sini lagi ya, bilang ke bapakmu,”
kata Pak Badiru seraya menaiki sepedanya.
“Oke boss!” sahutku.
Sebenarnya Pak Badiru setiap hari Sabtu juga datang
mengantar koran ke rumahku, ia mengantar Koran Tempo
edisi Akhir Pekan dan Kompas
edisi hari Sabtu. Ia hanya datang
pada hari Sabtu dan Minggu, hari lain tidak.
Aku membawa koran-koran dan tabloid itu ke ruang tamu dan
meletakkannya di atas meja tamu, sembari tanganku meraih remote televisi
mencari saluran acara televisi kesukaanku Upin-Ipin, hore!
Nanti saat ayahku bangun, pastinya hal pertama dan utama
yang ia lakukan adalah membuka halaman koran lembar demi lembar dengan
antusias, lalu pada halaman tertentu ia akan berhenti, ia melumat isi lembar
koran pada tangannya dengan bersemangat, lantas ia membuka halaman koran yang
lain, berhenti pada halaman tertentu, dan semua koran yang ada ia begitukan.
Setelah itu bergegas ia mengambil laptop, menyalakannya dan mengaktifkan
koneksi internet, lantas ia larut dengan laptopnya, entah apa yang ia lakukan.
Mungkin ia menemukan lowongan pekerjaan yang diiklankan di koran-koran itu lalu
ia membuat surel lamaran pekerjaan.
Itu dugaanku. Aku tidak begitu yakin apa aktivitasnya.
Kembali ke suasana rumahku saat ini.
Ayah dan ibu sudah bangun. Hal pertama yang dilakukan ayah
seperti yang telah kuutarakan tadi. Ibuku membereskan rumah lantas beberapa saat kemudian...
mareka sudah mandi.
Aku melihat ibu sedang
menyisir rambutnya yang tebal dan panjang tergerai hingga ke pinggul. Ia
terlihat begitu modis, ia memandang wajahnya yang cantik dari pantulan cermin
sambil bersenandung. Sesekali ia mengerlingkan matanya pada cermin itu.
Wajahnya telah ia pulas dengan bedak dan bibirnya telah ia poles dengan lipstik
merah cerah. Ia terlihat begitu narsis. Entah apa yang ada di benaknya saat ini. Kini ia memerhatikan tatanan riasan
wajahnya, membetulkannya
sedikit, memastikan semuanya sudah terlihat sempurna. Cantik. Pantas saja ayahku jatuh cinta
padanya.
Aku lihat ayahku mendekati ibu. Ada
perihal penting rupanya
yang akan ayah
sampaikan hari ini pada ibuku.
Ketika
hal itu ayah
sampaikan, ibuku
terperangah dan hampir saja terjerembap ke lantai, untung ia masih sempat
bersandar pada kusen pintu kamar. Ketika aku dengar, ayah mengatakan bahwa ia mengundurkan diri dari lagi dari tempatnya bekerja. Ibuku buru-buru menguasai
dirinya dengan manarik napas dalam-dalam dan diembuskan melalui mulutnya
seperti saat ia melahirkanku,
dulu. Ibuku
berupaya
mencerna tentang perkataan
ayah, lantas ia memandang wajah ayah dengan mata menyipit.
Dahi ibuku
mengerenyit
membuat semacam tanda tanya besar di
dahinya.
”Ya, aku berhenti bekerja lagi,” kata ayahku berupaya
menjawab kerenyitan ibu. ”Ini bagian dari resolusiku tahun 2017!” lanjut ayah
mantap.
“Mau jadi apa kamu kalau tidak kerja?” tanya ibuku dengan
ketus.
“Aku memutuskan untuk menjadi penulis saja, menulis
cerpen dan novel,” jawab ayahku datar. “Seperti yang sudah kulakukan saat ini,”
ujar ayah melanjutkan perkataannya lagi.
“Mau makan apa
kita?”
“Ars longa, vita brevis!” Jawab ayah
tegas.
Suara ibuku tiba-tiba melengking lantas menggelegar bagai
gemuruh guntur di langit kelam dan siap menghancurkan plafon rumah kami yang
mendadak berderak-derak.
“Koran-koran, Republikanya udah ada nih!” Suara Pak
Badiru mengheningkan sejenak suasana panas yang mencemaskan ini. Ayah
juga pernah berkata, untuk
merasakan sepi datanglah ke keramaian. Lihatlah betapa kerumunan orang-orang
hanya serupa gumpalan awan yang siap lenyap ketika angin berembus.
Tapi mengapa ibuku berkata dengan nada sangat tinggi,
“Mau makan apa kita?”, ketika ayahku bilang ia mau menjadi penulis saja? Sebagai anak kecil, bagian inilah yang tak kumengerti, maka kusudahi saja
cerita ini. ***
*) Saat ini Koran
Tempo yang memiliki rubrik cerpen dan puisi terbit di hari Sabtu dan Kompas
mengubah konsep pemuatan Puisi
pada hari Sabtu dan Cerpen
pada hari Minggu.
*) Ars Longa, Vita Brevis adalah frasa latin
yang berarti Seni itu panjang, sedangkan hidup itu pendek
Kalibata
City-Bintaro Plaza, 21 September 2017
Bamby Cahyadi, lahir di Manado, 5 Maret 1970. Menulis cerpen untuk
sejumlah koran, tabloid dan majalah. Buku kumpulan cerpenterbarunya Apa yang Terjadi Adalah Sebuah Kisah (Desember,
2016).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar