DUA PARAGRAF PERTAMA KUMPULAN CERPEN BOB MARLEY
Sebentar lagi sebuah buku yang dinanti-nanti akan terbit, Bob Marley dan 11 Cerpen Pilihan Sriti.com, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Tentu Anda sangat penasaran. Saya kasih bocorannya, supaya Anda makin penasaran, meski hanya dua paragraf pertama dari masing-masing cerpen.
Kematian Bob Marley, Hasan Al Banna, Koran Tempo, 9 Maret 2009
Anyir mengalir. Udara berlendir. Sebagian kulit kepalanya terkelupas. Mata tak terbelalak, tapi wajahnya mendongak, menyeringai—lipatan kulit saling himpit. Mulut menganga, sekuak goa, tak henti melelehkan getah darah bercampur serpihan gigi. Lekuk tangannya menempel di atas dada, lantas kedua lutut bertekuk, semacam posisi duduk. Lebih dari itu, tak terdapat luka atau memar yang menonjol di tubuhnya. Hanya saja, dua jari tangan kiri—telunjuk dan kelingking—terputus, dan sebilah sayatan sepanjang sepuluh senti mengoyak anus.
Tadi malam, di bawah debur hujan, tiga orang pria tak dikenal mengetuk pintu salah satu rumah di lorong Dermawan. Tamu asing itu tampak menghemat gelagat. Gerak-gerik jangan sampai memancing kecurigaan, begitu hardikan pesan. Tapi tak bisa juga mereka menyimpan ketergesaan. Usai berbicara seringkasnya, mereka kemudian menjinjing sebujur mayat terbungkus terpal—lapuk, berwarna biru tua—dari pick up bak terbuka. Sesaat kemudian, ketiganya lenyap di balik jubah hujan, menelantarkan letup tangis mengerubungi mayat.
Induak Tubo, Zelfeni Wimra, Padang Ekspres, 22 Juni 2008
“Dasar orang tua. Nyinyir. Berkali-kali saya ingatkan, tidak usah ke sawah lagi. Akan lebih baik, kalau sawah itu dipaduoi saja kepada orang yang lebih kuat. Selin tugas kita ringan, hasil tanaman juga akan lebih banyak. Orang setua dia tidak layak lagi menggarap sawah barawang itu. Bisa-bisa ia terjerembab dan ditelan rawang itu hidup-hidup!”
“Anak-anaknya yang tak tahu diri. Semuanya merantau. Seharusnya, salah seorang tinggal di kampung, menemani induk yang sudah bungkuk. Sekalipun tidak akan ke sawah-ke ladang dan hidup melarat seperti kita ini, paling tidak induk mereka punya teman di rumah. Sungguh, kalian akan tahu sendiri nanti, betapa berartinya teman di hari tua. Dan, kalian juga akan tahu nanti, betapa lengang ketika di hari tua tidak ada teman, meski hanya untuk sekadar bercerita.
Kandang, Yanusa Nugroho, Jawa Pos, 12 Oktober 2008
Jika saja kau mengetahui di mana aku tinggal, mungkin kau akan sependapat dengan apa yang akan kuceritakan kepadamu. Di sini, di tempat tinggalku, kau tak akan menjumpai manusia. Ya. Kau tak akan menjumpai sesosok makhluk yang bisa layak kau sebut manusia.
Entah kebetulan, entah tidak, aku menempati rumah di ujung jalan. Lebih tepat lagi bila kusebutkan di ujung atas jalan kecil ini. Jauh lebih tepat, sebagai rumah yang paling atas, karena jalan ini adalah jalan buntu.
Cinta pada sebuah Pagi, Eep Saefulloh Fatah, Kompas, 25 Mei 2008
Sebuah rumah mungil di pinggiran timur Jakarta. Sebuah pagi berjalan sebagaimana lazimnya. Asti berkubang dalam banyak pekerjaan rumah. Arnando, seperti biasa, berkutat merampungkan lukisan di studionya.
Daster Asti tak mampu menutup seluruh kulit putih bersihnya. Tapi, daster itu tetap bisa menyembunyikan banyak tahi lalat di tempat-tempat tertutup. Hanya Arnando yang tahu persis letak-letaknya.
Satu Kunang-kunang, Seribu Tikus, Intan Paramaditha, Koran Tempo, 15 Februari 2009
Seorang pembunuh berdarah dingin, tak senang bernostalgia, mengawali rencananya dengan seorang perempuan yang mati tanpa melihat kunang-kunang. Dari ruang dan waktu yang jauh berbeda, ia mengintip Epon, seorang perempuan dengan kebiasaan ganjil. Tepat pukul dua belas malam, kala suaminya terlelap, Epon akan berjalan keluar rumah menuju kuburan demi melihat kunang-kunang. Ia percaya kunang-kunang ini--jenis betina berkilauan yang mengubah diri sesuai selera pejantan hanya untuk memangsanya kemudian--tak muncul di tempat lain. Tentu saja Toha suaminya menjadi gelisah. Di desa Cibeurit yang guyub tentram, perempuan tak berkeliaran malam-malam, apalagi pergi ke kuburan. Bisa-bisa istri Toha dianggap penganut ilmu hitam.
Beberapa malam sebelum peristiwa menyedihkan itu, Toha menyergap Epon saat ia mengendap-endap meninggalkan kamar.
Malam Basilsik, Dinar Rahayu, Suara Merdeka, 13 Juli 2008
Kau adalah kematianku
Padamu aku dapat bergantung
Ketika semuanya jatuh berguguran
(Paul Celan)
DI lautan suara dan gerakan aku mengapung. Tidak seperti binatang Kapal Perang Portugis yang sengatnya masih berfungsi walaupun ia sudah mati melainkan lebih mirip ganggang ruwet di tengah laut yang sudah dipenuhi kehidupan palsu.
Aku melewati seseorang yang mungkin akan kutemui dalam mimpi nanti malam. Mungkin juga tidak. Mungkin juga akan jadi bagian dari mimpi burukku. Aku melewati segala sesuatu yang mungkin akan kutemui kembali esok hari —mungkin juga tidak. Barangkali hari-hari yang datang akan sama dengan hari ini karena seperti keluaran pabrik kloning, hari-hari terlihat sama untukku. Aku seperti makhluk pejalan lurus yang terperangkap dalam roda di kandang hamster, seperti kuda kayu dalam komedi putar. Bergerak tanpa pergi ke mana pun juga.
Guru Safedi, Farizal Sikumbang, Kompas, 14 Desember 2008
Setelah menumpahkan kegundahan hatinya perihal kebutuhan keuangan dalam keluarganya, istri Safedi lalu beranjak dan duduk di depan pintu rumah. Kedua kakinya diluruskan ke depan. Tatapannya tertekuk ke bawah. Dari atas kursi ruang tamu, beberapa saat kemudian Safedi mendengar tangisan istrinya yang terisak.
"Berhentilah menangis, Aisia. Jika ada orang lewat, malu kita,” kata Safedi.
Malam Kunang-kunang, Rama Dira J, Kompas, 2 Agustus 2008
Merekalah bocah-bocah yang selalu bahagia. Jika malam tiba, mereka akan berlari-lari girang, mengejar-ngejar dan menggapai-gapai kunang-kunang yang berkerlap-kerlip melayang-layang serupa sebaran serbuk cahaya. Mereka jugalah bocah-bocah yang menghadirkan tawa dan canda di lembah itu hingga membuatnya hidup, terasa dihuni.
Selebihnya adalah gelap. Listrik belum masuk dan orang-orang dewasa terlalu sibuk dengan urusan ranjang. Maka, belum genap malam, bocah-bocah pun diusir pergi ke luar rumah, ke surau untuk mengaji atau berlatih silat ke lapangan sepak bola asalkan jangan bermain kunang-kunang. Karena bagaimanapun, orang-orang tua tetap meyakini kunang-kunang sebagai jelmaan kuku-kukunya orang mati. Jika menjadikannya sebagai mainan, maka akan menyebabkan kesialan.
Aku Bercerita dari Pesawat yang Sedang Terbang, Bamby Cahyadi, Koran Tempo, 26 Juli 2009
Seandainya aku tidak terlambat pulang sekolah, mungkin aku kini tak berada di atas ketinggian 30.000 kaki. Aku melihat awan-awan kelabu tebal berarak-arak yang seolah-olah ikut menangis dari balik jendela pesawat terbang ini. Aku kembali mengusap air mataku yang jatuh membasahi pipi dengan selembar tisu.
Kulihat ibuku memandang kosong ke arah jendela yang lain di sisinya. Matanya sembab, air matanya mungkin sudah kering sejak tadi pagi. Kakakku tertidur di bangku pesawat di samping ibu. Nyenyak sekali tidurnya, paling tidak ia bisa melupakan sejenak kesedihan yang tadi malam tiba-tiba merenggut kebahagiaan kami sebagai keluarga.
Tanah Lalu, Yetti A. KA, Suara Merdeka, 3 Agustus 2008
BUNYI tapak kaki saling tubruk, retak, berpentalan di udara. Kesiur angin merebahkan gumpalan-gumpalan daun. Orang-orang serupa bayang makin bergegas. Napas mereka terdengar kasar. Seakan-akan mereka tengah dikejar waktu menuju arena perburuan. Setelah sepertiga malam terdengar letusan senapan tepat di bawah pohon merambung, tempat biasa kijang-kijang menghabiskan sisa malam.
Tidak jauh dari tempat perburuan itu, aroma pagi segera menguar dari bidang-bidang sawah yang mengering, bercampur baur dengan anyir yang semakin tajam. Orang-orang bersorak. Sebuah kampung tengah mempersiapkan pesta kecil.
Kunti tak Berhenti Berlari, Berto Tukan, Batam Pos, 12 Juli 2009
Angin berhembus kencang menerpa rerumputan. Bunga-bunga ilalang putih sebesar kuku ibu jari kaki beterbangan menutupi jalan setapak. Matahari jam 12 siang menampakkan diri begitu sempurnanya. Belalang hijau satu-dua ekor terlihat menantang angin di pucuk-pucuk ilalang. Alam begitu tenang.
Kunti berjalan di jalan setapak itu. Bunga-bunga ilalang memenuhi setapak perlahan-lahan menepi ke kiri-kanannya. Mereka memberi tempat bagi kaki Kunti yang hitam tanah dan pecah kulitnya leluasa melangkah.
Batubujang, Benny Arnas, Singgalang Padang, 1 Juni 2008
ANAS benar-benar tak habis pikir bagaimana penduduk menjadi sebegitu bodohnya. Menyemen parit dengan batamerah, bahkan sebagian lebih gawat lagi, ada yang menggunakan batako.
Alamak jan, layak tak berotak apa yang berlaku di muka Anas. Apa kiranya yang telah membuat pikiran mereka tiada menimbang banyak dampak yang mungkin sekali timbul dari tindakan yang tak beralibi itu. Takkah mereka tahu kalau batamerah lebih banyak menguras rupiah daripada batubujang? Takkah jua mereka berpikir bahwa semakin berbilang masa, batamerah itu lebih mudah digerus air, walaupun orang-orang itu telah bertahan dengan rupa-rupa alasan yang terkesan terlalu dibuat-buat: bahwa batamerah akan dilapisi semen? Tetap, batubujang 1 lebih baik dibandingkan batamerah itu. Batin Anas memuncak, meredam lenguh durja.
Hahaha… penasaran khan? Mari beli bukunya.***
Jakarta, 19 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar