Kamis, 31 Desember 2009

Idealisme Seorang Sastrawan Muda

IDEALISME YANG MEMBUNCAH ZELFENI WIMRA
Oleh: Bamby Cahyadi

Terus terang, saya mengenal lantas mengetahui Zelfeni Wimra, ketika saya membuka-buka katalog yang dibagi-bagi saat saya datang melihat malam Anugerah Sastra Khatulistiwa (Khatulistiwa Literary Award) tahun 2009 bertempat di Plaza Senayan tanggal 10 November 2009 beberapa waktu lalu.

Katalog itu berisi kata sambutan, nama-nama finalis kategori prosa, puisi dan penulis muda dengan foto-foto cover buku, serta sambutan dari pemenang kategori prosa dan puisi tahun lalu. Katalog berwarna kuning keemasan itu, lalu saya buka-buka sambil menunggu hasil diumumkan.

Nah, pada saat itulah saya membaca nama Zelfeni Wimra dengan buku Pengantin Subuh. Hmm, siapa dia? Saya tak terlalu ambil peduli. Karena, saya terpaku pada finalis kategori prosa dan puisi saja. Betapa piciknya saya ya?

Beberapa hari kemudian, sebaris sms dari Mas Chusnato menyentak saya pada 19 November 2009.

“Salam! Sesuai rapat internal Sriti, kami meminta saudara Bamby untuk menulis profil cerpenis Zelfeni Wimra yang akan ditayangkan di sriti…”

Bug! Ternyata saya harus berkarib-intim dengan Zelfeni Wimra. Maka, sibuklah saya membuka-buka pofilnya di Facebook dan beberapa situs pribadinya. Mencari lagi katalog KLA 2009 dari rak buku dan mencoba menimbang-nimbang untuk mengirim sms kepada Zelfeni yang nomor kontak hapenya saya dapat dari Mas Chusnato.

Akhirnya, saya kirimi Zelfeni sebaris sms, “Salam kenal, saya Bamby Cahyadi.

Lama sms saya tak dibalasnya, hingga malam hari sekitar pukul 20.21 WIB, hape saya bergetar. Sebaris sms balasan dari Zelfeni, muncul.

“Salam kenal juga, di sini hujan mau turun kayaknya.”

Saya juga tak langsung membalas sms itu. Saya hanya tersenyum lucu. Lho apa hubungannya, salam kenal dengan hujan mau turun di kota Padang sana.

Namun, esok hari. Saya balas sms Zelfeni tersebut. Sekitar pukul 15.30 WIB saya mengirim sebaris pesan singkat, “Saya, akan menulis tentang Anda?”

Maka, beberapa saat kemudian, saya menerima sms panjang yang membantu saya dalam menyusun tulisan ini, karena sms balasan dari Zelfeni panjangnya 1.350 karakter. Aih, betapa bahagianya saya, karena Zelfeni sangat membantu saya untuk menulis sebuah artikel tentang dirinya yang panjangnya minimal 5.000 karakter dan maksimal 7.000 karakter ini. Oh, hati saya bahagia.

Ia, tertawa senang saya kira saat menulis sms panjang itu. Namun, ia lalu dengan sangat serius membeberkan sesuatu yang sudah lama mengendap dalam hati dan benaknya. Dan, ini tulisan balasan sms panjang Zelfeni.

“Wuahahaha. Sriti memang piawai mempertemukan, sekaligus memperseterukan kita. Ini memang harus terjadi. Ketersambungan kita akan menjadi bentuk baru dari kritik sastra. Para penulis mensinergikan diri mereka. Maka akan lahir tenaga yang luar biasa, yang diharapkan mampu memeluk pembaca dan realitasnya.

Inilah kerinduan saya selama 10 tahun pertama kepenulisan saya di Indonesia yang ironis ini. Saya rindu pada suasana khidmat yang bebas dari kepanikan-kepanikan masif akibat kecepatan perubahan yang dikondisikan sedemikian rupa. Kerinduan tersebut ingin saya tular-salurkan melalui sastra.

Sebab, media lain sudah terinfeksi virus-virus yang mematikan kemanusiaan. Lihatlah media hukum dan politik kita. Minta ampun!

Kalau ternyata, sastra juga terinfeksi, kita bisa menyembuhkannya dengan menjaringkan sebuah cita-cita bersama. Kebersamaan, antivirus paling aman.

Maafkanlah saya, yang baru saja saya ceritakan berada jauh di luar diri saya. Yang ada dalam diri saya hanya pertanyaan-pertanyaan. Sangat banyak. Rumit saya untuk memaparkannya. Saya cuplik sebuah pertanyaan dari dalam diri saya: Selain menyelamatkan lambung dari kelaparan, apalagi yang saya perjuangkan dari menulis? Kampung halamankah? Budayakah? Agamakah? Kemanusiaankah? Atau tulisan hanya pelarian dari kesepian?

Nah, rumit kan? Pertanyaan ini akan terus berangkai dan tak akan pernah habis.

Jadi, Bamby yang baik, tulislah tulisan tentang penulis ini. Terserahmu. Biodataku ada di beberapa situs. Yang jelas, aku anak petani yang bahagia. Sekarang tengah menyelesaikan Studi Pascasarjana di IAIN Imam Bonjol Padang, konsentrasi syari’ah. Terima kasih.”

Sms balasan itu mebuat saya berpikir dan makin penasaran dengan cerpenis Zefeni Wimra ini. Ada semangat yang membara dan idealisme dari Zelfeni yang tiba-tiba menjadi aura positif bagi saya. Ya, bagi saya pribadi. Ijinkan saya menuliskan lanjutan artikel ini. Walau agak panjang.

***
Tanggal 26 November 2009 siang telah lewat, sore belum terlampaui. Melalui sms, saya katakan bahwa saya akan menelepon Zelfeni. Ia langsung membalas sms saya. Silakan, katanya. Saya ingin melakukan sedikit wawancara langsung dengan cerpenis yang karya-karyanya telah tersebar di mana-mana. Saya ingin tahu suaranya dan bahana tawanya yang saya rasakan dari smsnya tempo lalu.

Stop! Nanti dulu, sabar ya. Sebelum saya beberkan hasil wawancara saya tentang proses kreatif Zelfeni Wimra kepada Anda, pembaca yang budiman, ada baiknya simak dulu bio data ringkas cerpenis sekaligus penyair kita ini.

ZELFENI WIMRA (terus terang saya agak kesulitan mengejanya atau menyebutnya tanpa teks), lahir di Sungai Naniang 26 Oktober 1979, Bukit Barisan, Limo Puluah Koto, Sumatera Barat, dari sepasang petani: Yunizar Imam Bosar dan Helmi Wirda.

Karya tulisnya telah dipublikasikan berbagai media cetak. Setelah memenangkan beberapa lomba, puisi dan cerpennya mulai bermunculan dalam sejumlah buku antologi, di antaranya: Batarak, Kumpulan Puisi T-IB Padang: 2000; Narasi 34 Jam, Antologi Puisi Antikekerasan KSI Award, Jakarta: 2001; Sebelas, Antologi Cerpen Sumatera Barat 2002, DKSB: 2002; la belle noiseuse, Kumpulan Puisi T-IB, Padang: 2004; Sumatera Disastra, Antologi Puisi Forum Penyair Muda Empat Kota Indonesia, Pustaka Pujangga, Jatim: 2007; Jalan Menikung ke Bukit Timah, Antologi Cerpen Temu Sastrawan Indonesia, Bangka Belitung: 2009.

Cerpennya, Bila Jumin Tersenyum, masuk 20 Cerpen Terbaik Indonesia 2009, nominasi peraih Anugerah Sastra Pena Kencana 2009. Pengantin Subuh adalah Kumpulan Cerpen tunggalnya yang pertama, diterbikan Lingkar Pena Publishing, 2008. Dan, Kumpulan Cerpen Pengantin Subuh, masuk dalam 8 Finalis Penulis Muda Berbakat Terbaik Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2009.

Baiklah, saya lanjutkan. Perjalanan menulis Zelfeni Wimra, menurut saya banyak tikungan, tidak mulus, kadang-kadang meriah dan lebih sering sepi. Akan tetapi, dalam pandangan saya, ia termasuk penulis yang produktif dan memiliki idealisme dalam memajukan dunia sastra Indonesia.

Anda mungkin akan mencari-cari alasan, ketika ditanya, kenapa Anda menulis? Bagi Zelfeni, tidak ada alasan. Menulis adalah ekspresi bersyukur kepada Tuhan. Sungguh jawaban di luar dugaan saya. Lalu saya kejar, kenapa begitu? Maka dengan suara beratnya, ia membicarakan tentang imajinasi, imajinasi adalah kekuatan yang luar biasa dalam tahapan kehidupan manusia yang diciptakan Tuhan. Tanpa imajinasi dunia akan kosong.

Merinding saya dibuatnya. Lalu kapan Anda mulai menulis? Alamak jan! (meminjam istilah yang sering digunakan dalam cerpen-cerpen Benny Arnas). Ternyata, Zelfeni telah memulainya sejak tahun 1999. Ia pun bercerita tentang cerpen pertamanya yang dimuat di media Mimbar Minang dengan judul Pelaminan.

Maka sejak saat itulah, jalan kepenulisannya terbentang. Zelfeni mengakui, bahwa ia menulis setelah mendapat ide-ide. Lalu dari mana idemu itu muncul? Tanya saya. Biasanya ia akan jalan-jalan ke kampung-kampung, ke tempat-tempat di mana kebanyakan orang jarang mengunjunginya, misalnya tempat-tempat bersejarah, seperti Kerajaan Indrajaya. Di situ, ia bisa menangkap suasana masa lalu.

Lalu apa yang Anda lakukan, apabila tiba-tiba kehabisan ide, selain jalan-jalan? Oh lala, ternyata ia main volley dan sepak bola. Penulis harus sehat, oleh karena itu, olahraga menjadi alternatif apabila tak ada ide untuk menulis.

Lantas, kami ngobrol ngalor-ngidul. Sambil sesekali tertawa terkikik-kikik. So, saya lanjutkan pertanyaan. Beberapa cerpenmu yang saya baca, sangat kental nuansa lokalitasnya, ada alasan tertentu? Dengan diplomatis Zelfeni menjawab, tulislah sesuatu yang dekat dan kamu sangat ketahui.

Kami pun berbicara hal-hal lain, bahkan ada pembicaraan yang kategorinya off the record (tentunya pembaca yang budiman tak perlu tahu, cukup saya dan Zelfeni saja yang tahu).

Akhirnya, karena masalah pulsa telepon, wawancara tentu harus diakhiri. Maka, saya tanya ia dengan pertanyaan standar namun membuat saya terperangah dan semakin yakin, saya sedang berbicara dengan seorang sastrawan muda dan seseorang yang memiliki idealisme dalam dunia menulis.

Apa harapan Anda ke depan?

Saya ingin mengajak teman-teman sastrawan, mungkin lebih tepatnya memprovokasi teman-teman, agar sastrawan harus mempererat diri, membuat kesatuan, merapatkan diri dalam sebuah aliansi, misalnya. Agar sastrawan bisa dihargai lebih tinggi di pasar. Juga aliansi itu, secara profesional membela kepentingan penulis/sastrawan ketika ia dirugikan di pasar. Atau sastrawan tetap kerja sendiri, dengan kondisi seperti saat ini.

Lantas kami menutup pembicaraan, saya meletakkan gagang telepon pada tempatnya. Tetapi, ada sesuatu yang tiba-tiba menggantung dalam nurani saya. Oh, betapa mulianya cita-cita seorang Zelfeni Wimra. Idealisme itu membuncah, singgah di hati saya.

Saya kembali larut dalam pekerjaan saya. “One Big Mac, please!”***

Jakarta, 2 Desember 2009

Tidak ada komentar: