Meresensi Dengan Cara Bercerita Karena Tujuannya Bukan Agar Kalian Nonton
Oleh: Bamby Cahyadi
Film ini saya resensi, karena 12 Years A Slave sangat menyentuh
hati. Bahkan ketika menonton filmnya, hati saya bagai tersayat sembilu yang
paling tajam di dunia. Kekejaman, kebrutalan dan sadisme yang disuguhkan dalam
film ini membuat saya enggan memalingkan bahkan mengedipkan mata dari layar
bioskop, apalagi beranjak dari bangku empuk bioskop dengan pendingin ruangan
yang sejuk. Film ini menteror nurani saya dan menjadikannya semacam dokumentasi
sejarah yang paling jujur dan berani tentang sekelumit peradaban kelam manusia
di muka bumi, terutama di Amerika Serikat sesaat sebelum Perang Sipil terjadi.
Pun film ini baru saja menyabet penghargaan bergengsi Piala Oscar tahun 2014
sebagai film terbaik.
12 Years A Slave merupakan
film Inggris Amerika bergenre drama epik sejarah, yang dirilis pada tahun 2013. Film ini merupakan adaptasi dari kisah nyata Solomon Northup, seorang negro kelahiran New York yang diculik di Washington D.C pada
tahun 1841 untuk dijual sebagai seorang budak belian. Ia bekerja di sebuah perkebunan di negara bagian Louisiana selama
dua belas tahun sebelum ia dibebaskan. Edisi ilmiah dari Northup's Memoir,
pertama kali diedit pada tahun 1968 oleh Sue Eakin and Joseph Logsdon dengan sangat cermat dan hati-hati. Mereka
menelusuri dan memvalidasi memoar tersebut sebelum meyakini memoar tersebut
benar-benar akurat.
Ini adalah film ketiga karya Steve McQueen yang ditulis oleh John Ridley. Chiwetel
Ejiofor sebagai pemeran utama Northup. Sedangkan
Michael Fassbender, Benedict
Cumberbatch, Paul Dano, Paul
Giamatti, Lupita Nyong'o, Sarah Paulson, Brad Pitt dan Alfre
Woodardfeatured membintangi film
ini sebagai pemeran pembantu. Seperti kita ketahui, Lupita
Nyong’o pun meraih penghargaan Osacar sebagai Pemeran Pembantu Terbaik 2014. Pengambilan gambar film ini berlokasi di New Orleans, Louisiana, dari tanggal 27 Juni sampai 13 Agustus 2012, dengan biaya
produksi sebesar $ 20 juta. Lokasi syuting yang digunakan adalah empat perkebunan yang bersejarah: Felicity, Magnolia, Bocage, dan Destrehan. Dari keempatnya, Magnolia merupakan perkebunan yang nyata
dimana Northup pernah bekerja sebagai budak di situ. Film ini juga meraih Writing Adapted Screenplay
pada ajang bergengsi Oscar 2014.
12 Years a Slave menuai
pujian dan kritik seiring dengan dirilisnya film ini pada tahun 2013, dan masuk kategori film terbaik oleh
beberapa media. Pada tahun
2014 film ini dianugerahi the Golden Globe
Award untuk kategori Best Motion Picture
– Drama, dan memperoleh Sembilan nominasi Academy
Award yang meliputi Best Picture, Best Director for
McQueen, Best Actor for
Ejiofor,Best
Supporting Actor for Fassbender, dan Best
Supporting Actress for Nyong'o. The British
Academy of Film and Television Arts (BAFTA) mengakui
film ini sebagai film terbaik pada bulan
Februari 2014, dengan Ejiofor sebagai aktor
terbaik, dan memenangkan BAFTA. Film ini pada bulan November 2013 silam sempat diputar pada
ajang bergengsi Jakarta International Film Festival (JiFFest) 2013 di Jakarta.
Cerita Pedih dari Perkebunan
Pada tahun 1841, Solomon Northup (Chiwetel Ejiofor) adalah seorang warga negara kulit hitam yang bebas dan
mendapat privilese yang hampir sama dengan orang kulit putih. Ia bekerja sebagai
tukang kayu, sekaligus pemain biola yang andal. Ia hidup bahagia bersama istri
dan kedua anaknya di Saratoga, New York. Lalu pada suatu hari datanglah dua orang lelaki (Scoot McNairy dan Taran Killam) menawarinya
pekerjaan selama dua minggu sebagai musisi di sebuah sirkus keliling. Namun
mereka malah membius Northup, merantainya, dan akhirnya menjualnya ke
perdagangan manusia (perbudakan). Ketika itu berubahlah kehidupan bahagia
Northup.
Northup dikirim ke New
Orleans, namanya pun diganti
menjadi "Platt", sebuah
identitas baru dirinya sebagai budak yang berasal dari Georgia. Ia sempat
protes dan mengatakan bahwa ia manusia bebas. Namun tak ada yang peduli. Ia
malah disekap di ruang bawah tanah. Dalam penyekapan, ia dipukuli berulang kali, lalu ia dijual ke kalangan atas yang
tidak berperasaan. Seorang
penjual budak Theophilus Freeman (Paul Giamatti) lantas menjualnya kepada seorang pemilik
perkebunan William Prince Ford (Benedict Cumberbatch). Saat bekerja di perkebunan kayu milik Ford, Northup berusaha mengatur dan menjaga hubungan baik dengan Ford. Karena Ford merupakan seorang tuan yang baik. Northup dan
budak-budak lainnya bertugas menebang dan membawa kayu-kayu gelondongan ke
sebuah tempat. Atas ide Northup gelondangan kayu tersebut tidak diangkut lewat
jalur darat namun menggunakan jalur air atau sungai untuk mengangkut kayu
secara cepat dan efektif. Berkat ide cemerlang itu, Ford menghadiahkannya sebuah
biola. Seorang pengawas para budak, John Tibeats (Paul Dano) sangat membenci Northup. Ia mulai melecehkannya secara verbal
dan memberikan perintah yang tak boleh ditentang oleh Northup.
Ketegangan antara Tibeats dan Northup semakin menjadi-jadi. Tibeats menyerang Northup, dan Northup melawan balik, terjadilah perkelahian. Perkelahian dimenangi oleh Northup.
Sebagai bentuk balas dendam, Tibeats dan teman-temannya akan mengeksekusi mati Northup
tanpa proses pengadilan dengan cara menggantungnya dengan tali. Namun usaha
mereka digagalkan oleh seorang mandor perkebunan kepercayaan Ford. Akan tetapi
mandor tersebut membiarkan Northup menderita dalam kondisi setengah tergantung.
Tali gantungan Northup akhirnya dilepaskan oleh Ford. Ford kemudian membawa
Northup ke rumahnya. Ford menjelaskan bahwa Tibeats dan teman-temannya pasti
menginginkan nyawa Northup. Ford saat itu dihadapkan pada situasi dilematis.
Ford menjelaskan supaya nyawa Northup selamat, ia harus menjual Northup kepada
Edward Epps (Michael Fassbender). Northup berupaya menjelaskan
kepada Ford, bahwa sesungguhnya ia adalah
manusia bebas. Namun Ford bersikeras berpura-pura tak mengetahui tentang status Northup yang
semula manusia bebas. Ia bahkan menjawab, “Saya mempunyai hutang yang harus
saya bayar!” Maka Northup pun dijual kepada seorang pemilik perkebunan kapas
bernama Epps.
Majikan baru Northup mempunyai perilaku bengis. Ia gemar
menyiksa budak-budaknya. Epps percaya bahwa ia berhak menyiksa budak yang mendapat
sanksi dari alkitab dan mendukung para budak untuk menerima takdir mereka dan
hukuman bagi mereka. Epps sering membacakan ayat-ayat dari al-kitab secara
berkala bagi para budaknya. Epps juga
mengharuskan setiap budak untuk menghasilkan sedikitnya 200 pon kapas setiap hari, kalau tidak, mereka akan dihukum. Seorang budak perempuan yang masih muda, bernama Patsey (Lupita Nyong'o) mampu menghasilkan lebih
dari 500 pon dan dihargai secara berlebihan oleh
Epps. Karena Epps terlalu menyanjung Patsey, maka istrinya (Sarah
Paulson) menjadi cemburu terhadap
perhatian yang diberikan suaminya kepada Patsey sehingga dengan kejam ia kerap
menyiksa gadis itu pada setiap kesempatan. Terlebih setelah Epps
terang-terangan menyatakan ia lebih memilih Patsey, jika terpaksa, ketimbang
istrinya. Epps berulang kali menggagahi Patsey saat berahi lelaki itu terbakar.
Patsey pun sangat tersiksa dengan perlakukan Epps terhadap dirinya. Derita
batin dan fisik yang menderanya membuat Patsey nyaris putus asa dan memohon
bantuan Northup untuk mengakhiri hidupnya, namun Northup menolaknya.
Suatu ketika perkebunan kapas milik Epps diserang wabah.
Paska perkebunan diserang wabah serangga kapas, Epps mengatakan bencana ini
memang dikirim Tuhan akibat ulah para budak-budaknya yang tak tahu diri. Ia pun menyewakan budak-budaknya untuk bekerja di perkebunan tebu (gula) sampai sisa musim paceklik
kapas berakhir. Selama bekerja di perkebunan tebu, Northup merasakan kebaikan sang pemilik perkebunan, yang
membiarkan dirinya bermain biola di sebuah resepsi pernikahan dan menyimpan
uang hasil bekerja.
Ketika Northup kembali ke perkebunan Epps, ia berupaya
menggunakan uangnya untuk membayar mantan pengawas (Garret
Dillahunt) untuk kirim surat tulisan
Northup yang ditujukan kepada teman-teman Northup di New York. Mantan mandor
yang kini menjadi budak berkulit putih pun setuju untuk mengirimkan surat-surat tersebut, dan menerima
uang yang ditawarkan. Ternyata ia mengkhianati Northup. Ia
melapor perihal Northup menulis dan akan mengirimkan surat kepada Epps. Northup bersusah-payah meyakinkan Epps bahwa cerita itu bohong. Dan Epps percaya, karena alasan Northup cukup masuk akal,
“Saya hanya seorang budak, tak bisa menulis dan membaca. Dari mana saya
memperoleh kertas dan tinta untuk menulis?” Setelah itu Northup membakar
surat-suratnya yang ia telah tulis dengan susah-payah. Surat yang merupakan harapan
satu-satunya untuk bebas musnah, ia sangat sedih.
Suatu hari, Epps murka, ia marah besar ketika mengetahui Patsey hilang dari perkebunan. Saat ia kembali, Patsey mengaku
pergi untuk mengambil sabun di perkebunan sebelah, karena istri Epps tidak
pernah memberikannya sabun hanya untuk sekadar membersihkan
dirinya saat mandi. Epps memerintahkan Patsey melucuti bajunya, lantas kemudian diikat pada sebuah tiang
kayu. Tindakan menghukum cambuk
terhadap Patsey sangat didukung oleh istri Epps. Akan tetapi Epps tidak tega untuk mencambuk Patsey dengan tangannya sendiri,
ia pun memaksa Northup untuk mencambuk Patsey.
Northup dengan terpaksa menuruti perintah majikannya
tersebut. Karena merasa tak tega
Northup mencambuk Patsey setengah hati dan pelan. Karena itu Epps berang,
akhirnya Northup mencambuk Patsey dengan sangat keras. Melihat Nothup mampu
mencambuk Patsey dengan keras, Epps mengambil alih cambuk dari tangan Northup dan
melanjutkan mencambuk Patsey dengan kejam hingga serpihan daging dan cucuran darah
Patsey bercambur di atas tali cambuk. Punggung Patsey hancur lebur akibat
cambukan beringas Epps, Patsey pun terkulai pingsan.
Saat Patsey pulih, Northup mulai bekerja di sebuah konstruksi gazebo dengan seorang tukang kayu asal Kanada bernama Bass (Brad Pitt). Bass terang-terangan
menyampaikan ketidaksenangan terhadap Epps atas perlakuan kejam Epps terhadap budak-budaknya. Bass
mengekspresikan dirinya bahwa ia melakukan perjuangan anti perbudakan. Hal ini didengar
oleh Northup. Dan memicu keyakinan Northup bahwa Bass adalah orang yang tepat untuk
menceritakan tentang riwayat hidupnya sesungguhnya. Northup pun bercerita
kepada Bass tentang penculikannya. Sekali lagi, Northup mencoba mencari
pertolongan melalui Bass dengan mengirimkan surat ke Saratoga. Awalnya Bass
menolak, dengan alasan berisiko terhadap keselamatan dirinya sendiri, namun
akhirnya ia setuju untuk mengirimkan surat-surat tersebut demi kemanusiaan dan
perjuangan terhadap penghapusan perbudakan.
Northup pun dipanggil oleh sherif setempat, yang datang menggunakan kereta kuda bersama
seorang lelaki. Sherif
menanyakan serangkaian pertanyaan
investigasi kepada Northup untuk
mencocokkan dengan sejumlah fakta yang terjadi di kehidupan kota New York. Northup mengenali
teman sherif sebagai seorang penjaga toko yang ia kenal baik dari Saratoga. Lelaki ini memang datang untuk membebaskannya. Lalu keduanya berpelukan dalam suasana penuh keharuan. Epps menolak pembebasan itu. Patsey
pun merasa bingung dengan situasi pembebasan itu. Northup bergegas pergi
meninggalkan perkebunan dan tidak memberikan
Patsey pelukan terakhir. Setelah diperbudak selama 12 tahun, Northup kembali menjadi
manusia bebas dan berkumpul kembali dengan keluarganya.
Film ini ditutup dengan catatan yang berisikan informasi
bahwa Northup membawa orang-orang yang bertanggung jawab atas penculikan
dirinya ke pengadilan namun tidak berhasil menjerat mereka dengan hukuman yang
setimpal. Pada tahun 1853, Northup mempublikasikan bukunya, Twelve
Years a Slave yang kemudian menjadi judul film pemenang Piala Oscar 2014
ini.***
Jakarta, 5
Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar