Cerpen ini dimuat di Harian GLOBAL Medan, edisi hari Sabtu tanggal 29 Agustus 2009:
KARYAWAN TUA
Oleh: Bamby Cahyadi
KARYAWAN tua itu terlihat lebih rapi. Kemeja warna putih membalut tubuhnya. Dasi warna biru muda terikat di lehernya. Dengan pantalon hitam, karyawan tua itu terlihat sedikit lebih muda. Ia sangat bersemangat hari ini. Sejak masuk kantor, tadi pagi, wajahnya memantulkan binar-binar keriangan. Ia menyalakan komputer di meja kerjanya, sembari menyeruput kopi yang sudah ada di genggamannya sejak tadi. Rupanya ia menyempatkan diri mampir ke kedai kopi Starbucks di ujung utara kantor. Minuman pembuka hari yang jitu di musim dingin seperti ini.
Aku dengar dari beberapa orang yang bekerja di kantor ini, seminggu lagi ia akan pensiun. Aku tidak terlalu mengenal karyawan tua itu, baru seminggu aku bekerja di sini. Sebenarnya, mejaku dan meja karyawan tua itu hanya disekat sebuah kaca tembus pandang. Namun, karena aku dan ia berbeda departemen, aku merasa tidak perlu berbasa-basi dengannya. Atau mengenalnya lebih jauh. Lagi pula, sebentar lagi ia akan pensiun.
Orang-orang di kantor memanggilnya Pak Bijak, karena tutur bahasanya selalu bijak. Keriput di wajahnya pun menyiratkan ia memang sudah berumur. Rambutnya tidak hitam, juga tidak putih. Warnanya kelabu. Seorang teman yang lebih lama bekerja di kantor ini mengatakan ia telah memiliki enam orang cucu. Tiga laki-laki dan tiga perempuan, dari tiga orang anaknya yang semuanya perempuan. Tapi mereka sendiri belum pernah bertemu dengan istri, anak, dan cucu-cucunya sekali pun.
Karyawan tua itu menerima telepon pertama. Aku perhatikan ia selalu mengangkat telepon pada dering pertama, sebelum dering kedua berbunyi. Ia tidak suka suara berisik. Apalagi dering telepon. Karena itu, cukup sekali dering telepon singgah di kupingnya. Apabila ada karyawan lain yang malas mengangkat telepon, maka ia dengan senang hati akan segera mengangkat telepon dan menjawab salam perdana.
Begitu juga dalam urusan kebersihan area kerja di kantor. Karyawan tua itu sangat resik, tidak boleh ada sampah yang terserak di mejanya atau di meja-meja karyawan lain. Apabila ada sampah kertas sekecil pasir sekalipun, maka dengan sangat telaten ia akan memungutinya satu persatu. Bahkan, ia selalu siap dengan sebuah kain pembersih untuk membereskan debu-debu yang menempel di permukaan meja, kursi, dan komputer.
Aku lihat ia selesai menerima telepon.
Ia kembali menyeruput kopinya hingga habis, lalu sibuk dengan file-file yang tertata rapi di samping komputernya. Sesekali diturunkannya kaca mata baca hingga bertengger di ujung hidungnya. Setelah itu, ia mengetik. Berhenti sejenak, menelepon seseorang entah siapa di seberang sana. Lalu, kembali berkutat dengan keyboard dan monitor komputer, melanjutkan ketikan hingga jam makan siang berdentang.
Aku melenguh, meregangkan badan dan mematikan komputer. Sejenak aku meminum air dalam kemasan yang tersedia di atas meja, lalu mengenakan mantel yang tergantung di kursi.
Ah, betapa tidak produktifnya aku hari ini. Sampai menjelang siang, aku hanya memerhatikan karyawan tua di balik sekat bening kaca di depanku. Beberapa laporan keuangan yang seharusnya telah selesai sebelum jam duabelas, menjadi hutangku selepas makan siang nanti.
Aku sendirian berjalan menuju lift. Karyawan yang lain lebih dahulu berebutan turun untuk makan siang di kantin atau pinggiran jalan di selatan kantor. Mungkin juga di restoran berkelas di food court basement. Sekilas aku lihat, ada juga yang masih tinggal di meja kerjanya, membuka bekal makanan yang telah disiapkan dari rumah. Cukup efisien dalam situasi krisis ekonomi global saat ini.
Di dalam lift, aku bertemu karyawan tua itu. Ia sedang mengenakan jas tebal hangat. Nama lengkapnya Kevin Nelson, seperti yang tertera di name tag-nya. Aku menganggukkan kepala, seraya tersenyum kepadanya. Sudah selayaknya aku menghormatinya. Selain aku masih karyawan baru, ia juga dengan sopan mulai bertanya padaku.
“Karyawan baru?” tanyanya.
“Ya, hari ini tepat seminggu,” jawabku.
Tak lama berselang, pintu lift terbuka. Kami sudah berada di lantai dasar. Karyawan tua itu mempersilakan aku keluar duluan.
“Maaf, Anda mau makan di mana?” tanyanya lagi, begitu santun.
“Ah, saya belum punya rencana. Anda ada ide?”
Terus terang, aku belum punya rencana makan siang di mana dan mau makan apa. Selama seminggu di kantor ini, setiap hari aku makan di restoran Jepang yang terletak di areal food court
.
“Bagaimana kalau ikut saya?”
“Anda mau makan di mana?” tanyaku.
“Nanti Anda akan tahu!” katanya bersemangat. “Maaf, nama saya Nelson, Kevin Nelson. Di kantor ini, orang-orang memanggil saya Pak Bijak. Mungkin Anda sudah tahu?” karyawan tua itu terkekeh.
Aku mengulum senyum. “Nama saya Tamara.”
Pak Nelson dengan tersenyum ramah dan sedikit membungkuk, menyalamiku.
Aku membalas uluran tangannya.
“So, saya berniat mentraktir Anda makan siang hari ini,” ujarnya sambil menyebutkan sebuah nama restoran India yang cukup mahal dan ternama.
Kami berjalan menuju restoran itu, beberapa blok dari perkantoran kami.
Aku memesan masakan paling khas di restoran itu, mengikuti saran Pak Nelson. Sambil menunggu menu makanan masak dan tersaji, kami bercakap-cakap dari persoalan umum di kantor, situasi perekonomian hingga akhirnya ia bercerita tentang masa pensiunnya yang tinggal menghitung hari.
Matanya selalu berbinar. Begitu hidup. Tapi tidak setelah aku menanyakan apa yang hendak dilakukannya pada masa pensiun.
“Entah apa yang bisa saya lakukan saat pensiun nanti?” katanya. Seolah bertanya pada dirinya sendiri, binar di matanya meredup.
Aku merasa bersalah. ”Maaf.”
Karyawan tua itu menggelengkan kepala. ”Tidak apa-apa.”
Matanya mengerjap, menahan air mata.
“Saya rasa Anda akan punya banyak waktu untuk bercengkerama dengan anak-cucu,” jawabku spontan.
Sebelum ia menarik napas untuk berkata lebih lanjut, seorang pelayan restoran dengan sigap meletakkan menu makan siang kami di atas meja.
“Kita makan dulu, silakan!” ujar Pak Nelson.
“Hmm, makanan yang lezat!” gumamku.
Selesai makan siang, Pak Nelson tidak banyak bicara, tidak seperti waktu kami sedang menunggu menu makan siang tadi tersaji.
Ia lebih banyak diam.
Aku tidak mengerti perasaan seperti apa yang sedang melanda karyawan tua itu.
Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih atas makan siang yang ganjil itu.
***
Sehari kemudian, San Francisco menularkan hawa dingin. Menusuk pori-pori kulit. Menelusup ke sumsum tulang. Di balik sekat kaca bening, aku lihat kepala karyawan tua itu terkulai di atas meja, di samping komputernya. Matanya terbelalak. Kepalanya rengkah, mengeluarkan darah. Sebuah pistol masih tergenggam di tangannya. Ujung pistol itu masih mengepulkan asap. Bau sisa mesiu menyeruak di udara. Hawa kematian menebar ke segala arah.
Ia benar-benar diam, benar-benar pensiun.
Malam itu, ketika polisi mengantarkan jenazah ke rumah karyawan tua itu, polisi tidak menemukan siapa-siapa. Rumahnya lengang. Polisi hanya menemukan 10 manekin. Empat manekin perempuan dewasa, tiga manekin anak kecil perempuan dan tiga manekin anak kecil laki-laki. Semuanya berpakaian rapi dengan warna senada dan sangat bersih.
Dinding rumahnya dipenuh pigura berisi foto-foto semua pegawai kantorku. Di pigura foto yang masih baru, ada fotoku sedang menatapnya.
Tidak ada sesiapa di rumah itu.
Tidak ada keriangan sebuah keluarga. Tidak ada seorang istri seperti pernah diceritakan teman-teman kerjaku. Tidak ada tiga anak perempuan. Tidak ada tiga pasang cucu.
Hanya ada 10 boneka manekin.
Dan pigura berisi foto-foto.
Di luar, halimun tebal memeluk seluruh kota, merengkuh jembatan Golden Gate yang angkuh, sampai pagi tiba kembali.***
| Jakarta | 30 November 2008 | 23.55 WIB |