Minggu, 31 Agustus 2014

Cerpen ACTA EST FABULA

ACTA EST FABULA



Seekor kecoa berputar-putar di antara kaki kursi dan meja selama beberapa saat di ruangan sempit layaknya toilet tanpa penyejuk udara ini. Seolah kecoa itu sedang bermain petak umpet, takut ketahuan oleh kaki manusia. Sebuah pemandangan yang ganjil bagiku disaat hendak menulis cerita.

Ruang ini sempit, walaupun ada jendela yang terbuka lebar mengarah ke taman kecil di pekarangan. Hanya terdapat dua kursi dan satu meja terbuat dari kayu sederhana. Di meja itu tersedia sebuah laptop dan segelas kopi. Aku menduduki salah satu kursi itu dan menimbulkan suara berderit yang berisik.

Kecoa itu terkejut. Sayap kecoa itu tampak bergetar lalu ia terbang hinggap di lenganku. Lenganku gempal dan berbulu, aku mengibaskan lenganku mengusir kecoa yang hinggap itu. Kecoa itu menggoyangkan sayapnya, hendak menolakkan kaki-kakinya untuk melayang terbang. Namun kibasan lenganku yang gempal lebih keras dan mengentak.

Kecoa itu terlempar menampar dinding lantas jatuh terkulai di lantai. Baru saja kecoa itu tampak bergeliat bergerak untuk lari menyelamatkan diri, aku keburu menghajarnya. Kuinjak tubuh kecoa malang itu dengan telapak sepatuku hingga pecah. Kecoa tak berdaya itu jelas saja mati dengan tubuh hancur menjijikan.

Insiden kecoa pun berlalu tanpa kesan, seolah hanya sekadar pemain figuran sinetron kejar-tayang yang melintas di layar kaca. Aku pun mulai menulis.

Sebagai penulis cerita, tentu keinginan terbesarku saat mengarang cerita kemudian kutulis menjadi rangkaian kata-kata, menjelma kalimat, lalu jadi paragraf-paragraf lantas menjadi sebuah karya tulis yang utuh sebagai cerita pendek, yaitu dibaca oleh pembaca. Suatu keinginan yang wajar dan sangat lazim tentunya.

Masalahnya, aku selalu berharap seseorang yang membaca ceritaku itu percaya bahwa kisah-kisah imajinatif yang kubangun dengan susah-payah menjadi kisah fantastik di benak mereka. Aku selalu ingin menceritakan senarai kejadian-kejadian biasa dan sederhana pada dunia menjadi sesuatu yang luar biasa. Hal itu malah memicuku menjadi tidak produktif menulis. Akibat terlalu banyak berpikir. Berselancar di dunia maya dan berinteraksi di sosial media pun membunuh kreativitasku.

            Sejatinya sebagai pencerita, aku selalu melakukannya dengan cara yang terang benderang, jelas, lugas dan tanpa komentar. Aku tak mau mencoba bercerita yang membuat seseorang merasa tersiksa membaca cerpenku. Apalagi ia merasa diintimidasi dengan liukan kata-kata yang membuat ia berhenti membaca karena tak sanggup menulis cerita serupa gayaku. Atau bahkan hanya sekadar menuturkan ulang.

Tadi kukatakan, aku bercerita tanpa komentar. Tersebab, kejadian-kejadian yang terjadi dan diceritakan di dunia ini tak lebih daripada serangkaian hubungan sebab-akibat bersifat alamiah dan ilmiah belaka. Tersebab, tiada hal baru di dunia ini, kecuali kita mengulangnya dengan cara yang lebih kreatif. Maka tak perlu berkomentar soal tema cerita yang kusuguhkan.

Terus terang, aku hampir putus asa. Bahkan mencoba pensiun jadi penulis.

            Hingga pada suatu hari aku bermimpi. Hari itu adalah hari yang indah dan aku sedang berjalan-jalan dengan Franz Kafka. Karena ini mimpi jadi tak perlu kujelaskan bagaimana aku menyimpulkan bahwa sosok yang kutemui dalam mimpi itu Kafka yang oleh Haruki Murakami dijadikan judul sebuah novel karyanya, Dunia Kafka. Sementara Haruki Murakami sendiri, kujadikan cerpen berjudul Dunia Murakami.

            Dalam mimpi walaupun hari ini hari yang indah, namun kami berjalan dengan langkah yang terseok-seok. Selangkah dua langkah yang susah-payah, hingga kami tiba di sebuah pekuburan. Aku tak mengerti suasana di pekuburan ini begitu berangin. Tiupan angin yang dingin sangat cerdas untuk menegaskan bahwa mimpiku ini bernuansa kelam.

            Kami mendekati sebuah gundukan nisan yang masih tampak segar dan kami berhenti tepat di depan gundukan nisan itu.

            “Itu kuburan Marquez,” kata Kafka.

“Maksudmu Gabriel Garcia Marquez?” tanyaku. “Ia tak pernah dikubur, ia dikremasi jadi abu,” sanggahku. Kafka belum menjawab, mimpi keburu selesai.

            Aku lantas teringat akan kematian. Bukan kematianku, tetapi kematian seseorang yang sangat kuharapkan. Narasi ceritanya begini:

            Kamu mati tertimpa atap supermarket yang runtuh. Siapa yang tahu? Kamu suka sekali belanja, suka sekali menjelajahi mal-mal dan supermarket besar di kota ini. Banyak bangunan di kota ini yang dibuat dengan kesalahan desain dan kualitas konstruksi yang jelek. Kamu mungkin tak mati dengan kepala remuk, namun karena kamu terperangkap dan pencarian atas dirimu bergerak lambat, kamu mati kehabisan napas.

Kamu pun bisa mati ketika berkendara dengan mobil keluaran terbaru di atas jalan beraspal yang mulus. Bukan akibat tabrakan beruntun. Tapi lantaran pipa gas negara yang dibenamkan di kedalaman tanah di atas jalan mulus di mana kamu melintas itu tiba-tiba meledak. Pipa gas milik negara di kota ini bisa saja sudah keropos, akibat tekanan yang terlalu tinggi, meledak! Kamu tergolek bersama mobilmu yang hancur. Tubuhmu juga hancur tentunya, seperti kecoa yang baru saja tewas di telapak sepatuku tadi.

Kamu bisa mati di mana saja. Dalam tidur dan mimpiku sekalipun.

Betapa aku sangat menginginkan kematianmu, wahai politikus busuk!

Namun kenyataannya aku yang mati. Menyedihkan sekali bukan?

Kala itu Kuala Lumpur diselimuti kabut asap, kabut asap yang menyerupai halimun di pegunungan berwarna putih serupa asap para perokok di kedai kopi. Meski berkabut aku sempat menyaksikan gemerlap lampu kota bak berlian yang menyeruak di antara celah-celah gelap. Aku jadi ingat cerpen Umar Kayam, Seribu Kunang-kunang di Manhattan.

Aku yakin betul di Kuala Lumpur saat itu berhawa sejuk. Musim hujan yang hijau dan sendu membuat Kuala Lumpur menjadi kelabu. Musim hujan tentu saja menutupi warna merah kekuningan senja di cakrawala. Malam itu pesawat yang kutumpangi dari Kuala Lumpur menuju Beijing meledak menjadi serpihan debu paling kecil di dunia. Bahkan menjadi kesiur angin laut yang lembap tak terdeteksi radar. Mereka mengatakan pesawat itu hilang.

Beberapa hari sebelumnya. Pada hari Kamis, calon menantu kami itu benar-benar datang dan menginap di rumah kami. Seorang perempuan cantik, dan tentu saja orang Amerika asli. Namanya Alexa. Keesokan harinya kami pergi ke pengadilan dan sepuluh menit sesudah membayar biaya nikah, anakku secara resmi sudah beristri dan kami bermenantu.

            Anehnya, istriku yang semula sangat berhasrat agar anak kami menikah, malah terlihat murung. Bagi istriku kejadian itu terlampau aneh, terlalu kosong. Maklumlah tradisi yang sudah berakar dalam hati generasi kami, khususnya orang Indonesia, tak dapat diabaikan begitu saja.

            Melalui telepon, kami beritahukan anak-anak kami yang tersebar ribuan kilometer jauhnya, bahwa kakak mereka sudah menikah hari Jumat lalu. Begitu juga pada sanak-kerabat di tanah air. Anak paling besar kami sudah menikah.

            Dengan terburu-buru, aku dan istriku mengatur pesta kecil di rumah dengan mengundang lima keluarga Indonesia yang bertempat tinggal di daerah kami.

            ”Agar mereka tahu bahwa anak kita menikah secara wajar,” kata istriku sambil mengatur meja makan.

            ”Kenapa kamu bicara seperti itu?” selidikku.

            ”Ah, sudahlah. Mungkin hanya masalah nilai-nilai kewajaran saja yang mengganggu pikiranku,” jawab istriku.

            Aku lantas merenungkan perkataan istriku, sambil memandang ke arah jendela. Di luar rumah salju turun perlahan.

            Nilai apakah yang menentukan kewajaran? Batinku. Pertalian sebagai suami-istri memang sudah disahkan undang-undang, namun bagaimana perasaan kami sebagai orang tua?

            Sewaktu masih berpacaran dengan anak lelaki kami yang terbesar, perempuan bule itu memang sudah diperkenalkan pada kami. Ketika itu ia diundang berlibur tiga hari di rumah kami oleh anakku. Ia seorang Amerika, Texas. Ia guru sekolah dasar. Kedua orang tuanya sudah bercerai ketika ia masih kecil. Menurutnya, ia masih sering berhubungan dengan ibunya, melalui telepon atau bertemu di sebuah tempat. Dengan ayahnya? Ia mengakui kurang tahu di mana ayahnya berada.

            Istriku sempat bertanya pada menantu kami itu, ”Apakah ibumu tahu kamu menikah?”

            Dengan santai menantu kami menjawab, ”Itu kurang penting, nanti kalau aku bertemu dengannya akan kuberi tahu.”

            Sebenarnya banyak pertanyaan yang kami ingin tanyakan dan ingin kami ketahui jawabannya, namun tidak sempat kami tanyakan. Karena mereka, pengantin baru itu, sudah terbang ke Las Vegas, untuk berbulan madu pada hari Minggu.

            Kami hanya bisa bengong, terpukau dan tak percaya dengan apa yang terjadi. Hari Senin anak kami bilang ia akan menikah, hari Kamis calon menantu kami datang ke rumah dan menginap, hari Jumat mereka menikah, hari Minggu mereka pergi meninggalkan kami yang terbengong-bengong. Sungguh ironis apa yang terjadi itu, sekaligus lucu.

            Ya, ironis dan lucu berbaur, tumpang tindih. Karena apa? Karena cerita di atas adalah bagian dari adegan mimpiku yang lain. Dan mimpiku selesai.

Kurasa Anda merasa tertipu dengan ceritaku yang melulu ternyata berupa rangkaian mimpi belaka. Kumohon bacalah sampai selesai.

Debu yang terbawa angin menampar-nampar jendela seolah-olah dilemparkan oleh tangan-tangan yang tak kelihatan. Aku baru saja berangkat lepas fajar dan telah dua jam berjalan kaki dalam pagi yang dingin, merambah dataran lengang berbatu yang memanjang hingga batas cakrawala yang kemerahan.

Angin bertiup sepoi-sepoi dan pucuk padi tertunduk teratur, seperti angin sedang berjalan di atasnya. Katak-katak berbunyi serempak juga kunang-kunang menuju ke tengah sawah. Udara menjadi dingin bukan main. Angin bertiup, menggesekan dahan dan daun pada talang yang bocor.

Tanggal 31 Desember 2014. Pukul 21.15 Wib. Sorak-sorai pun bergemuruh. Di atas ring, Kido Buto, petinju asal Surabaya terjerembab dan tak bangun lagi. Hanya beberapa depa darinya, Robin Bantai, sang Juara, melonjak kegirangan. Ia sesumbar menantang siapa saja yang bersedia melawannya untuk pertandingan berikutnya. Sementara si Petinju yang dipencundangi itu terkulai layu. Ia tak kuasa menatap mata sejumlah penonton yang seolah-olah mencemoohkannya.

Robin Bantai seperti dilahirkan untuk memukul atau dipukul. Ia memang Preman yang dibesarkan di antara tukang pukul di kota Medan. Masa silamnya begitu keras.

Menjelang penggantian tahun 2014 menuju 2015. Pukul 21.15 Wib. Ada seorang tante yang kesepian. Ada seorang mahasiswa yang terombang-ambing, kemudian mencari kedamaian di sebuah tempat pelacuran yang sudah tutup. Ada seorang pemuda baik-baik yang oleh berbagai kemelut akhirnya terperangkap menjadi Gigolo. Ada sepasang makhluk yang terkulai di atas ranjang, lalu larut dalam rasa berdosa yang dalam.

Beberapa jam kemudian. Presiden terpilih melalui pemilu paling pilu di bulan Juli 2014 menyulut kembang api di Monas tepat pada pukul duabelas tengah malam.

Aku menyaksikan itu semua sebagai hantu di ruangan sempit ini. Ingat, ini bukan mimpi. Acta est fabula. Apa yang terjadi adalah sebuah kisah. Aku berada dalam pesawat nahas yang kalian nyatakan hilang itu. Permainan telah berakhir. Kalian masih terus mencari, mencari hingga kalian lupa apa yang kalian cari.***


Keterangan: Acta Est Fabula adalah frasa latin yang berarti Apa yang terjadi adalah sebuah kisah. Bisa pula berarti Permainan/sandiwara (the play) telah berakhir. (Inggris: The play is over)


Bellagio Residence, 30 Juni 2014



Senin, 07 Juli 2014

Gosip atau Fakta

Dari temen di Seknas---> Info : "Bocoran rapat internal timses Prabowo Hatta yg disampaikan BS, wartawan senior koran K yg beredar di kalangan wartawan sgt mengejutkan. Awak jurnalis yg mendengarkan tdk bisa berbuat apa2, sebab kantor mrka sdh kontrak iklan dan kewajiban berita memuat Prabowo. Infonya : 1).. Dana utk serangan fajar terus dikumpulkan dan sdh mencapai 100 T. Si wartawan tsb sampaikan sumbangan terbaru pak Hatta baru cairkan 3 T dari Pak Reza. 2). Serangan fajar akan disusun 3 hari jelang coblosan, logistik sdh hrs sampai di kantong relawan. 3). Utk mengalihkan perhatian serangan fajar, akan dimunculkan berita seolah olah KPU, Bawaslu dll akan curang dan tdk bkrja efektif. 4). Agar serangan fajar mulus, akan dibuat isu rencana rencana penculikan oleh wiranto, lalu di setting seolah olah aparat dan intelejen membiarkan shgg terkesan membela JKW. 5). Utk menambah bobot isu dan keresahan, keluarga korban GAM juga dimunculkan bicara kekejaman TNI 6) Negosiasi pembusukan karakter JKW sdg dilakukan juga kpda sosok timses JKW yg paling berpengaruh dgn imbalan 500 M. Rencana pembusukan prabowo ini akan dibuat sebagai isu yg mencekam dan menggoyahkan kepercayaan masyarakat pd aparat dan kebencian pd jokowi. Waspada politik adu domba penculik. Save Indonesia, Save NKRI." ini info A1 tolong di Share ke teman2 yng lain kususnya Salam 2 jari... segera spya jgn sampai ini terjadi!

sajak-sajak bamby cahyadi

Peperangan itu Ternyata Aku Penyebabnya

Aku diserang gelisah, cemas, takut, kalut dan galau yang ceria
mereka bersekongkol agar hatiku melakukan kudeta jahat pada pikiranku
pertempuran masih berlangsung dan peluru perang berdesingan di pucuk kepala
agar berlangsung singkat kulemparkan saja nuklir pada segerombolan hantu
kulihat mereka terbirit-birit bahkan ada yang tubuhnya musnah dan hampa
aku diserang oleh diriku sendiri rupanya bukan oleh mereka dan kamu

Jakarta, 2011


Ketika Bangun Tidur Otakku Lumer Jadi Tai

Baru saja suara televisi padam setelah berisik sepanjang waktu non stop 24 jam
aku begitu malas hanya sekadar menjerang air dan menjadikannya segelas kopi
kurasa mimpiku belum enyah dari lubang kepala yang masih terpejam
baiklah pagi siang malam tak ada beda bagiku hari telah mati

Di kepalaku yang berlubang itu penuh manusia yang bicaranya berbuih bui
mereka teriak lantang tentang kemiskinan, ketidakadilan, demokrasi dan korupsi
makanya telinganku berdenging-denging jadi pekak dan lantas tuli
aku hanya bisa terpaku tak berkutik ketika otakku kian hari kian lumer jadi tai

Jakarta, 2011


Janji Manusia Sejati Tak Berani Mati

Aku bersekutu dengan malam yang jahanam
bersaksi bahwa tak ada yang lebih durhaka dari subuh
kecuali pada bintangbintang tak pernah terbenam
berzikir pada gelinjangan embun pagi dalam tubuh

Aku bercinta dengan angin
yang mendesir pada urat sahwatku
bercumbu dan memagutnya habis-habisan
sampai batang nafsuku berkeluh kelu

Aku berjanji pada kebohongan yang palsu
akan setia mencintaimu sampai mati
berkata sopansantun menyantetmu dalam kalbu
mendeklarasi kejujuran busuk tanpa dengki

Aku ini manusia sejati
berani memegang janji

Aku ini manusia imitasi
tak berani mati

Jakarta, 2011


Telepon Putus Cinta

Suara dering telepon darimu bagai angin yang berembus
menyelinap pada cuping kuping lantas pada jantungku merembes
ketika kau berkata halo padaku hatiku bagai ditembus virus
virus yang menusuk perlahan pada rasa cinta tak pernah beres


Jakarta, 2013



Bamby Cahyadi, lahir di Manado, 5 Maret 1970. Bergiat di Komunitas Sastra Jakarta (Kosakata). Buku terbarunya, Perempuan Lolipop (Gramedia Pustaka Utama, 2014). Terlibat dalam Kitab Antologi Puisi Jilid 2 Sastra Reboan Cinta Gugat (Pasar Malam Production, 2013)

Cerpen Curhat 2 Generasi #Salam2Jari

CURHAT DUA GENERASI
Oleh: Bamby Cahyadi

Lelaki Tua yang Tak Pernah Puas
Usia saya sudah tak muda lagi, mendekati enam puluh tiga tahun. Seumur hidup saya ini, saya telah mengalami perkawinan sebanyak tiga kali. Perkawinan pertama hanya berlangsung delapan tahun, lantas kandas bagai kapal laut yang karam mencium batu karang.
Perceraian terjadi karena masalah ketidakharmonisan rumah tangga. Biduk pernikahan saya pecah berantakan, akibat rasa tidak puas diri saya. Persoalannya sebenarnya sepele, apalagi pada zaman sekarang tentunya. Ya, istri saya ternyata bukan gadis lagi saat saya menikahinya. Ia bukan perawan! Selama delapan tahun saya mencoba menahan derita batin ini akibat rasa tidak puas padanya.
Namun saya tak berhasil mengatasi perasaan ketidakpuasan itu. Terlebih lagi apabila saya membaca tulisan tentang “perawan” atau teman-teman sekantor bergosip masalah “keperawanan” seorang perempuan, hati saya selalu merasa tersinggung dan teriris.
“Wah, sungguh beruntung si Badu, ia menikah dengan perawan yang masih fresh from the oven,” celetuk sejawat saya saat itu. Hati saya langsung mendidih.
“Pasti seprai ranjangnya penuh dengan titik-titik noda merah,” seru sejawat saya yang lain di seberang meja. Hati saya membara mendengarnya. Panas, panas, panas!
“Kalian jangan menyindirku!” hardik saya, sejawat saya di kantor saling berpandangan dan pecahlah tawa mereka. Begitulah, saya menjadi lelaki yang sangat muda tersinggung.
Tak lama setelah perceraian dengan istri saya yang tak perawan itu, saya tergiur oleh kecantikan seorang perempuan keturunan Arab dan ia berstatus janda. Gayung bersambut, sang janda yang Arab itu mau menikah dengan saya. Perkawinan pun terjadi.
Ah, tapi sungguh menyedihkan. Bahtera rumah tangga bersama perempuan keturunan Arab itu hanya berlangsung dua tahun. Ya, dua tahun! Persoalannya pun cukup memalukan, saya tak mampu mencukupi kebutuhannya secara ekonomi. Istri saya yang Arab itu sungguh doyan belanja dan pelesir.
Dua kali saya berstatus duda dengan menghasilkan empat orang anak. Tiga anak dari istri saya yang tak perawan itu dan seorang anak dari istri saya yang keturunan Arab itu. Semuanya masih kecil-kecil. Tentu saja semuanya ikut ibunya.
Atas tawaran dan petunjuk kedua orang tua saya pada waktu itu, akhirnya saya menikah untuk ketiga kalinya. Saya menikah dengan seorang guru bahasa Inggris berstatus janda dengan dua anak. Sehingga anak saya menjadi enam. Ambisi untuk menikahi perempuan perawan saya paksakan enyah dalam sanubari saya, musnah dalam kehidupan saya. Bukan karena saya menyerah, tapi saya sadar diri  pada saat itu, saya bukan jejaka lagi.
Ternyata dengan sikap menerima kenyataan, tidak berambisi menikahi seorang gadis yang masih perawan, kehidupan rumah tangga saya yang terakhir ini bisa bertahan 24 tahun lamanya. Dari istri saya yang guru berstatus janda dengan dua anak, saya dikaruniai dua orang anak lagi. Sehingga total anak saya ada delapan.
Terus terang, malu sebenarnya saya mau bercerita kondisi saat ini, dalam usia tua seperti sekarang ini, saya sangat haus akan bacaan-bacaan berbau porno, film-film bernapas porno, begitu pula gambar-gambar beraroma porno. Otak saya isinya porno melulu.
Melalui internet saya berhasil melampiaskan hobi berburu sesuatu yang porno-porno. Saya bahkan tahu ada 10 peringkat bintang porno berusia paling muda sedunia. Melihat mereka darah saya bergelegak. Berahi saya morat-marit.
Padahal dalam umur yang setua sekarang ini, saya pun telah berusaha untuk memperkuat iman dengan membaca buku-buku agama, menghadiri berbagai majelis taklim dan mendalami berbagai pengetahuan tentang ajaran-ajaran agama. Tetapi apa daya, semua itu tak mempan.
Rasa tidak puas dalam kehidupan seksual saya benar-benar mengganggu ketenangan jiwa saya. Masalahnya, di saat-saat saya masih ingin mencari kepuasan biologis, istri saya yang berumur 51 tahun itu tampaknya sudah mulai pasif. Sehingga apa pun yang berhubungan dengan hubungan intim pasangan suami istri, inisiatif selalu timbul dari saya.
Pernah saya berterus terang mengemukakan apa yang sebenarnya saya inginkan darinya. Ia mengerti dan bersedia memenuhi apa yang saya minta. Ia minum jamu-jamuan tradisional dan obat herbal dari China agar singset dan libidonya membara. Ia pergi ke salon, totok wajah, totok payudara dan totok vagina. Tetapi itu hanya berlangsung beberapa minggu saja, lalu ia pasif kembali seperti sebatang pohon pisang yang tergolek di atas ranjang.
Oh, bagaimana saya mengatasi rasa tidak puas selagi saya masih mampu melakukan hal itu? Jujur, saya tidak mau meniru hal-hal yang sering dilakukan oleh pejabat atau elite partai di negeri ini, nikah siri. Bagi saya, pernikahan ketiga ini yang terakhir.
Walapun, hal-hal porno selalu menari-nari di benak saya, menggelayuti di kepala saya yang rambutnya sudah tersapu warna kelabu pada setiap helainya dan menancap pada otak saya. Jijik saya menikahi secara siri seorang perempuan muda perawan pula.
Biarlah orang tua tak tahu diri yang lain yang melakukannya. Bukan saya. “Bukan begitu Miyabiku sayang?”
Kepala saya serasa dikangkangi oleh Miyabi yang manis itu. Masih untung Miyabi, bukan sapi. “Ha..ha..ha!” Tawa saya lepas sekali.

Perempuan yang Mencintai Dirinya Sendiri
Saya seorang pelajar berusia 17 tahun, duduk di bangku kelas III SMK. Saya mendapat haid pertama kali pada usia 12 tahun. Waktu itu saya merasa sangat malu, sehingga saya tidak mau memberitahu kepada siapa pun. Termasuk ibu saya.
Namun pada akhirnya ibu saya tahu. Terus terang saya sangat takut waktu masa haid datang pada waktu itu. Ibu saya yang membelikan pembalut wanita di super market.
Pernah suatu kali, pembalut bocor dan menodai pakaian saya yang serba putih (padahal tayangan iklan pembalut tersebut di televisi, katanya anti bocor), sehingga apabila haid datang dan saya harus bepergian saya menjadi sangat gelisah.
Bila pelajaran olahraga tiba, saya sering berpura-pura sedang sakit, saya begitu takut orang lain akan tahu saya sedang haid. Pengalaman saya ini mirip sekali dengan tayangan iklan di televisi, tetapi begitulah faktanya.
Sebenarnya bukan masalah haid ini yang akan saya ceritakan. Begini, saya mempunyai masalah, akhir-akhir ini  saya sering bermimpi bermesraan dengan teman sejenis. Saya sering bermimpi bergumul, bermesraan dan bercinta dengan perempuan. Hal ini membuat hati saya cemas, sekaligus bahagia. Saya sangat menikmati mimpi-mimpi indah tersebut.
Waktu saya masih SMP, saya pernah berteman akrab dengan Irawati. Ia murid baru di sekolah kami, ia baru pulang dari Amerika mengikuti orang tuanya yang diplomat. Irawati lah yang menghampiri saya ketika saya pura-pura sakit karena haid datang. Ia dengan ramah bertanya pada saya, apakah saya baik-baik saja?
Lalu akhirnya saya cerita sebenarnya saya tidak sakit, tapi lagi datang bulan. Irawati lantas tertawa ngakak. Selanjutnya ia menawari saya sebuah pembalut wanita yang ia sering kenakan. Pembalut itu super tipis, berbeda seperti yang ibu saya sering belikan di super market.
“Percayalah, ini dijamin anti bocor,” katanya meyakinkan dan bukan bermaksud beriklan.
Tiba-tiba pertanyaan bodoh meluncur dari bibir saya, “Apakah pembalut setipis ini dapat menghilangkan kegadisan seseorang?”
Irawati kembali tertawa ngakak, “Suatu hal yang jauh dari kenyataan,” katanya setelah tawanya reda. Ada desiran halus yang menggetarkan saraf-saraf saya ketika melihat Irawati tertawa ngakak seperti itu.
Entah mengapa, saya nurut saja ketika Irawati meminta agar saya segera memakai pembalut pemberiannya, ia mengantar saya sampai di depan pintu toilet sekolah. Ia berjaga di depan pintu toilet, dan entah kenapa darah saya semakin berdesir-desir.
Irawati lantas menjadi sahabat saya. Kami semakin akrab. Saya tahu Irawati menyukai saya. Tapi saya tak tahu perasaan suka seperti apa yang menyeruak dari hati saya menyelinap ke hati Irawati, atau sebaliknya.
Saya ingin sekali dipacari Irawati, padahal pada waktu itu ia sudah memberikan sinyal kuat bahwa ia akan memacari saya. Tapi saya tolak dengan halus, terus terang saya takut dosa, saya masih takut pada Tuhan. Yang jelas Irawati pernah mencium bibir saya dengan begitu membara
Lepas SMP, Ira pindah ke Kanada. Ia ikut orang tuanya yang ditugaskan negara. Sekarang Irawati jauh dari saya, dan saya selalu rindu padanya.
Banyak teman laki-laki yang suka terhadap saya, bahkan ada yang terang-terangan mengucapkan kata-kata cinta di kantin sekolah. Entah gombal, entah beneran. Semuanya saya tolak. Jadi saya belum pernah pacaran sama laki-laki.
Saya menjadi tidak suka laki-laki. Padahal saya ingin sekali bisa mencintai laki-laki. Lantas melupakan Irawati yang lesbian. Tapi saya mencintai Irawati, saya menyukai perempuan, serupa saya mencintai diri saya sendiri.
“Hai, peluklah saya, saya sangat menginginkannya. Peluklah saya dengan mesra”. Tulis saya di penghabisan halaman catatan harian. ***

Catatan: Kalau ada kesamaan curhat dengan cerpen ini, yang pasti itu bukan plagiat

Jakarta, 30 Mei 2013

Minggu, 25 Mei 2014

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

Setelah menanti kurang lebih 2 bulan, akhirnya novel " Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" karya Eka Kurniawan telah tersedia di Toko Buku Gramedia. Saya membeli novel ini di Gramedia Ambassador Mall. Dan langsung membacanya hingga tuntas. Sebagai penggemar berat Eka, saya sangat menikmati novel ini. Pada sampul buku tertera 21+ (artinya bacaan dewasa). Saya tak bermaksud mengulas novel ini, tapi saya mengajak Anda untuk membelinya. Novel ini menyenangkan untuk dibaca.

Kamis, 24 April 2014

pemuda penjaga lift

PEMUDA PENJAGA LIFT

Seperti pagi kemarin, saya melihat kamu sudah berada di lobi apartemen ini. Setelah mengganti bajumu dengan seragam, yang menurut saya lucu dan aneh, lalu kamu mengisi buku dan kartu absensi. Kamu telah bersiap untuk bertugas. Pagi ini saya kira, sama saja dengan pagi-pagi sebelumnya. Pagi yang kering dan membosankan. Sudah lama air hujan malas turun sekadar menyejukan tanah dan aspal yang kering korantang ini. Beruntung kita berada di dalam apartemen berpenyejuk udara ini, sehingga terik matahari tak terasa menyengat di sini.

“Selamat pagi, ke lantai berapa
, Pak?” Tanyamu dengan nada suara yang sangat sopan pada seorang lelaki berpakaian safari rapi, necis dan perlente. Kini kamu telah berada di dalam lift, mengerjakan rutinitasmu, menjaga lift. Tugasmu sederhana memang, hanya bertanya dan membantu orang yang keluar-masuk lift untuk mengantar mereka ke lantai yang mereka kehendaki.


Lelaki itu kemudian memperlihatkan lima jarinya tangannya tanpa bicara. Kamu rupanya sudah paham, tombol lift kamu pencet angka 5. Kamu selalu berpenampilan rapi, rambutmu selalu tersisir dengan sedikit minyak rambut yang membuat rambutmu berkilau
dan mengilap apabila tertimpa cahaya lampu lift. Mengingatkan saya pada tokoh-tokoh film di tahun enampuluhan.

Lantas kamu terlibat percakapan basa-basi dengan lelaki perlente itu.
Saya dengar ia akan mengunjungi sanak keluarganya yang tinggal di sini. Pembicaraan kalian terhenti, ketika di lantai 2, lift berhenti. Beberapa orang masuk bersamaan, mereka hendak menuju lantai paling atas. Di atas atap apartemen ini terdapat kolam renang yang cukup besar. Mungkin mereka mau berenang pagi ini di sana.

Ya, kamu juga selalu tersenyum ramah kepada setiap orang yang menggunakan lift ini. Setiap hari. Mungkin di setiap shift-mu karena pasti kamu pun membutuhkan libur untuk mengatasi kebosanan menjaga lift, dan rutinitas bertanya ke lantai berapa ke setiap orang yang menggunakan lift di apartemen ini. Rutinitas yang membosankan,
saya pikir. Namun, kamu menjalaninya dengan senang hati. Itulah, makanya saya sangat suka memperhatikan kamu.

Sudah lama
saya ingin berkenalan dengan kamu. Ingin sekali saya bertanya tentang minyak rambutmu yang membuat rambutmu menjadi licin berkilau dan mengilap seperti sepatu yang baru saja disemir. Selain itu saya sangat tertarik dengan ketulusan hatimu, menjalani profesi sederhana ini dengan sabar, yang kukatakan membosankan ini. Karena dari semua karyawan bagian servis di apartemen ini, cuma kamu yang sangat bersahaja.
***
Hari ini, kamu tidak berada di dalam lift ini. Seorang
perempuan muda yang menjaganya, mungkin kamu libur. Perempuan muda itu tidak seramah kamu. Senyumannya menyerupai sebuah sunggingan bibir yang dipaksakan. Mirip menyeringai, tidak tulus. Sepertinya ia sangat terpaksa dan tertekan menjalani profesi menjaga lift daripada tidak bekerja sama sekali. Tidak sepertimu yang begitu tulus melakukan pekerjaanmu.

Terkadang
perempuan muda penjaga lift penggantimu itu, pura-pura sibuk ketika ada orang yang masuk ke dalam lift. Saya tahu, ia hanya malas membuat sebaris senyum di bibirnya. Heran juga ia bisa diterima dan bekerja di sini.

Wahai pemuda penjaga lift, sudah hampir sebulan kamu tidak menjaga lift dan sebulan ini beberapa petugas pengganti silih berganti. Kamu kemana? Apakah kamu sakit? Ataukah kamu mendapatkan pekerjaan baru?
Saya kok rindu kamu.

Ya, sungguh tak menyenangkan menyambut pagi tanpa kehadiran kamu. Lobi apartemen terasa hampa. Rasanya,
saya berada di apartemen asing. Sungguh suasana seperti ini membuat saya merasa melankoli.

Terus terang, ingin sekali
saya bertanya kepada temanmu, perempuan muda yang sekarang menjadi penjaga lift ini. Sebab sudah sebulan kamu tidak bertugas. Tetapi tentu tidak saya lakukan, saya tidak mau semuanya berubah menjadi runyam dan kacau. Selain itu, saya tidak suka dengan perempuan muda yang berwajah masam itu. Lebih baik saya tak menegurnya saja.

Pagi ini suasana lobi apartemen terasa sangat sepi dan begitu lengang. Aktivitas apartemen belum dimulai, seperti biasa
saya berjalan memasuki lift dengan langkah gontai hendak menuju kamarku. Berharap-harap cemas, dirimu hadir di sini. Bertemu dengan kamu dan memperhatikanmu diam-diam. Oh, saa suka sekali melakukannya.

Aha…!
Saya sangat senang dan gembira sekali. Girang sekali hati saya, hampir menjerit-jerit saya. Pagi ini saya menemui kamu berada di dalam lift dan sudah bertugas kembali. O Tuhan, terimakasih. Harapam saya bisa melihatmu di pagi ini terkabul. Saya sangat gembira, saya kira telah berlonjak-lonjak saking girangnya. Rona pipi saya jadi memerah malu.

“Mau ke lantai berapa Mbak?” tanyamu dengan suara yang sangat ramah.
Saya terkejut bercampur bahagia kamu sudah menjaga lift lagi. Sambil memandang heran padamu, saya mengacungkan kesepuluh jariku tepat di depan wajahmu. Meniru gerakan lelaki perlente bersafari yang saya lihat bulan lalu. Saya ke lantai 10. Kamu memencet tombol angka 10. Saya masih tak percaya, kamu bertanya kepadaku. Sungguh kamu bertanya pada saya.

Saya bingung mau mengajakmu bercakap-cakap. Saya lihat kamu juga terlihat malu-malu di hadapan saya. Sesekali kamu melirik saya. Dan saya pun melirik kamu. Ketika saya hendak berkata-kata mengajakmu bicara.

Tiba-tiba lift mendadak berhenti di lantai 5 padahal tidak ada seorang pun yang berhenti untuk keluar ke lantai 5. Pintu lift terbuka, meninggalkan suara denting. Masuklah perempuan muda penjaga lift penggantimu itu, ia bersama temannya, tetapi mereka tidak menegurmu. Kamu pun diam saja tidak menegur mereka. Saya dan kamu terdiam dalam bisu, hanya teman-temanmu yang berbicara. Pembicaraan mereka tampak sangat serius.

“Sudah sebulan
saya bekerja di sini, baru kali ini saya merasakan bulu kuduk berdiri dan merinding seperti ini,” kata perempuan muda itu kepada temannya dengan ekspresi seperti orang yang ketakutan.

“Ya,
saya juga merasakan hal yang sama, tenguk saya tiba-tiba merinding,” balas teman perempuan muda itu sambil bergidik dan memegang lehernya sendiri. Rupanya bulu kuduknya meremang.

“Apa mungkin rohnya si Markum penjaga lift yang meninggal kecelakaan motor sebulan yang lalu sedang gentayangan di sini ?” lanjut
perempuan muda penjaga lift itu kepada temannya sambil memencet tombol lift ke lantai dasar.

Saya tersentak, kaget minta ampun, saya mengalihkan pandangan padamu. Kamu tertunduk seperti merahasiakan sesuatu.

“Mungkin saja. Dulu juga waktu seorang gadis bunuh diri loncat dari lantai 10. Dan tubuhnya hancur di halaman parkiran, di lift ini sering terjadi sesuatu yang aneh-aneh dan menyeramkan,” kata teman
perempuan muda penjaga lift sambil masih memegang-megang tenguknya.

“Kenapa gadis itu bunuh diri?” Tanya wanita muda itu.

“Katanya sih, gadis itu kesepian. Orangtuanya memberikan fasilitas apartemen, tetapi mereka tidak pernah menjenguk gadis itu,” jelas temannya dengan bibir bergetar ketakutan.

“Iya, ya, bisa jadi si Markum lagi gentayangan di sini. Dia khan, meninggal
duna saat mau menuju ke sini untuk menjaga lift ini. Hiiiiiih!” Kedua perempuan itu menjerit dan buru-buru ke luar dari lift ketika sampai di lantai dasar.

Terus terang
saya sangat terkejut mendengar pembicaraan mereka. Pandanganku beralih lagi kepadamu yang sedang berdiri manis di pintu lift sambil tersenyum, kamu mengangguk-angguk kepala seraya mengangkat bahumu menatapku. Kamu bernama Markum. Pantas kamu bisa menegur saya pagi ini.***

Jakarta, 29 Juni 2008

Minggu, 20 April 2014

Kamu Bisa Mati di Mana Saja

Kamu Bisa Mati di Mana Saja.

Bisa saja kamu mati tertimpa atap supermarket yang runtuh. Siapa yang tahu? Kamu suka sekali belanja, suka sekali menjelajahi mal-mal dan supermarket besar di kota ini. Banyak bangunan di kota ini yang dibuat dengan kesalahan desain dan kualitas konstruksi yang jelek. Kamu mungkin tak mati dengan kepala remuk, namun karena kamu terperangkap dan pencarian atas dirimu bergerak lambat, kamu mati kehabisan napas.

Bisa jadi kamu mati saat berkendara dengan mobil keluaran terbaru di atas jalan beraspal yang mulus. Bukan akibat tabrakan beruntun. Tapi lantaran pipa gas negara yang dibenamkan di ke dalaman tanah di atas jalan mulus di mana kamu melintas itu tiba-tiba meledak. Pipa gas milik negara di kota ini bisa saja sudah keropos, akibat tekanan yang terlalu tinggi, meledak! Kamu tergolek bersama mobilmu yang hancur. Tubuhmu juga hancur tentunya.

Kamu bisa saja mati saat sedang asyik menikmati wisata kuliner di warung makan pinggir jalan di daerah pegunungan di kota ini. Kamu bukan mati karena serangan jantung, akibat sumbatan kolesterol pada pembuluh darahmu. Dikarenakan ada truk pasir naas yang kehilangan kendali akibat rem blong, truk tersebut menyeruduk warung makan dan menghunjam tubuhmu hingga tewas. Saat itu kamu masih menguyah sate kambing kegemaranmu. Lalu truk itu terbakar, warung makan itu juga ikut terbakar. Api berkobar mengulum tubuhmu hingga menjadi serupa sate kambing dalam kunyahanmu.

Kamu bisa mati di mana saja. Dalam tidur dan mimpimu sekalipun.


Aku, Ibu dan Kisah Pembunuh (Cerpen, Jurnal Nasional, 20 April 2014)

Aku membunuh ibuku karena aku mencintainya. Orang-orangtermasuk Andapasti akan bertanya, kenapa? Aku sendiri bertanya-tanya, kok bisa? Manusia macam apa aku ini? Teganya aku melakukan terhadap orang yang begitu aku cintai.
            Baiklah. Aku ingin menceritakan semua tentang ibu agar  orang-orang–termasuk Andamengerti kenapa aku membunuhnya. Aku yakin, ibu tak keberatan, bahkan ia tak berkeinginan aku berbohong. Biarlah kisah ini menjadi semacam kesaksian.
***
            Ibuku seorang perempuan berwajah cantik. Tubuhnya langsing dan sintal. Payudaranya kencang bagai menuding langit. Lelaki manapun akan menelan ludah ketika mata-keranjang mereka bertancapan pada kemolekan tubuh ibu. Rambutnya tebal dan panjang, tentu saja menimbulkan keindahan tersendiri saat rambutnya tersibak kesiur angin. Eksotis! Begitu komentar fotografer yang suka memotret ibuku. Ia tampak bugar dan lebih muda dari usianya yang sudah kepala empat, karena ia rajin memelihara kecantikannya, secara teratur ia mendatangi pusat-pusat kebugaran, kelas yoga, salon-salon kecantikan, spa dan sauna. Selain selalu tampil cantik dan rapi, ia juga perempuan yang suka tantangan.
            Ibu adalah seorang yang sangat bergairah dalam menjalani kehidupannya, walaupun jalan hidupnya tak begitu mulus. Ia menjadi istri ketiga dari seorang ulama sekaligus pengusaha besar di negeri ini. Ulama itu ayahku. Tapi kelihatannya ia bahagia-bahagia saja menjalani kehidupan sebagai madu lelaki yang sebenarnya doyan kawin itu, kalau tak salahaku pun tak tahu persisayahku mempunyai sembilan orang istri. Ibuku tak mempermasalahkan, berapa banyak istri-istri suaminya itu, karena ia selalu berhasil memperoleh berapa banyak uang-uang yang ia inginkan dan pasti selalu digelontorkan ayahku.
            Dari beberapa istri-istri ayah yang kukenal,  ibu adalah perempuan yang paling kuat dan dengan lihai mengatur jalan hidupnya sendiri. Ia dikenal sebagai seorang aktivis lingkungan hidup yang terpandang di negeri ini. Bahkan, media atau wartawan sekalipun hanya mengetahui sosok ibuku sebagai pesohor dan kaum sosialita yang dermawan. Lajang pula. Aku pun tak pernah ambil peduli. Mungkin sudah menjadi komitmen ibu dan ayahku tentang status mereka yang hanya aku mengetahuinya.
            Dua tahun lalu, menjelang tahun baru, sesuatu bencana menimpa ibuku. Ia terkena kanker rahim. Aku sungguh tak percaya, ibuku yang begitu telaten merawat setiap lekuk dan lipatan tubuhnya divonis dokter menderita kanker rahim.
            Ah, Cuma kanker,” kata Ayahku enteng.
            Aku protes. Tapi, ibu pasti menderita. Ia sakit, ayah!
            Sudahlah, ibumu akan ditangani oleh rumah sakit paling modern dan dokter paling canggih di dunia!”
            Ayah dengan uangnya berhasil membawa ibuku ke sebuah rumah sakit di London. Ibuku dioperasi, rahimnya–tempat aku sebelumnya bersemayam sebagai janin di situ–tentu saja harus diangkat dan kanker itu musnah sudah. Apakah selesai?
            Belum!
            O. Anda perlu minum teh atau kopi barang kali, atau boleh juga berdiri dari duduk lalu merenggangkan otot-otot pinggang yang kaku sebelum aku melanjutkan cerita ini.
***
            Lonceng pada jam antik di rumah kami berdentang sembilan kali. Kala itu malam lebih pekat dari biasanya. Apakah karena bulan tertutup mendung awan yang tak pernah menjadi hujan? Bisa jadi karena masa kelam bagi ibuku menyergapnya kembali! Malam itu tiba-tiba ibuku melolong dengan suara yang begitu menyayat hati. Aku langsung menghambur masuk ke kamarnya.
            Sejak rahim ibu diangkat melalui operasi yang melelahkan di London, ibu lebih banyak berdiam diri di rumah. Hanya beraktivitas di kamarnya. Menulis artikel-artikel ringan tentang lingkungan hidup, persamaan gender, masalah perempuan dan sesekali ibu menulis puisi-puisi pilu. Masih segar dalam ingatanku sesaat setelah mendengar jeritan kesakitannya, aku melihat ibu terkulai di lantai. Laptopnya masih menyala.
            Ibu, ibu kenapa? Aku peluk ibu. Tubuhnya kudekap erat.
            Mana, mana, mana... nomor telepon dokter pribadi ibu?!” Seruku panik.
            Jangan panik, jangan panik!”  Aku raih handphone ibu. Oh, syukur. Pada nomor kontak huruf D, kutemukan nama dokter itu.
            Halo Dok, segera ke rumah. Ibu pingsan. Sebelum pingsan ia menjerit kesakitan. Dokter cepat ke sini. Tolong dokter!
            Segera kutelepon ayah. Nada sibuk. Sudahlah, biasanya juga begitu. Ayah akan datang setelah masa kritis lewat.
            Dokter datang bersama ambulans. Ibu masih pingsan, matanya terkatup kaku, bibirnya membeku biru. Kulitnya menguning aneh dan dingin. Ibu jangan mati, jeritku. Ibuku dilarikan ke rumah sakit di Pondok Indah. Rasanya aku tak sanggup hidup tanpa ibu. Aku tak mau ibu meninggalkan aku untuk selama-lamanya.
            Pagi harinya, ibu masih berada di ruang ICU. Ia masih belum siuman. Dokter memanggilku ke sebuah ruangan beraroma kantor bukan karbol. Dokter mengabarkan sesuatu padaku. Kabar itu, kabar buruk. Tapi bukan kabar tentang kematian ibu. Ibu masih hidup. Menurutku inilah bencana terburuk setelah kanker rahim yang menyergap ibu.
            Saat itu, 15 Februari. Ia dinyatakan dokter menderita penyakit Motor Neurone. Terus terang aku tak paham dengan apa yang dijelaskan oleh dokter. Beruntung ayahku datang, dokter melanjutkan penjelasannya yang sempat tertunda. Tentu saja, dokter mengetahui ayahku itu hanya sebatas kerabat ibuku. Karena pada saat yang sama, teman-teman ibu datang membesuk. Singkat kata, penyakit ibu adalah penyakit yang perlahan tapi pasti merusak sistem sarafnya. Sialnya, dokter bilang penyakitnya belum ada obatnya. O, Tuhan!
            Beberapa hari kemudian, tepatnya 2 Maret, ibu dinyatakan boleh pulang ke rumah. Aku cukup bahagia, karena aku melihat ibu sudah segar dan bahkan ia tak sabar untuk kembali beraktivitas. Betul saja, ibuku seperti mempunyai kekuatan baru. Ia terlibat aktif dalam diskusi-diskusi di forum-forum aktivis lingkungan. Ikut demonstrasi di depan Istana. Orasi di Bundaran HI, bahkan ikut arung jeram di Sungai Citarik. Ia tak lagi mengurung dirinya di kamar, seperti pasca operasi angkat rahim beberapa bulan lalu.
            Namun sekuat-kuatnya ibu, ia kalah. Menjelang Agustusan, ia ambruk. Bahkan, ibu hampir lumpuh total. Aku menangis dalam hati melihat ibuku kini duduk tak berdaya di kursi roda. Ketika itu, ia sudah tak bisa menggerakkan kaki dan lengannya. Suaranya pun menghilang. Ia tak bisa bicara dengan jelas dan lancar. Sistem pernapasannya pun mulai terpengaruh, hampir tiap malam ia merasakan sesak napas yang luar biasa.
            Berbulan-bulan ia hidup dalam kesunyian. Ia melarang teman-temannya mengetahui tentang dirinya. Maka kami pindah ke rumah almarhum nenekku di kota ini. Aku merasakan ia sangat tertekan dengan penderitaannya.
            Pada saat itu, kelumpuhan ibu semakin parah. Hanya ada setitik kecil sisa bara kehidupan pada bolamatanya. Ia bahkan tak mampu mengusap matanya itu. Penyakit ibu memang tak menimbulkan rasa sakit yang luar biasa, tetapi karena sendi-sendinya tak digerakkan, muncullah penyakit radang sendi dan sakit kepala yang menetap. Pendek kata, pasti ibu sangat tersiksa dengan penyakitnya. Akibatnya, ia begitu sensitif dan emosional. Karena, otak ibu sama sekali tak terpengaruh. Sejujurnya, aku lebih suka meminta pada Tuhan agar otaknya juga terkena. Kasihan sekali ibu, dengan otak yang masih sehat, ia bisa merasakan semua yang terjadi pada bagian-bagian tubuhnya. Tubuhnya kini ringkih, dengan kulit yang kisut, rambut yang rontok dan hanya terpaku di atas kursi roda. Tak bisa bergerak, tak bisa bicara secara jelas. Ia tampak serupa nenek-nenek uzur.
            Ayah. Sejak kami pindah ke rumah almarhum nenekku di kota ini. Ia hanya sekadar benda mati yang bergerak maya, kami hanya bisa menyaksikannya di tayangan televisi atau sesekali kami baca beritanya di koran. Ia tak pernah datang menjenguk, tapi ia masih menggelontorkan uang melalui rekeningku.
            Menjelang tengah malam sebelum perayaan natal tiba, melalui gerak isyarat dan dengan suara yang tak begitu jelas, ibu memanggilku. Lantas aku datang menemuinya di kamarnya, aku duduk di sisi tempat tidurnya. Ia memandangku sambil sedikit menyunggingkan senyum padaku.
            Walaupun tak terlalu jelas, aku tahu apa yang ibu katakan padaku.
            Apakah kamu mau membantu meringankan penderitaan Ibu?
            Tentu Ibu!
            Apakah kamu mau mengakhiri hidup ibu dengan membunuh Ibu?
            Aku terkesima, tak percaya ibu berkata seperti itu dan memohon padaku untuk membunuhnya. Hatiku begitu sedih. Aku menangis memeluk ibu.
            Tidak Ibu!
            Ia kembali memaksaku. Ia memintanya saat itu juga aku mengakhiri hidupnya.
            Tidak ada orang lain selain kamu, sayang. Lakukanlah sekarang. Bukan kah kematianku hanya soal waktu belaka?
            Ibu!  Aku tak bisa melakukannya. Aku sayang Ibu, aku tak mau Ibu mati!”
            Ibu memandangku lagi. Sorot matanya membara, ibu marah.
            Maaf. Sebelum aku lanjutkan kembali cerita ini, ijinkan aku barang sejenak untuk ke toilet. Aku ingin buang air kecil.
***
            Ibu meninggal, tepatnya, aku membunuhnya menjelang pagi pada 25 Desember. Ketika itu sebagian dari Anda sedang merayakan natal. Aku tak kuasa melihat ibu menghiba-hiba padaku untuk mengakhiri penderitaannya. Malam itu memang sangat mencekam. Ibu memintaku untuk mengaji, merapalkan doa-doa yang aku ingat dari kitab suci.
            Agar Ibu bisa mati dengan tenang,” kata ibu usai aku mengaji.
            Lepas aku mengaji, kulihat wajah ibu begitu semringah, begitu terang. Ada pendar cahaya yang samar dari sekujur wajahnya. Aku tak banyak bicara, aku pun tak menangis lagi.
            Ibu menoleh padaku dan berkata, “Lakukan sekarang!
            Tapi, apakah kamu sudah siap? Lanjutnya bertanya.
            Aku mengangguk kecil dan balik bertanya. Apakah Ibu benar-benar yakin?
            Ia mengiyakan dan aku pun menyuapinya dengan pil-pil tidur dalam genggaman tanganku. Tanpa menggunakan air minum. Celaka! Penyakit yang diderita ibu mempengaruhi kemampuannya untuk menelan. Sehingga ibu seperti tercekik.  Ia tersedak. Ibu hampir saja memuntahkan pil-pil tidur yang kusuapi. Aku panik! Aku panik!
            Aku melihat di meja kamar ada kantung plastik bekas bungkusan makanan dan bantal. Dalam kepanikan, agar pil-pil tidur tidak keluar dari mulutnya, aku bekap ibu dengan kantung plastik dan menindih wajahnya dengan bantal. Satu detik, dua detik, tiga detik dan detik-detik selanjutnya berlalu dalam kehampaan yang asing. Tubuh ibu berkelojotan, lantas perlahan berhenti. Ibu telah mati. Aku telah membunuhnya.
            Aku menghempaskan tubuhku ke tempat tidur, di samping ibu yang telah tidur untuk selamanya. Aku sibak kantung plastik dan bantal yang menutupi wajahnya, kulihat bibir ibu tersenyum.
            O, Anda pasti menuding aku sebagai manusia yang kejam. Sesungguhnya kematianlah yang diinginkan olehnya, dan aku sangat percaya ibu akan menemukan kedamaian di alamnya. Aku betul-betul tak peduli apa yang akan terjadi padaku. Aku juga tak peduli dengan kemungkinan tuduhan pembunuhan terhadapku.
            Banyak orang bertanya padaku, termasuk Anda, mengapa aku memutuskan untuk membunuhnya. Mementingkan ibu daripada hidupku yang masih panjang.
            Aku akan menjawab, aku sangat mencintai ibuku lebih dari apapun yang ada di dunia ini. Apabila harus dihadapkan lagi pada keadaan yang sama, aku pun akan membuat keputusan yang sama. Aku akan membunuh ibu!
            Begitulah cerita yang selama ini kusimpan, Pak Hakim. Kumohon adililah aku dengan hukuman yang seberat-beratnya. Karena apabila aku tak bercerita kisah pembunuhan ibuku pada Anda, aku terus menerus ditindih perasaan depresi yang berat dan didera perasaan bersalah yang tak terkira.”
***
            Kita sama-sama tahu, bahkan Anda sendiri mendengar keputusan Hakim yang mulia itu. Sudah jelas kutipannya seperti ini dan tersiar di seluruh koran negeri ini :
            ”Wahai Ananda Selma, kamu sudah cukup menderita menyimpan cerita pembunuhan atas ibumu. Kamu adalah orang yang penuh cinta kasih dan dirimu melakukan itu karena tidak tahan melihat ibumu menderita. Hukum tidak dapat mengampuni perbuatanmu, tetapi saya akan memperlihatkan wewenang pengadilan untuk mengampunimu dan itu sudah sepantasnya.” ***

Jakarta, 6 September 2011 – 25 Desember 2013



Bamby Cahyadi, lahir di Manado, 5 Maret 1970. Menetap dan bekerja di Jakarta. Kumpulan Cerpennya, Tangan untuk Utik (2009), Kisah Muram di Restoran Cepat Saji (2012) dan Perempuan Lolipop (2014)