Minggu, 31 Agustus 2014

Cerpen ACTA EST FABULA

ACTA EST FABULA



Seekor kecoa berputar-putar di antara kaki kursi dan meja selama beberapa saat di ruangan sempit layaknya toilet tanpa penyejuk udara ini. Seolah kecoa itu sedang bermain petak umpet, takut ketahuan oleh kaki manusia. Sebuah pemandangan yang ganjil bagiku disaat hendak menulis cerita.

Ruang ini sempit, walaupun ada jendela yang terbuka lebar mengarah ke taman kecil di pekarangan. Hanya terdapat dua kursi dan satu meja terbuat dari kayu sederhana. Di meja itu tersedia sebuah laptop dan segelas kopi. Aku menduduki salah satu kursi itu dan menimbulkan suara berderit yang berisik.

Kecoa itu terkejut. Sayap kecoa itu tampak bergetar lalu ia terbang hinggap di lenganku. Lenganku gempal dan berbulu, aku mengibaskan lenganku mengusir kecoa yang hinggap itu. Kecoa itu menggoyangkan sayapnya, hendak menolakkan kaki-kakinya untuk melayang terbang. Namun kibasan lenganku yang gempal lebih keras dan mengentak.

Kecoa itu terlempar menampar dinding lantas jatuh terkulai di lantai. Baru saja kecoa itu tampak bergeliat bergerak untuk lari menyelamatkan diri, aku keburu menghajarnya. Kuinjak tubuh kecoa malang itu dengan telapak sepatuku hingga pecah. Kecoa tak berdaya itu jelas saja mati dengan tubuh hancur menjijikan.

Insiden kecoa pun berlalu tanpa kesan, seolah hanya sekadar pemain figuran sinetron kejar-tayang yang melintas di layar kaca. Aku pun mulai menulis.

Sebagai penulis cerita, tentu keinginan terbesarku saat mengarang cerita kemudian kutulis menjadi rangkaian kata-kata, menjelma kalimat, lalu jadi paragraf-paragraf lantas menjadi sebuah karya tulis yang utuh sebagai cerita pendek, yaitu dibaca oleh pembaca. Suatu keinginan yang wajar dan sangat lazim tentunya.

Masalahnya, aku selalu berharap seseorang yang membaca ceritaku itu percaya bahwa kisah-kisah imajinatif yang kubangun dengan susah-payah menjadi kisah fantastik di benak mereka. Aku selalu ingin menceritakan senarai kejadian-kejadian biasa dan sederhana pada dunia menjadi sesuatu yang luar biasa. Hal itu malah memicuku menjadi tidak produktif menulis. Akibat terlalu banyak berpikir. Berselancar di dunia maya dan berinteraksi di sosial media pun membunuh kreativitasku.

            Sejatinya sebagai pencerita, aku selalu melakukannya dengan cara yang terang benderang, jelas, lugas dan tanpa komentar. Aku tak mau mencoba bercerita yang membuat seseorang merasa tersiksa membaca cerpenku. Apalagi ia merasa diintimidasi dengan liukan kata-kata yang membuat ia berhenti membaca karena tak sanggup menulis cerita serupa gayaku. Atau bahkan hanya sekadar menuturkan ulang.

Tadi kukatakan, aku bercerita tanpa komentar. Tersebab, kejadian-kejadian yang terjadi dan diceritakan di dunia ini tak lebih daripada serangkaian hubungan sebab-akibat bersifat alamiah dan ilmiah belaka. Tersebab, tiada hal baru di dunia ini, kecuali kita mengulangnya dengan cara yang lebih kreatif. Maka tak perlu berkomentar soal tema cerita yang kusuguhkan.

Terus terang, aku hampir putus asa. Bahkan mencoba pensiun jadi penulis.

            Hingga pada suatu hari aku bermimpi. Hari itu adalah hari yang indah dan aku sedang berjalan-jalan dengan Franz Kafka. Karena ini mimpi jadi tak perlu kujelaskan bagaimana aku menyimpulkan bahwa sosok yang kutemui dalam mimpi itu Kafka yang oleh Haruki Murakami dijadikan judul sebuah novel karyanya, Dunia Kafka. Sementara Haruki Murakami sendiri, kujadikan cerpen berjudul Dunia Murakami.

            Dalam mimpi walaupun hari ini hari yang indah, namun kami berjalan dengan langkah yang terseok-seok. Selangkah dua langkah yang susah-payah, hingga kami tiba di sebuah pekuburan. Aku tak mengerti suasana di pekuburan ini begitu berangin. Tiupan angin yang dingin sangat cerdas untuk menegaskan bahwa mimpiku ini bernuansa kelam.

            Kami mendekati sebuah gundukan nisan yang masih tampak segar dan kami berhenti tepat di depan gundukan nisan itu.

            “Itu kuburan Marquez,” kata Kafka.

“Maksudmu Gabriel Garcia Marquez?” tanyaku. “Ia tak pernah dikubur, ia dikremasi jadi abu,” sanggahku. Kafka belum menjawab, mimpi keburu selesai.

            Aku lantas teringat akan kematian. Bukan kematianku, tetapi kematian seseorang yang sangat kuharapkan. Narasi ceritanya begini:

            Kamu mati tertimpa atap supermarket yang runtuh. Siapa yang tahu? Kamu suka sekali belanja, suka sekali menjelajahi mal-mal dan supermarket besar di kota ini. Banyak bangunan di kota ini yang dibuat dengan kesalahan desain dan kualitas konstruksi yang jelek. Kamu mungkin tak mati dengan kepala remuk, namun karena kamu terperangkap dan pencarian atas dirimu bergerak lambat, kamu mati kehabisan napas.

Kamu pun bisa mati ketika berkendara dengan mobil keluaran terbaru di atas jalan beraspal yang mulus. Bukan akibat tabrakan beruntun. Tapi lantaran pipa gas negara yang dibenamkan di kedalaman tanah di atas jalan mulus di mana kamu melintas itu tiba-tiba meledak. Pipa gas milik negara di kota ini bisa saja sudah keropos, akibat tekanan yang terlalu tinggi, meledak! Kamu tergolek bersama mobilmu yang hancur. Tubuhmu juga hancur tentunya, seperti kecoa yang baru saja tewas di telapak sepatuku tadi.

Kamu bisa mati di mana saja. Dalam tidur dan mimpiku sekalipun.

Betapa aku sangat menginginkan kematianmu, wahai politikus busuk!

Namun kenyataannya aku yang mati. Menyedihkan sekali bukan?

Kala itu Kuala Lumpur diselimuti kabut asap, kabut asap yang menyerupai halimun di pegunungan berwarna putih serupa asap para perokok di kedai kopi. Meski berkabut aku sempat menyaksikan gemerlap lampu kota bak berlian yang menyeruak di antara celah-celah gelap. Aku jadi ingat cerpen Umar Kayam, Seribu Kunang-kunang di Manhattan.

Aku yakin betul di Kuala Lumpur saat itu berhawa sejuk. Musim hujan yang hijau dan sendu membuat Kuala Lumpur menjadi kelabu. Musim hujan tentu saja menutupi warna merah kekuningan senja di cakrawala. Malam itu pesawat yang kutumpangi dari Kuala Lumpur menuju Beijing meledak menjadi serpihan debu paling kecil di dunia. Bahkan menjadi kesiur angin laut yang lembap tak terdeteksi radar. Mereka mengatakan pesawat itu hilang.

Beberapa hari sebelumnya. Pada hari Kamis, calon menantu kami itu benar-benar datang dan menginap di rumah kami. Seorang perempuan cantik, dan tentu saja orang Amerika asli. Namanya Alexa. Keesokan harinya kami pergi ke pengadilan dan sepuluh menit sesudah membayar biaya nikah, anakku secara resmi sudah beristri dan kami bermenantu.

            Anehnya, istriku yang semula sangat berhasrat agar anak kami menikah, malah terlihat murung. Bagi istriku kejadian itu terlampau aneh, terlalu kosong. Maklumlah tradisi yang sudah berakar dalam hati generasi kami, khususnya orang Indonesia, tak dapat diabaikan begitu saja.

            Melalui telepon, kami beritahukan anak-anak kami yang tersebar ribuan kilometer jauhnya, bahwa kakak mereka sudah menikah hari Jumat lalu. Begitu juga pada sanak-kerabat di tanah air. Anak paling besar kami sudah menikah.

            Dengan terburu-buru, aku dan istriku mengatur pesta kecil di rumah dengan mengundang lima keluarga Indonesia yang bertempat tinggal di daerah kami.

            ”Agar mereka tahu bahwa anak kita menikah secara wajar,” kata istriku sambil mengatur meja makan.

            ”Kenapa kamu bicara seperti itu?” selidikku.

            ”Ah, sudahlah. Mungkin hanya masalah nilai-nilai kewajaran saja yang mengganggu pikiranku,” jawab istriku.

            Aku lantas merenungkan perkataan istriku, sambil memandang ke arah jendela. Di luar rumah salju turun perlahan.

            Nilai apakah yang menentukan kewajaran? Batinku. Pertalian sebagai suami-istri memang sudah disahkan undang-undang, namun bagaimana perasaan kami sebagai orang tua?

            Sewaktu masih berpacaran dengan anak lelaki kami yang terbesar, perempuan bule itu memang sudah diperkenalkan pada kami. Ketika itu ia diundang berlibur tiga hari di rumah kami oleh anakku. Ia seorang Amerika, Texas. Ia guru sekolah dasar. Kedua orang tuanya sudah bercerai ketika ia masih kecil. Menurutnya, ia masih sering berhubungan dengan ibunya, melalui telepon atau bertemu di sebuah tempat. Dengan ayahnya? Ia mengakui kurang tahu di mana ayahnya berada.

            Istriku sempat bertanya pada menantu kami itu, ”Apakah ibumu tahu kamu menikah?”

            Dengan santai menantu kami menjawab, ”Itu kurang penting, nanti kalau aku bertemu dengannya akan kuberi tahu.”

            Sebenarnya banyak pertanyaan yang kami ingin tanyakan dan ingin kami ketahui jawabannya, namun tidak sempat kami tanyakan. Karena mereka, pengantin baru itu, sudah terbang ke Las Vegas, untuk berbulan madu pada hari Minggu.

            Kami hanya bisa bengong, terpukau dan tak percaya dengan apa yang terjadi. Hari Senin anak kami bilang ia akan menikah, hari Kamis calon menantu kami datang ke rumah dan menginap, hari Jumat mereka menikah, hari Minggu mereka pergi meninggalkan kami yang terbengong-bengong. Sungguh ironis apa yang terjadi itu, sekaligus lucu.

            Ya, ironis dan lucu berbaur, tumpang tindih. Karena apa? Karena cerita di atas adalah bagian dari adegan mimpiku yang lain. Dan mimpiku selesai.

Kurasa Anda merasa tertipu dengan ceritaku yang melulu ternyata berupa rangkaian mimpi belaka. Kumohon bacalah sampai selesai.

Debu yang terbawa angin menampar-nampar jendela seolah-olah dilemparkan oleh tangan-tangan yang tak kelihatan. Aku baru saja berangkat lepas fajar dan telah dua jam berjalan kaki dalam pagi yang dingin, merambah dataran lengang berbatu yang memanjang hingga batas cakrawala yang kemerahan.

Angin bertiup sepoi-sepoi dan pucuk padi tertunduk teratur, seperti angin sedang berjalan di atasnya. Katak-katak berbunyi serempak juga kunang-kunang menuju ke tengah sawah. Udara menjadi dingin bukan main. Angin bertiup, menggesekan dahan dan daun pada talang yang bocor.

Tanggal 31 Desember 2014. Pukul 21.15 Wib. Sorak-sorai pun bergemuruh. Di atas ring, Kido Buto, petinju asal Surabaya terjerembab dan tak bangun lagi. Hanya beberapa depa darinya, Robin Bantai, sang Juara, melonjak kegirangan. Ia sesumbar menantang siapa saja yang bersedia melawannya untuk pertandingan berikutnya. Sementara si Petinju yang dipencundangi itu terkulai layu. Ia tak kuasa menatap mata sejumlah penonton yang seolah-olah mencemoohkannya.

Robin Bantai seperti dilahirkan untuk memukul atau dipukul. Ia memang Preman yang dibesarkan di antara tukang pukul di kota Medan. Masa silamnya begitu keras.

Menjelang penggantian tahun 2014 menuju 2015. Pukul 21.15 Wib. Ada seorang tante yang kesepian. Ada seorang mahasiswa yang terombang-ambing, kemudian mencari kedamaian di sebuah tempat pelacuran yang sudah tutup. Ada seorang pemuda baik-baik yang oleh berbagai kemelut akhirnya terperangkap menjadi Gigolo. Ada sepasang makhluk yang terkulai di atas ranjang, lalu larut dalam rasa berdosa yang dalam.

Beberapa jam kemudian. Presiden terpilih melalui pemilu paling pilu di bulan Juli 2014 menyulut kembang api di Monas tepat pada pukul duabelas tengah malam.

Aku menyaksikan itu semua sebagai hantu di ruangan sempit ini. Ingat, ini bukan mimpi. Acta est fabula. Apa yang terjadi adalah sebuah kisah. Aku berada dalam pesawat nahas yang kalian nyatakan hilang itu. Permainan telah berakhir. Kalian masih terus mencari, mencari hingga kalian lupa apa yang kalian cari.***


Keterangan: Acta Est Fabula adalah frasa latin yang berarti Apa yang terjadi adalah sebuah kisah. Bisa pula berarti Permainan/sandiwara (the play) telah berakhir. (Inggris: The play is over)


Bellagio Residence, 30 Juni 2014



Tidak ada komentar: