Selasa, 01 September 2020

Cerpen: Bercinta dengan Celana Dalam Perempuan

 


    Pernah pada suatu malam aku bermimpi bercinta dengan celana dalam perempuan. Dalam mimpi, jantungku mulai berdetak lebih cepat ketika celana dalam yang begitu seksi tiba-tiba mendekatiku. mendadak udara di sekitarku terasa berat sekaligus hangat. Celana dalam seksi itu terbuat dari bahan satin dengan renda-renda bahan brokat, atau lace di bagian garis pinggul celana.

Dalam mimpi aku menggeram karena kenikmatan yang kurasakan sewaktu tekstur celana dalam itu menempel ke tubuhku, lebih tepat tubuhku yang telanjang bulat telah mengenakan celana dalam satin berenda itu. Celana dalam itu seolah menciumku dengan menggebu menyerupai tangan halus seorang perempuan yang dengan lembut membelai kejantananku, mulai dari ujung sampai dasarnya hingga mengeras.

Aku menggertakkan gigi ketika merasakan celana dalam perempuan itu bergetar-getar dan celana itu bergerak dengan cepat, lebih cepat, dan lebih cepat lagi di bagian intimku. Dan aku mencapai klimaks satu menit kemudian, aku meraung penuh gairah. Lantas aku terbangun dari mimpi dengan selangkangan yang basah serta tubuh masih terguncang-guncang pelan.

Sejak saat itu, aku suka memakai celana dalam perempuan dengan pelbagai bentuk, bahan, dan model untuk merancap.***

Jakarta, 1 September 2020

Sabtu, 29 Desember 2018

BOLEH BENCI TAPI JANGAN GOBLOK!


BOLEH BENCI TAPI JANGAN GOBLOK!



Tadi saat pulang dari tempat bekerja (6 Januari 2017) saya menggunakan jasa ojek online (Grab Bike), karena usai hujan  dan hari ini hari Jumat agak sulit langsung mendapatkan ojek yang tersedia. Setelah beberapa kali melakukan order, akhirnya saya mendapatkan driver dengan nama Bapak H, sebut saja demikian.

Saya lihat ia memakai helm warna keemasan (gold) yang artinya ia adalah salah satu driver terpilih tersebab prestasi mendapatkan banyak penumpang dengan rating bintang 5. Bapak H menyapa saya dan kami meluncur membelah jalanan yang basah.

Seperti biasa terjadi percakapan saya dan tukang ojek, dalam hal ini Bapak H. Semula ia mengeluh soal kenaikan tarif STNK, dan saya amini bahwa kebijakan tidak populer itu tidak pas untuk situasi awal tahun baru. Lalu ia juga mengkritisi habis soal kebijakan Jokowi yang akan menaikkan harga BBM dan TDL. Ia sempat berucap, ”Jokowi harus direvolusi!” Saya tanya caranya bagaimana? Ia bilang people power. Seperti aksi demo bela Islam. Boleh juga pemikiran Bapak H ini.

Diskusi ini sesekali diselingi teriakkan karena kecepatan motor dan desiran angin yang membawa suara. Saya setuju dengan pendapat kenaikkan tarif STNK, BBM, harga cabe dan TDL adalah suatu kebijakan yang tidak pro rakyat. Namun semua hal itu berubah ketika kami ganti topik pembicaraan.

Ia tiba-tiba berujar ke saya, ”Pak, Bapak percaya bahwa bumi ini datar?” Saya agak terperangah dengan pertanyaan itu. Saya balik bertanya, ”Bapak percaya?” Dan dengan sangat yakin ia menjawab bahwa bumi ini datar, bahwa bumi yang kita tempati ini adalah suatu ruang datar. Bahkan ia menambahkan, dalam Al-Quran, tidak ada penjelasan bahwa bumi ini bulat! Saya istighfar dan masih sambil di atas motornya yang melesat di jalanan macet, saya membantah tentang teori  bumi datar.

Namun semua teori yang saya ungkapkan ia bilang adalah ilmu atau pengetahuan dari dunia barat (bukan Islam, untuk tidak mengatakan pengetahuan Kafir Yahudi). Saya miris sekaligus geram.

Akhirnya saya yang tadinya slow dengan teori bumi bulat mulai mencecar dia dengan pertanyaan:

1.       Kalau bumi ini datar, sekarang ini malam dan gelap. Terang apabila siang dan ada matahari. Di manakah posisi matahari saat malam? Dia diam.

2.       Kalau bumi ini datar, kenapa kiblat umat muslim menghadap ke Barat di mana dari Indonesia posisi Kabah (Mekkah) berada di sana. Dan ketika kita berada di Kabah, kita salat mengelilingi kabah? Tidak membentuk saf panjang? Dia diam.

3.       Kalau bumi ini datar, kenapa para pelayar atau pelaut tidak pernah jatuh di penghabisan atau di ujung bumi yang datar, tapi ia bisa kembali ke titik awal saat ia berlayar? Dia diam.

4.       Kalau bumi ini datar, kenapa kita melihat bulan bulat sempurna saat bulan purnama? Dia diam.

5.       Kalau bumi ini datar, kenapa manusia-manusia yang pernah ke bulan atau luar angkasa tidak pernah mengatakan bahwa bumi itu datar sebagaimana penglihatan mereka dari bulan atau luar angkasa? Dia jawab. Karena yang ke bulan itu orang-orang KAFIR dan KOMUNIS!

Nah, di sini saya langsung menepuk pundak dia dengan cukup keras dan kebetulan saat itu kami sudah sampai ke tujuan, sambil turun saya berkata dengan cukup tajam:

”Pak, kita boleh membenci Jokowi, Ahok, Asing, Aseng, Kafir, Komunis, Liberal dan Yahudi, tapi tolong kita jangan jadi GOBLOK seperti Bapak saat ini!”

Sepertinya ia akan menyanggah, tapi saya keburu bayar ongkos dan memberikan uang lebih sembari saya berkata lagi,”Apabila Bapak masih cinta sama Islam dan Al-Quran yang penuh dengan kajian-kajian keilmuan, percayalah bahwa BUMI ITU BULAT!”

Semoga setelah diceramahi saya tentang BUMI BULAT, Bapak H ini kembali ke jalan yang benar. Jalanan saja ada yang belok-belok, berliku-liku, turun naik. Mengapa bumi harus datar? Mikir!

Saat menulis status ini, saya merenung betapa dahsyat ceramah-ceramah tentang teori Bumi Datar yang dikumandangkan di majelis taklim yang Bapak H ikuti ini dan betapa terbodohinya para pengikutnya, betapa ternyata banyak yang jadi GOBLOK karena pengetahuan tentang bumi bundar bersumber dari para pemikir-pemikir Barat (Kafir) yang mereka BENCI. Benci boleh tapi jangan jadi GOBLOK! Dan hal ini saya kira yang diembus agar umat (manusia) di Indonesia khususnya kaum muslim di Indonesia terpecah untuk berdebat hal yang tidak perlu.

Setelahnya  saya memberikan ia, Bapak H itu rating bintang 5, karena mengendarai motor dengan jatmika dan mengantar saya dengan aman dan selamat sampai tujuan. Tak lupa di kolom komentar untuk Grab Bike saya tuliskan: ”Semoga bapak diberi hidayah utk tdk percaya bahwa bumi ini datar. Aamiin.”

Jakarta, 6 Januari 2017


Jumat, 05 Januari 2018

Ars Longa, Vita Brevis [Cerpen, Tribun Jabar 12 November 2017]


ARS LONGA, VITA BREVIS
Oleh: Bamby Cahyadi

Ars longa, vita brevis. Itu kalimat yang meluncur dari mulut ayahku ketika ia bertengkar sengit dengan ibuku.
Ayahku mengundurkan diri dari restoran cepat saji terbesar di jagad ini ketika usiaku 6 bulan, ketika itu ayahku menyatakan berhenti bekerja dari perusahaan waralaba restoran cepat saji itu dengan haru-biru. Konon kabarnya ia menangis tersedu-sedu saat menyerahkan sehelai surat pengunduran diri pada atasannya. Tentu saja ia menangis, bayangkan, ia bekerja di restoran itu genap 16 tahun, waktu yang tidak boleh dikatakan singkat. Sebab apa? Apabila ia–maksudku waktu 16 tahun itu seorang bocah laki-laki–mungkin kini ia sudah ahli merancap bahkan bisa saja ia menghamili anak gadis orang. Ya, itu bisa-bisanya aku saja.
Ayahku tidak pernah menyangka bahwa ia akan menjadi bagian dari perusahaan yang begitu terkenal dan mendunia yang papan-papan iklannya bisa kita saksikan di layar televisi ketika ada pertandingan sepakbola level benua bahkan dunia, misalnya Piala Eropa, Piala Dunia atau Olimpiade dihelat. Betul sekali, perusahaan ayahku selalu menjadi sponsor utama perhelatan olahraga itu. Membanggakan tentunya. Sayangnya saat itu aku belum lahir. Tapi tidak apa-apa, bukan soal besar bagiku. Karena aneka pernak-pernik dari restoran cepat saji itu kini menjadi mainan milikku, mulai dari boneka Hello Kity, Kungfu Panda, Snoopy hingga karakter Ronald yang semuanya suplemen dari menu Happy Meal.
Semula ayahku bercita-cita menjadi wartawan meski ia jebolan Fakultas Ekonomi jurusan Manajemen. Hmm, agak aneh juga. Tapi memang ia itu ayah yang aneh pada kenyataannya. Harap bersabar mengenai cerita perilaku aneh ayahku. Bagian ini baru prolog. Kalau pun aku tak ceritakan karena tulisan ini telah menjadi sebuah cerpen. O ya, ayahku kini bekerja di sebuah restoran cepat saji yang lain yang tak sebesar yang pertama.

Ayahku Sarjana Ekonomi, tapi keinginan terbesarnya bekerja menjadi Jurnalis. Ia pun menyelesaikan kuliahnya terlambat setahun, lantaran ia terlalu asyik jadi aktivis mahasiswa. Kudengar cerita masa mahasiswanya yang heroik dari obrolan dengan ibuku, ketika itu ia memang suka menulis dan aktif bergiat di Unit Pers Mahasiswa di kampusnya. Bahkan ia pernah menjadi ketua senat mahasiswa, ia aktivis dan tukang demo. Semakin menarik, bukan? Padahal kita tahu menjadi aktivis mahasiswa di zaman rezim Soeharto sangatlah pelik untuk tidak mengatakannya sulit.
“Aih, aku ingin sekali bercerita tentang masa muda ayahku, tentu yang kuketahui dari ibuku, dan langsung dari sumbernya, ayahku,” seruku kegirangan sendiri.
Kucing-kucing si Farel, tetanggaku yang semula anteng terkantuk-kantuk saling peluk dan garuk-garuk bulu di depan teras rumahku mendadak terbangun dan mengeong. “Sabar ya, Mpus!” kataku pada kucing-kucing itu setengah berbisik, separuhnya lagi menghardik. Kucing-kucing Farel beranjak pergi berhamburan sambil mengibas-ibas ekor mereka, melirikku dengan benci.
Namun ada yang mengganjalku, apabila aku yang bercerita, tentu cerita ini akan bertutur dengan naratornya aku sebagai “Aku”, aku yang sebagai sudut pandang orang pertama. Hal ini tentu tidak adil, aku hanya akan menyerupai Haruki Murakami yang serba-tahu dalam novel-novelnya. Lagi pula saat ini aku akan berulangtahun yang ke-6 di bulan Oktober nanti. Jadi tak mengapa aku menjadi bocah sok tahu untuk sementara waktu.
Namun setelah kupikir-pikir, tak jadi perihal luar biasa dan merepotkan bagiku, bahkan aku pernah dengar ada cerita yang diceritakan oleh seekor monyet, anjing, babi, kecoak bahkan sebuah benda mati sekalipun sebagai orang pertama yang bertutur. Dengan begitu, hal itu memberi peluang bagiku untuk bercerita tentang ayahku saat ia masih belia, atau siapa saja yang terlibat dalam kisah ayahku. Mungkin, atau bisa jadi, Anda juga akan terlibat dalam cerita ini. Seru bukan?
Iya, ya ya. Aku sudah menduga, kalian akan mengatakan secara lugas, bahwa aku anak kecil sok tahu, anak kecil yang terlalu banyak berkhayal, imajinatif, maniak fantasi dan sekadar berbual. Bukan kah hal itu ciri khas anak kecil sekali untuk tidak menuliskannya banget. Dan sudah kukatakan pada paragraf sebelumnya. Hal ini membuatku terkikik.
Sebentar.
Hari ini masih pagi, hari Minggu. Ayah dan ibuku masih tidur ketika ayam jantan peliharaan Pak Tohir, bapaknya si Farel, berkokok limabelas kali. Aku sangat tak paham, mengapa ayam Pak Tohir itu selalu berkokok limabelas kali, tak kurang pun tak lebih. Padahal apabila patokan hitungan adalah jam, maka seharusnya ayam itu berkokok 12 kali sesuai angka pada jam, angka 1 hingga 12. Atau 24 kali, sesuai hitungan dalam 1 hari terdiri atas 24 jam. Bisa juga 7 kali, secara simbolik bahwa 7 kali merupakan jumlah hari itu dalam 1 minggu dengan sebutan hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu. Ya, hari ini hari Minggu, hari ke-7. Seharusnya ayam Pak Tohir berkokok cukup 7 kali petanda ini hari, hari Minggu. Kulihat jarum pendek pada jam dinding menunjukkan angka 8. Bolehlah juga setelah ayam itu berkokok 7 kali, lantas menyambungnya dengan berkokok sebanyak 8 kali penanda jam saat ini. Lho? Ya ampun! Bukan kah secara matematis kokok ayam 15 kali tadi sudah menerjemahkan hari ke-7 dan tepat pukul 8 pagi ini. Betapa tololnya aku ini. Tapi, maklumlah aku kan hanya anak kecil.
“Koran-koran!”
Di depan pagar, Pak Badiru loper koran langganan ayahku sudah berdiri. Sepeda ia sandarkan pada sisi pagar yang lain. Agak terlalu mainstream loper koran selalu menggunakan sepeda sebagai alat transportasi, tapi kenyataannya demikian. Seperti seorang pacar yang menerima surat dari sang kekasih, aku berhambur ke arah pagar dengan mata berbinar-binar.
“Dek, bapakmu masih tidur ya?” tanya Pak Badiru.
“Iya pak, biasaaa!” jawabku singkat dengan tarikan panjang pada kata biasa.
“Ini Kompas Minggu, ini Jawa Pos, ini Media Indonesia, ini Pikiran Rakyat, dan ini Nova... eh ada Tribun Jabar, nich!” ujar Pak Badiru sambil mengangsur 5 buah koran dan sebuah tabloid ke tanganku.
“Lho, koran Republikanya mannaaaa?” sergahku dengan tarikan panjang pada kata mana.
“Astaga. Saya lupa bawanya, Dek!” Pak Badiru menepok jidatnya sendiri.
“Huh, dasar pikun!” gerutuku. Tentu dalam hati, tak sopan menghardik orang tua seperti Pak Badiru dengan suara lantang seperti toa masjid yang beberapa bulan lalu di Tanjung Balai dijadikan alat provokasi untuk membuat kerusuhan.
“Nanti siang saya ke sini lagi ya, bilang ke bapakmu,” kata Pak Badiru seraya menaiki sepedanya.
“Oke boss!” sahutku.
Sebenarnya Pak Badiru setiap hari Sabtu juga datang mengantar koran ke rumahku, ia mengantar Koran Tempo edisi Akhir Pekan dan Kompas edisi hari Sabtu. Ia hanya datang pada hari Sabtu dan Minggu, hari lain tidak.
Aku membawa koran-koran dan tabloid itu ke ruang tamu dan meletakkannya di atas meja tamu, sembari tanganku meraih remote televisi mencari saluran acara televisi kesukaanku Upin-Ipin, hore!
Nanti saat ayahku bangun, pastinya hal pertama dan utama yang ia lakukan adalah membuka halaman koran lembar demi lembar dengan antusias, lalu pada halaman tertentu ia akan berhenti, ia melumat isi lembar koran pada tangannya dengan bersemangat, lantas ia membuka halaman koran yang lain, berhenti pada halaman tertentu, dan semua koran yang ada ia begitukan. Setelah itu bergegas ia mengambil laptop, menyalakannya dan mengaktifkan koneksi internet, lantas ia larut dengan laptopnya, entah apa yang ia lakukan. Mungkin ia menemukan lowongan pekerjaan yang diiklankan di koran-koran itu lalu ia membuat surel lamaran pekerjaan.
Itu dugaanku. Aku tidak begitu yakin apa aktivitasnya.
Kembali ke suasana rumahku saat ini.
Ayah dan ibu sudah bangun. Hal pertama yang dilakukan ayah seperti yang telah kuutarakan tadi. Ibuku membereskan rumah lantas beberapa saat kemudian... mareka sudah mandi.
Aku melihat ibu sedang menyisir rambutnya yang tebal dan panjang tergerai hingga ke pinggul. Ia terlihat begitu modis, ia memandang wajahnya yang cantik dari pantulan cermin sambil bersenandung. Sesekali ia mengerlingkan matanya pada cermin itu. Wajahnya telah ia pulas dengan bedak dan bibirnya telah ia poles dengan lipstik merah cerah. Ia terlihat begitu narsis. Entah apa yang ada di benaknya saat ini. Kini ia memerhatikan tatanan riasan wajahnya, membetulkannya sedikit, memastikan semuanya sudah terlihat sempurna. Cantik. Pantas saja ayahku jatuh cinta padanya.
Aku lihat ayahku mendekati ibu. Ada perihal penting rupanya yang akan ayah sampaikan hari ini pada ibuku.
Ketika hal itu ayah sampaikan, ibuku terperangah dan hampir saja terjerembap ke lantai, untung ia masih sempat bersandar pada kusen pintu kamar. Ketika aku dengar, ayah mengatakan bahwa ia mengundurkan diri dari lagi dari tempatnya bekerja. Ibuku buru-buru menguasai dirinya dengan manarik napas dalam-dalam dan diembuskan melalui mulutnya seperti saat ia melahirkanku, dulu. Ibuku berupaya mencerna tentang perkataan ayah, lantas ia memandang wajah ayah dengan mata menyipit. Dahi ibuku mengerenyit membuat semacam tanda tanya besar di dahinya.
”Ya, aku berhenti bekerja lagi,” kata ayahku berupaya menjawab kerenyitan ibu. ”Ini bagian dari resolusiku tahun 2017!” lanjut ayah mantap.
“Mau jadi apa kamu kalau tidak kerja?” tanya ibuku dengan ketus.
“Aku memutuskan untuk menjadi penulis saja, menulis cerpen dan novel,” jawab ayahku datar. “Seperti yang sudah kulakukan saat ini,” ujar ayah melanjutkan perkataannya lagi.
“Mau makan apa kita?”
Ars longa, vita brevis!” Jawab ayah tegas.
Suara ibuku tiba-tiba melengking lantas menggelegar bagai gemuruh guntur di langit kelam dan siap menghancurkan plafon rumah kami yang mendadak berderak-derak.
“Koran-koran, Republikanya udah ada nih!” Suara Pak Badiru mengheningkan sejenak suasana panas yang mencemaskan ini. Ayah juga pernah berkata, untuk merasakan sepi datanglah ke keramaian. Lihatlah betapa kerumunan orang-orang hanya serupa gumpalan awan yang siap lenyap ketika angin berembus.
Tapi mengapa ibuku berkata dengan nada sangat tinggi, “Mau makan apa kita?”, ketika ayahku bilang ia mau menjadi penulis saja? Sebagai anak kecil, bagian inilah yang tak kumengerti, maka kusudahi saja cerita ini. ***
*) Saat ini Koran Tempo yang memiliki rubrik cerpen dan puisi terbit di hari Sabtu dan Kompas mengubah konsep pemuatan Puisi pada hari Sabtu dan Cerpen pada hari Minggu.
*) Ars Longa, Vita Brevis adalah frasa latin yang berarti Seni itu panjang, sedangkan hidup itu pendek


Kalibata City-Bintaro Plaza, 21 September 2017
Bamby Cahyadi, lahir di Manado, 5 Maret 1970. Menulis cerpen untuk sejumlah koran, tabloid dan majalah. Buku kumpulan cerpenterbarunya Apa yang Terjadi Adalah Sebuah Kisah (Desember, 2016).

Rabu, 08 Februari 2017

Apa yang Terjadi Adalah Sebuah Kisah

Hanya dijual di Toko Buku TOGAMAS harga Rp 47.000,- (belum termasuk ongkir). Bisa juga dipesan langsung ke Penerbit UNSA Press dan penulisnya yang keren Bamby Cahyadi.

Jumat, 03 Februari 2017

Apa yang Terjadi Adalah Sebuah Kisah (Kumpulan Cerpen Bamby Cahyadi)

APA YANG TERJADI ADALAH SEBUAH KISAH

Penulis: Bamby Cahyadi
Penerbit: UNSA Press
Cetakan Pertama: Desember 2016
ISBN: 9786027439344
Isi: vi + 141 hlm. ; 13 cm X 19 cm

Petikan Cerita:

Malam itu pesawat yang saya tumpangi dari Kuala Lumpur menuju Beijing meledak menjadi serpihan debu paling kecil di dunia. Bahkan menjadi kesiur angin laut yang lembap tak terdeteksi radar. Mereka mengatakan pesawat itu hilang.
Menjelang penggantian tahun 2014 menuju 2015. Pukul 21.15 Wib. Ada seorang tante yang kesepian. Ada seorang mahasiswa yang terombang-ambing, kemudian mencari kedamaian di sebuah tempat pelacuran yang sudah tutup. Ada seorang pemuda baik-baik yang oleh berbagai kemelut akhirnya terperangkap menjadi Gigolo. Ada sepasang makhluk berlainan jenis kelamin yang terkulai di atas ranjang, lalu larut dalam rasa berdosa yang dalam.
Saya menyaksikan itu semua sebagai hantu di ruangan sempit ini. Ingat, ini bukan mimpi. Acta est fabula. Apa yang terjadi adalah sebuah kisah. Saya berada dalam pesawat nahas yang kalian nyatakan hilang itu. Permainan telah berakhir. Kalian masih terus mencari, mencari hingga kalian lupa apa yang kalian cari.



Bamby Cahyadi adalah penulis cerpen kelahiran Manado, 5 Maret 1970. Ia menulis berbagai tema cerita pendek di koran, majalah, dan tabloid. Ia aktif mengelola Komunitas Sastra Jakarta (Kosakata) bersama teman-temannya. Kesehariannya Bamby bekerja di industri food and beverages, ia meraih gelar Bachelor of Hamburgerology dari McDonald’s Hamburger University Sydney, Australia. Bersertifikasi Internasional Food Safety (ServSafe International) dari Burger King dan NRA (United State National Restaurant Association).

Buku-bukunya yang telah terbit, Kumpulan cerpen Tangan untuk Utik (Koekoesan, 2009), Kisah Muram di Restoran Cepat Saji (Gramedia Pustaka Utama, 2012) dan Perempuan Lolipop (Gramedia Pustaka Utama, 2014). Terlibat dalam antologi Bob Marley dan 11 Cerpen Pilihan Sriti.com (GPU, 2009), bunga rampai cerpen Si Murai dan Orang Gila (DKJ & Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), bunga rampai cerpen Tuah Tara No Ate (TSI IV Ternate, 2011), novel bersama 11 penulis lainnya berjudul Sengatan Sang Kumbang (2011), Kitab Antologi Puisi Sastra Reboan Cinta Gugat (Pasar Malam Production, 2013), dan Kumpulan Cerpen Pilihan Majalah Esquire Indonesia Pesan untuk Kekasih Tercinta (GPU, 2015).  Pada bulan Oktober 2013, Bamby diundang sebagai salah satu sastrawan dalam Bienal Sastra Salihara 2013. Ia bisa ditemui di Twitter, dengan akun: @bambycahyadi

Selasa, 20 Desember 2016

Pre Order "Apa yang Terjadi Adalah Sebuah Kisah"

OPEN PRE-ORDER KUMCER KE-4 BAMBY CAHYADI

Sebagai penulis cerita pendek (cerpen) tentu saya pun berkeinginan menulis cerita panjang, seperti novel, misalnya. Namun nafas saya cukup terengah-engah untuk menulis novel. Apalagi profesi saya sebagai pekerja restoran dan café, terkadang menghambat produktivitas menulis. Biar pun begitu saya tetap menulis cerpen sesuai keinginan hati. Sehingga kembali bisa menerbitkan sebuah kumpulan cerita pendek (kumcer) adalah kebahagiaan terbesar dalam hidup saya di dunia sastra yang penuh dinamika.

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Pada hari ini tepat tanggal 20 Desember hingga 31 Desember 2016 menjelang penghujung tahun dan awal tahun baru 2017, buku kumpulan cerpen saya ”Apa yang Terjadi Adalah Sebuah Kisah” penerbit UNSA Press dibuka untuk PEMESANAN LEBIH AWAL (Pre Order).

APA YANG TERJADI ADALAH SEBUAH KISAH vi + 143 hlm. ; 13 cm X 19 cm. ISBN 978-602-74393-4-4. Penerbit Unsa Press, Harga buku Rp 45.000,- (bebas ongkos kirim untuk pemesan di Pulau Jawa) Bonus wording dan tanda tangan penulis. Pemesan dari luar Pulau Jawa ada ongkos kirim yang akan diinformasikan penerbit.


Bagi teman-teman yang ingin memesan, silakan inbox saya di Facebook Bamby Cahyadi


dengan menyertakan Nama Lengkap, Alamat Lengkap beserta kode pos, Nomor HP dan jumlah buku yang dipesan. Jadikan buku kumcer ini sebagai hadiah Tahun Baru 2017 yang paling indah. Terima kasih.

Kamis, 18 Agustus 2016

CERITA PENDEK BELUM SELESAI [dimuat di Tribun Jabar 22 Mei 2016]

Dimuat di Tribun Jabar (22 Mei 2016)

 

CERITA PENDEK BELUM SELESAI

Oleh: Bamby Cahyadi

 

1

Sebagai seorang penulis cerpen yang tidak begitu produktif, terkadang kehidupan saya ini begitu membosankan. Saya tidak memiliki suatu tempat yang nyaman untuk melakukan aktivitas menulis. Saya pun menulis sedikit-sedikit dan pendek-pendek. Ingin sekali menulis panjang, lantas jadi novel. Namun begitu, dalam benak saya sering melintas dan berlompatan imajinasi tentang gambaran suatu peristiwa yang sekonyong-konyong muncul minta dibikin cerita.

Maka apabila berkesempatan saya tuliskan peristiwa tersebut, meski nantinya tidak selesai. Contohnya seperti ini:

 

Aku memandang sinar-sinar lampu stasiun yang berpendar-pendar di antara tiupan angin malam yang lembut, aku merasakan semua suasana ini seolah-olah memanggil-manggil diriku.

Mendadak tiupan angin berubah mengeras dan berputar-putar menyapu dedaunan yang gugur di permulaan musim hujan, menimbulkan suara gemerisik yang cukup mencekam. Awan-awan tebal tetap menyembunyikan rembulan seolah mencegahnya menyaksikan kejadian yang sebentar lagi akan berlangsung.

Awan-awan rendah menyelimuti suasana tengah malam ini, seakan-akan meredam gaungan lonceng yang berdentang-dentang 12 kali.

Hari ini hari yang suram dan penuh kabut. Cuaca berkabut seperti ini biasanya terjadi setiap tahun di desa kami. Menuju ke desa kami yang terletak di titik pertemuan dua sungai, jalan yang harus dilalui begitu turun naik dan berliku-liku menembus lereng-lereng perbukitan dengan jurang-jurang curam dan dalam di kanan dan kiri jalan. Para pengendara kendaraan yang menempuh jalan tersebut harus selalu ekstra hati-hati.

Berbelok ke kiri mengelilingi dasar sebuah gunung yang cukup tinggi dengan tebing curam di sebelah kanan jalan yang diberi pagar berupa tonggak-tonggak kayu penyelamat, sekaligus pembatas. Begitu melewati punggung gunung, langit di sebelah kananku sekonyong-konyong dipenuhi warna merah terang menyala dan tampak berkobar-kobar.

Sewaktu aku terbangun keadaan di sekelilingku tampak gelap gulita dan aku mulai menyadari bahwa diriku berada dalam sebuah kendaraan yang sedang bergerak. Tanganku terikat di belakang badanku dan begitu juga kedua kakiku. Aku ingin sekali berteriak.

“Kalau kamu melakukannya aku akan menyumbat mulutmu!” Terdengar suara lantang dari kursi kemudi, seolah ia tahu jalan pikiranku.

 

Nah, biasanya setelah itu, saya bingung sendiri untuk menulis kelanjutannya dan mengatur alur cerita ini untuk dituntaskan.

 

2

Beberapa novel atau cerpen terjemahan yang saya baca (saya tidak membaca buku dengan teks bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya), saya sangat menyukai sebuah cerita dengan suasana musim salju. Terkadang saya suka berkhayal, alangkah bahagianya apabila Indonesia memiliki musim dingin yang bersalju, akan banyak penulis yang akan bercerita dengan latar musim dingin bersalju ketimbang musim hujan dan senja.

Saya pun seperti latah, mencoba menulis sebuah cerita dengan lokasi di sebuah hotel pada sebuah musim salju entah di mana.

 

Pada suatu hari kegelapan musim salju jatuh lebih awal. Saat ini senja di luar, ketika pintu hotel didorong terbuka dan seorang lelaki muda berjalan masuk. Ia baru saja menembus deruan salju di luar sana. Pegawai hotel mendongak melihat lelaki itu berhenti tepat di tengah lobi hotel sambil menyentakkan kakinya dan mengibaskan sisa-sisa butiran salju yang menempel di jas lelaki itu.

Ia seorang lelaki muda yang tampan, dengan pakaian yang rapi, sesuatu yang menambah keperlenteannya adalah cambang yang rapi di kedua sisi dekat telinga. Penampilan lelaki itu cukup menimbulkan rasa segan bagi pegawai hotel tersebut.

 

Ya, begitu saja. Kapan-kapan cerita ini akan saya lanjutkan apabila “perlu” bukan “mau”. Maksud saya, apabila saya perlu uang tambahan untuk hidup saya.

3

Untuk membuat saya ada, maka saya menulis. Menulis status di media sosial pun tidak masalah. Karena sekadar membuktikan, “Saya ada lho!” Masalahnya, saya menulis status apabila ada sesuatu hal yang memang benar-benar saya pikirkan dan ingin saya ceritakan. Buah pikiran saya memang tidaklah penting-penting amat. Hanya saja apabila tidak saya tuliskan mengakibatkan rasa penasaran tentang sesuatu yang saya pikirkan itu akan menghantui.

Tentu sebagian besar dari kaum lelaki pernah bermasturbasi, saya pun demikian adanya. Pengalaman pertama tentu saja tak akan terlupakan. Terus terang saya ingin ceritakan saat-saat pertama melakukannya. Dan saya tuliskan begitu saja.

 

Napasku berembus cepat dalam kesunyian, dan yang bisa kulakukan adalah menutup mata. Satu sentuhan tanganku pada batang kemaluanku hampir meledakkan jantungku. Denyut jantungku berdentam-dentam di dalam dada. Aku tidak pernah merasakan gairah semacam ini. Aku merasakan gelombang kenikmatan yang begitu intens dibandingkan apa pun yang pernah aku rasakan sepanjang hidupku. Rasanya begitu sempurna disentuh seperti ini, tanganku membelai kemaluanku sendiri. Sebuah pelepasan memancarkan kemana-mana. Aku merasakan kepuasan itu dari ujung-ujung jari kaki hingga ke ubun-ubun kepala.

 

Ada hal yang luput dari saya, teman-teman di media sosial tidak melulu isinya manusia dewasa yang cukup paham akan isi tulisan saya. Ada juga beberapa bocah yang mendadak terangsang setelah membaca status saya itu, ketika itu saya merasa sangat bersalah.

 

4

Saya bekerja di industri makanan cepat saji. Untuk mendapatkan hari libur yang tepat atau mengambil masa cuti yang pas bukanlah perkara mudah. Kami harus menyesuaikan jadwal libur atau cuti dengan hari-hari sepi, atau bulan-bulan sepi di mana tidak ada transaksi penjualan yang signifikan terjadi di restoran.

Jadwal kerja yang padat seringkali menimbulkan keluhan-keluhan tak berguna. Karena meskipun mengeluh, toh pekerjaan ini tetap saya lakoni dengan penuh hati. Beruntung saya penulis, sebagai ungkapan keinginan untuk berlibur, jadilah sebuah cerita yang imajinatif.

 

Hal terakhir yang aku ingat adalah wajah perempuan itu yang mendekat, dan sepertinya ia mengedipkan sebelah matanya. Ia menggelengkan kepalanya. Ia berkata sesuatu, tapi suaranya terdengar sangat jauh.

Hal terakhir yang aku lihat, pola renda pada celana dalam perempuan itu akan maninggalkan tanda pada bokongnya dan melekat dalam ingatanku. Ia memakai bra biru dengan warna senada, dan tank top warna putih yang berpotongan sangat rendah sehingga memperlihatkan sebagian besar hiasan pada bra-nya.

Aku merasa bagai sebuah boneka bertali yang tiba-tiba dipotong benangnya. Tubuhku terkulai. Tidaklah gampang menjelaskan kepadanya mengapa aku perlu pergi dari tempat ini ke suatu tempat di tempat lain. Kali ini aku hanya mengatakan kepadanya bahwa aku ingin sekali berlibur. Berlibur ke suatu masa,  entah kapan?

 

NB: Tank top, bra dan celana dalam perempuan sesungguhnya sumber inspirasi bagi saya. “Itu pikiran cabul!” kata istri saya, ketika membaca sepenggal cerita tak selesai ini.

 

5

Kata siapa, saya suka hari Senin? Meski bagi saya pergantian hari dari minggu ke bulan ke tahun sama halnya dengan manusia yang bernapas secara terus menerus, bagi saya hari Senin adalah awal tumpukan masalah. Membuat hari Senin-mu indah, bacalah sepotong kalimat ini:

 

Hari Senin. Pada pagi hari orang-orang bergegas berlalu-lalang menuju suatu tempat. Dari dalam kendaraan berkelebatan kata-kata samar pada papan-papan iklan dan nama-nama toko yang dituliskan warna-warni. Pada malam hari, cahaya lampu dari kendaraan bermotor memendar menimbulkan bayangan-bayangan aneh namun hidup.

Kadang-kadang di antara jam 9 dan 10 pada pagi hari yang sama, seorang tukang cukur duduk-duduk di kursi cukur dalam ruangannya di jalan Tebet Raya, ia duduk sambil membaca koran dengan gaya malas-malas. Sesekali ia memandang keluar jendela, melempar pandangan mencari pelanggan. Seorang lelaki muda tiba-tiba saja sudah masuk dengan perlahan-lahan sehingga tukang cukur itu tidak menyadari keberadaannya dan tidak mendengar pintu ruang cukur dibuka seseorang. Lelaki muda itu berkulit putih dengan cambang dan kumis yang tampak tak beraturan, juga rambut yang tak rapi, sehingga memang sepertinya perlu dipangkas. Tukang cukur melonjak dan terburu-buru menyambut pelanggan dengan sopan. Ia berhenti dari keasyikan baca koran sambil duduk malas-malas, ia kini sibuk bekerja memangkas rambut dan merapikan cambang serta kumis pelanggannya itu.

 

Seperti biasa, saya bingung sendiri untuk menentukan kelanjutan cerita. Bagaimana plot cerita nantinya akan menghadirkan karakter pada tokoh cerita. Jangankan mengembangkan plot dan tokoh, melanjutkannya saja, malasnya minta ampun. Ya, itulah sebab saya kerap menghasilkan cerita-cerita gagal yang tak pernah selesai, yang kini tengah Anda baca.

 

6

Bagian ini bukan cerita gagal, akan tetapi sebuah curhat. Agar seolah-olah ini bagian dari cerita, maka saya miringkan saja font tulisan ini.

 

Aku tidak pernah punya ambisi dalam kesusastraan. Demi Tuhan, seandainya seseorang menyarankan aku untuk menjadi penulis yang menulis tentang lokalitas (kearifan lokal) atau cerita berlatar belakang budaya tradisional suatu daerah tertentu, aku akan menertawakan diriku sendiri dan si pemberi saran itu. Maaf, aku hanya bercanda. Alasan yang paling masuk akal, aku tak menulis tentang kearifan lokal, karena aku tak menguasainya. Meski hal itu menjadi kekuranganku selaku penulis tentunya. Aku menulis dan bercerita tentang sesuatu yang benar-benar aku ketahui. Itulah realitanya, sejak kecil hingga dewasa, aku tidak pernah menetap untuk periode waktu yang lama di suatu daerah atau tempat, sehingga aku tak mahir bertutur soal kearifan lokal.

Banyak penikmat sastra yang sering berseloroh gaya prosaku, termasuk para redaktur, tema cerpen yang kutulis dan suguhkan. Mengejek dengan halus bahwa aku penulis yang lugas, padahal maksudnya adalah aku miskin diksi dan metafora. Apakah benar? Setidaknya hal itu memicuku untuk selalu belajar, belajar dari siapa saja. Memperbanyak membaca buku sastra dan teori-teori kesusastraan yang memang belum kukuasai secara paripurna.

 

Saya memang menulis dengan hanya mengandalkan segenap kenangan, kesenangan, sedikit talenta untuk bergenit-genit dan menguji intuisi otak saya agar terus perpikir agar tidak menjadi gila atau bunuh diri. Padahal saya takut mati. Ha..ha..ha! ***

 

Jakarta, 02-02-2016

 

Bamby Cahyadi. Lahir di Manado. Berkerja di sebuah restoran cepat saji di Jakarta. Kumpulan Cerpen terbarunya, Perempuan Lolipop (2014).