Selasa, 16 Juni 2015

Tidak Mudah Menjadi Hantu [Dimuat di Jawa Pos]

TIDAK MUDAH MENJADI HANTU
Oleh: Bamby Cahyadi

Sultan Saladdin baru menyadari kematiannya setelah 7 tahun ia tewas akibat sengatan listrik di ruang tamu rumahnya. Ya, ketika itu usianya 38 tahun, dan apabila ia masih menjalani kehidupan sebagai manusia bernyawa maka kini ia genap 45 tahun.
Sultan Saladdin adalah lelaki baik-baik. Berumur tiga puluh delapan tahun kala itu, menikah dua kali. Pernikahan dengan istri pertama tanpa anak, pernikahan kedua ia beroleh dua orang anak. Ia bekerja sebagai wartawan di salah satu majalah mingguan ternama di ibukota, dan ia begitu mencintai buku, terutama buku sastra. Ia bergabung dengan komunitas penikmat sastra dan banyak mengikuti kegiatan-kegiatan sastra yang diselenggarakan oleh komunitas di mana ia menjadi anggota, meskipun bukan sebagai anggota aktif.
Kedengarannya memang konyol dan agak berlebihan, Sultan Saladdin baru mengetahui kematiannya setelah 7 tahun kemudian. 7 tahun, bukan 7 bulan apalagi 7 hari. Lalu kemana saja ia selama 7 tahun setelah kematiannya yang menyedihkan itu? Ia sendiri tampak bingung. Dahinya berkerut, seperti sedang memikirkan sesuatu yang serius. Saat ini ia merasa masih hidup. Dan, saat ini ia berada di sini, di rumahnya sendiri, sebagai hantu.
Dengan kondisi masih linglung, Sultan Saladdin berjalan menuju dinding ruang tamu, agak ragu-ragu ia menerabas masuk melalui dinding dan ia berhasil. Ia bisa menembus dinding tanpa terhalang lapisan semen dan batu bata di dalamnya. Ia lolos begitu saja serupa angin yang menembus kelambu. Ia kini di kamar tidur, istri dan anak-anaknya tidak ada di rumah saat ini. Kamar tidur lengang. Ia melihat sebuah sisir yang tergeletak di atas kasur, dengan tangan kanannya ia berusaha untuk mengambil sisir tersebut dan memindahkannya ke meja rias, namun hal itu tidak bisa dilakukannya, sisir itu seperti menjelma menjadi air yang hendak digenggam. Sultan Saladdin hanya memegang udara.
Sebagai hantu yang baru berada di dunia lain, Sultan Saladdin belum menyadari bahwa untuk memindahkan benda, para hantu harus mempelajarinya secara serius, karena dibutuhkan kemauan, kesabaran, kerja keras dan stamina yang mumpuni. Pada kenyataannya menjadi hantu tidaklah mudah bagi Sultan Saladdin. Ia mulai frustrasi.
Sultan Saladdin beranjak dari kamar tidur, ia menembus dinding kamar tidur menuju ruang makan, ia tertegun sejenak.
Ketika tiba di ruang makan, ia berharap mendapatkan suasana yang lebih ceria ketimbang di kamar tidurnya yang muram, kenyataannya ia menemukan sebuah ruang yang begitu sepi. Ia melihat sekeliling ruangan. Ada meja makan, enam kursi, dan lemari pendingin.
Sebuah jam besar menghadap ke arah Sultan Saladdin, dan ia mengamati jarum detiknya bergerak dengan jemu, seakan menegaskan lambatnya pergantian waktu bagi hantu seperti dirinya.
“Tidak ada siapa-siapa,” gumamnya.
Sultan Saladdin menghela napas, bertanya-tanya mengapa ia menjadi hantu setelah 7 tahun kematiannya. Ia memiringkan kepala, berpikir keras lagi.
Menjadi hantu setelah 7 tahun kematian memang sesuatu yang aneh. Namun karena ia memiliki daya ingat yang luar biasa, perlu diingat ia seorang wartawan semasa hidupnya. Samar-samar lantas makin tajam dan jelas Sultan Saladdin ingat ketika masa ia hidup, 7 tahun yang lalu.
***
Sultan Saladdin ingat betul, sehari sebelum kematiannya ia menonton berita di sebuah kafe di kawasan Kuningan dekat kantor KPK, sambil minum secangkir kopi hitam tanpa gula dengan Salman Rusdie, Sofyan Muharram dan Sabar Dwisunu. Mareka adalah sesama wartawan dari media yang berbeda. Salman wartawan senior koran Kompas, Sofyan reporter dari Metro TV dan Sabar selaku juru kamera. Mereka baru saja meliput konferensi pers yang digelar oleh ketua KPK, Abraham Samad, tentang penangkapan salah satu pimpinan KPK, Bambang Widjojanto oleh Bareskrim Mabes Polri.
Tapi ada yang luput dari ingatan Sultan Saladdin kejadian pada malam musibah itu terjadi. Malam itu, tujuh tahun yang lalu Jakarta dicekam musim hujan yang keji.
Esok hari setelah ia minum kopi di kafe dekat kantor KPK seperti biasa ia pulang dari kantornya dengan mengendarai motor kesayangannya menjelang tengah malam. Ia mengendarai motornya dari seputaran Senayan menuju Tebet, Jakarta Selatan.
Malam itu, di beberapa tempat orang-orang masih tampak menggerombol. Kios-kios sudah tutup, hanya satu warung yang menjual kopi dan minuman keras murahan yang masih buka di depan kompleks perumahannya. Semakin malam situasi semakin sepi, orang-orang yang bergerombol tampak menyusut hingga habis sebelum tengah malam tiba, ketika ia sampai di rumahnya hujan pun telah turun dengan deras.
Setelah membuka pintu gerbang dan memarkirkan motornya di depan teras rumah,  Sultan Saladdin mendadak merasa ada yang tidak beres dengan istri dan anak-anaknya. Malam itu, tidak seperti biasanya istri atau anak-anaknya tidak membukakan pintu untuk menyambut kedatangannya ketika deru motor menggerung di depan gerbang pagar. Sampai-sampai mereka pun lupa menyalakan lampu teras. Hatinya mendadak merasa was-was, perasaan khawatir menyeruak menggigit-gigit ulu hatinya. Apakah istri dan anak-anak tidak berada di rumah?
Pernah suatu ketika, saat ia pulang kerja malam hari, keadaan rumah lengang seperti rumah yang tak ada penghuninya. Lampu teras padam, di dalam rumah gelap gulita dan tak terdengar samar-samar suara televisi yang ditonton oleh anak-anaknya. Waktu itu karena bingung dan ponsel istri dan anak-anaknya tidak bisa dihubungi, ia kembali ke depan kompleks dan bertanya kepada pemilik warung di situ.
“Apakah Bapak melihat kemana istri dan anak-anak saya pergi?” tanya Sultan Saladdin kepada pemilik warung. Biasanya apabila berpergian dengan kendaraan umum, mereka selalu menunggu taksi atau angkot di depan warung itu.
“Tadi Ibu dan anak-anak naik taksi ke arah sana, Pak,” jawab pemilik warung menunjuk ke arah Manggarai.
Namun waktu itu kekhawatiran Sultan Saladdin segera pupus ketika menerima pesan pendek dari istrinya, bahwa ia dan anak-anak ke rumah orangtua istrinya karena sang ayah mertua terkena serangan jantung. Lega lah hati Sultan Saladdin.
Malam ini berbeda.
Perasaan seorang suami dan ayah dari dua orang anak ini, tiba-tiba membuat hati Sultan Saladdin semakin gelisah. Setelah ia mencopot helm yang membungkam kepalanya dan menanggalkan jaket yang memeluk tubuhnya, diketuk-ketuk pintu rumah sambil mengucapkan salam berulang-ulang, tapi tak ada jawaban dari dalam.
“Apakah suara deras hujan mengalahkan suara ketukan pada pintu?” batinnya.
Ia nyaris tak tahan menunggu selama beberapa menit di dalam kesuraman teras rumah dan perangkap malam yang basah.
 Akhirnya ia melangkah dengan napas membeku dan rasa dingin yang tiba-tiba menyebar ke bagian lehernya. Ia pergi ke belakang rumah, pintu di sana sudah digembok biasanya memang begitu. Selepas senja pintu belakang itu selalu telah dikunci. Perasaan Sultan Saladdin semakin diamuk kecemasan yang bergulung-gulung ketika ia mengetuk-ngetuk jendela kamar istri dan anak-anaknya tak ada sahutan dari dalam.
Ia kembali ke depan teras dan berusaha mengintip dari celah gorden. Ia kembali mengetuk pintu yang berdiri tegak itu.
Karena rasa khawatir dan penasaran yang begitu melilitnya, ia mencoba mendobrak pintu rumahnya dengan beberapa tendangan. Namun tidak memberi hasil, misalnya pintu rumah jebol dan berantakan seperti di film-film laga. Ia kemudian ingat, pintu rumahnya dibuat dari material kayu yang tak mudah didobrak dan dijebol apalagi hanya dengan tendangan kaki seorang wartawan.
Sultan Saladdin kembali mengintip melalui celah gorden yang tersibak kesiur kipas angin di ruang tamu. Betapa terperanjat, ia seperti disengat beribu binatang kalajengking, dari sela-sela gorden yang melambai-lambai akibat tiupan kipas angin ia melihat seluruh lantai di ruang keluarga berwarna merah. Hanya warna merah yang ia lihat di dalam rumah yang remang itu. Warna merah darah!
Sultan Saladdin tercekat beberapa saat, lantas ia berteriak, namun suaranya nyaris tercekik di tenggorokan menyangkut di udara. Kakinya bergetar, lututnya terperangkap dalam gemetar ketika melihat tubuh istrinya, Sumiati Susanti, terlentang dengan leher bersimbah darah. Kedua anaknya, Sukma Saladdin anak pertamanya telungkup, juga penuh darah. Sedangkan, Satria Saladdin anak kedua, digenangi darah seluruh tubuhnya.
“Tolong-tolong! Istri dan anak-anak saya dibunuh...!” Teriak Sultan Saladdin histeris.
Tetangganya dan orang-orang semakin ramai berdatangan beberapa saat kemudian dan memenuhi halaman di sekitar rumah Sultan Saladdin. Akhirnya pintu berhasil didobrak dengan bantuan petugas keamanan kompleks. Ketua RT telah menghubungi polsek setempat.
Ketika Sultan Saladdin menyeruak masuk ke ruang tamu sambil berteriak-teriak, ketika itu pula ia terpelanting dan jatuh ke lantai dengan kepala membentur lantai yang penuh dengan aliran darah istri dan anak-anaknya.
Ia merasa seperti disetrum oleh listrik dengan daya sengat yang sangat tinggi. Pandangan Sultan Saladdin gelap, semuanya menjadi berwarna hitam pekat.
***
Sultan Saladdin baru menyadari kematiannya setelah 7 tahun ia tewas. Ada sesuatu yang ia luput, ia bukan tewas tersengat listrik, ia hanya terpeleset genangan darah istri dan anak-anaknya, ia terpelanting dan jatuh ke lantai. Lantas pingsan.
Pada kenyataannya, Sultan Saladdin hanyalah seorang yang kehilangan kewarasannya. Ia seringkali merenungkan dan lantas membuat alur cerita cerdik dan situasi ganjil yang membingungkan selayak cerita dari buku-buku sastra beraroma detektif yang sering ia baca.
Ia punya kebiasaan berbicara sendiri, kemudian ia melihat sekeliling, berharap tak ada seorang pun yang mendengarnya. Ia kerap mengunjungi kuburan istri dan kedua anaknya, serta kuburan saya. Terkadang ia membawa bunga dan hanya duduk-duduk seperti berpikir di pinggir kuburan. Lantas ia berbicara sendiri, mengedar pandangan, dan berharap tak ada orang yang mendengarnya.
Begitulah keterlibatan saya dalam kisah ini. Saya adalah pendengar setia cerita-cerita Sultan Saladdin ketika ia berbicara sendirian sambil ia menenggak vodka terkadang wiski dan merasakan alkohol mengirimkan arus panas ke dalam darah dan tulangnya.
Setiap orang memiliki cara masing-masing untuk mengatasi rasa kehilangan. Sultan Saladdin memilih menjadi pemabuk yang gila. Tapi tidak mudah menjadi hantu dan sekaligus pencerita seperti saya.***

Jakarta, 12 Februari 2015





Minggu, 11 Januari 2015

Saya dan Sastra yang Menyesatkan

Saya dan Cerita-cerita Tentang Saya

Bagi saya menulis adalah semacam terapi dan akan mencegah saya agar tidak terjerumus ke dalam suasana hati yang terkadang cenderung saya masuki itu. Suasana itu bernama kenangan.
***
            Kerena mengikuti Ayah saya yang perpindah-pindah tempat bertugas di sebuah perusahaan perbankan milik negara, masa kecil hingga remaja saya habiskan di Pulau Sulawesi, Jawa dan Sumatera. Oleh karenanya, saya dan kakak saya terlahir di Manado, Sulawesi Utara. Di Sulawesi Utara, Ayah sempat berpindah dari Manado ke Kotamobagu (Bolaang Mongondow). Di Kotamobagu adik saya lahir. Lantas pindah ke Bitung, sebuah kota pelabuhan super sibuk di wilayah Timur Indonesia masih di Sulawesi Utara. Masa penugasan Ayah saya setelah dari Bitung ke Ampana, Sulawesi Tengah. Ampana sebuah kota kecil yang berada di pesisir laut yang menghadap ke Teluk Tomini. Untuk mencapai Ampana, kami mendarat di Palu, lantas ke Poso dan kemudian melanjutkan perjalanan melalui darat dari Poso ke Ampana. Masa penugasan Ayah di Sulawesi Utara dan Tengah pada kurun waktu 1967-1979, masing-masing kota rata-rata 3 tahun. Oleh karenanya, saya bersekolah di TK hingga SD kelas I adalah di Bitung dan kelas II-IV SD di Ampana.
            Pada tahun 1979, Ayah saya dipindahtugaskan ke Tegal, Jawa Tengah. Saat pindah ke Tegal, masa itu saya kelas V Sekolah Dasar. Lulus SD di Tegal dan saya masuk ke sebuah SMP Negeri di kota Tegal, hingga kelas II, tahun 1983 Ayah dipindahtugaskan lagi, kali ini ke Medan, Sumatera Utara. Ayah saya meninggal dunia karena sakit ketika bertugas di Medan, tepatnya 15 Februari 1985, dan sebentar lagi–pada waktu itu–saya akan mengikuti Ujian Nasional kelulusan SMP. Saya lulus SMP di Medan.
            Ayah saya berasal dari Samarinda, Kalimantan Timur dan Ibu saya dari Tasikmalaya, Jawa Barat. Sewaktu Ayah meninggal, keluarga besar kami berunding mengenai di mana kah Ayah akan dimakamkan? Pihak keluarga besar Ayah saya menginginkan Ayah dimakamkan di Samarinda, kampung halamannya. Namun Ibu saya berkehendak lain, Ibu ingin Ayah dimakamkan di Tasikmalaya. Pada akhirnya, Ayah saya dimakamkan di Tasikmalaya, kota kelahiran Ibu saya. Kisah perjalanan ketika kami membawa jenazah Ayah dari Medan menuju Tasikmalaya, saya pernah tuturkan dalam sebuah cerpen berjudul “Aku Bercerita dari Pesawat yang Sedang Terbang.”
            Setelah lulus SMP tanpa disaksikan oleh Ayah, Ibu membawa kami pindah ke Tasikmalaya, kota berhawa sejuk dengan Gunung Galunggung yang fenomenal sebagai latar kota. Di Tasikmalaya saya menghabiskan masa SMA hingga Perguruan Tinggi. Lulus kuliah, saya memutuskan untuk bekerja di Jakarta, hingga saat ini.
            Tentu agak aneh, kenapa saya mengisahkan sekelumit masa kecil saya hingga remaja sampai lulus kuliah pada kata pengantar buku ini. Pertanyaan itu akan terjawab nantinya.
***
            Ketertarikkan saya menulis cerita pendek memang agak terlambat, apalagi memasuki dunia sastra Indonesia bisa dikatakan sangat terlambat. Dunia sastra itu bagaikan belantara luas, tanpa ujung dan pangkal. Kadang saya menemukan titik terang di sana, kadang saya tersesat di dalamnya. Dunia yang penuh dinamika yang tak pernah saya duga dan sangka-sangka sebelumnya.
Saya memang gemar membaca, saya masih ingat ketika itu bacaan yang sering saya santap adalah Kompas. Saya terbiasa membaca koran itu sejak SD kelas I, ketika koran itu dibawa Ayah dari kantornya ke rumah. Saya sering berebutan membacanya dengan kakak saya. Dikarenakan kami gemar membaca, maka Ibu mulai berlangganan majalah Si Kuncung dan Bobo untuk kami, pun majalah-majalah lainnya seperti Femina dan Kartini, tentu majalah dewasa itu untuk konsumsi Ibu saya, namun kami pun tak kuasa menahan hasrat untuk melahap isi kedua majalah tersebut. Saat SMP, kami berlangganan majalah Hai, Kawanku dan Anita Cemerlang.
            Masa kanak-kanak saya, remaja hingga dewasa memang bergelimang bahan-bahan bacaan mulai dari koran, majalah, buku-buku dongeng, novel dan komik. Ayah selalu membelikan kami buku bacaan baru apabila ia berdinas ke suatu tempat. Mungkin hal inilah yang memicu saya bercita-cita ingin menjadi wartawan. Bisa menulis berita apa saja dan tulisan saya dibaca oleh orang-orang. Ya, waktu itu cita-cita saya menjadi wartawan.
            Selain membaca, kegemaran saya yang lain adalah menggambar dan melukis. Ketika di Tegal, saya pernah menjadi juara ke-2 Lomba menggambar antar SD se-kabupaten Tegal, pun pada masa kelas VI SD saya pernah mengikuti Lomba Menggambar Kantor Pos kota Tegal, walaupun tidak menjadi juara, saat itu saya masuk liputan Berita Daerah di TVRI Yogyakarta. Bukan main girangnya, ketika melihat foto hitam putih yang ada sayanya sedang menggambar ditayangkan TVRI stasiun Yogyakarta. Saya sampai berguling-guling di lantai saking bahagia. Saya pun pernah mengirimkan hasil karya menggambar saya ke Bapak Tino Sidin di Jakarta, dan ketika Pak Tino Sidin menampangkan gambar saya di layar kaca TVRI Pusat, sambil berkata, “Bagus!” Ketika itu pula dunia saya seperti ditaburi dengan beraneka ragam bunga-bunga, entah melambung kemana perasaan saya saking bahagia. Begitulah kelakukan saya kanak-kanak.
            Karena keahlian menggambar, saya menjadi pengisi tetap Majalah Dinding saat SMP di Medan dan SMA di Tasikmalaya. Bahkan, saya mendapat jatah menjadi kartunis tetap edisi mingguan di Mading, dengan nama tokoh si Bocah, akronim nama saya. Di SMA selain bergabung menjadi anggota Pramuka dan pengurus OSIS, saya pun bergabung sebagai tim redaksi majalah sekolah. Masih lekat dalam ingatan saya, kami membuat majalah dengan sistem stensilan. Selain menulis di majalah tersebut, saya menjadi ilustrator untuk majalah siswa itu.
            Saya mengikuti banyak kegiatan ekstra kulikuler dan pelbagai kesibukan lainnya sejujurnya semua itu upaya pelarian dari kesedihan saya akibat Ayah meninggal. Saya ingin sekali melupakan kenangan yang penuh warna bersama Ayah saat ia masih hidup. Dunia saya waktu itu mendadak berubah warna, dari berwarna-warni menjadi kelabu. Saya marah kepada Tuhan, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Ibu saya setiap hari menangis dan menangis, meratapi kepergian Ayah yang begitu cepat. Meskipun ia larut dalam kesedihan yang mendalam, Ibu saya sosok perempuan yang tegar dan punya prinsip yang kokoh untuk menyekolahkan kami hingga ke perguruan tinggi. Cerita perjuangan Ibu saya pernah saya narasikan sebagai sebuah kisah berbalut fiksi berjudul “Aku Tidak Sehebat Kartini.”
            Melupakan kesedihan mengantar saya memiliki banyak aktivitas di sekolah. Sebuah pengalihan yang positif dan tentu bermanfaat bagi diri saya sebagai remaja.
            Tanggal 16 Agustus 1987, saya mengalami kecelakaan lalu-lintas yang hampir merenggut nyawa saya pada sebuah kegiatan Pramuka. Saya tak sadarkan diri hingga berjam-jam lamanya. Pada saat pingsan, saya bertemu dengan almarhum Ayah yang mengajak saya untuk mengikutinya ke sebuah tempat. Namun saya menolaknya, karena saya ingin menemani Ibu dan jangan sampai Ibu bertambah sedih akibat kehilangan saya. Dalam alam tak sadar itu, Ayah saya memaklumi keputusan saya, Ayah lalu pergi, ia memunggungi saya tanpa menoleh sedikitpun. Ketika itu saya tersadar dari pingsan serta bingung dengan apa yang terjadi. Tubuh saya tergolek di meja operasi. Dikarenakan cidera di kepala yang parah, saya menjalani perawatan intensif di rumah sakit sebulan penuh. Pengalaman ini saya jadikan cerpen berjudul “Tanda Cinta dari Akhirat.” (Bersambung di buku terbaru)
            

Jakarta, 31 Desember 2014, pukul 23.59 Wib.