Minggu, 25 Desember 2011

TENTANG LAN FANG [5 Maret 1970 - 25 Desember 2011]

Sumber: Tentang Penulis Novel Kembang Gunung Purei, penerbit Gramedia Pustaka Utama, April 2005, halaman 225.

Lan Fang lahir di Banjarmasin pada tanggal 5 Maret 1970 dari pasangan Johnny Gautama dan Yang Mei Ing, sebagai anak sulung dari dua bersaudara. Adiknya bernama Janet Gautama. Pada tahun 1988, ia menyelesaikan SMA-nya di Banjarmasin lalu meneruskan dan menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Surabaya (UBAYA).

Walaupun terlahir dalam keluarga keturunan Cina yang cukup konservatif dan lebih berkonsentrasi kepada dunia bisnis, Lan Fang sudah suka menulis dan membaca sejak usia sekolah dasar. Buku-buku Enid Blynton, Laura Ingals Wilder, atau sekadar majalah anak-anak, seperti Bobo dan Donal Bebek, telah mengantar imajinasinya ke dunia lain. Di sekolah pun, pelajaran kesukaannya adalah pelajaran Bahasa Indonesia, terutama mengarang. Sebetulnya keinginan Lan Fang untuk menulis cerpen sudah mulai ada sejak SMP ketika bacaannya mulai beralih kepada majalah-majalah remaja seperti Anita Cemerlang dan Gadis. Tetapi karena dianggap “ganjil” dan “tidak tertangkap mata” oleh keluarganya, tidak ada motivasi kuat untuk mempertajam talentanya. Keinginan menulis itu pun terlupakan begitu saja.

Ketika ia berusia 13 tahun, ibunya meninggal dunia karena kanker otak yang ganas. Sejak itu ia selalu merasa dirinya tidak lengkap, namun cinta pertamanya pada seorang pemuda di usia 15 tahun, memberinya inspirasi yang tak pernah kering. Walaupun bukan penulis, tetapi pemuda itu telah memberikan ruang gerak yang luas dan waktu yang tidak terbatas pada Lan Fang sehingga memacunya untuk berkarya. Ketika semua isi kepala dan hatinya itu dituangkan ke dalam tulisan dengan sangat lancar, Lan Fang merasa takjub ketika menyadari tulisan itu sudah berbentuk cerita. Sekadar iseng, ia kemudian mengirim cerita pendek pertamanya yang berjudul Catatan Yang Tertinggal itu ke majalah Anita Cemerlang pada tahun 1986. Ternyata cerpen tersebut langsung dimuat sebagai cerita utama di halaman depan.

Setelah itu Lan Fang jadi ketagihan menulis. Ketika menulis, ia menemukan dimensi baru tanpa ruang dan waktu, tempat ia bisa merasa bebas melompat-lompat dari dunia satu ke dunia lain. Ia merasa bebas mengungkapkan apa yang ia pikirkan, rasakan, bayangkan, pertanyakan, tanpa adanya benturan dengan batasan-batasan.

Pada periode 1986-1988, ia cukup banyak menulis cerpen remaja yang bertebaran di majalah-majalah remaja seperti Gadis, terutama Anita Cemerlang. Kebanyakan cerpen yang ia tulis bernapaskan cinta dengan banyak pengaruh tulisan Kahlil Gibran.

Sejak tahun 1997, ibu dari kembar tiga ini berulang kali memenangkan berbagai lomba penulisan. Di tahun tersebut, cerbernya Reinkarnasi menjadi Juara Penghargaan Lomba Mengarang Cerber Femina dan cerpennya Bicara Tentang Cinta, Sri… menjadi Juara II Lomba Cerpen Tabloid Nyata. Di tahun 1998, karyanya yang berjudul Pai Yin menjadi Pemenang Penghargaan Lomba Mengarang Cerber Femina. Di tahun yang sama cerpennya Bayang-Bayang pun menjadi Pemenang II Lomba Mengarang Cerpen Femina. Selain itu, cerpen Ambilkan Bulan, Bu… menjadi karya layak muat untuk Femina.

Ia sempat vakum selama lima tahun dari dunia tulis-menulis, karena sibuk berkonsentrasi dalam merintis karier di sebuah bank nasional swasta di Surabaya sampai tahun 2000. Saat ini, ia bergabung di sebuah perusahaan asuransi jiwa asing di kantor cabangnya di Surabaya.

Akhirnya pada tahun 2003 ini, Lan Fang berhasil menyelesaikan tulisannya yang mengendap selama jangka waktu itu. Karyanya yang berjudul Kembang Gunung Purei tersebut pun menjadi Pemenang Penghargaan Lomba Novel Femina 2003.

Dalam kesehariannya, ibu dari Vajra Yeshie Kusala, Vajra Virya Kusala, dan Vajra Vidya Kusala ini sangat mensyukuri keberadaan 3 Vajra = 3 Kekuatan yang di-milikinya sebagai sumber semangat dan motivator kuat untuk selalu bisa bertahan di saat-saat sulit.

Pada pembukaan novel Kembang Gunung Purei, Lan Fang menulis puisi sebagai berikut :

(Surabaya, 5 Agustus 2003)

Saat-saat kutulis bagian tengah buku ini di
Ujung kakinya…
Saat-saat tidak bisa menyelesaikan bagian akhir
Buku ini…
Karena…
Ia memberiku…
Tidur panjang yang cantik…
Mati indah,
Tapi meninggalkan ngilu dalam dan panjang…
Sehingga…
Buku ini…
Tidak pernah selesai…..

Lan Fang meninggal dunia pada tanggal 25 Desember 2011 di Rumah Sakit Mont Elisabeth Singapura, Minggu siang ketika sebagian dari kita merayakan hari Natal. Lan Fang mengalami tidur panjang yang cantik dan mati yang indah.

Jakarta, 25 Desember 2011

Selasa, 06 Desember 2011

To Hijack America

Waktu kami mulai menetap di Amerika, anak sulung kami berumur tigabelas tahun, sedangkan si bungsu belum cukup dua tahun.
Tahu-tahu, seperti sesuatu yang mendadak terjadi dalam sekejapan mata, semua anak kami sekarang sudah meninggalkan rumah: bersekolah, lalu bekerja.
Tentu itulah keinginan kami sebagai orang tua. Anak-anak bersekolah dengan baik dan memperoleh pekerjaan yang baik pula. Namun di samping itu, dalam hati kami juga terkandung harapan bahwa mereka akan menikah kelak dan mendirikan keluarga bahagia sendiri-sendiri, sesuai keinginan mereka. Terutama istriku yang mendesak ke arah itu.
Rupanya dorongan sekaligus hasrat istriku itu berhasil, anak kami menikah. Tetapi muncul pengalaman yang tak disangka-sangka. Di luar dugaan kami, setahun yang lalu.

***
Tahun yang lalu anak lelaki kami yang terbesar, Firman, selesai belajar dan memperoleh pekerjaan yang baik di negara bagian New York. Sebelum berangkat ke New York, ia pulang dulu ke rumah untuk pamit dan untuk memberi tahu sesuatu yang membuat aku dan istriku terkejut. Ia akan menikah!
”Kapan kamu akan menikah?” tanyaku.
”Hari Jumat minggu ini, Pa,” jawab anakku kalem.
”Hei, ini hari Senin, Nak. Kamu jangan main-main,” istriku menyela.
”Aku serius, Ma!” kata anakku.
”Lantas, siapa yang akan kamu nikahi? Mana mempelai perempuan, calon istrimu itu?” tanyaku.
”Ia akan datang ke sini, pada hari Kamis,” ujar Firman tersenyum.
Kulihat mata istriku berbinar-binar. Ia lantas memeluk anak lelaki kami yang terbesar. Firman akan menikah, gumamnya. Tapi dengan siapa? Banyak teman perempuannya, baik yang pernah ia kenalkan pada kami, atau sekadar ia ajak main ke rumah.
Pada hari Kamis, calon menantu kami itu benar-benar datang dan menginap di rumah kami. Seorang perempuan cantik, dan tentu saja orang Amerika asli. Namanya Alexa.
Keesokan harinya kami pergi ke pengadilan dan sepuluh menit sesudah membayar 40 dolar, anak kami secara resmi sudah beristri dan kami bermenantu. Sungguh sesuatu di luar dugaan kami.
Anehnya, istriku yang semula sangat berhasrat agar anak kami menikah, malah terlihat murung. Bagi istriku kejadian itu terlampau aneh, terlalu kosong. Maklumlah tradisi yang sudah berakar dalam hati generasi kami, khususnya orang Indonesia, tidak dapat diabaikan begitu saja.
Melalui telepon, kami beritahukan anak-anak kami yang tersebar ribuan kilometer jauhnya, bahwa kakak mereka sudah menikah hari Jumat lalu. Begitu juga pada sanak-kerabat di tanah air. Firman sudah menikah.
Dengan secepat kilat, aku dan istriku mengatur pesta kecil di rumah dengan mengundang tiga keluarga Indonesia yang bertempat tinggal di daerah kami.
”Agar mereka tahu bahwa anak kita menikah secara wajar,” kata istriku sambil mengatur meja makan.
”Kenapa kamu bicara seperti itu?” selidikku.
”Ah, sudahlah. Mungkin hanya masalah nilai-nilai kewajaran saja yang mengganggu pikiranku,” jawab istriku.
Aku lantas merenungkan perkataan istriku, sambil memandang ke arah jendela. Di luar rumah salju turun perlahan.
Nilai apakah yang menentukan kewajaran? Batinku. Pertalian sebagai suami-istri memang sudah disahkan undang-undang, namun bagaimana perasaan kami sebagai orang tua? Siapakah menantu kami itu?
Sewaktu masih berpacaran dengan anak lelaki kami yang terbesar, Alexa memang sudah diperkenalkan pada kami. Ketika itu ia diundang berlibur tiga hari di rumah kami oleh anakku. Ia seorang Amerika, California. Ia guru sekolah dasar. Kedua orang tuanya sudah bercerai ketika ia masih kecil.
Menurutnya, ia masih sering berhubungan dengan ibunya, melalui telepon atau bertemu di sebuah tempat. Dengan ayahnya? Ia mengakui kurang tahu di mana ayahnya berada.
Istriku sempat bertanya pada menantu kami itu, ”Apakah ibumu tahu kamu menikah?”
Dengan santai menantu kami menjawab, ”Itu kurang penting, nanti kalau aku bertemu dengannya akan kuberi tahu.”
Sebenarnya banyak pertanyaan yang kami ingin tanyakan dan ingin kami ketahui jawabannya, namun tidak sempat kami tanyakan. Karena mereka, pengantin baru itu, sudah terbang ke New York, untuk berbulan madu pada hari Minggu.
Kami hanya bisa bengong, terpukau dan tak percaya dengan apa yang terjadi. Hari Senin anak kami bilang ia akan menikah, hari Kamis calon menantu kami datang ke rumah dan menginap, hari Jumat mereka menikah, hari Minggu mereka pergi meninggalkan kami yang terbengong-bengong. Sungguh ironis apa yang terjadi itu. Atau kah sungguh lucu?

***
Akhirnya cerita itu kami ceritakan sebagai pengalaman ironi yang lucu kepada seorang kenalan Amerika, Kevin namanya. Namun, ia tidak mengerti di mana letak ironi dan lucunya.
”Anda beruntung tidak berhadapan dengan besan Anda,” kata Kevin.
”Lho, maksud Anda?” tanyaku.
”Istriku orang California, orang tuanya sudah bercerai waktu mereka bermukim di San Diego beberapa tahun silam. Waktu itu, orang tuaku tinggal di Chicago. Dalam perjalanan liburan, orang tuaku kebetulan melalui San Diego, kesempatan itu mereka pergunakan untuk berkenalan dengan orang tua istriku. Ternyata mereka hanya diterima di depan rumah dan tak diundang masuk. Selama sepuluh menit mereka berbicara, lalu orang tuaku pamit!" ujar Kevin getir.
Aku terperangah. Kevin meneruskan ceritanya, ”Istriku dengan dua orang anak kami sebulan yang lalu berangkat ke California untuk berlibur di rumahnya ayahnya. Mereka rupanya senang sekali di sana. Kemarin dulu istriku menelepon dengan saran supaya aku pindah saja dan mencari pekerjaan di California. Untuk sementara kami bisa tinggal di rumah ayahnya.”
”Lantas, kenapa Anda tak ikuti saran istrimu?” Tanyaku lugu.
”Tinggal bersama ayahnya? He, kamu kira aku orang China?” jawab Kevin dengan sebuah pertanyaan. Lantas ia tertawa terbahak-bahak. Sekali lagi aku terbengong-bengong. Menurutku, bukan orang China saja yang bisa hidup satu rumah bersama mertuanya, orang Indonesia pun banyak yang masih satu rumah dengan mertua atau orang tuanya walaupun mereka sudah menikah.
Ah, betapa aku tiba-tiba diserang kerinduan yang amat sangat tentang kehangatan keluarga besarku di Indonesia. Atau aku sudah begitu kolot untuk mengalami kondisi perbedaan kultur dan pergaulan sosial di Amerika ini?

***

Keherananku sebagai orang tua ternyata tidak berhenti sampai di sini saja. Tahun ini anak lelaki saya yang nomor dua, Lukman, pulang dari California, karena ia lebih suka cara hidup di daerah yang tak terlalu berisik dan ramai.
Tentu saja kami senang sekali. Keahliannya dalam bidang pertukangan kayu dan otomekanik, pasti akan sangat bermanfaat baginya untuk memulai berwiraswasta.
Kalau ada pekerjaan, tentu pendapatannya sebagai ahli pertukangan kayu dan otomekanik akan mendatangkan penghasilan yang lumayan besar. Kalau sedang sedang tak ada pekerjaan, ia bisa pergi ke laut untuk menangkap ikan dengan speargun, jala atau pancing. Sebuah cara hidup yang sederhana, orang-orang menyebutnya cara hidup orang ”local”.
Pada suatu malam, Lukman dipanggil lewat telepon oleh seorang peternak babi, Paul namanya, untuk memeriksa cetak biru sebuah rumah yang akan dibuatnya. Setelah beberapa kali datang untuk mendiskusikan proyeknya, aku melihat tingkah laku Lukman berubah.
Aku memberi tahu pengamatanku kepada istriku, yang biasanya berintuisi lebih tajam dalam hal perubahan perilaku anak-anaknya.
Istriku memandang Lukman dari kejauhan. Ya, Lukman tampak sedang tersenyum-senyum sendirian di kebun belakang rumah kami.
”Kamu jangan terlalu khawatir, sayang,” kata istriku. ”Kelihatannya, ia sedang jatuh cinta?” lanjut istriku dengan suara yang renyah.
Pengamatanku benar rupanya. Setengah berbisik aku berkata, ”You are right. Our son is in love.” Kami lantas tertawa sambil menggeleng-geleng kepala melihat tingkah Lukman di kebun belakang rumah.
”Kalau benar ia sedang jatuh cinta, lantas siapa pacarnya?” tanya istriku.
”Kamu benar, kita harus segera tanya padanya!” jawabku bersemangat.
Tidak terlalu berbelit ketika kami menanyakan sedang jatuh cinta pada siapa Lukman. Ia bahkan langsung memberitahu bahwa ia akan membawa teman wanitanya, Julie namanya, ke rumah untuk diperkenalkan pada kami.
Julie datang pada waktu yang ditentukan sambil membawa bayi berumur sebulan. Jantungku tiba-tiba berdetak cepat, darahku berdesir. Mustahil itu cucuku! Karena menurut pengakuan Lukman, ia baru pacaran dengan Julie kurang dari dua bulan.
Ah, ternyata bayi itu bukan cucuku. Lega rasanya. Julie lantas bercerita tentang dirinya. Julie adalah putri peternak babi Paul. Ia dilahirkan dan dibesarkan di daerah kami. Makanya meskipun berkulit putih ia disebut ”local” (seperti yang sering kita lihat tayangannya di film-film Hollywood), orang yang tumbuh-besar hanya di daerahnya saja, tak pernah kemana-mana.
Julie sudah pernah bertunangan, namun dua hari sebelum pernikahan berlangsung, ia membatalkan hubungan dengan tunangannnya itu. Tetapi kala itu, ia sudah mengandung!
Beberapa bulan kemudian, Julie melahirkan bayinya, ia memberi nama Brendi kepada bayinya itu.
Saat Lukman sering bertandang ke rumah peternak babi Paul, rupanya benih-benih asmara bersemaian di sana, Lukman merasa cocok dengan Julie. Mereka suka hidup dengan cara ”local”.
Mula-mula istriku keberatan hubungan Lukman dan Julie, namun lambat-laun istriku luluh juga. Rupanya kepribadian Julie sangat menawan hati istriku, Julie seorang yang lembut dan penyayang. Hingga akhirnya istriku rela juga melanggengkan hubungan Lukman dan Julie.

***

Sekarang mulai timbul keruwetan baru. Aku memang suka sekali pada bayi dan anak kecil. Maka setiap kali Brendi dibawa ke rumah, aku menggendong dan bermain dengannya. Aku memanggil Brendi selayaknya aku memanggil cucuku sendiri. Aku membayangkan bagaimana ia memanggilku kelak. Begitu pun dengan Julie. Apakah ia akan memanggilku, Ayah? Atau nama kecilku saja.
Inilah masalahnya bila tinggal dan hidup di Amerika. Sudah menjadi hal lumrah, hal wajar dan mungkin sangat sopan, untuk saling memanggil dengan hanya memanggil nama kecil saja. Biar pun usia terpaut jauh berbeda.
Julie yang sering datang ke rumah tak pernah memanggilku Mr. Mahmudi. Itu pun tidak pada tempatnya ia memanggilku dengan Mahmud saja, kukira ia merasa sungkan juga, kurang sopan. Karena ia tahu, Lukman memanggilku Papa. Pemakaian istilah Om atau Tante tidak bisa dipakai. Karena ini Amerika. Akhirnya, walaupun selalu canggung, demi menghormati aku dan istriku, Julie hanya mengatakan ”Hallo”, lain tidak ketika menyapa kami.
Setelah Lukman dan Julie menikah, keruwetan ini pasti akan terurai. Tentu mereka akan memanggil aku dan istriku: Papa dan Mama.
Tapi aku tak begitu yakin, soal lain bakal tak akan bikin ruwet lagi. Karena mendadak timbul keruwetan baru. Bapaknya Julie, Paul, mengundang kami makan malam dengan hidangan menu yang istimewa, namun membuat lidah kami tercekat: Babi Panggang! **

Rabu, 16 November 2011

A Gloomy Tale from a Fast Food Restaurant

A Gloomy Tale from a Fast Food Restaurant
*Bamby Cahyadi (Translator: Bung Kelinci)

This short story waiting for a publisher

Sabtu, 13 Agustus 2011

EMOSI PAGI HARI

Emosi Pagi Hari (dimuat di Harian Analisa Medan, 14 Agustus 2011)

Oleh: Bamby Cahyadi

Terkadang liburan dari rutinitas kerja bagiku menjadi hal yang membosankan. Padahal beristirahat dari pekerjaan yang bertubi-tubi dan penuh target yang mesti dicapai adalah sebuah anugerah. Tentu akan menjadi membosankan apabila aku tak punya agenda acara untuk mengisi liburan kerja itu. Begitulah yang terjadi di hari selasa lalu.

Pagi-pagi, setelah sarapan dengan semangkuk oatmeal instan -makanan ini sudah menjadi menu sarapan pagi yang paling nikmat bagiku sejak lima tahun terakhir, padahal makanan berserat oat ini hambar rasanya dan bikin ingin muntah kalau dimakan sudah tak panas lagi-, minum segelas susu berkalsium -lagi-lagi susu ini sudah menjadi minuman favoritku sejak lima tahun terakhir ini, tapi tetap saja persendianku dan tulang-belulangku masih suka linu-linu apabila terkena udara dingin atau semburan AC yang terlampau sejuk- dan menelan sebutir vitamin C dosis tinggi.

Apabila Anda mengatakan aku korban iklan, maka akan kujawab: "Anda benar!"

Setelah sarapan, lalu mandi. Berdandan sedikit: menyisir rambut, menggunakan pelembab kulit dan menyemprotkan parfum secukupnya pada ketiak, merapikan kerah baju, lantas aku pamit pada pembantu rumah-tangga untuk keluar rumah sejenak. Aku tak pamit pada istriku karena dia sudah pergi bekerja pagi-pagi sekali, ketika jalanan masih lengang dan aku masih bergumul dengan mimpi-mimpi yang mengasyikkan (walaupun mimpi buruk, bagiku mimpi sesuatu yang keren dan asyik). Pernah tidak Anda bermimpi? Kalau Anda merasa jarang bermimpi atau tak pernah bermimpi atau lupa akan mimpi-mimpi yang Anda alami saat tertidur, kasihan sekali hidup Anda.

Aku keluar rumah dengan tujuan kantor pos dan selanjutnya belum jelas mau kemana. Ada beberapa buku pesanan teman yang belum sempat kukirimkan.

Sesampai di kantor pos. Entah karena hari itu masih hari selasa dan baru saja liburan panjang, suasana kantor pos sangat meriah. Sangat ramai. Penuh-sesak dan berdesak-desakkan. Kebanyakan orang yang sudah tua yang memenuhi seluruh ruang tunggu kantor pos. Mungkin mereka mau mengambil uang pensiun, batinku.

Aku mengantre di loket pengiriman kilat khusus. Dalam benakku, setelah berpuluh-puluh tahun menggunakan jasa pos, aku tak pernah dilayani dengan cepat. Petugas pos selalu lamban menangani pemakai jasa pos yang hendak kirim surat, dokumen dan barang kiriman lainnya. Entah di kantor pos langganan Anda.

Petugas pos loket kilat khusus mengetik pada keyboard komputer memakai sistem 11 jari, (seperti yang aku lakukan sekarang saat mengetik cerpen ini. Sistem 11 jari artinya hanya jari telunjuk tangan kanan-kiri saja yang beraktivitas), tapi kecepatan ketikanku tentu saja jauh lebih cepat ketimbang petugas pos yang kelihatannnya masih berusia muda-muda, tapi guratan wajah mereka seperti orang yang telah berpuluh-puluh tahun kerja di situ, tanpa ekspresi apalagi senyuman. Napas mereka seolah menghembuskan keluhan, keluhan dan keluhan! Seolah-olah orang yang dilayani adalah jarum jam yang berputar lambat, atau bisa jadi serupa toilet tisu tak berguna dan bikin kerjaan saja. Sesuatu yang menginterupsi kehidupan bahagia mereka saat itu.

Aku mengangsur tiga buah amplop kiriman kepada petugas loket. Amplop diterima dengan malas-malas oleh petugas, lalu sepintas dia membaca alamat kirim, lantas masih dengan malas-malas dia mengetik alamat kirim. Setelah itu dengan gerakan lemah dia melempar amplopku ke meja temannya di sebelahnya, untuk distempel.

"Isinya buku semua!" kata petugas itu.

"Oh, buku," sahut temannya tak kalah lesunya menyetempel amplopku yang berisi buku-buku karanganku itu. Aku berpikir, mungkin mereka belum sempat sarapan, hingga hari masih pagi mereka sudah loyo ibarat orang kekurangan vitamin dan gizi buruk.

Dengan wajah datar tak bersahabat, petugas pos menyodorkan kertas kuning padaku seraya berucap, "Dua puluh enam ribu, kalau bisa bayar pakai uang pas!" Aku geram dibuatnya. Mau marah rasanya.

Urusan uang kecil atau uang kembalian memang sudah menjadi masalah laten di ibukota. Apalagi apabila Anda menggunakan jasa taksi. Selalu sediakan uang dengan nominal kecil-kecil saja dalam dompet Anda. Rp. 50.000,- atau Rp. 100.000,- nominal yang pasti ditolak bila Anda melakukan transaksi apa saja di pagi hari. Inilah asumsiku. Buktinya, petugas kantor pos meminta aku membayar biaya kiriman dengan uang pas. Pasti dia tak punya uang kembalian. Bisa juga ia malas! Sudahlah.

Udara panas di ruang tunggu -yang disebabkan oleh tidak dinyalakannya empat unit AC 2 PK, kelihatannya untuk berhemat- hampir membakar emosiku yang sumbunya sangat pendek untuk disulut dan meledak. Untung ada seorang perempuan cantik yang senyum-senyum melihat aku yang sedang tampak sebal, gusar dan berkeringat. Hatiku agak sejuk dibuatnya.

Aku mengucapkan terima kasih. Bukan pada petugas pos yang melayaniku dengan beku. Aku menyungging senyum pada perempuan cantik itu dan mengucapkan terima kasih padanya, karena telah membuat hati dan kepalaku sejuk. Mudah-mudahan petugas di kantor pos tempat Anda berkirim sesuatu, tak sama dengan petugas kantor pos yang kuceritakan di sini.

Lepas dari kantor pos barulah aku memikirkan kemana tujuanku selanjutnya. Baiklah, aku berniat mengunjungi sebuah mal yang letaknya tak begitu jauh dari kantor pos ini. Aku menggunakan taksi -karena aku tak bisa nyetir mobil dan tak punya nyali yang cukup tangguh untuk mengendarai sepeda motor di tengah lalu-lintas Jakarta yang sangar dan kejam- menuju mal yang kumaksud.

Aku selalu mengunakan jasa taksi, karena lebih nyaman walaupun selalu menjebol isi dompetku di setiap tengah bulan. Lagi pula, jumlah kendaraan di Jakarta sudah sedemikian banyak, masih kah aku menambah jumlahnya yang tak cukup lagi ditampung oleh lajur jalanan?

Pada saat hendak naik taksi, aku kesal bukan kepalang. Darahku mendidih lagi. Para pengguna kendaraan sepeda motor yang tak sudi memberikan kesempatan padaku untuk menuju dan membuka pintu taksi. Padahal taksi sudah menepi mendekati trotoar, tetapi pengguna motor terus menerabas dari sisi kiri jalan. Mereka tak memberikan jalan dan kesempatan padaku untuk naik ke dalam taksi. Dengan sedikit keberanian kuhadang motor-motor itu dengan badanku, sambil aku membuat acungan jempol pada mereka. Mendadak motor-motor itu mengerem. Terdengar suara berdecit disusul suara-suara gerutuan dari para pengendara motor.

Heran! Kenapa mereka yang menggerutu? Apakah kalau mereka memperlambat laju motornya, mereka bakal kehilangan uang bermilyar-milyar rupiah? Atau, orang terkasih mereka akan mati? Tentu mereka tak kehilangan apa-apa bukan? Apabila memberi kesempatan padaku untuk melangkah dan masuk ke dalam taksi.

AC taksi membuat hatiku sejuk kembali. Sampailah aku di sebuah mal. Untuk berhemat, aku berhenti di sisi kiri jalan, sementara mal terletak di sisi kanan jalan. Apabila taksi mengantarku sampai lobi mal, taksi harus berputar-balik dan argonya bertambah Rp. 5.000,- -kan nilai yang lumayan untuk membeli menu serba lima ribu di sebuah restoran cepat saji-.

Untuk menuju mal, dari sisi kiri jalan tak ada Jembatan Penyeberangan Orang (JPO). Aku cukup terkesan, sudah tersedia lampu lalu-lintas di jalan itu untuk mengatur orang-orang yang hendak menyeberang. Apabila orang akan menyeberang, lampu hijau dengan gambar tanda orang akan menyala hijau, disertai dengan waktu hitungan 15 detik. Setelah hitungan detik ke-15, lampu itu akan berwarna merah untuk orang yang menyeberang dan tanda hijau pada kendaraan bermotor untuk berjalan.

Saat lampu hijau untuk tanda orang menyeberang menyala, dengan spontan aku menyeberang. Saat itu arus lalu-lintas cukup padat dan beberapa pengendara motor menjalankan motornya cukup kencang. Aku sengaja mengambil posisi menyeberang paling kanan. Saat itulah beberapa motor tetap melaju dengan kecepatan tinggi, walaupun tanda lampu untuk mereka berwarna merah yang berarti, mereka harus berhenti.

Melihat beberapa motor masih menyelinap, dengan penuh emosi dan gagah perkasa aku tendang sebuah motor yang hampir menyeruduk tubuhku. Dengan lantang aku berteriak, "Eh, Anda goblok banget ya? Sudah tahu tanda lampu merah, Anda jalan terus, mata Anda buta!"

Pengendara motor yang kuhardik hanya terkesima dan melotot ke arahku. Dengan segera aku acungkan jari tengah tangan kananku, dan aku berteriak, "Keparat!" -Maaf, kalimat itu kalau diterjemahkan dalam bahasa Inggris artinya Fuck You!-. Terus terang aku berteriak "keparat" dan sangat marah pada setiap pengendara motor yang tidak berdisiplin dan tak mematuhi aturan berlalu-lintas serta tak memberi kesempatan pada penyeberang jalan untuk melintas, seolah-olah jalanan hanya mereka yang punya. Keterlaluan!

Sesampai di dalam mal dengan bergegas aku masuk ke sebuah toko buku untuk menangkan diri. Setelah perasaanku agak nyaman, aku lantas melihat-lihat beberapa buku keluaran terbaru, mencari dan membeli buku-buku karya teman-teman yang terpajang di rak-rak penjualan buku. Hatiku benar-benar sejuk.

Kadang-kadang kehidupan ini membosankan apabila dilalui tanpa tujuan. Dikerjakan tanpa ujung, tanpa pangkal. Tak heran angka orang bunuh diri makin meningkat, sebab hidup ini memang membosankan, apabila tanpa tujuan, bukan? Kurasa, pada saat yang tepat, aku berhak marah-marah dan mengumpat.

Berteriak keparat kepada siapa saja, sekedar seolah-olah hidup ini menyenangkan. Setidaknya emosiku sedikit redam. Tentu bukan pada Anda, pembaca yang budiman. Apalagi kini sudah bulan puasa, dimana emosi tentu harus dikendalikan secara bijaksana, bukan?

Jakarta, 27 Juli 2011

Jumat, 08 Juli 2011

KETIKA HUJAN REDA

KETIKA HUJAN REDA
Cerpen Oleh : Bamby Cahyadi


“Aku benci hujan, aku benci hujan!”
Entah umpatan atau sekadar gerutuan spontan yang terlontar dari mulutku, ketika mengetahui sore ini hujan turun sangat deras. Curah hujan semakin rapat dan di langit yang kelam petir menyambar-nyambar. Kulihat orang-orang berlarian di luar sana untuk berteduh di mana saja.
Sesaat aku tertegun di lobi depan gedung perkantoran tempatku bekerja. Menatap sekeliling dengan gamang. Apakah aku harus merobos hujan ini, batinku. Aku ingin segera pulang ke rumah. Aku lantas sibuk mengaduk-aduk isi tas, mencari payung lipat yang sudah kusiapkan sedari tadi saat menuju kantor pagi hari.
Beberapa hari belakangan ini, mendung tebal selalu menggelayuti langit Jakarta, oleh karenanya, aku telah siapkan sebuah payung lipat untuk mengantisipasi hujan yang sering mendadak runtuh dari langit. Seperti kata pepatah, sedia payung sebelum hujan, maka aku adalah seorang yang cukup patuh dengan pepatah itu. Dan ternyata sore ini hujan benar-benar menyiram bumi Jakarta. Pepatah itu begitu mujarab jadinya.
“Lebih baik hujan!”
Tiba-tiba kupingku menangkap suara seseorang bergumam. Mungkin juga ia menjawab gerutuanku. Aku memalingkan wajah ke arah kiri sumber suara. Saat aku menoleh, mataku bersitatap dengan sebuah mata bulat, indah dan berkilat. Oh, wanita yang bergumam itu begitu cantik. Dadaku sedikit bergemuruh.
“Anda suka hujan?” tanyaku.
“Tidak juga,” jawabnya.
“Kenapa Anda katakan, lebih baik hujan kalau Anda sendiri tidak suka hujan?” ujarku penasaran sambil tanganku sibuk mengaduk-aduk isi tas mencari payung. Tapi nihil. Aku tak menemukan payung lipatku. Seingatku, payung itu sudah kusisipkan ke salah satu bagian di tasku. Mungkin payung itu tertinggal. Tapi aku yakin, payung itu sudah kumasukkan dalam tas ini.
“Ini, pakai saja punyaku,” wanita itu menyodorkan sebuah payung lipat berwarna merah dengan tangan kirinya. Tangan kanannya memegang payung yang lain. Rupanya ia membawa dua buah payung lipat. Kuperhatikan ia sepertinya ingin meminjamkan payungnya dengan tulus padaku.
“Kenapa payung yang merah?” gerutuku dalam hati. Aih, ternyata ia tahu isi hatiku.
“Tidak suka merah ya?” tanya wanita itu seolah-olah ia tahu apa yang barusan kukatakan di dalam hati. Ia lantas melihat payung warna biru di tangan kanannya. Lantas ia menyorongkan payung warna biru di genggaman tangan kanannya kepadaku. Aku sempat tergeragap, tak menyangka ia sespontan itu.
“Terima kasih, aku bawa payung kok,” jawabku singkat sembari terus mengaduk-aduk isi tas, beberapa lembar kertas kerja dan alat-alat tulis hampir berserak di lantai lobi gedung perkantoran ini. Aku lantas menepuk jidatku.
“Ah, aku mungkin lupa!”
“Payungmu tertinggal ya?”
“Iya…!”
“Masih mau?” sodornya lagi.
“Terima kasih,” kataku sembari menerima payung dari tangan kanan wanita itu.
Baik sekali wanita ini batinku. Ia terlihat sangat anggun, penampilannya terlihat rapi dan elegan, mungkin ia seorang sekretaris di salah satu kantor di gedung ini pikirku.
“Kenapa Anda menawarkan pinjaman payung kepadaku? Mungkin saja arah tujuan kita berbeda,” ucapku sambil membuka lipatan payung. Lantas payung terbentang.
“Aku rasa kita ke arah yang sama. Anda akan ke halte itu juga kan?” Wanita itu menunjuk sebuah halte yang berada persis di depan gedung perkantoran ini bukan dengan ujung jarinya, tapi dengan memonyongkan bibirnya. Aku semakin terpukau. Ah, cantik dan lucu sekali wanita ini. Darahku berdesir aneh.
“Berarti Anda kerja di sini ya?” sahutku tidak mengiyakan pertanyaan tentang halte. “Kantor apa? Lantai berapa? Sebagai apa?” Lanjutku memberondongnya dengan pertanyaan. Aku begitu Penasaran. Ia memandangku, aku membalas tatapannya. Desiran dalam darahku menggetarkan syaraf-syarafku.
“Aku Karin!” tiba-tiba wanita itu menjulurkan tangannya untuk bersalaman. Bodohnya diriku! Sedari tadi aku bertukar tanya dengannya, kami belum saling berkenalan. Aku membalas uluran tangan Karin dan menjabatnya erat. Kehangatan mendadak menjalar di telapak tanganku hingga ke sekujur hatiku.
“Biola!” Aku memperkenalkan diri dengan menyebut nama panggilanku. Bukan nama panjangku.
”Biola? Masak lelaki, bernama Biola?” Matanya membelalak.
”Itu nama panggilan. Keren bukan namaku? Tapi, namamu juga keren. Karin, keren,” candaku. Ia terkekeh, pipinya merona merah. Cantik sekali.
“Apalah arti sebuah nama. O ya, maaf, tadi aku menyahut umpatanmu,” kata Karin sambil membuka payungnya juga. Payung warna merah itu terbentang.
“Ya, aku benci hujan di sore hari. Jalanan pasti macet karena banjir!” Aku sedikit memberikan tekanan nada saat mengucapkan kata macet. Karin tertawa kecil melihatku, ia melipat dan menggulung lagi payungnya yang telah dibentangkannya itu.
”Becek, nggak ada ojek! Ha..ha..ha,” lanjutnya sambil tertawa lepas. Aku pun ikut tertawa bersamanya. Entah mengapa, aku merasa telah sangat lama mengenal Karin.
”Kok payungmu dilipat lagi?” tanyaku. Ia tak menjawab.
“Aku rasa kamu juga salah menangkap maksud perkataanku tadi,” jelasnya.
“Maksud kamu?”
“Aku bilang lebih baik hujan. Maksudnya adalah daripada Jakarta panas dan gerah lebih baik hujan!” Ia menegaskan.
“Aku pikir kamu benar juga, beberapa hari ini langit selalu mendung, tetapi tidak hujan, udara menjadi sangat panas dan bikin gerah.” Aku pun ikut melipat kembali payung yang telah mengembang, seperti yang Karin lakukan.
“Tidak jadi ke halte?” tanyaku dan Karin berbarengan. Aku menggeleng. Karin menggeleng.
Hujan semakin deras di luar sana. Jalanan di depan gedung perkantoran kami sejak hujan belum turun memang sudah macet menjadi semakin macet, seolah kendaraan-kendaraan bermotor itu bagai melata yang malas merayap di jalanan yang basah.
Tampaknya tidak ada bus atau taksi yang melewati halte di depan gedung ini. Terkadang aku bertanya sendiri, kemana kendaraan umum seperti bus dan taksi disaat aku begitu membutuhkan keberadaan mereka. Kendaraan didominasi oleh mobil pribadi dan sepeda motor yang bergegas menerabas hujan yang tak mau reda.
Warna langit pun perlahan melindap menjadi suram. Senja tak merekah. Padahal aku sangat suka warna senja. Hujan menutupi warna jingga senja dengan warna kelabu. Kini langit berwarna jelaga, hitam, kelam, disertai hujan yang tak berjeda dan suara petir yang sesekali memekik memecah gelap malam.
Aku dan Karin memutuskan untuk menanti hujan reda dan kemacetan berlalu di sebuah kedai kopi yang terletak di beranda sebelah utara gedung perkantoran ini. Di kedai yang terang dan hangat ini, kami bercakap-cakap tentang apa saja yang terlintas di benak masing-masing sambil menikmati segelas cappucino panas dan sepiring kentang goreng.
”Padahal aku sangat suka warna senja.”
”Oh, romantis sekali itu. Tapi bukan kah kamu tak suka warna merah?”
”Senja berwarna jingga, bukan merah.”
”Tapi keduanya dari dasar warna yang sama.”
”Ah, sudahlah, aku kan sudah memilih payungmu yang berwarna biru.”
”Ya..ya..ya..!”
“Aku sebenarnya tak terlalu benci hujan!”
“Apaaa…?”
“Ah, bukan apa-apa.”
Aku dan Karin kembali menyeruput cappucino yang kini sudah tak benar-benar panas dalam genggaman tangan kami hingga tuntas. Sambil tertawa berseri-seri kami menikmati suara guyuran hujan di atas kanopi kedai kopi yang berdentang-dentang bagai simponi genderang yang bertalu-talu.
Meski makin larut, malam kian hangat. Namun kehangatan yang terjadi terasa begitu cepat berlalu dan buyar dalam sekejap, ketika istriku menelepon dan bertanya. “Kamu di mana?”
Karin melirikku. Setengah bergegas ia berbisik padaku, ”Itu suamiku, ia menjemputku rupanya.”
Kurasa mulutku terbuka, menganga. Lidahku kelu ketika Karin beranjak dari tempat duduk dan berlalu begitu saja. Ingin kukatakan padanya, ”Payungmu tertinggal!” Tapi aku hanya bisa terlongo-longo sendirian dengan mulut terkunci.
Di luar hujan telah reda rupanya. Istriku mengirim sebaris sms, galak sekali isinya. ”Cepat pulang!”***


Jakarta, 10 Maret 2011

Dimuat di Riau Pos, 3 Juli 2011

Kamis, 02 Juni 2011

Tuhan Memang Lucu dan Maha Berkehendak

Cerpen oleh: Bamby Cahyadi



Sudah lama kami mendambakan seorang keturunan. Ya, seorang anak. Aku dan istriku ingin sekali punya bayi lucu sebagaimana layaknya orang tua yang suka pamer foto anaknya di profil Facebook dan BlackBerry. Dalam kehidupan berumah tangga, mungkin itu saja tujuan kami masih bertahan sebagai pasangan suami-istri. Punya anak.



Hingga kini buah-hati yang kami tunggu-tunggu belum juga dilepas-lepas dari genggaman Tuhan ke rahim istriku.



Sebenarnya Tuhan pernah melepas calon anak kepada kami, akan tetapi Tuhan hanya menyimpan di rahim istriku sangat sebentar. Sebelum roh anak kami dihembuskan oleh-Nya ke rahim istriku, Tuhan kembali merenggut roh anak kami itu. Enam tahun yang lalu istriku keguguran. Sakit hati kami. Menangis kami setiap hari.



"Oh, buah hati yang pernah singgah dalam rahim istriku, kau pergi tanpa permisi, Nak," ratapku kala itu. Kami hanya bisa termangu-mangu penuh kesedihan di subuh yang kering dan asing.



Saat itu seonggok daging merah kehitaman keluar dari vagina istriku. Istriku menahan rasa sakit sambil meraung-raung. Ketika dokter mengambil tindakan medis untuk membersihkan isi rahimnya. "Tuhan Maha Berkehendak," begitu kata dokter yang membersihkan rahim istriku. Dan, kami pasrah apa adanya tak berdaya. Mau apa lagi, coba? Kalau itu kemauan Tuhan.



***

Aku adalah pribadi dengan perilaku yang ganjil. Lebih tepat unik, aneh. Aku sering melakukan beberapa pekerjaan dalam waktu yang bersamaan. Aku seperti menjelma menjadi amuba. Bisa membelah diri. Saat aku sedang membaca di ruang tamu, maka diriku yang lain sedang menonton televisi. Atau pada saat aku mandi, maka diriku yang lain sedang menerima telepon dari seorang klien.



Ya, bahkan aku bisa menerabas lorong-lorong waktu. Bermain-main di dimensi waktu. Sesekali aku ke masa lampau dan lebih sering melesat ke masa depan. Karena, menyenangkan melihat masa depan. Di masa depan, sungguh suasananya sangat menakjubkan. Tapi, hal itu tak boleh kubeberkan di sini. Karena kalau kuceritakan di sini situasi dan kondisi di masa depan, kalian bisa ikut-ikutan gila. Lagi pula, kami–para penjelajah waktu–dilarang keras membocorkan rahasia.



Terkadang teman-temanku suka tertawa geli melihat tingkah-polahku. Bahkan ada yang sampai terkikik-kikik berguling-guling di atas trotoar jalan. Dalam pandangan mereka, aku adalah orang gila yang lucu, orang gila yang menghibur. Tetapi pada akhirnya mereka akan bungkam sendiri, saat ada kejadian yang membuat mereka takjub dan terkagum-kagum tentang ceracauku jadi kenyataan.



Sebagian dari teman-teman percaya bahwa aku bisa meramal. Menerawang masa depan atau bisa melihat hal-hal gaib. Aku memang bisa. Maka tidak sedikit yang berkonsultasi denganku masalah-masalah supranatural yang aku sendiri tidak tahu wujudnya seperti apa.



Ramalanku selalu tepat tentang sesuatu peristiwa atau perihal seseorang. Misalnya tentang bencana gempa atau gunung meletus. Atau tentang sakit dan kematian orang-orang yang kukenal atau tak kukenal. Aku sangat yakin diriku yang lain telah melompat ke masa depan, lalu ia kembali lagi menyeruak ke masa kini, kemudian ia membisikkan padaku tentang informasi masa depan itu yang dibutuhkan olehku. Tapi terkadang ia sangat pelit. Ia, memberiku informasi sedikit-sedikit dan terpotong-potong. Hingga aku harus menyusunnya sendiri, seperti potongan puzzle yang berantakan. Biasanya aku menyusun informasi gaib itu lewat energi yang kurasa dari aura seseorang atau aliran energi alam tertentu yang menjalari sekujur tubuhku.



Baiklah, lupakan dulu omong-kosongku tadi. Begini, saat ini aku sangat suka makan rujak. Istriku saja sampai terheran-heran, karena setiap hari aku makan rujak. Pagi, siang, sore, malam, dini hari bahkan subuh pun, rujak selalu kusantap. Betapa nikmatnya buah-buahan asam-manis itu kukunyah dengan bumbu terasi pedas. Ah, tak terbayangkan. Akibatnya, karena harus selalu ada persediaan rujak aku sering berburu rujak dari warung ke warung, dari penjual rujak gerobak ke penjual rujak gerobak yang lain hingga mencari rujak yang dijual di mal-mal.



Aku seperti perempuan yang sedang ngidam. Istriku terkikik-kikik, ketika suatu hari, aku sampai linglung karena ingin makan rujak tak kesampaian. "Kamu seperti orang ngidam saja Mas," kata istriku, saat aku uring-uringan mencari penjual rujak di sekitar kompleks rumah. Tetapi tak satu pun penjual rujak yang kutemui, hingga akhirnya aku putuskan mencari rujak di sebuah mal. Karena di areal food court mal tersebut tersedia counter penganan rujak.



Keadaan akan menjadi tak terkendali apabila aku tak makan rujak sehari saja. Aku akan uring-uringan sepanjang hari, dari bangun hingga kembali tidur. Emosiku akan sangat labil, aku menjadi seorang pemarah yang menjengkelkan. Kalau sudah begitu, istriku buru-buru memberiku obat penenang hingga aku tertidur lelap. Anehnya, dalam tidur pun aku bermimpi sedang mencari-cari rujak, tapi tidak ketemu. Sehingga aku mengigau tak karuan.



Melihat kondisiku ini, istriku menjadi prihatin. Aku pun menyetujui usulan istriku untuk berkonsultasi dengan dokter ahli jiwa atau semacam psikiater. Setelah beberapa kali pertemuan dengan dokter ahli jiwa itu. Akhirnya aku direkomendasi untuk menemui dokter spesialis kandungan oleh dokter ahli jiwa itu. Lho kok?



Tentu saja aku marah. Aku tersinggung pada dokter ahli jiwa itu. Masak aku disuruh menemui dokter kandungan! Namun dengan sabar dokter itu berkata, "Bapak dan Ibu, saya persilakan untuk tes kesuburan di sana. Nah, dokter spesialis kandunganlah ahlinya."



Lantas dokter jiwa itu melanjutkan ucapannya. "Mungkin, Bapak sangat berharap mempunyai seorang anak, sehingga Bapak merasa perlu makan rujak terus-menerus sehingga seolah-olah sedang ngidam."



Tanpa menunggu lebih lama aku dan istriku menuju poliklinik kandungan. Singkat cerita, dokter kandungan meminta kami untuk tes urin. Bukan tes kesuburan. Air kencing kami ditampung dalam tabung botol kecil. Lalu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Kami menunggu dengan sabar hasil tes urin tersebut.



Setelah menunggu sedikit lama, kami dipanggil kembali untuk menemui dokter kandungan tersebut. Dokter itu tidak bercakap sedikit pun. Ia memandangi kami silih berganti. Ke aku, lalu ke istriku. Aku lagi, istriku lagi. Begitu seterusnya. Sampai akhirnya ia berhenti sendiri kecapaian atau bisa jadi karena kepalanya menjadi pusing.



"Ada apa Dok?" tanyaku tak sabar.



"Begini Pak, hasil pemeriksaan urin yang kami lakukan, Bapak positif hamil!" kata dokter itu tercengang sendiri dengan suara bergetar hebat. Ia seolah tak percaya dengan hasil tes medis laboratorium rumah sakit ini. Ia tampak tak percaya dengan ucapannnya sendiri.



"Saya hamil, Dok? Betul saya hamil?" seruku kegirangan.



Istriku sampai bertepuk tangan mendengar kabar baik dari dokter itu dan mengepalkan tangannya, diacungkan tinjunya ke langit, lalu ditariknya ke bawah lagi di atas perutnya. "Yes!" sorak istriku histeris.



Beberapa saat kemudian, dokter kandungan itu terkulai pingsan di kursi duduknya.



Kami lalu mengabari tentang kehamilanku kepada semua orang. Kepada tetangga, kepada teman-teman, kepada keluarga dan kerabat lainnya. Mereka sangat takjub dan tercengang, bahkan ada yang sampai kena serangan jantung.



Aku dan istriku tentu sangat paham dan tak heran dengan kehamilanku. Karena aku pernah sedikit membocorkan rahasia padanya perihal masa depan kami. Tentu saja, tanpa sepengetahuan para penjelajah waktu yang lain.



Akhirnya setelah menjalani sembilan bulan masa hamil, aku melahirkan seorang bayi mungil yang lucu. Aku menjadi sangat terkenal, bukan saja di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Aku adalah laki-laki yang hamil dan kini telah melahirkan seorang anak. Bukan seperti Thomas Beatie, laki-laki yang melahirkan seorang anak, tapi ia melalui proses transgender terlebih dahulu. Aku berbeda, aku lelaki tulen.



Ah, sekarang kami sudah mempunyai seorang momongan yang terlahir dari rahimku. "Oh, Tuhan terima kasih ya," ujarku menimang bayi yang lahir dari rahimku.



Istriku tersenyum bahagia di sampingku, sambil mengusap-usap rambutku.



***

Anakku hilang. Entah mengapa ia bisa hilang. Aku takut ia diculik. Aku ngeri sekali sampai jantungku berdebar-debar hebat seakan mengedor-gedor rongga dadaku. Saking kencang debaran jantungku, aku sangat takut tulang rusukku akan patah akibat debaran yang bergemuruh. Aku memegang dadaku untuk meredam suara debar yang mengerikan itu. Keringatku mengucur deras. Istriku membangunkan aku dari tidur, ia duduk di tepian tempat tidur yang seprainya telah kusut dan basah.



"Anak kita mana, Ma?" tanyaku pada istriku saat aku terbangun dari tidur.



"Anak...? Anak kita yang mana?" balas istriku balik bertanya sambil melongo.



"Ya, anak yang lahir dari rahimku tentunya!" kataku kesal.



"Mas...Mas, kamu kok suka mimpi yang aneh-aneh," ujar istriku tertawa menahan geli melihatku bermandikan keringat.



"Kok mimpi yang aneh-aneh?" balasku.



"Makanya jangan tidur sore-sore. Pamali!" lanjutnya sembari terus terkekeh sambil berurai air mata.



Entah air mata geli atau sedih. Aku menelan ludah. Cuma mimpi rupanya. Mungkin aku yang terlalu serius memikirkan soal keturunan yang belum turun-turun. Tuhan memang lucu dan maha berkehendak.

Jakarta, 25 Desember 2011

Minggu, 30 Januari 2011

Surat Pembaca untuk KOMPAS dari Bamby Cahyadi

Surat Pembaca [untuk Redaktur Desk Non Berita KOMPAS], Gugatan terhadap Cerpen Dadang Ari Murtono dan beberapa komentar teman-teman Facebook.


Jakarta, 30 Januari 2011

Kepada Yth.
Redaktur Surat Pembaca KOMPAS
u.p. Redaktur Desk Non Berita Kompas

Salam Sejahtera,

Saya sangat kecewa dengan cerpen yang dimuat di Kompas, 30 Januari 2011. Cerpen Perempuan Tua dalam Rashomon, yang ditulis oleh Saudara Dadang Ari Murtono, adalah cerpen PLAGIAT dari cerpen berjudul RASHOMON karya Akutagawa Ryunosuke.

Cerpen Rashomon karya Akutagawa Ryunosuke (cerpenis terbaik Jepang) ini, terhimpun dalam kumpulan cerita yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), pada Januari 2008 berjudul Rashomon.

Saya tak perlu menyebutkan di mana letak Saudara Dadang memplagiat cerpen Rashomon, seharusnya Saudara Redaktur Desk Non Berita (Sastra/Cerpen), sangat tahu bahwa cerpen Saudara Dadang (Perempuan Tua dalam Rashomon), isinya sama dengan cerpen Rashomon karya Akutagawa Ryunosuke, hanya paragraf dalam cerpen itu yang dipindah-pindah oleh Saudara Dadang.

Saya kecewa kepada KOMPAS, karena selain cerpen tersebut (Perempuan Tua dalam Rashomon) sudah pernah dimuat di Lampung Post, pada 5 Desember 2010, kenapa pula cerpen PLAGIAT itu bisa lolos dan dimuat di Kompas Minggu, 30 Januari 2011. Padahal cerpen Dadang ini, sempat membuat polemik masalah plagiat mencuat dan didiskusikan secara terbuka di media Facebook oleh beberapa cerpenis termasuk saya.

Saya minta Kompas menarik cerpen Saudara Dadang dan mengumumkan bahwa cerpen tersebut tak pernah dimuat, karena kredibilitas Kompas dipertaruhkan dalam peristiwa ini. Kalau Saudara Redaktur Kompas keberatan, saya bersedia menemui Saudara Redaktur untuk membuktikan bahwa cerpen tersebut PLAGIAT.

Demikian surat pembaca saya sampaikan, tanpa bermaksud menjatuhkan nama Dadang Ari Murtono sebagai cerpenis produktif yang karya-karyanya sering dimuat di media (koran nasional dan lokal), atau memang KOMPAS sudah tak memperhatikan dan tak membaca karya cerpen yang masuk ke meja redaksi. Padahal begitu banyak karya cerpen yang bagus dan berkualitas dari para cerpenis yang mengantri untuk dimuat di Kompas.

Terima kasih.

Salam Saya,

Bamby Cahyadi (Cerpenis)

komentar:
Gemi Mohawk aku dukung 1000%

Bamby Cahyadi
Bukti-bukti plagiat yang disari oleh Sungging Raga:

saya di sini cuma melanjutkan bukti2 plagiat Dadang Ari Murtono terhadap karya Akutagawa yg berjudul Rashomon, saya sendiri belum sempat membuat esai, tapi sebagai soft opening, saya memint...a teman dekat saya yg kebetulan juga teman dekat Dadang untuk bertanya via sms, dan Dadang mengirimkan sms balasan kepada teman dekat saya itu, lalu teman saya ini lantas menerjemahkan sms Dadang yg berbahasa Jawa kedalam bahasa Indonesia kepada saya yg isinya seperti ini:

"maaf ya, aku gak peduli orang bilang apa. menyelesaikan? gimana? apa aku harus datang keorang orang seluruh indonesia satu persatu buat jelasin masalahnya? lha masalahnya apa? aku gak merasa punya masalah. terserah orang mau bilang apa. lha redakturnya aja nyantai kok, gak anggap plagiat kok. ya memang aku diam soalnya aku gak merasa ada apa-apa."

berikut ini sedikit bukti2nya antara Cerpen Dadang di Lampung Post & buku Akutagawa yg diterbitkan KPG

oya, ternyata cuplikan utuh Rashomon versi Akutagawa bisa dilihat di google books:

http://books.google.co.id/books?id=IL2M2djhQmoC&printsec=frontcover

=====

Cerpen Dadang:

Ini adalah Kyoto, kota yang ramai dan permai, dulu. Namun, beberapa tahun silam, kota ini didera bencana beruntun. Gempa bumi, angin puyuh, kebakaran, dan paceklik. Itulah sebab kota ini menjadi senyap dan porak-poranda. Menurut catatan kuno, patung Buddha dan peralatan upacara agama Buddha lainnya hancur, dan kayu-kayunya yang masih tertempel cat dan perada ditumpuk di pinggir jalan, dijual sebagai kayu bakar. Dengan kondisi seperti itu, perbaikan Rashomon sulit diharapkan. Rubah dan cerpelai, musang dan burung punai, juga para penjahat, memanfaatkan reruntuhannya sebagai tempat tinggal. Dan akhirnya, bukan perkara aneh membawa dan membuang mayat ke gerbang itu. Setiap senja seperti sekarang ini, seperti saat si perempuan tua itu berjongkok sambil memandang wajah mayat perempuan itu, suasana menjadi teramat menyeramkan. Tak seorang pun— kecuali perempuan tua itu, tentu saja—berani mendekat.

Halaman 2 Akutagawa:

Kota Kyoto sesepi itu karena beberapa tahun silam didera bencana beruntun, mulai dari gempa bumi, angin puyuh, kebakaran, dan paceklik. Karena itu Kyoto jadi senyap dan porak-poranda. Menurut catatan kuno, patung Buddha dan peralatan upacara agama Buddha lainnya hancur, dan kayu-kayunya yang masih tertempel cat dan perada ditumpuk di pinggir jalan, dijual sebagai kayu bakar. Karena kondisi Kyoto seperti itu, perbaikan Rashomon sulit diharapkan. Rubah dan cerpelai, juga para pelonceng, memanfaatkan reruntuhan sebagai tempat tinggal. Akhirnya, lazim membawa dan membuang mayat tak dikenal ke gerbang itu. Karena bila senja telah tiba suasana menjadi menyeramkan. Tidak ada orang yang berani mendekat.

========

Cerpen Dadang:

Setelah mengamati beberapa saat, perempuan itu menancapkan oncor kayu cemara di sela lantai papan, kemudian menaruh kedua belah tangannya pada leher mayat itu. Perempuan tua itu mulai mencabuti rambut panjang si mayat helai demi helai. Persis seekor monyet yang sedang mencari kutu di tubuh anaknya.

Halaman 7 Akutagawa:

Perempuan tua itu menancapkan oncor kayu cemara di sela lantai papan, kemudian menaruh kedua belah tangannya pada leher mayat yang sejak tadi dipandanginya. Perempuan tua itu mulai mencabuti rambut panjang si mayat helai demi helai, persis seekor monyet yang sedang mencari kutu di tubuh anaknya.

=======

Cerpen Dadang:

Sambil menggenggam gagang pedang, lelaki itu menghampirinya dengan langkah lebar.

Ia terkejut. Saking kagetnya, ia sampai terlonjak bagai dilontarkan dengan ketapel.

"Hei, mau ke mana kau?" hardik Genin itu seraya mencengkeram tangan perempuan itu yang bermaksud melarikan diri.

Halaman 8:

Sambil menggenggam gagang pedang ia menghampiri nenek tua itu dengan langkah lebar.

Sekilas ia melihat ke arah Genin. Dan saking kagetnya seketika itu pula iaterlonjak bagai dilontarkan dengan ketapel.

"Hei, mau ke mana kau?" hardik Genin seraya mencengkeram tangan si nenek yang bermaksud melarikan diri,

======

Cerpen Dadang:

"Apa yang sedang kamu lakukan? Jawab! Kalau tidak mau mengaku...."Genin itu melepasKan cengkeramannya seraya menghunus pedang baja putih berkilau dan mengacungkannya ke depan mata perempuan tua itu. Namun perempuan itu bungkam, kedua tangannya gemetar hebat, napasnya terengah, matanya membelalak seperti hendak melompat keluar dari kelopaknya.

Halaman 8:

"Apa yang sedang kamu lakukan? Jawab! Kalau tidak mau mengaku...."Genin itu melepaskan cengkeramannya seraya menghunus pedang baja putih berkilau dan mengacungkannya ke depan mata si nenek. Tapi, nenek tua itu tetap bungkam, kedua tangannya gemetar hebat, napasnya terengah, matanya membelalak seperti hendak melompat keluar dari kelopaknya,

======

Cerpen Dadang:

"Aku bukan petugas Badan Keamanan. Aku kebetulan lewat di dekat gerbang ini. Maka aku tidak akan mengikatmu atau melakukan tindakan apa pun terhadapmu. Kau cukup mengatakan sedang melakukan apa di sini."

Halaman 9:

"Aku bukan petugas Badan Keamanan. Aku kebetulan lewat di dekat gerbang ini. Maka aku tidak akan mengikatmu atau melakukan tindakan apapun terhadapmu. Kau cukup mengatakan sedang melakukan apa di sini."

========

Terakhir, yg sudah sempat di-paste Bung Bamby:

Cerpen Dadang:

Perempuan tua itu melanjutkan, "Ya... memang, mencabuti rambut orang yang sudah mati bagimu mungkin merupakan kejahatan besar. Tapi mayat-mayat yang ada di sini semua pantas diperlakukan seperti itu. Perempua...n yang rambutnya barusan kucabuti, biasa menjual daging ular kering yang dipotong-potong sekitar 12 cm ke barak penjaga dan mengatakannya sebagai ikan kering. Kalau tidak mati karena terserang wabah penyakit, pasti sekarang pun ia masih menjualnya. Para pengawak katanya kerap membeli, dan mengatakan rasanya enak. Perbuatannya tak dapat disalahkan, karena kalau tak melakukan itu ia akan mati kelaparan. Ia terpaksa melakukannya. Jadi, yang kulakukan pun bukan perbuatan tercela. Aku terpaksa melakukannya, karena kalau tidak, aku pun akan mati kelaparan. Maka, perempuan itu tentunya dapat pula memahami apa yang kulakukan sekarang ini."

Halaman 9 - 10:

"Ya... memang, mencabuti rambut orang yang sudah mati mungkin bagimu merupakan kejahatan besar. Tapi, mayat-mayat yang ada di sini semuanya pantas diperlakukan seperti it...u. Perempuan yang rambutnya barusan kucabuti, biasanya menjual daging ular kering yang dipotong-potong sekitar 12 sentimeter ke barak penjaga dan mengatakannnya sebagai ikan kering. Kalau tidak mati karena terserang wabah penyakit, pasti sekarang pun ia masih menjualnya. Para pengawal katanya kerap membeli, dan mengatakan rasanya enak. Perbuatannya tidak dapat disalahkan, karena kalau tidak melakukan itu ia akan mati kelaparan. Ia terpaksa melakukannya. Jadi, yang kulakukan pun bukan perbuatan tercela. Aku terpaksa melakukannya, karena kalau tidak, aku pun akan mati kelaparan. Maka, perempuan itu tentunya dapat memahami pula apa yang kulakukan sekarang ini."

====

karena terburu-buru, cukup sekian yg bisa ditampilkan :)

Jafar Fakhrurozi :redakturnya lagi pada stress mikirin gayus..

Benny Arnas: Bang Bamby seharusnya bukti-bukti plagiasi seperti yang diuraikan Bang Bamby dan Sungging Raga, juga disertakan sebagai lampiran.Karena aku gak yakin kalau REDAKTUR KOMPAS mau mencari buku terbitan KPG itu, secara dia/mereka kan pemalas .... :-)

Bamby Cahyadi : ‎@ Benny: semoga email yang kukirim tadi pagi dibaca oleh mereka, kalaupun mereka malas membaca, saya siap dipanggil ke kantor redaksi KOMPAS yang terhormat itu!

Linda Christanty : Waah, Mas Bamby. Plagiarisme harus dilawan. Itu kejahatan. Aku dukung. Yang penting Mas Bamby punya bukti. Kalau sudah terbukti begitu, setahuku Kompas juga tegas kok pada plagiarisme. Dulu ada yang menjiplak cerpen juga dan artikel juga dan sempat dimuat di Kompas, lalu mereka black list setelah tahu bahwa para penulis itu menjiplak karya orang lain, nggak bisa menulis lagi di situ. Aku dukung Mas Bamby. Basmi plagiarisme!

Fahri Asiza:
Secara garis besar, saya sependapat dengan isi surat pembaca mas Bamby ke Kompas. Hanya saja, tampak kesalahan ini ditumpahkan ke Kompas dan sepenuhnya seolah menjadi tanggungjawab Kompas (mengingat cerpen colongan ini pun pernah dimuat di ...Lampung Post).

Padahal jelas ini adalah bentuk kecurangan dan miringnya Dadang Ari Murtono yang rupanya tak punya harga diri atau bahkan sebenarnya tak mampu menulis sebuah cerpen, dan menjadi maling dengan nyolong karya orang lain.

Sebagai cerpenis yang lebih dari tiga kali karyanya diplagiat orang, bahkan ada yang hanya mengganti nama pengarangnya saja, saya jelas "terluka" dalam kasus Dadang, sang plagiator.

Tapi apa pun itu, saya sepenuhnya mendukung Mas Bamby...

Benny Arnas: aku menampilkan semua bukti plagiasinya dalam komenku di website KOMPAS.COM. Semoga dibaca. thx

Anita Lindawaty SSi MSi : apa kita belum punya undang2 ttg plagiator yak? ummm... tentang sangsi nya misalnya? ini jelas2 melanggar Hak Kekayaan Intelektual (HKI) loh... kayaknya ada organisasi yg ngurusin HKI deh... mesti email ke sana juga barangkali?

Benny Arnas: wah, komenku di KOMPAS.COM mental. modemku bermasalah lagi dahj kayaknya.
Ini link-nya, Bang. Tapi, bang bamby kudu daftar jadi member dulu.
http://cetak.kompas.com/read/2011/01/30/04092193/perempuan.tua.dalam.rashomon


Bamby Cahyadi ‎: @ Anita: saya tidak tahu untuk dunia tulis-menulis, namun saya rasa harus ada sanksi moral bagi plagiator. Minimal para redaktur surat kabar dan majalah, tidak memberi ruang bagi sang plagiator.

Yetti A. Ka : dukung mas Bamby,soalnya bukti terjadi plagiat itu sangat kuat...

Tina Chi : udah plagiat ga merasa bersalah pula. masih kah ada kebanggaan sebagai penulis kalo yg mampu ditampilkannya adalah copas karya orang lain? sedikit modifikasi mah ga ada artinya. semoga tak banyak yg seperti ini...

Fahri Asiza:
Hari yang mengecewakan, cerpenis Dadang Ari Murtono, jadi maling dengan nyolong karya orang lain yg diketok magic seolah jadi karyanya sendiri... bahkan karya colongan itu dimuat dua kali, pertama di Lampung Post dan kedua di Kompas (hari i...ni). Bagi teman-teman yang ingin tahu lebih jelas, silakan baca notes Bamby Cahyadi dan Tanpa Nama... *Jangan pernah jadi maling dgn nyolong karya orang lain. Basmi plagiatrisme!*

- statusku hari ini, sayang blackberry gak bisa overlink*

Lanang Sawah: wahwah. selama tujuh tahun aku jaga rubrik budaya MI, hal yang sulit dihindari pada soal teknis seperti ini. redaktur tak mungkin membaca secara menyeluruh karya-karya yang bertebaran di mana-mana. ada kasus dan sering terjadi, satu orang mengirim ke berbagai media dan dimuat bersamaan. tapi kalo unsur plagiat seperti ini, biasanya redaktur langsung beri black list bagi cerpenis...

Ahda Imran:
Awalnya saya kagum membaca nama cerpenis Kompas yg baru pekan kemarin kami muat cerpennya di Pikiran Rakyat. Tapi Kekaguman saya berubah menjadi kekagetan membaca cerpen tersebut yang rasanya saya hapal benar setiap deskripsi dan dialognya.... Ini memaksa saya mengambil buku kecil "Rashomon" Akutagawa yang diterbitkan "aku baca" (2003). Saya tak percaya mengapa teman2 Kompas bisa meloloskan cerpen sejenis ini, seperti juga saya tak habis pikir mengapa Dadang Ari Murtono (DAM) melakukannya tanpa berpikir orang akan tahu muasal gagasan cerpen ini. Tapi lebih tak mengerti lagi saya membaca forward SMS DAM di atas. Tapi apapun, thx Bamby...

Kurnia Effendi:
Bamby, berbekal obrolan kita di Penus TIM beberapa waktu lalu mengenai karier Dadang Ari Murtono, aku sudah mengirim SMS langsung kepada Redaktur Kompas. Ia berjanji akan cek ke Facebook mengenai hebohnya plagiarisme yang dilakukan Dadang. ...Bahkan surat pembacamu ini plus kutipan perbandingan dari Sungging Raga juga sudah saya kirim kepada Red Kompas via inbox. Namun demikian, kejadian ini menunjukkan bahwa Kompas tidak membaca media lain atau isu sastra di media maya.
Trims, Bamby

Tina Chi : Mas Bamby, usul ya...lain kali kalo ada kejadian seperti ini, tagging lah sebanyak mungkin temanmu, trutama yg concern sm mslh seperti ini. saya sependapat kalo ini tdk mutlak jd tg jawb redaktur, setidaknya mungkin kita bisa mempersempit ruang buat para plagiator itu. dan buat yg baru berniat...biar pikir ulang...

Endah Sulwesi : Aku pun kaget saat mlembuka lembaran sastra Kompas hari ini. Hah? Cerpen ini lagi dan pelakunya org yg sama pulak? Langsung telp bamby utk memastikan. Eh, rupanya bamby sdh bergerak cepat menyikapi hal ini. Dadang, masa kamu begitu bebal sih mengulang-ulang kesalahan yg sama? Apa bagimu tak penting sebuah nama baik dan kehormatan?

Lanang Sawah urnia : dalam satu hal keliru. redaktur sastra dengan segala keterbatasannya tak mungkin memantau semua isi rubrik sastra. Ada ratusan cerpen yang masuk setiap hari. Ini murni kesalahan cerpenis.

Isbedy Stiawan Z S : Sungguh, ini kelalaian redaktur DNB Kompas yang fatal. Cerpen 'plagiarisme' ini juga justru perah dimuat Lampung Post beberapa pekan lalu. Kita bukan saja memboikot cer[en Kompas, tapi media massa wajib membokit penulisnya. Orang-orang yang melakukan plagiat tak boleh dibiarkan 'hidup'.

Lanang Sawah: isbedy pernah jadi redaktur sastra. harus melihat dalam perspektif ketika dia di dalam. bagaimana redaktur mengelola ratusan cerpen yang masuk setiap hari. Isbedy pernah merasakan tentunya.

Anita Lindawaty SSi MSi : mohon izin punjem url link note ini utk ku posting di twitter & koprol ya bam. biar lebih banyak orang yg tau dan perduli. semoga sanksi moralnya lebih berasa...

Ahda Imran:
Benar kata Lanang. Memantau puisi, cerpen, dan esai yang bertebaran di berbagai media memang sangat sulit. Meski lewat online. Kami pun sekali pernah kecolongan memuat esai yg ternyata baru minggu dimuat di media lain, seperti sebuah media ...memuat esai yg pernah kami muat sepekan sebelumnya. Tapi dalam kasus DAM ini, saya kira sepenuhnya kelalaian redaktur. Cerpen Akutagawa itu adalah cerpen yg sangat terkenal, jadi sulit saya bisa mengerti jika seorang redaktur sastra tidak mengenal cerpen itu. Seandainya itu adalah cerpen O Henry (atau cerpenis terkenal siapapun) yang belum diterjemaahkan, maka mungkin bisa kita mengerti kalau redaktur kecolongan. Paling tidak ada celah alasan ihwal keterbatasan bacaannya. Tapi ini, Akutagawa gitu lhoo... .

Lovely Aan Loverstopia :Cerpen berjudul Pengisah Akutagawa karya Dadang Ari Murtono juga muncul di majalah Horison bulan Januari 2011. Hehew, banyak banget ya.

Lanang Sawah : ahda, kita sama2 penulis. kita sama2 menjaga rubrik sastra. terlepas dari posisi kita sebgai redaktur budaya, ada satu hal yang harus diingat, bahwa redaktur sastra dalam konstelasi kerja di media massa, tak hanya ngurus rubrik sastra. ia juga harus berurusan dengan persoalan tetek bengek teknis lainnya, yang tak punya kaitan denga soal-soal sastra. saya pikir Can, dalam konteks seperti ini, ia bukan manusia setengah dewa, yang punya ingatan per detik dan per menit, tuk mengumpulkan berbagai memori bacaan yang bersemayam dalam dirinya

Ady Azzumar : berawal pengekor + epigon + lalu menjadi plagiat. menyedihkan.
bang Bamby: izin Share untuk menjadi bahan perbincangan kami.

Isbedy Stiawan Z S:
LS: ya, itu sebabnya, sebagai redaktur boleh saja gunakan 'rasa curiga' terlebih dulu. Bedanya redaktur di luar Kompas hanya seorang, bisa saja terjadi kea;faan, tapi Kompas konon beberapa orang hingga terakhir sebagai penentu. Memang lumra...h kalau redaktur tak m[ampu membaca seluruh karya sastra yang ada di dunia ini. Tapi kan karya sastrawan Jepang ini sudah dibukukan oleh grup Kompas dan berkali-kali dipentasteaterkan dengan judul Rashomon (Komuntas Berkat Yakin -- KoBer Lampung kalau tak salah ingat juga pernah mementaskan naskah ini Taman Budaya Cak Durasim dan sejumlah panggung lainnya.
Trims Lanang dan Ahda yang telah 'mengingatkan' saya, meski untuk kasus plarisme cerpen ini tetap fatal. Sedang untuk yang lain, saya memaklumi mengingat seorang HB Jassin saja pernah salah saat memenangkan sebuah cerpen pada sebuah sayembara majalah. Namun kemudian Jassin mentolerir kemenangan naskah itu terlepas apakah hadiahnya dikembalikan ke panitia. Sekali lagi aa dan trima kasih buat Lanang dan Ahda.

Lanang Sawah : ya sama-sama isbedy. menjadi penulis dan pengarang butuh niat baik tak sekadar menguar kreativitas.

Bamby Cahyadi : Cerpen Dadang Yang di majalah horison, silakan para pembaca menilainya sendiri, apakah kisahnya mirip Kappa-nya Akutagawa, atau Dadang menjelma menjadi pentutur ulang Almarhum Akutagawa Ryunosuke. Cerpen Dadang Pengintai yang dimuat di Suara merdeka lantas dimuat ulang di Pikiran Rakyat, konon kabarnya ditujukan utk kami yang mencibir dia saat cerpen perempuan tua kami sebut plagiat. Kami tidak iri pada sdr. Dadang, tapi kami prihatin dia membunuh dirinya.

Anita Lindawaty SSi MSi : begitu banyak cerpen yg dijiplak DAM, jangan2 DAM tergolong plagiator sejati...

Ahda Imran:
Betul, Lanang. Tak hanya yg berurusan dengan teks, bahkan sampai urusan2 keluhan adminstrasi para penulis. Apalagi jika dicampur dengan kewajiban dan tugas2 peliputan yang lain. Keterbatasan ingatan itu aku paham. Tapi, seperti saya sebut,... Akutagawa bukanlah cerpenis yang asing.Terlebih lagi dengan penyebutan "Rashomon". Nama Akutagawa dan Rashomon nyaris tak bisa dipisahkan. Jika benar karena keterbatasan ingatan, yg karena itu kita harus memakluminya, untuk Akutagawa dan Rashomon, tetap sulit saya mengerti. Kecuali jika kita memang ingin melihat soal ini dari sudut pandang yang normatif, namanya juga manusia pasti ada salah dan khilafnya.

Han Gagas : Sy senang mas bam sdh bergerak jg kef, dan redaktur2 lain. Smoga upaya kt mengungkap yg dl lwt tag sungging raga terblow up lbh bsr lg dan yg terpenting adalah diketahui redaktur2 koran seluruh Indonesia.

Donatus A. Nugroho : Gawat ini ... sedih aja mendengarnya.

Han Gagas Jgn: lupa beberapa cerpen dadang dulu jg dobel dimuat media jd tak hanya ini shg spt menyimpulkan bhw dia berwatak buruk haus publikasi dg melakukan kecurangan.

Lanang Sawah:
memang agak sukar Ahda jika cerpen itu terkait seorang empu seperti Akutagawa.saya tak mencoba berpikir normatif dan skripturalis, tapi jujur agak susah memang. niat baik pengarang harusnya diutamakan. menjadi pengarang tak sekadar menguar ...karya tapi sikap pengarang menjadi bagian integral proses kreativitas.
Sekadar tambahan buat isbedy, setahu saya, bebrapa orang yang membaca cerpen kompas sebelum diacc, datang dari redaktur2 non desk sastra, wewenang sepenuhnya ada di redaktur sastra. Jadi sejatinya sama. ia sendiri, yang lain hanya ikut membaca. Tapi ini cerita yang pernah dipaparkan Bre Redana. Entah sekarang.

Han Gagas : Dan smg para redaktur2 itu slg berkontak spt yg kt lakukan di fb sbg cerpenis yg sm2 berproses.

Saut Poltak Tambunan: Bamby, suratmu tidak akan ditanggapi karena 'tidak sesuai untuk Kompas, tidak sesuai selera redaksi, dan 'tidak melebihi 10000 karakter."

Bamby Cahyadi : Hahaha, iya ya. Tapi paling tidak aku mewakili cerpenis yang suka kirim ke kompas dan ditolak, karena masalah tdk sesuai dgn kompas, dan atau kelebihan karakter 10rb, sehingga jelaslah bahwa cerpen minggu ini yang sesuai dgn kompas adalah cerpen plagiat.

Holy Adibz : lebih karya asli meski tidak dimuat di media, daripada dimuat di KOMPAS, tapi PLAGIAT. memprihatinkan.

Ribut Wijoto: kita tunggu tanggapan kompas. jika tidak ditanggapi, saya kira kompas akan rugi sendiri.

Saut Poltak Tambunan : Setuju, Bamby, kompas bukan ukuran sastra di negeri ini.

Kartika Catur Pelita : Ketika karya penulis dimuat bersamaan pada beberapa media, mungkin kita bsia maklum bawa hal ini bukan sebuah kesengajaan. Tapi jika cerpen tersebut sengaja di tebar pada beberapa media- cerpen itu ternyata plagiat pula, sangat tidak etislah yang dilakukan pengarang tersebut! Sebagai pelaku sastra(penulis) seharusnya pegang kode etik kepenulisan dan moral. Sastra merupakan kreatifitas keindahan berbasis kejujuran, tentu.Buat Bung Bamby-salut- kebenaran memang harus disuarakan!

Nita Tjindarbumi :kalo kompas bukan ukuran sastra di negeri ini, yah ngapain capek2 antri di kompas ya? mungkin lebih asyik kalo nulis cerpen untuk Bobo saja..menulis cerita anak konon susah juga...hiks..

Saut Poltak Tambunan: Nita, daripada jadi pengarang plagiat, aku lebih suka diajarin merajut saja!

Aba Mardjani : Lima atau mungkin 10 tahunan lalu, setahuku, Cerpen Kompas diseleksi 5 orang (untuk dimuat skor setidaknya harus 3-2). Belakangan kudengar 3 orang (2-1), entah sekarang....

Haya Aliya Zaki : Di Bobo juga antreee...:D

Nita Tjindarbumi:
Bang Saut...banyak membaca tulisan orang juga bisa mempengaruhi orang untuk jadi plagiat, meniru gaya, mencuri kalimat bahkan sampai parah kalo menjadi cerpenis Copas...

memang lebih baik belajar merajut aja. mending ditulis di kompas karena... merajut deh..kalo antrian panjang untuk cerpen...kan podo2 masuk kompas...hehehe

Bamby Cahyadi:
Cerpen Pengintai karya Dadang yang dimuat di suara merdeka, lantas dimuat lagi di pikiran rakyat, konon kabarnya ditujukan pada kami, krn mencibir dan menuduhnya plagiat, saat cerpen perempuan tua dimuat di lampung post. Karena dadang sendi...ri tdk pernah dgn elegan menanggapi kritik dan kecaman kami secara langsun. Dan, akibat dia "keroyok" maka dia seolah menjadi orang yg tertindas, seminggu kemudian, sampai minggu ini cerpennya dimuat diberbagai media koran dan majalah. Lucu ya, Tuhan selalu mendengar doa orang2 yg tertindas. Sehingga cerpennya dimuat di Kompas. Maka, dgn bangga Dadang berkata, "Bamby, kamu salah menilai saya! Buktinya cerpen saya diterima Kompas koran barometer sastra indonesia." (dialog itu bukan dari dadang, tapi semata buatan saya sendir)

Saut Poltak Tambunan: He he he, pengarang Kompas dan pengarang Copas. Keren!

Kartika Catur Pelita: Nita Tj@(salam kenal) Iya Mbak. Walau beberapa cerita anak sudah dimuat di media koran lokal, (seperti halnya cerpen dewasa)cerpen anak di Kompas adalah ukuran utama- prestasi prestesius ketika karya kita berhasil dimuat disana.Karena menulisi cerpen anak gampang-gampng susuah juga. Beberapa cerpen yang kukrim masih dikembalikan dengan catatan ide sama udah pernah dimuat atau bahasa masih dewasa! Hehehe

Yadhi Rusmiadi Jashar : Menyedihkan.... Saya mulai berpikir untuk menarik semua cerpen saya dari note fb. Di tangan orang kreatif (baca: kere aktif), cerpen saya yang tak bagus itu bisa saja disulap, diperindah, direkonstruksi lalu dilabeli namanya. Kemana tempat mengadu? Bagi DAM berlaku hukum "Tuhan telah Mati". Ini sebuah kejahatan!!

Nita Tjindarbumi:
kartika...hehehe..aku hanya suka dengan note ini, sama spt reaksi orang pada kasus gayus...gemes..padahal gayus gak bisa sepenuhnya disalahin. Selain itu, aku cuma penikmat saja. bukan cerpenis. belajar gak pinter2 makanya diledekin BAng Sa...ut yang tahu aku lebih suka merajut dari pada antri di kompas.

menulis cerita anak juga gak pernah. katanya susah banget ya? dengan ikut nimbrung disini harapanku bisa belajar tentang cerpen dan sastra...aku buta akan sastra...hiks..

Saut Poltak Tambunan : Aku share ya, Bamby, biar nenekku yang di kampung ikut baca.

Hutasuhut Budi : Seperti kata Budiarto Danujaya di Kompas yang sama: "orang Indonesia hanya sibuk merayakan popularisme". di sana ada ekonomi dan semua cara pasti ditempuh.

Amaq Shofia : Kompas sering kecolongan. Selektifitas rendah

Shinta Miranda : bukti kalau kompas memang mau menggampangkan saja, begitu banyak cerpen bagus menanti - tapi redaktur kompas memang malas !

Hutasuhut Budi NT: kalau sudah nulis di kampung, pasti dimuat Kompas. buktinya, cerpen Rashomon ini. ha...ha...

Kartika Catur Pelita : Hei, aku pernah baca cerpen Mbak Tita- di Anita -dulu, sekarang STORY. Jam terbang Mbak lebih banyak daripada aku. Sama lah Mbak gemes jg karea dimuatanya cerpen tersebut berarti mematikan sebuah kesemptan tampilany cerpen lain-apalagi pengarang yang belum pernah karyanya dimauat di Kompas-dan sedang berjuang keras untuk bisa tampil! Hehhe. Semoga aja di masa mendatang kejdian ini gak terulang. Btw, redaktur kecolongan. Hal ini pernah terjadi pada media lain, misal STORY. Hehehe

Nita Tjindarbumi:
HB...kebiasaanku kalo udah kirim cerpen ke satu media, ya langsung lupa deh ama cerpen itu. ada beberapa cerpenku belum ada kabarnya udah lama juga...mau aku baca ulang..lha kok raib...jadi gak mungkin deh aku kirim dobel...

tapi aku mau kok... kapan2 nulis di koran kampung halamanku...

Hutasuhut Budi : Bamby hal buruk selalu terulang, kawan. beberapa waktu lalu kita mempersoalkan cerpen yang sama. ini kita persoalkan lagi. redanden dan de javu betul. artinya, negri ini gak berubah-berubah mengulangi kekeliruan demi kekeliruan.

Nita Tjindarbumi:
Kartika....Ampun..ampun... cerpenku cuma sesekali kok. Kalo aku masa bodoh amat ah ama plagiat2 itu, aku juga gak usah pake gemes kalo cuma mematikan atau apa..santai ajalah. menulis ya menulis.

kalo cuma plagiat di urusan lain aku dah bolak...-balik alami, rajutan2ku banyak yang niru, ide2ku banyak yang curi, bahkan koleksi2 ada yang contoh...dan jadi juara...hihihi..mereka baru bilang setelah jiplak karyaku...gpp..kalo itu bermanfaat bagi mereka dan membuat mereka bangga...tokh akhirnya mereka minta maaf dan berterima kasih juga padaku....kalo gak lihat karyaku mereka belum tentu dapat juara...yang sabar aja deh hadapi begituan...soal antrian ...kalo karya kita bagus ntar juga nyampe...

Anton Dwisunu Hanung Nugrahanto
Inilah kalau dimuatnya tulisan di koran masih jadi ukuran keberhasilan seseorang dalam menulis karya sastra atau tidak, semakin populis sebuah media, maka kualifikasi akan semakin terancam degradatif, kaum sastrawan harus memperhatikan hal ...ini tapi juga tidak mengecam apa yang dilakukan Denny adalah juga sebuah pancingan untuk memperhatikan karya orang pada bangsa lain, mustinya disini yang salah redaktur Kompas. Dia harus menulis bahwa karya ini disadur dari karya Akutagawa Ryonosuke sehingga tidak terjadi polemik semacam ini, redaksional KOMPAS tentunya tidak sebodoh yang kita kira, apalagi sebelumnya mereka menerbitkan karya yang sama lewat perusahaan penerbitan satu grupnya.

Polemik ini mirip dengan kasus Gayus yang terpotret 'tanpa sengaja' kemudian beritanya jadi blow up. Dengan blow up gaya Bamby ini juga akan muncul Polemik sehingga buku terbitan kompas bisa tersosialisasi tanpa sengaja, indikasinya mengarah kesana.

Jadi Mas Bamby anda terlalu lugu membaca keadaan, serangan anda mustinya jangan ke KOMPAS tapi tunggu waktu yang tepat untuk menelanjangi Denny sampai momen penerbitan buku cerpen itu kadaluwarsa.

Selain itu janganlah kita terlalu melihat koran sebagai satu-satunya arus pusar kebudayaan, sastra koran saat ini adalah sastra yang dangkal, yang diproduksi dengan asal-asalan tidak bermutu sama sekali. Karya sastra yang hidup itu justru yang banyak bertebaran di luar koran selain buku jaringan sosial media juga pelan-pelan akan menjadi media penting bagi pertumbuhan dunia sastra kita, sudah saatnya sastra koran ditinggalkan karena dengan menghamba pada sastra koran maka kita memberikan kuasa hanya pada redaktur bukan pembaca sebagai akhir dari segala akhir.........

Kurnia Effendi:
‎@ Lanang: Edy, thanks. Iya sih, sebagai redaksi memang berat tanggung jawabnya. Tapi aku juga setuju dengan Ahda Imran dengan penjelasannya itu. Aku juga langsung mengingatkan Can di luar forum agar cross check serta membuka facebook. Maks...udku, kebetulan kasus ini pernah ramai dibicarakan sebulan lalu dan cerpen yang diplagiat oleh DAM bukan karya seorang pemula.
Aku setuju dengan cara Nirwan Dewanto yang selalu menelepon lebih dulu pengarangnya sebelum memuatnya untuk memastikan banyak hal mengenai cerpen bersangkutan. Salam

Nita Tjindarbumi : Setuju Keff...mungkin itu cara aman juga ya..atau kalo perlu bikin surat pernyataan din atas materai kalo cerpen itu belum pernah dimuat atau dipulbikasikan dalam bentuk apapun....aman deh...redakturnya, maksudku...

Kartika Catur Pelita NJ: Setuju, Mbak. Terus menulis sastra- meruapkan keindahan permainan kata bertumpu kejujuran@ES(salam kenal) Iya, mbak, siapapun penulis tentu terpengaruh pada pendahulu kita, sah-sah aja,tapi memplagiat nggak deh, beranak pinak ide berkeliaran dan bisa diwujudkan karya sebatas kemampuan kita yg diberi talenta menulis! BISA!

Anita Lindawaty SSi MSi: bam, note yg ini tolong dibikin public ya, biar link nya bisa dibuka & dibaca dari luar fb, termasuk temen2 yg bukan temen fb bamby. thx

Kartika Catur Pelita :Saut Poltak@ salam kenal! Sy baca karya Bung semenjak sy SMP! @Shinta M: Prihatin. Ingat ja perjuangan temen2 penulis yang bikin cerpen(orisinil) sebagus mungkin agar bs dimuat di Kompas, mereka trus kirim berharap satu hari impian mencatakan nama dan cerpenny di Kompas terwujud!@Hutasoit: PR penting penyuka n pelaku dunia sastra, termasuk penulisnya ya?!

Anita Lindawaty SSi MSi : bisa dimaklumi jika dengan segala keterbatasan sebagai manusia redaktur sastra KOMPAS kecolongan, lah yg paling penting kan SIKAP nya setelah tau dan dapat info dari banyak kalangan seperti ini.

Nancy Meinintha Brahmana: weleh...weleh....muantaplah....makanya ah ah ah..., jadilah diri sendiri ya...

Bamby Cahyadi ‎@ Anton: koreksi mas, nama cerpenisnya Dadang, bukan Denny.

Dan, aku sangat setuju tentang barometer sastra pendapat bung Anton Djakarta ini. Namun dalam hal lugu aku kira, caraku cukup sopan hehehe.

Khrisna Pabichara : Kasihan Kompas! Ikut prihatin atas arogansi Dadang Ari Murtono. Rasanya, kritik lembut yang kerap saya tuturkan di media sama sekali tak mengendap dalam memorinya. Bahkan keledai saja enggan jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Salam takzim Kompas, salam tobat Dadang!

Saut Poltak Tambunan : He he he, nenekku sudah baca status Bamby ini di kampung. Katanya, sudah plagiaris (sudah dirame-ramein di FB), dimuat ulang, di Kompas pulak!!

("Ompung, ampunilah mereka, mereka tidak tahu apa yang sudah mereka perbuat.")

Ady Azzumar: biasanya sriti.com selalu update cerpen yang di muat di seluruh koran.

Khrisna Pabichara: ‎@Ady: Mengingat betapa banyaknya cerpen yang masuk ke redaksi Kompas, pastilah sibuk redakturnya untuk membuka laci arsip sriti.com. Akan tetapi, dalam hal ini berpulang ke lubuk hati Dadang. Kecuali kalau Dadang telah kehilangan nurani.

Bamby Cahyadi ‎@ Ady: Sriti.com lagi kena serangan hacker. Begitu berita dari mas chus, mas rachmat dan mas wim

Pratiwi Setyaningrum :Atau. Mungkin lagi butuh sembako BANGET, hingga rela pertaruhkan nama '.')?im.

Khrisna Pabichara ‎@Pratiwi: Kalau alasannya seperti itu, kenapa tidak mengedarkan kotak sumbangan saja?

Nassirun Purwokartun: koin for DAM!

Khrisna Pabichara ‎@Nas: Betul! Koin untuk DAM!

Pratiwi Setyaningrum : Aye! KOIN FOR DAM

Gunawan Maryanto: tanggung jawab terbesar ada di penulis. apa pun alasannya dia harus bisa mempertanggungjawabkannya. kompas menjadi korban karena tidak teliti. tapi rashomon gitu loh, masak gak tahu

Bamby Cahyadi Pasti arwah arwah Akutagawa sedang gelisah hehehe.

Kurasa Dadang: tdk punya masalah dgn honor, tapi dia keblinger utk cepat populer.

Panah Hujan: Wah, ini menarik. :D

Yadhi Rusmiadi Jashar: Saya telah membaca jawaban Dadang tentang polemik "Plagiarisme Rashomon" ini beberapa waktu lalu (Sebuah jawaban atas tudingan Bamby dkk. terhadap cerpennya). Dengan bahasa yang berbelit, penuh kalimat-kalimat bersayap, jawaban Dadang semakin menegaskan kalau dia dengan sadar memplagiasi karya Akutagawa itu!! Dengan bahasa yang lembut Dadang seakan menantang, "Gue emang njiplak. Eloe mau apa!".

Nassirun Purwokartun :koin for keblinger!

Ady Azzumar:
sepakat dengan bang Saut Poltak Tambunan:

"Pertanyaan: Masih pantaskan Kompas kalian jadikan ukuran sastra negeri ini?"

jujur, aku lupa baca esais siapa penulis dan pengarangnya, yang aku ingat dalam kutipan tulisan itu, "Ukuruan sastra nege...ri ini, ada 3: 1. Majalah Horison, 2. Fakultas sastra UI, 3. Koran Kompas."

entah benar atau tidak, riset dan yang di tulis ke tiga di atas, saya hanya pembaca.

Nurel Javissyarqi : Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un (انّا للہ و انّا الیہ راجعون), telah gugur pahlawanku.....:) suwon sanget infornya bung Bamby, ini sangat bermanfaat untuk sekalian alam semesta...

Binhad Nurrohmat: Gimana komentar Akutagawa Ryunosuke? Dari Gresik saya menerawang ke Jepang... Akutagawa heran, kok tiba-tiba dia bereinkarnasi menjadi orang Jawa...

Khrisna Pabichara ‎@Binhad: Baru saja Akutagawa mengirim poesan pendek ke batin saya, Bang Binhad. Katanya, korupsi sudah merambah wilayah kepengarangan di Indonesia.

Pratiwi Setyaningrum:
OH, JADI EMANG SENGAJA. Nah, yang kasian itu yang begini ini. Hah. Kecewa de au. Maka butuh tak butuh, MY COIN FOR DAM.

Kata orang, jadilah orang terkenal. Kalo cerpenis ya cerpenis terkenal. Kalo penjiplak gatau malu, ya penjiplak gatau mal...u terkenal lah. Lumayan bisa buat dipamerin ke anak cucu, hehe

Bamby Cahyadi : Kalau Dadang mengaku dirinya reinkarnasi akutagawa maka habislah perkara hahaha

Nassirun Purwokartun :gelar pengadilan!

Budi Setiyarso : hahaha....ketika td pagi membaca cerpen itu. saya yakin pasti akan ada reaksi yang dahsyat di kalangan cerpenis

Khrisna Pabichara ‎@Nas: Ayo, kita gelar!

Binhad Nurrohmat :Ini bukan kasus sastra. Ini kasus moral pengarang. Laporkan kasus ini ke kantor filsuf terdekat.

Lina Kelana : wah..... ini namanya kejahatan.....

Ferdinandus Moses : Atas nama OPPSI (Organisasi "Pembebasan" plagiarisme Sastra Indonesia) di mana berada, mengutuk tindakan pengambilalihan teks di atas "kekuasaan" pengarang! dukung Bamby! Dadang Ari Murtono, saya mencarimu! Dalam Republik Mimetis Sastra Indonesia (RMSI), silakan "terisnpirasi" TANPA (BUKAN) menjiplak! Sekian dulu dan terima kasih. Salam hangat kawan semua..

Katrina Prahadika: Pak Bamby memang cepat akurat, sip..sip..

Dony P Herwanto : turut prihatin...

Abdul Hadi:
Alangkahbaiknya jika kesalahan tidak hanya dijatuhkan ke Redaktur Kompas. Karena dari data yang saya ketahui bahwa dalam sehari, harian Kompas rata-rata menerima naskah cerpen dari seluruh Indonesia antara 60 hingga 80 setiap harinya! Misal...kan kita ambil rata-rata 70 naskah setiap harinya maka dalam rentang seminggu akan terkumpul 490 naskah cerpen. Bisa dibayangkan betapa beratnya tugas itu!
Kedua_ jika tidak mampu meneliti satu kan mereka (para Redaktur) bisa membaca judul-judul cerpen saja, tapi ini juga lemah. Karena penulis yang bermasalah itu dgn mudah menggonta-ganti judul yang telah ada.
Ketiga_ belum jelasnya batas-batas plagiat itu (meski saya dgn 1000 % mengatakan cerpen ini jelas plagiat). Ada 4 cerpen Agus Noor (AN) yang hampir serupa: antara Aubade (MI) dan Pagi Bening seekor Kupu-Kupu (JP), Antara Serenade (JP) dan Serenade Kunang-Kunang (KOMPAS). Apakah cerpen AN itu disebut plagiat?

Demikian Bung Bamby.

Abdul Hadi: Bagi pembaca yang ingin menyelidiki Cerpen AN di atas bisa dicari di arsip Sriti.com

Ki Ageng Joloindro : mengerikan...

Sungging Raga : weh, tadi malah ada sahabatnya dadang (akhmad fatoni) pamer ke aku via sms, "tuh lihat, rashomon dimuat di kompas, ternyata redaktur tidak sependapat dengan kamu."

hehe.

Kartolo Kempol Geyong-Geyong: terulang lagi. Katanya Lampung post, Horison, Kompas. Ajaib

Bamby Cahyadi ‎@ abdul hadi: kalau judulnya berbeda dimuat di media yang berbeda dgn nama penulis aslinya, tentu bukan plagiat. Kekirim dobel itu namanya. Kalau kasus sdr. Dadang, dia menambah bbrp narasi pd cerpen rashomon, dan ia mencuplik hampir 99% cerpen akutagawa tsb.

Lan Fang: tadi pagi aku bingung liat cerpen itu...kok nongol di kompas.

btw, boleh share suratmu?

Joni Ariadinata Jurnal : Cerpen Indonesia pernah nyaris kebobolan dengan memuat karya seorang penulis muda berbakat, yang ternyata menjiplak 70 prosen karya Hamsad Rangkuti (diganti judul, dirubah dari paragraf pertama hingga kesekian, selanjutnya menjiplak persis). Kami menderita kerugian 4 jt lebih karena draft jurnal sdh terlanjur dicetak. Dengan mengutuk sedih kami harus menarik cerpen itu, sebelum Jurnal diedarkan.

Han Gagas:
SAYA JUGA TELAH MENGIRIM EMAIL PLAGIASI DAN DIMUAT DOBEL, PERSIS KIRIMAN MAS BAMB TAPI SEBAGIAN KUEDIT BIAR LEBIH ENAK DI BENAK REDAKTUR-MUNGKIN (Dalam derajat kesalahan, aku lebih menganggap ini karena kesalahan utama DAM dibanding redaktu...r Kompas).
Aku yakin mereka baca emailku walau mungkin tidak hari ini karena mereka kemarin mengembalikan cerpenku dan lagipula Redi Keludku dimuat juga melalui email ini.
Mari kita mengirim email serupa demi sesuatu yang bernama ANTI KECURANGAN.
SALAM.

Muhidin M Dahlan: INI BUKAN SEKALI SAJA KARYA SASTRA DIJIPLAK. Tahun 1962 (resensi pertama mempersalahkannya 7 September 1962, Lentera, Bintang Timur, hlm 3) heboh Tenggelamnya Kapal van der Wijk karya Hamka. Dan semua penulis yang melakukan kriminal itu bungkem.... Sampai mati

Han Gagas: Tapi Mas Muhidin si DAM ini tidak bungkem.... Dia kirim sms lewat tangan temannya yg masih baru masuk "dunia menulis sastra" utk berkoar bahwa dia benar dan tak seperti tuduhan orang2. Buktinya koran2, majalah masih muat cerpennya.

Muhidin M Dahlan:
Dia menulis di Kompas. Jika surat pembaca ini dimuat, dia harus menjawabnya di koran ini. Jika tak, maka dia bungkem. Hehehehe. Kalau sms, itu anggap saja kegelisahan pelaku kriminil setelah ada kasak-kusuk.

Abdullah SP di tahun 1962. Bamby ...Cahyadi di tahun 2011. Karena saking seriusnya si Abdullah SP--dan juga disokong dgn berapi-api Lentera dan Pram--sampai digambar tuh adegan2 yang mirip dalam tabel-tabel setengah halaman koran.

Muhidin M Dahlan : Dadang yang ini bukannya si Dadang Kafir Liberal itu ya...

Han Gagas : Hahahahahahahaha, masak seh Mas, aku juga kagak tahu, tanya teman Gresik mas..

Muhidin M Dahlan:
Berharap Dadang melakukan ini: "MAMPUS LU REDAKTUR KOMPAS. SAYA APUSI KALIAN. SAYA CONTEK. HANYA AKAN MENGUJI KEMAMPUAN SELEKTIF KALIAN...(padahal rashomon gitu loh, pinjam koment MG, mosok redaktur gak kenal) SETELAH INI SAYA AKAN DIBLACK... LIST, GAK APA. INI RISIKO PEMBOBOL PENGETAHUAN. TAPI INI SAYA LAKUKAN DENGAN KESADARAN PENUH, KEUSILAN PENUH, BETAPA-BETAPA DUNIA SASTRA KITA HANYA BEGINI-BEGINI SAJA...."

Jadi Mas DAM, nggak usah ngasih pleidoi macem2. Muter macem-macem .... Akui saja, bahwa ini memang menguji Kompas yang terkenal dengan Surat Sakti Penolakannya.... Ini adalah keusilan yang revolusioner....

Kartika Catur Pelita: Bung Bamby. td pagi saat baca baris-baris awal cerpen itu di Kompas, benak saya bergumam: nich cerpen berasa Japanese-ketika saya baca pengarangnya sy teringat sms temen sesama penulis tentang adanya cerpen plagiat yg dimuat sempt jd "diskusi" para penulis di fb. Yeah...saat surat terbuka Bung Bamby ini muncul : masalah semakin jelas, ketika satu demi satu bukti muncul. Semoga ha lini merupkn pembelajaran di masa mendatang hal ini tak terjadi pun pada penulis lain.

Han Gagas Mas Muhidin: malah ngajari kayak gitu, dia bakal senang dapat jurus maut itu. Dia baca ini semua lho, kan teman FBku juga, hahahaha

Han Gagas : Dadang orang Gresik (katanya jd seksi sastra Dewan Kesenian Mojokerto, seksi sekali katanya)

Muhidin M Dahlan : HAN GAGAS: Gak apa-apa, sesama iblis saling mengajari... Hahahahahaha. Bahkan seorang iblis pun dibutuhkan dalam revolusi (makin gak jelas). Seperti Sukarno, yang mengajak lonte ikut serta dalam melanjutkan revolusi yg gak selesai2, yang kemudian si FREDY S yang masyhur itu mengolok2nya dalam novel mesumnya sebanyak 6 jilid (2 ribeng halaman)

Reni Teratai Air:
media (dalam hal ini adalah redaktur fiksi/editor) punya keterbatasan. namanya juga manusia. di antara maraknya media cetak yg di dalamnya memunculkan 1 buah cerpen, atau beberapa, tentu redaktur tdk semudah itu menghapal mana saja karya yg... sudah dimuat atau dicetak, atau diplagita dll....
utk mas bamby, jgn katakan kecewa pada KOMPAS. Kompas (apalagi redakturnya) pasti terpukul dgn kejadian ini.
Salah siapa? Penulisnya!!! .... buikan media yg memuatnya.


Han Gagas : Kalau Lonte mah banyak yag suka, yang ngakunya moralis itu, juga penulis, hahaha. penyaluran stress dari pusingnya mikirin perbaiki dunia, ada gunanya juga kaum Lonte, hahahaha

Miftah Fadhli : sy sebagai penulis kecil, jujur, hari ini adalah hari paling menyakitkan selama perjuangan saya menulis cerita!!! Mas Bam, aku mengharapkanmu n penulis2 lain yg lebih bernama untuk melawan ini, ketimbang aku yg cuma penulis rendahan n pasti tdak akan diperhatikan. Aku cma bsa bntu dgan melawan sakit hti dlam driku saja mas Bam.

Han Gagas: Miftah, jangan gitulah, kita semua harus berpikir utk rendah hati, kirimlah email serupa pada email kompas. biar lebih banyak orang lebih diperhatikan, mungkin lho.

Reni Teratai Air : media juga perlu hati2. harusnya media menghubungi penulis yg naskahnya bakal dimuat, utk konfirmasi soal orisinilitas n blm pernah dipublish... konfirmasi itu juga merupakan unjuk diri bhw media tidak main2 soal pemuatyan naskah seseorang...

Faradina Izdhihary:
Huah .... rame lagi. heheh pdhl minggu lalu aku baru mulai berani kirim lagi. Duh... Kompas yg kuanggap barometer sebagaipencapaian tertinggiku, bila suatu saat akhirnya tembus, kok jadi begini???? Mengecewakan sekali!
@Reni: Ya, Mbak. Aku ...setuju, tumpukan karya yg banyak banget emang jadi beban yang berat. itu sebabnya,sewajarnya seorang redaktur sastra, harus banyak2 baca karya sastra yg hebat2. Kan gk mungkin kalau yg diplagiasi karya yg jelek.
Pun begitu aku setuju, terdakwa utamanya Tetap sang penulis.
Ayo Mas DAM, bersuaralah....!

Reni Teratai Air: aku baca di atas..., soal DAM yg bermaksud mengecoh Kompas (biar ketahuan sampai dimana batas referensi sastra yg redaktur kompas punya), andaikan kitu betul dilakukan oleh DAM utk mencari sensasi atau sengaja mengecoh kompas... aku rasa itu cara yg paling mengenaskanl sedunia... mari kita tempatkan jika kita sebagai redaktur kompas yg meloloskan naskah tsb. sekali-dua, tupai meleset, bukan?

Han Gagas : Muhidin tuh guyon ajah hahaha, malah ditanggapi serius neh ma Reni teratai. hahaha, Dadang haus publikasi

Kartika Catur Pelita ‎@faradina I: salam kenal mbak. Kirim lagi lah mbak, cerpen karya orisnil kan? Hehehe@mbak reni: setuju konfirmasi ketika karya penulis hendak dimuat! Btw, kapan nih dpet kring dari STORY? heheh@ miftah:rendah hati bukan rendah diri! Penulis yg mnghsilkan karya orisinil penulis kelas tinggi, bro!@Han Gagas: bahsa satra lo ternyata ...buas n ganas(terpicu emosi? Hehehe( salam kenal, bro!)

Kartika Catur Pelita ‎@Mas Muhidin MD: saya suka analisa Anda! Salam kenal tuk semua pelaku serta penikmat sastra, saya penulis 'pemula stok lama' asal Jepara.Novel perdana saya: KEPERJAKAAN( LODI-LIMANOV-LAYAN-KUAT) sedang dalam proses penerbitan di AKOER. Menterakan potret buram remaja pria yg berprofesi pekerja seks komersil, maaf, GIGOLO. Benarkah nilai keperjakaan tak berarti bagi lelaki? Oya novel ini karya ORISINIL dong ! Heheheh, salam sastra!

Khoer Jurzani Hiks, saya bahkan yang hanya seorang pembaca, yang sedang akan mencoba menulis jadi takut, takut belum apa-apa sudah di curigai oleh pihak redaksi jika besok saya mengirim naskah cerpen, mungkin redaksi akan memilih penulis yang sudah pasti punya nama saja hikss!

Bamby Cahyadi ‎@ Khoer: jangan takut, masih banyak medium utk menulis, tdk melulu koran atau majalah. Maju terus!

Sabtu, 22 Januari 2011

Kisah Muram di Restoran Cepat Saji

KISAH MURAM DI RESTORAN CEPAT SAJI
Oleh : Bamby Cahyadi



Andai saja ia tak sedang bertugas sebagai kasir, pasti ia sudah menghambur-hamburkan kata-kata kasar dan makian. Bisa saja ia berteriak anjing, monyet, dan tahi kucing pada setiap orang yang sedang dilayaninya. Atau, kata-kata yang kerap ia lontarkan pada setiap pembicaraan santai dengan teman-temannya, ”Bangsat!”
Tapi, ia tetap memaksa membuat sebaris senyum yang manis dan mengeluarkan ucapan yang paling ramah pada lelaki yang sok kaya yang kini dilayaninya. Mungkin saja lelaki itu benar-benar orang kaya dan mampu membeli harga dirinya, berikut burger bertangkup tiga beserta kentang goreng panas dan minuman bersoda dalam gelas super besar. Terbukti, lelaki itu mengeluarkan dompet tebal dan di genggamannya terlihat BlackBerry keluaran terbaru sedang berderik-derik.
”Anjing, brengsek, Lu!” makinya dalam hati. Walaupun, ia berucap, ”Terima kasih, selamat datang kembali!” Usai memberikan semua pesanan pada lelaki perut buncit itu.
Lelaki berperut buncit itu acuh tak acuh saja, ia menerima pesanannya di atas nampan lantas memunggunginya menuju meja lobi. Tanpa ekspresi, sambil menerima panggilan telepon. ”Halo, ya, ya, oh iya.”
Sore ini restoran sangat sepi. Sudah sejam berlalu hanya lelaki perut buncit, segerombolan anak sekolahan dan seorang anak kecil dengan pembantu yang sok tahu mengenai menu-menu di restoran cepat saji itu saja yang ia layani. Bisa dibayangkan, tadi, ia hampir saja berdebat sengit dengan seorang pembantu gara-gara si pembantu sok tahu itu seolah tahu betul perihal menu burger di situ. Pembantu itu meminta burger keju pakai sayuran selada.
Untung semua telah berlalu. Hatinya agak sedikit tentram. Ia lalu pura-pura mengambil kain lap, lantas digosok-gosok kain lap itu pada meja dan dinding yang sebenarnya tidak kotor. Sesekali ia melirik ke arah sebuah ruangan kecil. Di sana ia lihat manajernya sedang mengetik sesuatu sambil memandang monitor komputer. Ia kembali menggosok-gosok meja kasir yang memang sudah bersih itu.
Sejatinya, ia telah kenyang melihat tingkah pola dan perilaku menjengkelkan pelanggan-pelanggan restoran yang terletak di kawasan elit itu. Semua yang masuk merasa menjadi raja dan paling raja. Para pelanggan di situ rata-rata orang kaya sesungguhnya, ada juga orang kere yang bertingkah lagaknya seperti orang kaya. Dan, mereka selalu tahu semboyan pelanggan adalah raja. Sebuah semboyan yang mendunia, membumi, baik di restoran kaki lima, sampai restoran mewah di hotel berbintang lima. Baik di restoran lokal, hingga restoran internasional.
Maka, ia pun melayani raja-raja itu dengan cekatan, cepat dan tentu saja ramah. Bukankah ia pelayan di sebuah restoran cepat saji? Semua harus cepat dihidangkan, menu harus masih panas dan segar, kalau tidak, raja akan mengeluh dan marah. Apabila raja mengeluh apalagi marah-marah, maka manajernya akan memberikan sepucuk surat cinta bernama surat peringatan. Mengerikan!
Kerap ia ingin menampar pelanggannya yang memesan menu makanan sembari menelepon seseorang entah siapa, mungkin pacarnya, mungkin majikannya atau mungkin orang yang sok pamer hape baru. Jelas saja ia ingin menggampar orang seperti itu, bukankah restoran ini restoran cepat saji. Semua harus dilayani dengan secepat kilat. Bagaimana mau cepat saji, ketika mau memesan menu makanan saja, orang itu leletnya minta ampun. Biasanya ia akan menerima gerutuan dari orang yang antri di belakang orang yang memesan sambil menelepon itu. ”Pelayanannya lama banget sih?”
Lho, kenapa orang yang antri di belakang orang yang sedang menelepon itu menggerutu padanya? Kenapa bukan pada orang di depannya, apakah karena ia hanya seorang pelayan? ”Dasar monyet!” umpatnya dalam hati.
Ia juga dapat memotret wajah Indonesia pada umumnya di restoran ini. Di Indonesia, orang mau makan suka kebingungan sendiri ketika sudah berada di depan meja kasir. Mereka terlongo-longo, sambil bergumam, mau makan apa ya aku? Bangsat! Mau makan saja bingung dan mikir, bagaimana memikirkan negara yang makin korup. Berpikir soal makan saja kelimpungan. Itulah mengapa, Indonesia tak pernah jadi negara maju. Coba perhatikan orang bule, saat memesan menu di restoran cepat saji, mereka telah menentukan pilihan menunya ketika ia baru saja berniat makan di situ. Itulah bedanya. Tentu, itu asumsi yang ia buat sendiri. Apalagi sore ini hatinya sedang mendidih.
Sering pula ia jumpai pelanggan yang baik hati, luar dan dalam. Terutama saat ia bekerja sampai melewati tengah malam. Mereka itu, pelanggan perempuan yang datang dengan pakaian minimalis. Mereka, sangat baik hati, karena wajah mereka terlihat cantik-cantik dari luar dan suka memamerkan pakaian dalam mereka yang dipakai di dalam. Tentu ia anggap pelanggannya baik, karena membuat ia bersemangat berkerja, kalau perlu sampai pagi.
Ia sudah terbiasa melihat payudara setengah menonjol seperti gunung yang hendak meletus disangga oleh beha berenda berbusa tebal. Atau, belahan pantat montok yang hanya ditutupi sehelai tali, celana dalam g-string, begitu yang ia tahu dari orang-orang. Belahan pantat dan jendolan payudara memang godaan luar biasa. Tapi, dari perempuan berpakaian minimalis itulah ia sering mendapat tip banyak.

***

Sore yang sepi dan hati yang panas. Teman-temannya yang lain, terlihat sibuk juga seperti dirinya. Membersihkan sesuatu, yang sebenarnya tidak kotor. Ada yang menyapu lantai yang tak ada ceceran sampahnya, ada yang mengepel lantai yang tak ada noda kotor di atasnya. Mungkin dengan begitu, hati para pelanggannya akan senang berada di restoran yang bersih dan nyaman dengan pelayan yang rajin-rajin. Mungkin dengan begitu, manajernya tidak akan menegur sebagai pemalas dan mengeluarkan sepucuk surat peringatan.
Suara musik dari album Lenka, lagu Trouble is a Friend, mendayu-dayu di seluruh area lobi. Ia pun turut bersenandung melepas gundah, sambil sesekali berkerling mata, melihat manajernya yang sedang sibuk di depan komputer. Sepertinya ia mau melakukan sesuatu. Apa itu? Tak ada yang tahu.
Nama tokoh dalam cerita ini Adimas. Seorang pemuda berwajah tampan, tapi berkantong tipis. Ia, telah dua tahun bekerja sebagai kasir di restoran cepat saji jaringan internasional ini. Semula ia masuk sebagai karyawan magang. Nyambi kerja sambil kuliah, agar terlihat keren di mata teman-teman sekampusnya.
”Begitulah yang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa kita di luar negeri,” katanya ketika ia baru saja diterima bekerja di restoran itu. ”Mereka itu, kuliah di pagi hari, dan menjadi pelayan restoran di malam hari, dan mereka menjadi orang sukses!” tandasnya.
”Jangan malu, walaupun hanya bertugas mencuci piring dan membersihkan toilet. Kerja di sini, jenjang karirnya jelas,” perkataan manajernya saat ia baru saja diterima kerja masih terngiang-ngiang.
Semula ia bekerja magang di restoran cepat saji itu untuk gengsi-gengsian, namun setelah menerima gaji pertama, betapa ia mengharapkan uang yang lebih banyak dari sambilannya itu. Tentu saja, ia masuk kerja lebih sering. Ia dijadwalkan bekerja bukan hanya di hari sabtu dan minggu sesuai kesepakatan, ia akhirnya mengajukan diri untuk dijadwalkan setiap hari.
Sejak saat itu, ia lupa pada tugas pokoknya, kuliah. Ia larut bekerja mencari uang demi uang untuk menebalkan dompetnya yang sering tipis. Enam bulan ia tak pernah menampakkan batang hidungnya di kampus. Akhirnya ia dipecat sebagai mahasiswa. Tapi, untuk urusan kerja di restoran ini, jangan diragukan. Ia hafal di luar kepala seluruh menu yang ada di restoran ini. Bahkan, ia pun hafal betul harga-harganya, baik sebelum maupun sesudah pajak.
Kinerja kerjanya sungguh bagus, berkali-kali ia terpilih sebagai karyawan terbaik tiap bulan. Hingga ia pun menyabet gelar karyawan teladan di akhir tahun. Tentu saja usahanya berbuah hasil, setahun kemudian ia diangkat menjadi karyawan tetap di restoran cepat saji itu.
Ia punya jaminan kesehatan rawat jalan. Apabila ia sakit dan perlu perawatan intensif, ia beroleh jaminan kesehatan rawat inap. Ia didaftarkan dalam kepesertaan Jamsostek. Ia pun mempunyai jatah cuti, 12 hari dalam setahun. Apabila ia bekerja tengah malam, ia akan mendapatkan uang transportasi. Dan, tentu kalau restoran ramai dan memaksanya lembur, ia akan menerima pendapatan berlipat ganda. Menggiurkan bukan?
Tentu saja menggiurkan. Saking menggiurkan, Aurora, pacarnya meminta ia segera meminangnya. Aurora, gadis manis tetangganya itu, sudah lama menjadi pacarnya. Pagi tadi, Au, begitu panggilan sayangnya, merengek minta kawin.
Nah, bagian cerita inilah yang membuat tokoh utama dalam cerita ini uring-uringan dan ingin memaki lebih banyak orang. Sayang sungguh sayang, ia adalah kasir, pelayan, pekerja restoran cepat saji yang harus melayani pelanggan dengan senyuman ramah dan ucapan kata yang penuh sopan santun. Bukan makian macam bangsat dan tahi kucing.

***

Sore tergelincir di langit senja. Semburatnya meronakan seluruh permukaan langit. Tiba-tiba saja restoran yang tadinya sepi seperti kuburan, dipenuhi oleh para pengunjung dan mereka antri dengan tertib memenuhi depan meja kasir yang tampak mengecil. Satu-satu Adimas melayani pelanggannya dengan cepat. Sambil matanya jelalatan melihat ke ruangan manajer. Manajernya masih sibuk mengetik komputer.
Restoran gaduh seketika. Suara berdentingan terdengar di dapur. Petugas dapur bahu-membahu membuat burger-burger pesanan tamu. Suara minyak goreng terdengar menetas ketika kentang beku dicelupkan ke dalam minyak yang panas itu. Aroma daging yang terpanggang menyeruak dari dapur, harum roti menguar seketika dan bau bumbu-bumbu khas untuk burger menusuk selera. Pelanggannya berebutan menerima pesanan.
Hanya dalam sekejap, ia telah melayani lebih dari belasan orang. Dan, hanya dalam sekejap ia telah memiliki uang hampir sejuta lebih. Dari mana uang sebanyak itu dalam waktu sekejap?
Nah, itulah kepintaran tokoh kita ini. Ia hanya memasukkan satu transaksi ke dalam register bayar. Setelah itu, register bayar tak ia tutup lacinya, dibiarkannya terbuka. Setelah itu, ia menerima pesanan pelanggannya, tapi ia tak masukkan dalam register bayar. Bukankah ia hafal di luar kepala semua harga menu-menu yang tersaji? Dan, tentu dengan sangat mudah ia memberi uang kembalian bagi pelanggannya. Ingat, ia mantan mahasiswa. Ada informasi yang terlewat, ia bekas mahasiswa jurusan matematika.
Ia tersenyum puas. Pelanggannya tersenyum puas. Manajernya tersenyum puas, melihat semua karyawan bekerja dengan gesit melayani pelanggan yang mendadak datang dalam jumlah yang banyak. Manajernya sangat yakin, semua karyawannya, termasuk Adimas, adalah karyawan yang dapat diandalkan. Sehingga sepanjang sore ia begitu tenang di depan komputer membuka akun Facebook-nya, pelanggan tetap bisa dilayani dengan baik. Semua tersenyum puas.
Selepas senja Aurora tersenyum puas, ketika Adimas datang bertandang ke rumahnya membawa sebuah cincin emas. Cincin itu dikenakannya pada jari manis Au. Adimas mengecup tangan Au, sembari berkata, ”Aku melamarmu sayang.”
Itulah sebuah kisah muram yang terjadi dikala senja, di sebuah restoran cepat saji yang terletak di sebuah kawasan elit di Jakarta, di mana semua orang merasa menjadi raja, di mana seorang pemuda bernama Adimas kepepet uang untuk melamar kekasihnya, dan akhirnya mengambil sesuatu yang bukan haknya untuk membahagiakan seseorang yang sangat ia sayangi. Ia memilih menjadi orang Indonesia pada umumnya. Ia tak peduli lagi betapa korup negaranya, karena ia sendiri tak bersih dari itu, bahkan kini ia bagian dari sistem itu.
Begitulah kisah ini berakhir. Kisah paling muram yang pernah kuceritakan.***


Jakarta, 20 Februari 2010