Minggu, 11 Januari 2015

Saya dan Sastra yang Menyesatkan

Saya dan Cerita-cerita Tentang Saya

Bagi saya menulis adalah semacam terapi dan akan mencegah saya agar tidak terjerumus ke dalam suasana hati yang terkadang cenderung saya masuki itu. Suasana itu bernama kenangan.
***
            Kerena mengikuti Ayah saya yang perpindah-pindah tempat bertugas di sebuah perusahaan perbankan milik negara, masa kecil hingga remaja saya habiskan di Pulau Sulawesi, Jawa dan Sumatera. Oleh karenanya, saya dan kakak saya terlahir di Manado, Sulawesi Utara. Di Sulawesi Utara, Ayah sempat berpindah dari Manado ke Kotamobagu (Bolaang Mongondow). Di Kotamobagu adik saya lahir. Lantas pindah ke Bitung, sebuah kota pelabuhan super sibuk di wilayah Timur Indonesia masih di Sulawesi Utara. Masa penugasan Ayah saya setelah dari Bitung ke Ampana, Sulawesi Tengah. Ampana sebuah kota kecil yang berada di pesisir laut yang menghadap ke Teluk Tomini. Untuk mencapai Ampana, kami mendarat di Palu, lantas ke Poso dan kemudian melanjutkan perjalanan melalui darat dari Poso ke Ampana. Masa penugasan Ayah di Sulawesi Utara dan Tengah pada kurun waktu 1967-1979, masing-masing kota rata-rata 3 tahun. Oleh karenanya, saya bersekolah di TK hingga SD kelas I adalah di Bitung dan kelas II-IV SD di Ampana.
            Pada tahun 1979, Ayah saya dipindahtugaskan ke Tegal, Jawa Tengah. Saat pindah ke Tegal, masa itu saya kelas V Sekolah Dasar. Lulus SD di Tegal dan saya masuk ke sebuah SMP Negeri di kota Tegal, hingga kelas II, tahun 1983 Ayah dipindahtugaskan lagi, kali ini ke Medan, Sumatera Utara. Ayah saya meninggal dunia karena sakit ketika bertugas di Medan, tepatnya 15 Februari 1985, dan sebentar lagi–pada waktu itu–saya akan mengikuti Ujian Nasional kelulusan SMP. Saya lulus SMP di Medan.
            Ayah saya berasal dari Samarinda, Kalimantan Timur dan Ibu saya dari Tasikmalaya, Jawa Barat. Sewaktu Ayah meninggal, keluarga besar kami berunding mengenai di mana kah Ayah akan dimakamkan? Pihak keluarga besar Ayah saya menginginkan Ayah dimakamkan di Samarinda, kampung halamannya. Namun Ibu saya berkehendak lain, Ibu ingin Ayah dimakamkan di Tasikmalaya. Pada akhirnya, Ayah saya dimakamkan di Tasikmalaya, kota kelahiran Ibu saya. Kisah perjalanan ketika kami membawa jenazah Ayah dari Medan menuju Tasikmalaya, saya pernah tuturkan dalam sebuah cerpen berjudul “Aku Bercerita dari Pesawat yang Sedang Terbang.”
            Setelah lulus SMP tanpa disaksikan oleh Ayah, Ibu membawa kami pindah ke Tasikmalaya, kota berhawa sejuk dengan Gunung Galunggung yang fenomenal sebagai latar kota. Di Tasikmalaya saya menghabiskan masa SMA hingga Perguruan Tinggi. Lulus kuliah, saya memutuskan untuk bekerja di Jakarta, hingga saat ini.
            Tentu agak aneh, kenapa saya mengisahkan sekelumit masa kecil saya hingga remaja sampai lulus kuliah pada kata pengantar buku ini. Pertanyaan itu akan terjawab nantinya.
***
            Ketertarikkan saya menulis cerita pendek memang agak terlambat, apalagi memasuki dunia sastra Indonesia bisa dikatakan sangat terlambat. Dunia sastra itu bagaikan belantara luas, tanpa ujung dan pangkal. Kadang saya menemukan titik terang di sana, kadang saya tersesat di dalamnya. Dunia yang penuh dinamika yang tak pernah saya duga dan sangka-sangka sebelumnya.
Saya memang gemar membaca, saya masih ingat ketika itu bacaan yang sering saya santap adalah Kompas. Saya terbiasa membaca koran itu sejak SD kelas I, ketika koran itu dibawa Ayah dari kantornya ke rumah. Saya sering berebutan membacanya dengan kakak saya. Dikarenakan kami gemar membaca, maka Ibu mulai berlangganan majalah Si Kuncung dan Bobo untuk kami, pun majalah-majalah lainnya seperti Femina dan Kartini, tentu majalah dewasa itu untuk konsumsi Ibu saya, namun kami pun tak kuasa menahan hasrat untuk melahap isi kedua majalah tersebut. Saat SMP, kami berlangganan majalah Hai, Kawanku dan Anita Cemerlang.
            Masa kanak-kanak saya, remaja hingga dewasa memang bergelimang bahan-bahan bacaan mulai dari koran, majalah, buku-buku dongeng, novel dan komik. Ayah selalu membelikan kami buku bacaan baru apabila ia berdinas ke suatu tempat. Mungkin hal inilah yang memicu saya bercita-cita ingin menjadi wartawan. Bisa menulis berita apa saja dan tulisan saya dibaca oleh orang-orang. Ya, waktu itu cita-cita saya menjadi wartawan.
            Selain membaca, kegemaran saya yang lain adalah menggambar dan melukis. Ketika di Tegal, saya pernah menjadi juara ke-2 Lomba menggambar antar SD se-kabupaten Tegal, pun pada masa kelas VI SD saya pernah mengikuti Lomba Menggambar Kantor Pos kota Tegal, walaupun tidak menjadi juara, saat itu saya masuk liputan Berita Daerah di TVRI Yogyakarta. Bukan main girangnya, ketika melihat foto hitam putih yang ada sayanya sedang menggambar ditayangkan TVRI stasiun Yogyakarta. Saya sampai berguling-guling di lantai saking bahagia. Saya pun pernah mengirimkan hasil karya menggambar saya ke Bapak Tino Sidin di Jakarta, dan ketika Pak Tino Sidin menampangkan gambar saya di layar kaca TVRI Pusat, sambil berkata, “Bagus!” Ketika itu pula dunia saya seperti ditaburi dengan beraneka ragam bunga-bunga, entah melambung kemana perasaan saya saking bahagia. Begitulah kelakukan saya kanak-kanak.
            Karena keahlian menggambar, saya menjadi pengisi tetap Majalah Dinding saat SMP di Medan dan SMA di Tasikmalaya. Bahkan, saya mendapat jatah menjadi kartunis tetap edisi mingguan di Mading, dengan nama tokoh si Bocah, akronim nama saya. Di SMA selain bergabung menjadi anggota Pramuka dan pengurus OSIS, saya pun bergabung sebagai tim redaksi majalah sekolah. Masih lekat dalam ingatan saya, kami membuat majalah dengan sistem stensilan. Selain menulis di majalah tersebut, saya menjadi ilustrator untuk majalah siswa itu.
            Saya mengikuti banyak kegiatan ekstra kulikuler dan pelbagai kesibukan lainnya sejujurnya semua itu upaya pelarian dari kesedihan saya akibat Ayah meninggal. Saya ingin sekali melupakan kenangan yang penuh warna bersama Ayah saat ia masih hidup. Dunia saya waktu itu mendadak berubah warna, dari berwarna-warni menjadi kelabu. Saya marah kepada Tuhan, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Ibu saya setiap hari menangis dan menangis, meratapi kepergian Ayah yang begitu cepat. Meskipun ia larut dalam kesedihan yang mendalam, Ibu saya sosok perempuan yang tegar dan punya prinsip yang kokoh untuk menyekolahkan kami hingga ke perguruan tinggi. Cerita perjuangan Ibu saya pernah saya narasikan sebagai sebuah kisah berbalut fiksi berjudul “Aku Tidak Sehebat Kartini.”
            Melupakan kesedihan mengantar saya memiliki banyak aktivitas di sekolah. Sebuah pengalihan yang positif dan tentu bermanfaat bagi diri saya sebagai remaja.
            Tanggal 16 Agustus 1987, saya mengalami kecelakaan lalu-lintas yang hampir merenggut nyawa saya pada sebuah kegiatan Pramuka. Saya tak sadarkan diri hingga berjam-jam lamanya. Pada saat pingsan, saya bertemu dengan almarhum Ayah yang mengajak saya untuk mengikutinya ke sebuah tempat. Namun saya menolaknya, karena saya ingin menemani Ibu dan jangan sampai Ibu bertambah sedih akibat kehilangan saya. Dalam alam tak sadar itu, Ayah saya memaklumi keputusan saya, Ayah lalu pergi, ia memunggungi saya tanpa menoleh sedikitpun. Ketika itu saya tersadar dari pingsan serta bingung dengan apa yang terjadi. Tubuh saya tergolek di meja operasi. Dikarenakan cidera di kepala yang parah, saya menjalani perawatan intensif di rumah sakit sebulan penuh. Pengalaman ini saya jadikan cerpen berjudul “Tanda Cinta dari Akhirat.” (Bersambung di buku terbaru)
            

Jakarta, 31 Desember 2014, pukul 23.59 Wib.

Tidak ada komentar: