CURHAT DUA GENERASI
Oleh: Bamby Cahyadi
Lelaki
Tua yang Tak Pernah Puas
Usia saya sudah tak muda lagi,
mendekati enam puluh tiga tahun. Seumur hidup saya ini, saya telah mengalami
perkawinan sebanyak tiga kali. Perkawinan pertama hanya berlangsung delapan
tahun, lantas kandas bagai kapal laut yang karam mencium batu karang.
Perceraian terjadi karena masalah ketidakharmonisan
rumah tangga. Biduk pernikahan saya pecah berantakan, akibat rasa tidak puas
diri saya. Persoalannya sebenarnya sepele, apalagi pada zaman sekarang
tentunya. Ya, istri saya ternyata bukan gadis lagi saat saya menikahinya. Ia
bukan perawan! Selama delapan tahun saya mencoba menahan derita batin ini
akibat rasa tidak puas padanya.
Namun saya tak berhasil mengatasi
perasaan ketidakpuasan itu. Terlebih lagi apabila saya membaca tulisan tentang
“perawan” atau teman-teman sekantor bergosip masalah “keperawanan” seorang
perempuan, hati saya selalu merasa tersinggung dan teriris.
“Wah, sungguh beruntung si Badu, ia
menikah dengan perawan yang masih fresh
from the oven,” celetuk sejawat
saya saat itu. Hati saya langsung mendidih.
“Pasti seprai ranjangnya penuh dengan
titik-titik noda merah,” seru sejawat saya yang lain di seberang meja. Hati
saya membara mendengarnya. Panas, panas, panas!
“Kalian jangan menyindirku!” hardik
saya, sejawat saya di kantor saling berpandangan dan pecahlah tawa mereka.
Begitulah, saya menjadi lelaki yang sangat muda tersinggung.
Tak lama setelah perceraian dengan
istri saya yang tak perawan itu, saya tergiur oleh kecantikan seorang perempuan
keturunan Arab dan ia berstatus janda. Gayung bersambut, sang janda yang Arab
itu mau menikah dengan saya. Perkawinan pun terjadi.
Ah, tapi sungguh menyedihkan. Bahtera
rumah tangga bersama perempuan keturunan Arab itu hanya berlangsung dua tahun.
Ya, dua tahun! Persoalannya pun cukup memalukan, saya tak mampu mencukupi
kebutuhannya secara ekonomi. Istri saya yang Arab itu sungguh doyan belanja dan
pelesir.
Dua kali saya berstatus duda dengan
menghasilkan empat orang anak. Tiga anak dari istri saya yang tak perawan itu
dan seorang anak dari istri saya yang keturunan Arab itu. Semuanya masih
kecil-kecil. Tentu saja semuanya ikut ibunya.
Atas tawaran dan petunjuk kedua orang
tua saya pada waktu itu, akhirnya saya menikah untuk ketiga kalinya. Saya
menikah dengan seorang guru bahasa Inggris berstatus janda dengan dua anak.
Sehingga anak saya menjadi enam. Ambisi untuk menikahi perempuan perawan saya
paksakan enyah dalam sanubari saya, musnah dalam kehidupan saya. Bukan karena
saya menyerah, tapi saya sadar diri pada
saat itu, saya bukan jejaka lagi.
Ternyata dengan sikap menerima
kenyataan, tidak berambisi menikahi seorang gadis yang masih perawan, kehidupan
rumah tangga saya yang terakhir ini bisa bertahan 24 tahun lamanya. Dari istri
saya yang guru berstatus janda dengan dua anak, saya dikaruniai dua orang anak
lagi. Sehingga total anak saya ada delapan.
Terus terang, malu sebenarnya saya mau
bercerita kondisi saat ini, dalam usia tua seperti sekarang ini, saya sangat
haus akan bacaan-bacaan berbau porno, film-film bernapas porno, begitu pula
gambar-gambar beraroma porno. Otak saya isinya porno melulu.
Melalui internet saya berhasil
melampiaskan hobi berburu sesuatu yang porno-porno. Saya bahkan tahu ada 10
peringkat bintang porno berusia paling muda sedunia. Melihat mereka darah saya
bergelegak. Berahi saya morat-marit.
Padahal dalam umur yang setua sekarang
ini, saya pun telah berusaha untuk memperkuat iman dengan membaca buku-buku
agama, menghadiri berbagai majelis taklim dan mendalami berbagai pengetahuan
tentang ajaran-ajaran agama. Tetapi apa daya, semua itu tak mempan.
Rasa tidak puas dalam kehidupan
seksual saya benar-benar mengganggu ketenangan jiwa saya. Masalahnya, di
saat-saat saya masih ingin mencari kepuasan biologis, istri saya yang berumur
51 tahun itu tampaknya sudah mulai pasif. Sehingga apa pun yang berhubungan
dengan hubungan intim pasangan suami istri, inisiatif selalu timbul dari saya.
Pernah saya berterus
terang mengemukakan apa yang sebenarnya saya inginkan darinya. Ia mengerti dan
bersedia memenuhi apa yang saya minta. Ia minum jamu-jamuan tradisional dan
obat herbal dari China agar singset dan libidonya membara. Ia pergi ke salon,
totok wajah, totok payudara dan totok vagina. Tetapi itu hanya berlangsung
beberapa minggu saja, lalu ia pasif kembali seperti sebatang pohon pisang yang
tergolek di atas ranjang.
Oh, bagaimana saya mengatasi rasa
tidak puas selagi saya masih mampu melakukan hal itu? Jujur, saya tidak mau
meniru hal-hal yang sering dilakukan oleh pejabat atau elite partai di negeri
ini, nikah siri. Bagi saya, pernikahan ketiga ini yang terakhir.
Walapun, hal-hal porno selalu
menari-nari di benak saya, menggelayuti di kepala saya yang rambutnya sudah
tersapu warna kelabu pada setiap helainya dan menancap pada otak saya. Jijik
saya menikahi secara siri seorang perempuan muda perawan pula.
Biarlah orang tua tak tahu diri yang
lain yang melakukannya. Bukan saya. “Bukan begitu Miyabiku sayang?”
Kepala saya serasa dikangkangi oleh
Miyabi yang manis itu. Masih untung Miyabi, bukan sapi. “Ha..ha..ha!” Tawa saya
lepas sekali.
Perempuan
yang Mencintai Dirinya Sendiri
Saya seorang pelajar berusia 17 tahun,
duduk di bangku kelas III SMK. Saya mendapat haid pertama kali pada usia 12
tahun. Waktu itu saya merasa sangat malu, sehingga saya tidak mau memberitahu
kepada siapa pun. Termasuk ibu saya.
Namun pada akhirnya ibu saya tahu.
Terus terang saya sangat takut waktu masa haid datang pada waktu itu. Ibu saya
yang membelikan pembalut wanita di super market.
Pernah suatu kali, pembalut bocor dan
menodai pakaian saya yang serba putih (padahal tayangan iklan pembalut tersebut
di televisi, katanya anti bocor), sehingga apabila haid datang dan saya harus
bepergian saya menjadi sangat gelisah.
Bila pelajaran olahraga tiba, saya
sering berpura-pura sedang sakit, saya begitu takut orang lain akan tahu saya
sedang haid. Pengalaman saya ini mirip sekali dengan tayangan iklan di
televisi, tetapi begitulah faktanya.
Sebenarnya bukan masalah haid ini yang
akan saya ceritakan. Begini, saya mempunyai masalah, akhir-akhir ini saya sering bermimpi bermesraan dengan teman
sejenis. Saya sering bermimpi bergumul, bermesraan dan bercinta dengan
perempuan. Hal ini membuat hati saya cemas, sekaligus bahagia. Saya sangat
menikmati mimpi-mimpi indah tersebut.
Waktu saya masih SMP, saya pernah
berteman akrab dengan Irawati. Ia murid baru di sekolah kami, ia baru pulang
dari Amerika mengikuti orang tuanya yang diplomat. Irawati lah yang menghampiri
saya ketika saya pura-pura sakit karena haid datang. Ia dengan ramah bertanya
pada saya, apakah saya baik-baik saja?
Lalu akhirnya saya cerita sebenarnya
saya tidak sakit, tapi lagi datang bulan. Irawati lantas tertawa ngakak.
Selanjutnya ia menawari saya sebuah pembalut wanita yang ia sering kenakan. Pembalut
itu super tipis, berbeda seperti yang ibu saya sering belikan di super market.
“Percayalah, ini dijamin anti bocor,”
katanya meyakinkan dan bukan bermaksud beriklan.
Tiba-tiba pertanyaan bodoh meluncur
dari bibir saya, “Apakah pembalut setipis ini dapat menghilangkan kegadisan
seseorang?”
Irawati kembali tertawa ngakak, “Suatu
hal yang jauh dari kenyataan,” katanya setelah tawanya reda. Ada desiran halus
yang menggetarkan saraf-saraf saya ketika melihat Irawati tertawa ngakak
seperti itu.
Entah mengapa, saya nurut saja ketika
Irawati meminta agar saya segera memakai pembalut pemberiannya, ia mengantar
saya sampai di depan pintu toilet sekolah. Ia berjaga di depan pintu toilet,
dan entah kenapa darah saya semakin berdesir-desir.
Irawati lantas menjadi sahabat saya.
Kami semakin akrab. Saya tahu Irawati menyukai saya. Tapi saya tak tahu
perasaan suka seperti apa yang menyeruak dari hati saya menyelinap ke hati Irawati,
atau sebaliknya.
Saya ingin sekali dipacari Irawati,
padahal pada waktu itu ia sudah memberikan sinyal kuat bahwa ia akan memacari
saya. Tapi saya tolak dengan halus, terus terang saya takut dosa, saya masih
takut pada Tuhan. Yang jelas Irawati pernah mencium bibir saya dengan begitu
membara
Lepas SMP, Ira pindah ke Kanada. Ia
ikut orang tuanya yang ditugaskan negara. Sekarang Irawati jauh dari saya, dan
saya selalu rindu padanya.
Banyak teman laki-laki yang suka
terhadap saya, bahkan ada yang terang-terangan mengucapkan kata-kata cinta di
kantin sekolah. Entah gombal, entah beneran. Semuanya saya tolak. Jadi saya
belum pernah pacaran sama laki-laki.
Saya menjadi tidak suka laki-laki.
Padahal saya ingin sekali bisa mencintai laki-laki. Lantas melupakan Irawati
yang lesbian. Tapi saya mencintai Irawati, saya menyukai perempuan, serupa saya
mencintai diri saya sendiri.
“Hai, peluklah saya, saya sangat
menginginkannya. Peluklah saya dengan mesra”. Tulis saya di penghabisan halaman
catatan harian. ***
Catatan: Kalau
ada kesamaan curhat dengan cerpen ini, yang pasti itu bukan plagiat
Jakarta,
30 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar