Kamis, 24 April 2014

pemuda penjaga lift

PEMUDA PENJAGA LIFT

Seperti pagi kemarin, saya melihat kamu sudah berada di lobi apartemen ini. Setelah mengganti bajumu dengan seragam, yang menurut saya lucu dan aneh, lalu kamu mengisi buku dan kartu absensi. Kamu telah bersiap untuk bertugas. Pagi ini saya kira, sama saja dengan pagi-pagi sebelumnya. Pagi yang kering dan membosankan. Sudah lama air hujan malas turun sekadar menyejukan tanah dan aspal yang kering korantang ini. Beruntung kita berada di dalam apartemen berpenyejuk udara ini, sehingga terik matahari tak terasa menyengat di sini.

“Selamat pagi, ke lantai berapa
, Pak?” Tanyamu dengan nada suara yang sangat sopan pada seorang lelaki berpakaian safari rapi, necis dan perlente. Kini kamu telah berada di dalam lift, mengerjakan rutinitasmu, menjaga lift. Tugasmu sederhana memang, hanya bertanya dan membantu orang yang keluar-masuk lift untuk mengantar mereka ke lantai yang mereka kehendaki.


Lelaki itu kemudian memperlihatkan lima jarinya tangannya tanpa bicara. Kamu rupanya sudah paham, tombol lift kamu pencet angka 5. Kamu selalu berpenampilan rapi, rambutmu selalu tersisir dengan sedikit minyak rambut yang membuat rambutmu berkilau
dan mengilap apabila tertimpa cahaya lampu lift. Mengingatkan saya pada tokoh-tokoh film di tahun enampuluhan.

Lantas kamu terlibat percakapan basa-basi dengan lelaki perlente itu.
Saya dengar ia akan mengunjungi sanak keluarganya yang tinggal di sini. Pembicaraan kalian terhenti, ketika di lantai 2, lift berhenti. Beberapa orang masuk bersamaan, mereka hendak menuju lantai paling atas. Di atas atap apartemen ini terdapat kolam renang yang cukup besar. Mungkin mereka mau berenang pagi ini di sana.

Ya, kamu juga selalu tersenyum ramah kepada setiap orang yang menggunakan lift ini. Setiap hari. Mungkin di setiap shift-mu karena pasti kamu pun membutuhkan libur untuk mengatasi kebosanan menjaga lift, dan rutinitas bertanya ke lantai berapa ke setiap orang yang menggunakan lift di apartemen ini. Rutinitas yang membosankan,
saya pikir. Namun, kamu menjalaninya dengan senang hati. Itulah, makanya saya sangat suka memperhatikan kamu.

Sudah lama
saya ingin berkenalan dengan kamu. Ingin sekali saya bertanya tentang minyak rambutmu yang membuat rambutmu menjadi licin berkilau dan mengilap seperti sepatu yang baru saja disemir. Selain itu saya sangat tertarik dengan ketulusan hatimu, menjalani profesi sederhana ini dengan sabar, yang kukatakan membosankan ini. Karena dari semua karyawan bagian servis di apartemen ini, cuma kamu yang sangat bersahaja.
***
Hari ini, kamu tidak berada di dalam lift ini. Seorang
perempuan muda yang menjaganya, mungkin kamu libur. Perempuan muda itu tidak seramah kamu. Senyumannya menyerupai sebuah sunggingan bibir yang dipaksakan. Mirip menyeringai, tidak tulus. Sepertinya ia sangat terpaksa dan tertekan menjalani profesi menjaga lift daripada tidak bekerja sama sekali. Tidak sepertimu yang begitu tulus melakukan pekerjaanmu.

Terkadang
perempuan muda penjaga lift penggantimu itu, pura-pura sibuk ketika ada orang yang masuk ke dalam lift. Saya tahu, ia hanya malas membuat sebaris senyum di bibirnya. Heran juga ia bisa diterima dan bekerja di sini.

Wahai pemuda penjaga lift, sudah hampir sebulan kamu tidak menjaga lift dan sebulan ini beberapa petugas pengganti silih berganti. Kamu kemana? Apakah kamu sakit? Ataukah kamu mendapatkan pekerjaan baru?
Saya kok rindu kamu.

Ya, sungguh tak menyenangkan menyambut pagi tanpa kehadiran kamu. Lobi apartemen terasa hampa. Rasanya,
saya berada di apartemen asing. Sungguh suasana seperti ini membuat saya merasa melankoli.

Terus terang, ingin sekali
saya bertanya kepada temanmu, perempuan muda yang sekarang menjadi penjaga lift ini. Sebab sudah sebulan kamu tidak bertugas. Tetapi tentu tidak saya lakukan, saya tidak mau semuanya berubah menjadi runyam dan kacau. Selain itu, saya tidak suka dengan perempuan muda yang berwajah masam itu. Lebih baik saya tak menegurnya saja.

Pagi ini suasana lobi apartemen terasa sangat sepi dan begitu lengang. Aktivitas apartemen belum dimulai, seperti biasa
saya berjalan memasuki lift dengan langkah gontai hendak menuju kamarku. Berharap-harap cemas, dirimu hadir di sini. Bertemu dengan kamu dan memperhatikanmu diam-diam. Oh, saa suka sekali melakukannya.

Aha…!
Saya sangat senang dan gembira sekali. Girang sekali hati saya, hampir menjerit-jerit saya. Pagi ini saya menemui kamu berada di dalam lift dan sudah bertugas kembali. O Tuhan, terimakasih. Harapam saya bisa melihatmu di pagi ini terkabul. Saya sangat gembira, saya kira telah berlonjak-lonjak saking girangnya. Rona pipi saya jadi memerah malu.

“Mau ke lantai berapa Mbak?” tanyamu dengan suara yang sangat ramah.
Saya terkejut bercampur bahagia kamu sudah menjaga lift lagi. Sambil memandang heran padamu, saya mengacungkan kesepuluh jariku tepat di depan wajahmu. Meniru gerakan lelaki perlente bersafari yang saya lihat bulan lalu. Saya ke lantai 10. Kamu memencet tombol angka 10. Saya masih tak percaya, kamu bertanya kepadaku. Sungguh kamu bertanya pada saya.

Saya bingung mau mengajakmu bercakap-cakap. Saya lihat kamu juga terlihat malu-malu di hadapan saya. Sesekali kamu melirik saya. Dan saya pun melirik kamu. Ketika saya hendak berkata-kata mengajakmu bicara.

Tiba-tiba lift mendadak berhenti di lantai 5 padahal tidak ada seorang pun yang berhenti untuk keluar ke lantai 5. Pintu lift terbuka, meninggalkan suara denting. Masuklah perempuan muda penjaga lift penggantimu itu, ia bersama temannya, tetapi mereka tidak menegurmu. Kamu pun diam saja tidak menegur mereka. Saya dan kamu terdiam dalam bisu, hanya teman-temanmu yang berbicara. Pembicaraan mereka tampak sangat serius.

“Sudah sebulan
saya bekerja di sini, baru kali ini saya merasakan bulu kuduk berdiri dan merinding seperti ini,” kata perempuan muda itu kepada temannya dengan ekspresi seperti orang yang ketakutan.

“Ya,
saya juga merasakan hal yang sama, tenguk saya tiba-tiba merinding,” balas teman perempuan muda itu sambil bergidik dan memegang lehernya sendiri. Rupanya bulu kuduknya meremang.

“Apa mungkin rohnya si Markum penjaga lift yang meninggal kecelakaan motor sebulan yang lalu sedang gentayangan di sini ?” lanjut
perempuan muda penjaga lift itu kepada temannya sambil memencet tombol lift ke lantai dasar.

Saya tersentak, kaget minta ampun, saya mengalihkan pandangan padamu. Kamu tertunduk seperti merahasiakan sesuatu.

“Mungkin saja. Dulu juga waktu seorang gadis bunuh diri loncat dari lantai 10. Dan tubuhnya hancur di halaman parkiran, di lift ini sering terjadi sesuatu yang aneh-aneh dan menyeramkan,” kata teman
perempuan muda penjaga lift sambil masih memegang-megang tenguknya.

“Kenapa gadis itu bunuh diri?” Tanya wanita muda itu.

“Katanya sih, gadis itu kesepian. Orangtuanya memberikan fasilitas apartemen, tetapi mereka tidak pernah menjenguk gadis itu,” jelas temannya dengan bibir bergetar ketakutan.

“Iya, ya, bisa jadi si Markum lagi gentayangan di sini. Dia khan, meninggal
duna saat mau menuju ke sini untuk menjaga lift ini. Hiiiiiih!” Kedua perempuan itu menjerit dan buru-buru ke luar dari lift ketika sampai di lantai dasar.

Terus terang
saya sangat terkejut mendengar pembicaraan mereka. Pandanganku beralih lagi kepadamu yang sedang berdiri manis di pintu lift sambil tersenyum, kamu mengangguk-angguk kepala seraya mengangkat bahumu menatapku. Kamu bernama Markum. Pantas kamu bisa menegur saya pagi ini.***

Jakarta, 29 Juni 2008

Tidak ada komentar: