Rabu, 23 September 2009

Kumpulan Cerpen TANGAN UNTUK UTIK


Buku kumpulan cerpen Tangan Untuk Utik, pengarang Bamby Cahyadi. Terbit Oktober 2009. Penerbit Koekoesan.

Senin, 21 September 2009

Pemuda Penjaga Lift, cerpen di Jurnal Bogor

Cerpen PEMUDA PENJAGA LIFT dimuat di Jurnal Bogor, Minggu 13 September 2009:

PEMUDA PENJAGA LIFT
Oleh: Bamby Cahyadi

Seperti pagi kemarin, kulihat kamu sudah berada di lobi apartemen ini. Setelah mengganti bajumu dengan seragam, yang menurutku lucu, dan mengisi kartu absensi. Kamu telah siap untuk bertugas. Pagi ini kukira, sama saja dengan pagi-pagi sebelumnya. Pagi yang kering. Sudah lama air hujan malas turun untuk menyirami tanah. Untung kita berada di dalam apartemen ini, sehingga terik matahari tak terasa di sini.

“Selamat pagi, ke lantai berapa Pak?” Tanyamu dengan nada suara yang sangat sopan pada seorang lelaki berpakaian safari rapi dan perlente. Kini kamu telah berada di dalam lift, mengerjakan rutinitasmu, menjaga lift. Bertanya dan membantu orang yang keluar-masuk lift untuk mengantar mereka ke lantai yang mereka kehendaki.

Lelaki itu kemudian memperlihatkan lima jarinya tangannya tanpa bicara. Kamu rupanya sudah paham, tombol lift kamu pencet angka 5. Kamu selalu berpenampilan rapi, rambutmu selalu tersisir dengan sedikit minyak rambut yang membuat rambutmu berkilau apabila tertimpa cahaya lampu lift. Mengingatkan aku pada tokoh-tokoh film di tahun enampuluhan.

Lantas kamu terlibat percakapan basa-basi dengan lelaki perlente itu. Kudengar ia akan mengunjungi sanak keluarganya yang tinggal di sini. Pembicaraan kalian terhenti, ketika di lantai 2, lift berhenti. Beberapa orang masuk bersama, mereka menuju lantai paling atas. Terdapat kolam renang di sana. Mungkin mereka mau berenang pagi ini.

Ya, kamu juga selalu tersenyum ramah kepada setiap orang yang menggunakan lift ini. Setiap hari. Mungkin di setiap shift-mu karena pasti kamu pun membutuhkan libur untuk mengatasi kebosanan menjaga lift, dan rutinitas bertanya ke lantai berapa ke setiap orang yang menggunakan lift di apartemen ini. Rutinitas yang membosankan, kupikir. Namun, kamu menjalaninya dengan senang hati. Itulah, maka aku sangat suka memperhatikan kamu.

Sudah lama aku ingin berkenalan dengan kamu. Ingin sekali aku bertanya tentang minyak rambutmu yang membuat rambutmu menjadi licin berkilau. Selain itu aku sangat tertarik dengan ketulusan hatimu, menjalani profesi, yang kukatakan membosankan ini. Karena dari semua karyawan bagian servis di apartemen ini, cuma kamu yang sangat bersahaja.
***
Hari ini, kamu tidak berada di dalam lift ini. Seorang wanita muda menjaganya, mungkin kamu libur. Wanita muda itu tidak seramah kamu. Senyumannya menyerupai sebuah sunggingan bibir yang dipaksakan. Mirip menyeringai, tidak tulus. Sepertinya ia sangat terpaksa menjalani profesi penjaga lift daripada tidak bekerja sama sekali. Tidak sepertimu yang begitu tulus melakukan pekerjaanmu.

Terkadang wanita muda penjaga lift penggantimu itu, pura-pura sibuk ketika ada orang yang masuk ke dalam lift. Aku tahu, ia hanya malas membuat sebaris senyum di bibirnya. Heran juga ia bisa bekerja di sini.

Wahai pemuda penjaga lift, sudah hampir sebulan kamu tidak menjaga lift dan sebulan ini beberapa petugas pengganti silih berganti. Kamu kemana? Apakah kamu sakit? Ataukah kamu mendapatkan pekerjaan baru? Aku kok rindu kamu.

Ya, sungguh tak menyenangkan menyambut pagi tanpa kehadiran kamu. Lobi apartemen terasa hampa. Rasanya, aku berada di apartemen asing. Sungguh suasana seperti ini membuatku merasa melankoli.

Terus terang, ingin sekali aku bertanya kepada temanmu, wanita muda yang sekarang menjadi penjaga lift itu. Sebab sudah sebulan kamu tidak bertugas. Tetapi tentu tidak aku lakukan, aku tidak mau semuanya berubah menjadi runyam dan kacau. Selain itu, aku tidak suka dengan wanita muda yang berwajah masam itu. Lebih baik aku tak menegurnya saja.

Pagi ini suasana lobi apartemen terasa sangat sepi dan begitu lengang. Aktivitas apartemen belum dimulai, seperti biasa aku memasuki lift dengan langkah gontai menuju kamarku. Berharap-harap cemas, dirimu hadir di sini. Bertemu dengan kamu dan memperhatikanmu diam-diam. Oh, aku suka sekali melakukannya.

Aha…! Aku sangat senang dan gembira sekali. Pagi ini aku menemui kamu berada di dalam lift dan sudah bertugas kembali. O Tuhan, terimakasih. Harapku bisa melihatmu di pagi ini terkabul. Aku sangat gembira, kukira aku telah berlonjak-lonjak saking girangnya. Rona pipiku memerah malu.

“Mau ke lantai berapa Mbak?” tanyamu dengan suara yang sangat ramah. Aku terkejut bercampur bahagia kamu sudah menjaga lift lagi. Sambil memandang heran padamu aku mengacungkan kesepuluh jariku. Meniru gerakan lelaki perlente bersafari yang kulihat bulan lalu. Aku ke lantai 10. Kamu memencet tombol angka 10. Aku masih tak percaya, kamu bertanya kepadaku.

Aku bingung mau mengajakmu bercakap-cakap. Kulihat kamu juga terlihat malu-malu di hadapanku. Sesekali kamu melirikku. Ketika aku hendak berkata-kata mengajakmu bicara.

Tiba-tiba lift mendadak berhenti di lantai 5 padahal tidak ada seorang pun yang berhenti untuk ke luar ke lantai 5. Pintu lift terbuka, meninggalkan suara denting. Masuk wanita muda penjaga lift penggantimu itu, ia bersama temannya, tetapi mereka tidak menegurmu. Kamu pun diam saja tidak menegur mereka. Aku dan kamu terdiam dalam bisu, hanya teman-temanmu yang berbicara. Pembicaraan mereka tampak sangat serius.

“Sudah sebulan aku bekerja di sini, baru kali ini aku merasakan bulu kudukku berdiri dan merinding seperti ini,” kata wanita muda itu kepada temannya dengan ekspresi seperti orang yang ketakutan.

“Ya, aku juga merasakan hal yang sama,” balas teman wanita muda itu sambil bergidik dan memegang lehernya sendiri. Rupanya bulu kuduknya meremang.

“Apa mungkin rohnya si Markum penjaga lift yang meninggal kecelakaan motor sebulan yang lalu sedang gentayangan di sini ?” lanjut wanita muda penjaga lift itu kepada temannya sambil memencet tombol lift ke lantai dasar.

Aku tersentak, mengalihkan pandangan padamu. Kamu tertunduk.

“Mungkin saja. Dulu juga waktu seorang gadis bunuh diri loncat dari lantai 10. Dan tubuhnya hancur di halaman parkiran, di lift ini sering terjadi sesuatu yang aneh-aneh dan menyeramkan,” kata temannya sambil masih memegang tenguknya.

“Kenapa gadis itu bunuh diri?” Tanya wanita muda itu.

“Katanya sih, gadis itu kesepian. Orangtuanya memberikan fasilitas apartemen, tetapi mereka tidak pernah menjenguk gadis itu,” jelas temannya dengan bibir bergetar ketakutan.

“Iya, ya, bisa jadi si Markum lagi gentayangan di sini. Dia khan, meninggal saat mau menuju ke sini untuk menjaga lift ini. Hiiiiiih!” Kedua wanita itu menjerit dan buru-buru ke luar dari lift ketika sampai di lantai dasar.

Terus terang aku sangat terkejut mendengar pembicaraan mereka. Pandanganku beralih kepadamu yang sedang berdiri manis di pintu lift sambil tersenyum, mengangguk-angguk kepala seraya mengangkat bahumu menatapku. Kamu bernama Markum. Pantas kamu bisa menegurku pagi ini.***

Jakarta, 29 Juni 2008

Sabtu, 12 September 2009

Sebongkah Batu Es yang Merindu (Harian Global)

Cerpen ini dimuat di Harian Global Medan, Sabtu, 12 September 2009 :

SEBONGKAH BATU ES YANG MERINDU

Oleh : Bamby Cahyadi


Masih ingatkah kamu? Sewaktu kita berdua kelaparan di pinggiran jalan San Francisco yang dingin. Ketika bulir-bulir salju turun pelan-pelan menutupi trotoar jalan. Bulir salju itu serupa serpihan kapas putih yang ditebar dari atas langit mendung yang kelam jatuh menumpuk menimbun tanah.

Saat itu kita hanya sanggup duduk bersedekap memeluk lutut masing-masing dan saling melempar tatap, seraya membayangkan makanan-makanan enak yang tersaji tiba-tiba di depan mata.

“Aku lapar Yo,” ucapmu lirih dengan bibir bergetar. Mulutmu beruap. Tanganmu menggapai-gapai tanah. Mengais apa saja yang terjangkau.

“Aku juga…” balasku tak kalah lirihnya, namun aku berusaha menyembunyikan getar bibirku dengan membuat sebaris senyum. Aku hanya ingin tampak tegar di depanmu. Bagaimana pun, aku lebih tua darimu. Aku berusaha menenangkanmu saat itu.

Tentu kita berdua masih ingat Tere. Saat di mana, kau mulai berhalusinasi. Aku kira, saking laparnya kau telah kerasukan semacam roh lapar yang aneh. Pasti kamu ingat. Ketika kau mulai memakan daun-daun kering dan ranting-ranting pohon cerry yang berserak di tanah. Kau bilang, rasanya seperti makan hamburger. Ranting-ranting itu kau bilang selezat french fries panas dan renyah. Dan gumpalan salju di genggamanmu, dengan rakus kau jilati dan kau kunyah lalu lumer dalam mulutmu. Sambil kau berteriak: Sundae yang lezat!

Malah kau sempat menyodorkan tanganmu ke mulutku, berusaha menyuapiku dengan daun dan ranting-ranting. Maafkan aku Tere, aku menolak. Aku menepis tanganmu. Kamu tidak marah kan?

Aku ingin menangis. Tapi apa daya, aku pun tak berdaya. Kita berdua saat itu hanya sepasang kanak-kanak bodoh yang terjebak di keremangan senja jalanan San Francisco yang sunyi berbaur bising raungan sirine mobil-mobil polisi yang mengejar-ngejar penjahat jalanan. Tidak ada yang memperhatikan kita. Tidak ada yang peduli terhadap nasib kita yang kelaparan. Kurasa waktu itu kau mulai membeku. Selayak batu es. Aku saksikan itu. Ya, aku saksikan.

“Yo, apakah kamu merasa sangat dingin?” tanyamu memandangku. Aku mengangguk. Dan pertanyaan itu adalah kalimat terakhir yang kudengar darimu.

“Ya, aku juga merasakan dingin yang luar biasa Tere,” jawabku merapatkan jaket tebalku.

Saat itu mulutmu penuh dengan ranting-ranting yang masih kau kunyah dan belum sempat kau telan. Kita kembali saling bertatap. Kulihat dirimu perlahan-lahan dengan pasti berubah menjadi sebongkah es. Dirimu membeku. Tidak ada teriakan rasa sakit ketika seluruh tubuhmu berubah menjadi sebongkah es. Tidak ada gigil. Mungkin roh lapar yang aneh telah begitu merasukmu, sehingga saat kau berubah menjadi sebongkah es, kau pun tak merasakan apa-apa. Tapi aku yakin, sebelumnya kau telah kenyang. Perutmu telah penuh dengan daun cerry dan ranting-rantingnya.

“Tereee…!” aku tercekat. Tak ada suara yang keluar dari tenggorakanku.

Aku sendiri hanya bisa menatapmu tanpa berkedip. Kurasa aku pun telah berubah menjadi sebongkah batu es yang sangat dingin. Dingin merayapi sekujur tubuhku, dari ujung kaki hingga akhirnya kepala, membeku.

Apabila saat itu, ada orang yang sengaja memegang tubuh kita berdua, mungkin mereka akan tersengat dingin tubuh kita. Mungkin mereka pun menjadi es seperti kita.

Dan dugaanku benar.

Seorang gelandangan yang mendorong troli besar penuh barang rongsokan tak berguna, rupanya penasaran dengan onggokan batu es yang menyerupai dua manusia yang sedang meringkuk. Itu kita.

Ia, lalu mendekati kita. Aku masih bisa melihat dari balik bening es yang membalut tubuhku. Aku tahu, kau pun masih melihatku sebagai sebongkah es yang meringkuk. Kau pun melihat, perlahan-lahan, gelandangan itu mendekati kita berdua. Sepertinya ia ingin memastikan bahwa onggokan itu benar-benar es. Ia tampak ragu-ragu. Tapi rasa penasarannya mengusai dirinya, ia lalu memegang kita berdua. Ia mengelus-elus kita berdua, ia begitu takjub.

“Seniman patung es kaliber dunia manapun tak akan bisa menciptakan sebongkah batu es mirip manusia.” Ia berdesis. Kita mendengar pengemis itu begitu memuja-muji rupa es kita.

Maka kesalahan terbesar telah dilakukan oleh gelandangan itu, seperti yang aku bilang. Kita sangat teramat dingin untuk ukuran dingin es. Maka perlahan-lahan, gelandangan itu mendadak membeku dari ujung kakinya merembet hingga ujung kepalanya menjadi bongkahan es menyerupai manusia yang sedang memegang kepala kedua anaknya. Ah, Tere ia pun pasti merasakan sensasi dingin saat tubuhnya dijalari dingin menjadi batu es.

Masihkah kau ingat, bahwa musim dingin di tahun itu adalah musim dingin terpanjang dalam sejarah peradaban manusia di Amerika. Tak perlu aku ceritakan padamu, karena kuyakin kau masih ingat. Apakah ini akibat pemanasan global? Mana aku tahu Tere.

Beberapa saat setelah si gelandangan itu menjadi es seperti kita, para pejalan kaki yang kebetulan melewati trotoar jalan sepi di bawah jembatan Golden Gate yang angkuh dan sunyi itu, kemudian mengerubungi kita. Mereka terkagum-kagum dengan tubuh es kita. Bahkan ada yang berseru dan bertanya: Mana pematungnya?

Tentu mereka tak akan pernah menemukan pematung itu. Karena kita terbentuk dari dingin. Bukan dari liukan pahatan tangan manusia.

Belum juga tuntas rasa kagum mereka, seorang dari mereka, perempuan cantik berleher jenjang, memegang kita begitu lama. Mengelus, merabai setiap lekuk tubuh kita dan bahkan ia menciumi kita satu per satu.

“Ah, bukankah ini sebuah keindahan yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata, bahkan dengan sajak seindah apapun di dunia,” gumamnya pada dirinya sendiri.

Maka tak perlu kuceritakan padamu, betapa cepat ia berubah menjadi es ketika ia mendaratkan bibirnya di pipi gelandangan itu. Seperti kita, ia lantas berubah menjadi manusia es. Perempuan itu pasti merasakan sensasi beku juga kurasa. Semua orang yang melihat terkesiap tak percaya. Kau pun melihatnya dari balik bening es di matamu.

Sejak itu, tak ada lagi orang yang berani menyentuh tubuh es kita. Mereka hanya memandang kita dengan tatapan mustahil. Kulihat mulutmu masih penuh mengulum ranting-ranting kering yang tak sempat kau telan. Tentu kau melihatku juga dengan mata yang nanar menatapmu sedih. Kita berdua melihat, gelandangan yang takjub sedang mengelus kepala kita berdua. Dan perempuan berleher jenjang sedang mencium pipi gelandangan yang sedang mengelus kita. Kita bisa melihat di antara kita, namun sebagai sebongkah es batu yang menyerupai manusia. Kita tidak bisa berkomunikasi antar kita. Apalagi melakukan perlawanan.

Ya, perlawanan. Beberapa hari kemudian, kabar membekunya kita tersiar seantero kota San Francisco. Bahkan ke semua negara bagian di Amerika yang masih diguyur salju tebal berhari-hari sampai berbulan-bulan kukira. Mungkin kabar ini telah tersebar ke seluruh penjuru dunia.

Entah untuk tujuan apa. Kita dipisahkan. Kulihat orang-orang berseragam putih-putih, bermantel tebal putih, bersepatu bot putih, bermasker putih yang menutupi seluruh wajah dan dengan sarung tangan tebal anti dingin berwarna putih mengangkat kita.

Sepertinya mereka sangat takut tersengat dingin kita, sehingga kita diperlakukan selayak virus flu yang mematikan. Mereka pun tak berani menyentuh tubuh es kita walaupun mereka telah memakai sarung tangan tebal. Ya, mana ada yang mau berubah menjadi sebongkah batu es mirip manusia. Seperti kita.

Setelah mereka mengangkat kita pada sebuah tempat. Lantas mereka memisahkan kita. Mereka menggergaji kita Tere! Suara gergaji mesin sampai kini masih terngiang-ngiang ngilu di kupingku. Mata gergaji yang tajam kemudian memutus kedua telapak tangan gelandangan yang sedang memegang kepala kita, lalu dengan garang meraung menggergaji ujung mulut perempuan berleher jenjang yang tengah mencium pipi gelandangan itu.

Mereka telah membuat kita terpisah dan sekaligus berpisah.

Selesai itu, tak lama dari pemisahan. Kita lantas dimasukkan dalam sebuah kontainer mirip portable freezer seukuran tubuh kita masing-masing. Maka sejak truk yang membawa tubuh bekuku menderu meninggalkan trotoar jalanan sunyi di kolong jembatan Golden Gate. Aku tak pernah lagi mendengar kabarmu.

Kini aku sangat rindu padamu. Tujuhbelas tahun telah berlalu. Masih ingatkah kamu?

***
Plung!

Sebutir batu es jatuh di atas gelas minuman bersoda milik seorang gadis yang tengah dikerubungi oleh teman-temannya. Gadis itu tampak sangat bahagia dan melempar senyum penuh pesona. Ia kini tengah menjadi pusat perhatian semua orang. Gadis itu sedang merayakan hari ulang tahunnya. Semua orang yang ada di sini ceria dan suasana sangat meriah.

Berpuluh-puluh gelas minuman siap menuntaskan dahaga para undangan. Makanan pun berlimpah.

Plung!

Sebutir es batu jatuh lagi di gelas yang lain. Berdenting.

Plung!

Plung!

Plung!

Semakin banyak butiran-butiran batu es berjatuhan di atas gelas-gelas yang lain, bunyi air minuman bersoda bergemericik saat batu es berjatuhan. Dan gelasnya berdenting-denting.

“Apakah itu kamu Tere?” ***


Pondok Indah, Jakarta, 13 Juli 2009