BILA SENJA INGIN PULANG(Cerpen untuk Hari Ibu)
Oleh : Bamby Cahyadi
Bila senja tiba, perempuan itu melintas di Jalan Casablanca. Lalu dengan hati-hati ia berjingkat menapaki anak tangga jembatan penyeberangan di depan Gedung Sampoerna Strategic Square. Tatapan mata perempuan itu menerawang, seolah mengenang masa-masa kelam. Setelah itu, ia turun kembali menapaki anak tangga jembatan penyeberangan.
Petang ini hujan turun gerimis. Deras hujan telah reda beberapa waktu yang lalu. Kini hanya menyisakan rintik-rintiknya saja. Padahal tadi pagi, matahari begitu terik memanggang kulitnya. Perempuan itu, lantas memasuki sebuah jalan sempit tak beraspal.
Bekas roda sepeda motor yang digenangi air hujan, tampak meliuk-liuk, pengendara motor pasti berupaya menghindari genangan air yang berkubang di sepanjang jalan tak beraspal itu. Sesekali ia melompati tanah becek yang menghadangnya. Saat ia melompat, ia terlihat seperti terbang. Melayang sejenak, lalu kakinya menapak tanah lagi.
Ia selalu ingat betapa ia berlari-lari, ketika masa kanak-kanak dulu, menyusuri jalan kecil itu mengejar senja. Ia berteriak-teriak kegirangan dan melambai-lambaikan tangannya kepada matahari yang tenggelam pelan-pelan di ujung cakrawala. Lalu, ia hanya bisa terpesona ketika semburat jingga senja, berubah menjadi gelap. Ia menggulung benang layangan. Dan, saat itulah bencana itu terjadi.
Kini ia telah sampai ke jalanan dekat rumahnya. Gerimis telah berhenti, ketika ia melihat daun pintu rumahnya ditutup seseorang. Ia tertegun, memandang pendar cahaya lampu yang menyala dari dalam rumahnya. Terasa hangat. Seperti dulu. Sebelum bencana itu terjadi. Lampu-lampu jalanan, lampu dari gedung-gedung pencakar langit yang mengepung perkampungannya pun sudah menerangi sebagian gelap malam.
Berapa lama waktuku berhenti? Tanyanya, seolah bergumam, seperti tak mengerti dengan apa yang telah terjadi.
Tidak. Ia sangat tahu tentang apa yang telah terjadi. Ia hanya melupakan waktunya yang telah berlalu. Melintas begitu cepat. Ia selalu mengira waktu telah berhenti, padahal waktunya telah berlalu. Waktu terasa sangat pendek baginya, seolah berhenti. Berhenti berputar, berhenti berdetak. Seperti mati.
Kini ia memandang rumahnya yang temaram. Gorden jendela telah ditutup oleh seseorang. Mungkin ibunya. Oh, ibu. Ibunya mengetahui sebuah rahasia. Tapi ibunya pura-pura tidak tahu perihal rahasia mengenai putrinya. Tepatnya, ia tak pernah mau bercerita. Ketika itu, ia tahu, sangat tahu, muka ibunya pucat seperti tak dialiri darah sampai ke batas kulit. Ada sesuatu yang ia tak dapat sembunyikan di hadapan ibunya. Rasa marah. Luapan amarah hampir menjebol ubun-ubun kepala kecilnya.
Setelah itu ia tak pernah lagi melihat wajah ibunya. Gadis kecil itu berlari menerabas malam. Meninggalkan ibunya yang terisak pedih. Malam itu tiba-tiba hujan turun seperti tak mau berhenti. Malam itu malam gelap penuh darah. Malam penuh amarah. Selepas senja dimakan gelap malam, ia baru saja membunuh ayahnya. Dengan belati yang ia selipkan di tungkai kakinya.
Ia selalu membawa belati, untuk membuat layang-layang sendiri. Ia gadis kecil, penyuka layang-layang. Karena itu ia sangat suka langit dan angin. Maka, ia pun sangat suka senja. Hingga ia sering berlari mengejar-ngejar senja.
Ketika ia berteriak-teriak kegirangan mengejar senja. Ketika matahari tenggelam di ujung cakrawala, di langit tak lagi terang. Ayahnya menghampirinya, saat tangannya masih melambai-lambai ke arah matahari terbenam. Dengan kasar tangannya dicengkeram oleh tangan pejal ayahnya. Ia meronta. Gulungan benang layangan terlepas dari genggamannya. Ayahnya berkata, anak jadah kau bukan anakku!
Sebuah tamparan keras, mendarat di pipinya tatkala ia meronta-ronta lagi. Mata ayahnya berkilat nyalang, ada berahi yang sedang terbakar di sana. Tamparan itu membuatnya lunglai tak berdaya. Di jalan kecil tak beraspal itu, di belokan dekat jalan ke rumahnya, di sebuah gang sempit bau kencing dan sampah. Ayahnya menyobek-nyobek pakaiannya, hingga pakaian dalamnya tercabik dan terlepas. Napas lelaki itu tersengal kasar memburu, hembusannya menguar panas. Penuh nafsu. Tubuhnya basah berkeringat.
Lelaki yang ia tahu selama ini sebagai ayahnya lantas menindihnya dengan kasar. Akhirnya selangkangannya terasa perih. Sakit. Berdarah. Kakinya terasa berat untuk digerakkan. Seluruh uratnya kaku setengah kejang. Itulah bencana yang terjadi. Bencana yang datang ketika bulan baru saja terbit mengganti matahari.
Malam bertambah sunyi, di bawah cahaya rembulan. Ketika ayahnya kelojotan di atas tubuhnya yang ringkih, ia mengambil belati yang terselip di tungkai kakinya. Ujung belati itu berkilau, lalu suram ketika menancap tepat di ulu hati dan di jantung ayahnya. Dua tusukan membuat mata ayahnya membelalak, mulutnya setengah terbuka tanpa kata-kata. Lubang hidung yang tadi menguar hawa panas berhenti bernapas. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia merasakan separuh dari jiwanya tak ada lagi di relung raganya. Hilang, lenyap, entah ke mana.
Ia berteriak-teriak berlari setengah telanjang, menuju rumah. Ibunya keluar dan terkesiap, melihat belati terhunus berlumuran darah segar.
Ini darah Ayah!
Suasana hening, hanya isak tangis ibunya yang terdengar. Malam menjadi bening, bulan yang telah berkurang bulatnya naik pelan-pelan meninggalkan ujung kerangka gedung-gedung pencakar langit yang belum sepenuh jadi.
Bulan hilang ditelan awan hitam. Dan, tak lama kemudian hujan deras mengguyur tanah, tak mau berhenti. Ia pun terus berlari menerabas gelap malam, terseok-seok di tanah becek jalanan sempit, menuju ujung jalan raya. Saat itulah, waktunya berhenti.
***
Bila senja tiba, perempuan itu melintas di Jalan Casablanca. Mengedar pandangan, mendongak melihat langit. Langit merah jingga, semburatnya berkilau-kilau terpantul di kaca-kaca gedung bertingkat. Lalu setelah senja lenyap, ia akan menyeberang dan masuk ke sebuah jalan sempit tak beraspal. Menuju sebuah kampung kecil yang terkepung gedung pencakar langit.
“Orang jauh,” kata seorang Jockey three in one, menunjuk perempuan itu.
“Orang gila,” sahut temannya, memandang tanpa berkedip ke arah perempuan itu.
“Tapi ia cantik!”
“Tapi ia gila!”
Mereka tertawa terbahak-bahak. Lamat-lamat perempuan itu mendengar tawa kedua Jockey three in one yang sedang duduk berhadap-hadapan di atas trotoar yang berdebu. Menghitung hasil jerih-payah menjadi penunggang mobil-mobil yang tanggung membawa jumlah penumpang menuju Jalan Sudirman dan Thamrin di hari itu. Kedua Jockey itu telah melihatnya berhari-hari, melintas di jalan raya dan masuk ke jalan sempit. Setiap hari menjelang petang.
Ia tak bergeming. Terus melangkahkan kakinya, seperti melayang. Ia melangkah masuk ke jalan sempit itu. Pada setiap langkahnya, pada setiap napasnya seperti ada kerinduan yang berlarat-larat.
Langkah perempuan itu bertambah cepat dan seirama dengan suara gelegar guruh membahana di langit yang tiba-tiba kelabu. Tetesan air hujan pertama terpercik di mukanya. Ia usap mukanya dengan tapak tangan. Tetesan air hujan yang kedua bercampur dengan air matanya yang telah mengalir di sepanjang pipinya.
Di bawah rinai hujan, ia berjalan pelan-pelan di pinggiran dinding tembok rumah-rumah sepanjang jalan sempit. Sudah tak ada gang sempit bau kencing dan sampah. Telah berdiri sebuah rumah minimalis di tempat durjana itu. Tempat di mana waktunya berhenti. Ia berdiri di belokan jalan dekat rumahnya, diam seperti kemarin dan kemarinnya lagi.
Ia ingin pulang. Pulang ke rumahnya. Sudah berapa lama ia tak pulang?
Sudah sangat lama. Setelah ia membunuh ayahnya, setelah ia meninggalkan ibunya dengan kebencian di depan pagar rumah. Ia lalu menjadi anak telantar, menjadi anak jalanan di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok. Seorang pelaut dengan senang hati membawanya berlayar. Berlayar dari satu benua ke benua yang lain. Lantas ia berpindah dari pelukan satu pelaut ke pelaut yang lain.
Kisah hidupnya berakhir hampir bahagia. Ketika seorang pelaut asal Inggris mengajaknya menikah. Ia pun menikah dengan lelaki bule itu. Dan, dari situlah ia mulai merasakan waktunya berdenyut lagi. Ia teringat kampung halaman. Ia ingin pulang.
Tiga puluh dua tahun. Waktu itu terlalu panjang untuk umur manusia. Alangkah pendeknya untuk sebuah kenangan buruk.
Hujan makin deras. Ia melihat seorang perempuan yang telah renta, menutup pintu rumah rapat-rapat. Ia ingin memanggil perempuan tua itu. Namun suaranya tercekat.
Ya, ia ingin bicara dan bicara pada ibunya. Bibirnya pasti tak akan berhenti berbicara. Seperti dulu, ketika ia masih kanak-kanak, ibunya selalu menanggapi semua celoteh-celotehannya. Ia sering bercerita tentang layang-layang, meski ibunya sangat ingin mendengar putrinya bercerita tentang boneka. Tapi, ibunya selalu sabar mendengar setiap ia bicara, bercerita tentang layang-layang melulu.
Mungkin. Mungkin karena ayahnya tidak begitu ia kenal. Ayahnya memang menjadi sosok yang asing dalam rumah yang hangat. Lalu bencana itu terjadi, dan rahasia terkuak. Ia, bukan anak ayahnya. Masih terngiang-ngiang perkataan ayahnya, sebelum ia memperkosa dirinya. Anak jadah, kau bukan anakku!
Oh, sudah ia benamkan kenangan suram dalam jurang yang paling dalam. Oh, alangkah rindunya. Ia sangat rindu, rindu pada ibunya. Rindu pada pulang. Matanya masih terus mengawasi rumah yang kini temaram karena gorden jendela telah ditutup oleh seseorang dari dalam.
Semua yang telah berhenti, harus dimulai lagi, begitu batinnya bicara. Maka diterobosnya hujan yang sedang memanah tanah.
Pelan-pelan dan hati-hati ia mengetuk pintu rumah. Rumahnya dulu. Ingin sekali ia membetulkan atap genteng beranda rumah yang bocor, ingin sekali ia menadahi cucuran yang telah banyak menggenangi lantai.
Ia mengetuk pintu lagi. Terdengar samar langkah seseorang mendekati pintu. Pintu lalu terkuak. Wajah perempuan tua itu muncul dari balik pintu, terkejut mengangkat muka, melihat dengan mendadak seorang perempuan setengah baya mirip dirinya sewaktu muda, cantik. Berlinang-linang air mata menatapnya dalam keremangan malam.
“Ibu…!” serunya terisak.
Perempuan tua itu tak menyahut. Tetapi di sana ada sunggingan senyuman yang menarik keriput bibirnya. Mata perempuan tua itu bercahaya. Mata yang kering itu lalu basah dan air mata jatuh menuruni pipinya yang telah peot.
“Senja? Kamu akhirnya pulang, Nak.” Hanya itu kalimat yang terlontar.
Kedua perempuan itu lalu menangis haru, suara tangisan bersahut-sahutan lembut menyentuh rongga telinga. Seperti irama musik yang mengetuk-ngetuk ruang hati mereka. Ia, benar-benar bahagia berada di pelukan ibunya.
Suara deras hujan yang bertambah lebat, tak lagi terdengar, walaupun cucurannya telah menggenangi pekarangan hingga semata kaki.
Bila senja tiba, perempuan itu tak lagi terlihat melintas di Jalan Casablanca. Ia telah pulang ke rumahnya.***
Jakarta, 5 Desember 2009
Dimuat di Jurnal Bogor, 7 Februari 2010