Jumat, 15 Januari 2010

Bamby Cahyadi : Cerita dari Jejaring Maya

Bamby Cahyadi : Cerita dari Jejaring Maya
Oleh: Anggoro Gunawan

________________________________________

Pengantar Sriti.com

Bambang Cahyadi adalah formalitas, sedangkan Bamby Cahyadi adalah sebuah formula.
Sengaja saya membuka pengantar tulisan ini dengan cara yang sangat “icam” istilah ikut campur anak-anak sekarang. Nanti saya jelaskan bagaimana kita semua diperbolehkan “icam” jika berhadapan dengan sosok cerpenis yang satu ini.

***
Jauh hari sebelum niatan membukukan kumpulan cerpen terbaik Sriti.com, rekan kami Sjaiful Masri mulutnya selalu berbusa jika membincangkan cerpen “Aku Becerita dari Pesawat yang Sedang Terbang” karya Bamby Cahyadi (Koran Tempo, 26 Juli 2009). Dia katakana cerpen itu sangat "menggetarkan”, meninggikan imaji, mellow yang tidak cengeng, dan sebagainya. Singkatnya cerpen itu telah menggigit G-spot-nya, sehingga kami semua di awak Sriti.com “diwajibkan” membaca cerpen teresebut berulang-ulang, sampai mendapatkan “getaran” yang dimaksud tadi.

Dan setelah rencana penyeleksian cerpen tersebut berjalan, otomatis “impuls” dari cerpen tersebut masih meninggalkan getaran di hati kami. Singkatnya seperti itu, dan cerpen tersebut akhirnya nangkring di antara 12 cerpen pilihan.

Saya jamin, rekan Sjaiful Masri belum pernah bertatap muka langsung dengan cerpenis yang sedang kita sorot kali ini (bahkan berkontak pribadi melalui surat elektronikpun konon belum pernah mereka lakukan sama sekali). Kemanapun tanpa dipinta dia fasih menceritakan dan meminta orang lain membacanya. (Silahkan cek ke warung sebelah, apakah pernah ada permintaan khusus dari Bamby untuk hal ini? Saya yakin tidak.)

Tapi keduanya sudah menjalankan teori “post-script marketing” dalam ilmu new media. Bamby menjadi agen, sedangkan Sjaiful menjadi follower-nya. Bamby bekerja sendiri dengan “energi”-nya, lalu Sjaiful menangkapnya. Hup!

Sjaiful kemudian menjadi “energi” bagi awak Sriti.com untuk mengenal lebih lanjut apa betul cerpen tersebut memang mempunyai getaran yang kuat. Dan berkat energi itulah cerpen karya Bamby akhirnya melengkapi 12 cerpen pilihan Sriti.com diputaran kedua.

***
Bamby Cahyadi di mata saya adalah sebuah formula. Sebuah upaya untuk memberi stempel merek bagi cerpen kreasinya. Bambang sendiri milik koorporatnya, berseragam, digaji bulanan dan serusnya.

Ketika dia bekerja formal sebagai store manager di McDonald dia menjadi Bambang Cahyadi yang harus menggunakan emblem di dadanya. Ketika Bamby datang ke peluncuran buku saya tidak melihatnya lambang itu.

Ada dua ruang tempat dia berganti-ganti peran. Ruang kepengarangan dan ruang bagi tempatnya bekerja formal. Tapi kedua ruang itu nyaris tidak bersekat secara jelas. Dia sering membaurkan keduanya, mengajak orang-orang untuk mengenalnya tanpa tersandung tembok pemisah. Dia membuka tangan jika ada teman yang datang ke gerainya. Bahkan dia kadang mengajak kami untuk mampir kapan-kapan. Dia juga kerap membongkar banyak hal tanpa ragu, semisal contoh memposting kata pengantar yang ditulis Hudan Hidayat untuk buku kumpulan cerpennya Tangan untuk Utik yang meskipun bukunya masih proses cetak.

Bamby tak ragu menyatakan diri sedang membuat novel, bahkan dia mengumumkan bahwa Mirna Yulistianti akan menjadi calon editornya. Atau yang paling anget dia berfoto-ria dengan buku kumcer Bob Marley di ruang kerja formalnya. Dia menjadi model dengan rolle ciamik! Tubuh dan imajinya tidak kedap, ia pandai memainkan peran sesuai kebutuhan psiko-sosial di komunalnya. Tubuh dan imajinya ibarat banner…
Sebagai “egoleter” sosok Bamby tidak murni sebagai “on-in Media” tempat dia berziarah, berimaji-berkelena menjadi seorang petapa fiksi. Inilah formula yang saya tuduhkan padanya. Bambang dan Bamby bekerja sekaligus sehingga putaran kerja itu melontar energi yang ditangkap banyak orang. Dia tak segan menjadi bagian dari kerja “promosi” untuk bukunya, Utik. Dia mendekati secara interpersonal ke banyak penulis untuk mengapresiasikan bukunya.

Bahkan dari kata pengantar dan kata penutup untuk buku Utik, sejumlah resensi yang arsipnya tersebar di Facebook, dan bahkan wawancara rekan kami Anggoro Gunawan pun kalau boleh saya tuduh sebagai bentuk pendekatan pribadi yang unik. (Dan silakan baca sendiri bagaimana sejumlah resensi justru lebih mendekatkan diri pada pribadi pengarangnya, termasuk saya sekarang ini).

Itulah latarnya mengapa saya berusaha menulis pengantar ini dengan pendekatan pribadi juga. Sebab “energi” itulah yang dibutuhkan oleh Bamby dan juga penggemar cerpennya. Sebagai sedikit contoh aktual adalah kami kedatangan lebih dari 53 e-mail pribadi yang bertanya : apakah pengarang Utik itu juga masuk ke dalam Bob Marley.

Rasanya Bamby adalah salah satu pengarang yang sedang menuai berkah dari sikap terbukanya dan melancarkan sentuhan personal. Beruntunglah ranah sastra kita memiliki seorang Bamby yang berkat “formula”-nya itu mampu mensyiarkan kreasi tulisannya, tanpa perlu saklek, tanpa perlu banyak menunggu.

Pembaca Sriti.com yang budiman, silahkan nikmati hasil wawancara estafet antara rekan kami, Anggoro Gunawan (A) dengan Bamby Cahyadi (B). Perbincangan ini sangat menarik, karena ternyata masih ada juga “rahasia” yang belum sempat ia jabarkan di belantara maya selama ini. Selamat membaca. @ Chus
________________________________________
Bamby Cahyadi: Cerita dari Jejaring Maya
Oleh: Anggoro Gunawan

Nama Bamby Cahyadi masih baru di perbendaharaan penulis cerita rekaan Indonesia. Ia muncul dari belantara Internet. Walau nama aslinya menggunakan nama “Bambang,” ia jengah. “Posturku tidak segagah namaku yang Bambang itu, aku tidak tinggi tetapi aku juga tidak mengakui kalau aku pendek. Toh, kalau aku dikatakan berperawakan kecil aku lebih bisa menerimanya.” Demikian ia menulis di blognya(http://bambydanceritanya.blogspot.com). Pekerjaannya terhitung unik untuk urusan sastra. Saat ini ia menjadi store manager di McDonald’s. Mungkin kita bisa belajar kepada lelaki kelahiran Manado, Sulawesi Utara 5 Maret 1970 ini dalam bermimpi tentang sastra.

A: Adakah karya sastra yang begitu memicu Anda sehingga kemudian menjadi sastrawan?
B: Semula saya menulis hanya untuk terapi, khususnya terapi jiwa, menyeimbangkan (balancing) antara urusan kerjaan dengan hal-hal pribadi. Lalu tulisan-tulisan saya yang tak jelas kategorinya, saya posting ke blog (Wordpress dan Friendster) pada waktu itu. Ternyata respon/komen tulisan saya cukup baik dari teman-teman. Pada saat itulah, seorang Anita Kastubi penulis novel Ripta, Perjuangan Tentara Pecundang (Galang Press, 2003) berteman dengan saya di Friendster, tepatnya bulan Juli 2007.
Buku Ripta - karena dikasih gratis oleh penulisnya, saya lahap sampai tuntas tas-tas... Saya sangat terkesan dengan novel itu, karena Anita Kastubi adalah seorang profesional di bidang Advertising and Communication, mampu menulis novel yang cukup berat, karena novel tersebut novel sejarah, yang harus melakukan riset sana-sini.
Dan, dari chatting, email dan SMS-an Anita Kastubi selalu memberi support, bahwa menulis karya sastra itu asyik, dunia yang gembira, "Sastra itu fun banget, Bam!" begitu ia tulis dalam sebaris SMS.

A: Berapa kali Anda membaca buku Ripta itu?
B: Sejak buku tersebut saya terima 27 November 2007, saya membacanya hanya satu kali hingga tanggal 9 Desember 2007. Namun saya membacanya sangat mendalam, sesekali SMS penulisnya, chatting, atau telepon. Saya biasanya membaca buku hanya sekali, tetapi tuntas dari halaman depan sampai belakang.

A: Apa yang dimaksud dengan "saya sangat terkesan dengan novel itu"? Selain soal Anita Kastubi, bagaimana novel itu memberi Anda peluang untuk berpetualang di sastra?
B: Nah, saya sangat terkesan. Karena Anita Kastubi itu cantik (hahaha... maklum khan wajar cowok terkesan karena kecantikan perempuan hehe). Sudah cantik, ia menggarap novelnya dengan serius, melalui riset leteratur, interview dengan pelaku sejarah dan mendatangi langsung setting cerita. Padahal profesinya, bukan penulis full time…
…setelah membaca novel itu, lalu saya keranjingan membeli buku kumcer, lalu saya mencoba menulis cerpen dengan mengembangkan ide dari cerpen yang sudah ada. Hasilnya saya posting di blog Friendster dan Wordpres. Eh, tanggapan dari para blogger cukup bagus. Ya, akhirnya walaupun sebagai kegiatan rileksasi, saya terus menulis cerpen, saat itulah saya bertemu dengan situs penulis berbasis internet http://kemudian.com (yang ternyata banyak diikuti oleh para penulis senior dan juga pemula seperti saya). Beberapa nama yang lahir dari kemudian.com, misalnya: Khrisna Pabichara, Sungging Raga, Pringadi Abdi, Bernard Batubara, TS Pinang, Windry Ramadhina, Aulya Elyasa, Winna Effendi dll.

A: Apa yang menarik dari dunia sastra?
B: Ternyata dunia ini adalah dunia lain yang (dari dulu) terendap dalam dunia bawah sadar saya. Menulis cerpen, kemudian menjadi semacam penyaluran berbagai energi (baik maupun buruk) dan mimpi-mimpi serta kenangan masa kanak-kanak bagi saya. Dunia sastra adalah dunia nyata saat saya bermimpi. Atau sebaliknya, dunia mimpi saat saya tersadar dari tidur.

A: Apa yang tidak menarik dari dunia sastra?
B: Sebenarnya semua berlangsung menarik. Yang mungkin menjadi tidak menarik, ternyata sebagian sastrawan, menjadikan sastra sebagai politik, atau “POLITIK SASTRA”.Salah satunya adalah memberi stempel ini kubu itu, itu kubu ini. Sehingga para sastrawan tidak leluasa dalam berkreasi dan berunjuk gigi di mana saja.
A: Pernah mengalami efek politik sastra?

B: Saya pernah berdebat panjang dengan Saut Situmorang (sastrawan asal Yogyakarta) di note fesbuk beliau. Dan, di situlah saya merasa, saya dipolitiki sastra, saya dicap pengikut si ini, si itu dan lain-lain. Padahal saya bukan siapa-siapa dan pendapat saya adalah pendapat pribadi tidak mewakili siapa-siapa. Secara pribadi, dengan Bang Saut Situmorang, saya baik-baik saja. Begitupun dengan Hudan Hidayat. Atau dengan Komunitas Salihara (TUK) dan Boemipoetra. Kami, khususnya Komunitas Sastra Jakarta (Kosakata), tak ingin ada kubu-kubu dalam sastra Indonesia.

A: Pernah membayangkan cerita Anda dijadikan sebuah film?
B: Saya ini pemimpi. Tentu saya sangat kepengen salah satu, atau salah banyak juga tak pa-pa (Misalnya, semua cerpen saya dalam kumcer Tangan untuk Utik) di film-kan. Jadi, bukannya latah ikut-ikutan cerpen/novel yang telah difilmkan, tapi karena saya ingin, cerita yang saya buat, selain terimajinasi oleh pembaca, juga terimajinasi oleh sutradara, penulis skenario dan penonton. Walaupun banyak juga cerita yang gagal sebagai film.

A: Dalam proses kreatif, biasanya seorang seniman merasakan "sakit" terlebih dahulu. Seperti sakit perut sebelum kita berak (maaf), atau kangen gak ketulungan seperti mau jatuh cinta. Apakah proses "sakit" itu pernah Anda alami? Kalau sudah, seperti apa?
B: Proses kreatif yang menyakitkan, jelas pernah. Walaupun, saya menulis di dunia maya, tetapi ada juga beberapa yang mengkritik cerpen-cerpen saya, tapi semuanya saya terima dengan lapang dada dan menjadi masukan bagi saya untuk memperbaiki diri. Dan, mereka yang mengkritik, tidak menggunakan nama sebenarnya (padahal, saya tuh sangat terbuka dengan kritik).
Atas saran teman-teman di dunia maya, cerpen-cerpen saya diminta untuk dikirim ke media, tetapi saya agak malas. Hingga di bulan Juni 2008, saya memberanikan diri ikut lomba cerpen Femina, saya tidak juara, tetapi cerpen saya terpilih untuk dimuat.
So, cerpen pertama saya itu dimuat di Majalah Femina edisi Maret 2009. Dan, mungkin itulah awal saya jatuh cinta untuk menjadi cerpenis seutuhnya (maksud saya, selain di dunia maya, saya pun ingin menulis cerpen untuk koran dan majalah). Ternyata, SUSAH-nya minta ampun. Saya punya kebiasaan nulis cerpen di atas 12.000 karakter dan karena saya tidak punya latar belakang sastra, maka masalah diksi dan struktur bahasa menjadi kendala dalam menembus media cetak.
…tapi sejak berkenalan dengan Khrisna Pabichara, saya cukup dibimbing dalam hal teori sastra…
…hal, lain juga adalah walaupun cerpen saya belum dimuat di koran, saya mengirimkan kumpulan cerpen saya dari dunia maya itu ke beberapa penerbit, hasilnya ditolak semua. Kumcer saya dari Januari 2009 sampai Agustus 2009 mengendap di tiga penerbit. Hingga akhirnya diterbitkan juga oleh Koekoesan. (Tangan untuk Utik).

A: Berkaitan dengan cerpen Aku Bercerita di Atas Pesawat, seperti apa latar belakang proses kreatifnya?
B: Aku bercerita di atas pesawat yang sedang terbang, saya buat dalam 3 hari berturut-turut (29, 30 Juni dan 1 juli 2009). Tiba-tiba saya teringat sewaktu kami (saya, ibu saya, kakak saya dan adik saya) mengantar jenazah almarhum ayah saya yang meningal di Medan untuk dimakamkan di Tasikmalaya. Lalu idenya, saya olah sedemikian rupa, agar tidak terkesan kisah nyata. Ayah saya meninggal 15 februari 1985.
Nah, uniknya, cerpen ini semula, cerpen trilogi, 29 Juni, saya buat bagian prolognya. Tanggal 30 Juni 2009 saya buat bagian dialognya. dan tanggal 1 Juli 2009 saya buat bagian epilog. Dan, setiap bagian tersebut, saya sempat posting 3 hari berturut-turut dengan judul Trilogi Cerpen Mengantar Ayah. Sungguh di luar dugaan, cerpen itu banyak yang komen, bahkan Hudan Hidayat membuat pengantar cerpen segala.

A: Adakah hambatan dalam menulis karena profesi pekerjaan yang cukup asing bagi seorang sastrawan?
B: Hambatan dalam menulis banyak sekali. Seandainya saya bisa membelah diri seperti amuba, maka bagian diri saya yang satu akan terus menulis dan yang satu lagi bekerja mencari sesuap berlian di McDonald's he he.
…tapi sebenarnya hambatan utama datang dari diri sendiri, kadang saya berpikir, Facebook itu, mengurangi produktivitas kerja maupun menulis wakakak...

A: Menurut Anda, apakah Anda sudah layak menyandang gelar "sastrawan"?
B: Apakah saya sastrawan? Hmmm, menurut saya, saya penulis. Penulis cerpen, penulis fiksi, sesekali menulis esai.

A: Ada kiat-kiat dalam menulis?
B: Kiat-kiat menulis. Menulislah sesukamu dan menulislah dengan hati. Jangan menulis berpatokan pada teori menulis yang sudah ada, toh teori akan mengikuti laju kreativitas kita.

Namun, apabila kadar menulis sudah serius, perlu juga membekali diri dengan teori-teori sastra. Apalagi kalau latar belakang kepenulisan kita bukan jebolan sastra, nah perlu tuh memperkaya diri dengan teori majas, diksi, estetika, metafora, semantik dan lain-lain. @ Anggoro Gunawan
________________________________________

BIODATA RINGKAS
Bamby Cahyadi
Bamby Cahyadi adalah nama pena dan panggilan akrab dari nama asli Bambang Cahyadi. Pria kelahiran Manado, 5 Maret 1970 ini sehari-hari Bamby bekerja sebagai Store Manager di sebuah restoran cepat saji di Jakarta. Keseriusannya menulis cerpen berawal sejak tahun 2007. Bamby memulai menulis cerpen di dunia maya dan milis. Saat ini, ia menulis berbagai tema cerita pendek di Koran Tempo, majalah Femina, Jurnal Bogor, Batam Pos, Harian Global Medan, serta aktif mengelola Komunitas Sastra Jakarta (Kosakata) bersama teman-temannya.
Semasa mahasiswa, Bamby menulis esai tentang dunia kemahasiswaan, kepramukaan dan sastra di harian Pikiran Rakyat, harian Simponi, tabloid Eksponen, majalah Pramuka Kwartir Nasional dan Media Indonesia. Bamby pernah bersekolah di Manado (TK), Bitung (SD), Ampana (SD) dan di Tegal (lulus SD). Lalu lulus SMP di Medan, SMA di Tasikmalaya dan kuliah di Universitas Siliwangi, Tasikmalaya. Meraih gelar Bachelor of Hamburgerology dari McDonald’s Hamburger University Sydney, Australia. Tangan Untuk Utik (Penerbit Koekoesan, Oktober 2009) adalah buku kumpulan cerpen perdananya.

Anggoro Gunawan
Selepas dari Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro (1999), Anggoro Gunawan melanjutkan karir sebagai jurnalis di majalah periklanan Cakram, Tempo,
dan Majalah a+. Selain menulis untuk tempatnya bekerja, beberapa
tulisannya dimuat di beberapa media.sebagai penulis lepas seperti Pantau, Koran Tempo, majalah MATABACA, Jurnas, dan lain-lain.
Di samping kegiatan formal, manusia asal Magelang kelahiran 1975 ini juga ikut meramaikan kelangsungan Wikipedia dalam Bahasa Jawa. Tulisannya lebih banyak berkaitan dengan wayang kulit dan kebudayaan Jawa. Bergabung di Sriti.com sejak tahun 2007, dan banyak membantu dalam urusan teknis dan kearsipan. Karirnya sebagai jurnalis berhenti sejak Februari 2009, dan saat ini, bersama istrinya, Ratna Cahaya Rina, kegiatannya lebih banyak berhubungan dengan pembuatan situs Internet dan desain. Anggoro juga bisa dilacak lewat portal: www.desa.in