Selasa, 11 Mei 2010

Aku Tidak Sehebat Kartini [Jurnal Bogor Cerpen]

Aku Tidak Sehebat Kartini
Oleh : Bamby Cahyadi



PIRING DAN GELAS KOTOR di dapur sudah menumpuk tinggi. Baru saja keluarga besarku mengadakan pesta pertunangan putriku, Bianka. Saat ini, pembantuku sedang menumpuk karpet yang kami pinjam dari musholla. Rasanya lelah sekali. Aku bayangkan bagaimana kalau Bianka menikah kelak. Pasti lebih repot, lebih lelah. Aku harus mempertimbangkan untuk menyewa gedung pertemuan kelurahan saja untuk acara pernikahan putriku nanti.

Calon mantuku, sesuai harapanku. Seorang sarjana dan memiliki pekerjaan tetap. Kalaupun ada beberapa kriteria yang tidak sesuai dengan harapanku, itu tak masalah. Lalu, aku bandingkan dengan almarhum suamiku, Kang Muslih. ”Ah, kalau saja Kang Muslih masih hidup, pasti ia akan menilai lalu membandingkan juga calon mantuku itu dengan dirinya,” batinku.

Ya, Kang Muslih selalu menginginkan anak lelakinya menjadi seperti dirinya. Persis sama dengan dirinya. Aku jadi ingat, semasa hidupnya, ia selalu mengharapkan anak tertuaku menjadi seperti dirinya, karena ia anak laki-laki. Demikian juga anak keduaku, karena ia pun anak laki-laki. ”Laki-laki itu harus sepertiku,” kata Kang Muslih.

Saat itu, Bara, anak tertuaku yang baru saja berusia 17 tahun, pulang ke rumah dengan wajah bersimbah darah karena terlibat tawuran masal dengan pelajar sekolah lain, musuh abadi sekolahnya.

Keesokan harinya, sebelum berangkat sekolah, Bara yang masih lebam akibat tawuran dibekali dengan sepucuk pistol. ”Jika masih ada yang berani menghajar kamu, tembak saja!” Kata kang Muslih waktu itu sambil menyodorkan pistol. ”Kamu itu laki-laki,” katanya lagi, sambil melangkah ke mobil dinasnya. Alih-alih membawa pistol ke sekolah, Bara malah menyerahkan pistol itu kepadaku. ”Aku bisa mengatasi masalahku tanpa harus menggunakan pistol ini,” kata Bara.

Tak dinyana, peristiwa itu merupakan kenangan terakhir suamiku kepada putra pertamanya, Bara. Ia gugur ketika sedang bertugas memimpin operasi militer di Timor-Timur. Sebagai komandan, suamiku sangat dihormati dan disegani oleh anak buahnya. Sebagai kepala rumah tangga, suamiku sangat dicintai dan dikagumi oleh anak istrinya. Demikianlah, suamiku tidak bisa menyaksikan Bara merayakan kelulusannya di sebuah SMA favorit. Kini, Bara tinggal dan bekerja di Jakarta. Hidup bahagia dengan seorang istri cantik dan dua anak. Bara tidak memiliki satu pun sifat dan watak ayahnya.

Brama, anak keduaku, mewarisi sifat dan watak ayahnya. Ia disiplin dan keras. Ketika suamiku gugur, Brama baru saja lulus SMP. Tamat SMA, atas bantuan rekan sejawat suamiku, Brama diterima sebagai Taruna Akademi Militer di Magelang. Karir dan prestasi belajar Brama sangat menonjol. Ia menjadi salah satu lulusan terbaik Akmil Magelang. Brama belum menikah. Sekarang ia bertugas di Nepal, bergabung dengan pasukan perdamaian PBB di bawah bendera Kontingen Garuda. Hanya ada satu yang membedakan Brama dengan ayahnya, Brama lebih pintar.

Aku menghela nafas. Mengenang suamiku membuat hatiku selalu teriris dan sedih. Setiap kali membuka kitab ingatan, air mata selalu berdesakan berlomba keluar dari kelopak mataku. Betapa tidak, aku dan anak-anakku tidak pernah melihat jenazah Kang Muslih. Kabarnya, tubuhnya hancur diberondong peluru tentara Fretelin dan ledakan granat yang sedang dipegangnya. Padahal, aku sangat ingin melihat jenazahnya. Melihat untuk yang terakhir kalinya. Memberi kecupan selamat jalan di keningnya. Dan menuturkan gigil doa di pelupuk matanya. Tapi peraturan militer tidak membolehkan aku dan anak-anakku melakukan hal-hal itu. Aku hanya bisa melihat peti jenazah suamiku yang tertutup bendera merah putih, sebelum dimasukkan ke liang lahat di Taman Makam Pahlawan Seroja Timor-Timur.

”Kang, Bianka sudah tunangan. Seandainya Akang masih ada di sini, pasti aku tidak secapek dan selelah ini.” Miris. Sedih. Dan mataku tak mau lepas dari sosok pada sebuah pigura, foto seorang laki-laki gagah dengan seragam militer. Tanpa terasa air mataku mengalir. Tetes demi tetes. ”Sudah dua kali aku menangis hari ini, Kang.”

“Bu, kok Ibu menangis lagi?”

Tiba-tiba suara Bianka mengagetkan aku. Lamunanku buyar.

“Ibu ingat ayahmu Bian,” jawabku singkat.

Aku tidak mau merusak kebahagiaan anak bungsuku, Bianka, yang baru saja bertunangan. Bianka kemudian merangkulku, dia ikut menangis tersedu-sedu. Akhirnya kami berdua sama-sama menangis. Melampiaskan seluruh rasa haru, rasa sedih, dan rasa bahagia.

Aku segera menyusut air mata. Menyekanya dengan punggung tangan. Aku tidak boleh terus bersedih. Jika pun harus ada air mata, maka yang pantas adalah air mata bahagia. Apalagi, sepanjang prosesi pertunangan tadi, Bianka tampak sangat bahagia. Dia banyak tersenyum, sumringah. Sesekali pipinya memerah mendengar senda gurau teman-temannya tentang misteri malam pertama, khususnya tentang rahasia hubungan badan suami-istri.

Aku memeluk Bianka sangat erat.

Aku biarkan tangisnya tumpah di dadaku. Saat ini, seperti aku, Bianka juga pasti sangat merindukan kehadiran bapaknya. Betapa bangga dan bahagianya acara tukar cincin tadi, jika disaksikan oleh Kang Muslih.

Selain itu, aku juga sedih karena harus mempersiapkan diri untuk ditinggalkan olehnya. Perasaanku sekarang berbeda sekali saat aku melepas Bara untuk menikahi Rindri. Sangat beda. Dulu, ketika Bara pergi, aku masih bisa tenang karena masih ada Bianka yang menemaniku di rumah ini. Tapi sekarang, aku bakal sendirian. Tak ada lagi yang menemani aku, selain kenangan.

Aku pasti akan kesepian, pasti. Karena setelah menikah nanti, Bianka akan diboyong oleh Harry, calon mantuku itu, ke Pekanbaru. Harry bekerja sebagai Manajer di sebuah perusahaan pengolahan kayu internasional. Bianka pun sepertinya akan bekerja di sebuah perusahaan kayu lokal. Aku tahu, dia tidak akan menyia-nyiakan gelar sarjana kehutanannya setelah dengan susah payah dia menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Kehutanan IPB. Sebuah jurusan yang sangat cocok dengan jiwa petualangnya. Aku bersyukur sekali dia menikah, karena mengurangi bebanku sebagai ibu seorang anak perempuan.

Tapi, dibalik rasa bahagia, menelusup nyeri. Sebentar lagi aku akan hidup sendiri.

***
Acara pernikahan Bianka berlangsung lancar. Meriah. Sanak-famili, handai-taulan, dan karib-kerabat, semuanya tumpah-ruah. Sangat meriah. Rasa capek dan lelahku berlalu sudah.

Dan, seperti yang aku takutkan, aku benar-benar sendirian. Tak ada siapa-siapa. Aku benar-benar sendiri. Kesendirian yang selalu memaksa aku membuka kitab-kitab kenangan. Siapa yang bisa bertahan dari gempuran keindahan masa lalu, ketika dia bersunyi sendiri? Tidak ada. Aku yakin tidak ada. Paling hanya bisa memalingkan sekejap ingatan dari kenangan dengan melakukan kegiatan ringan, seperti membaca, menulis, merawat tanaman. Sesudah itu, kenangan kembali akan merajalela.

Untung saja, sekarang aku punya mainan baru, sebuah laptop pemberian Bara. Suatu hari, sebagai rasa syukur atas kelulusan Magisternya, Bara menghadiahkan sebuah laptop. ”Bu, aku belikan laptop untuk Ibu, supaya ibu kalau mau menulis surat tidak perlu pinjam mesin ketik kelurahan,” ujar Bara serius, waktu itu. Ia pun mengajari aku bagaimana caranya menggunakan komputer jinjing itu. Aku sangat bahagia.

Hari-hari kini aku lalui dengan banyak menulis dan membaca e-mail dari Brama yang masih di Nepal. Terakhir membaca berita dari Brama ketika ia bercerita tentang temannya yang gugur akibat kecelakaan helikopter. Berita itu lalu aku ikuti di media cetak nasional. Laptop ini sekarang menjadi teman paling setiaku.

Lagi-lagi aku jadi teringat Kang Muslih.

Sungguh berat sekali rasanya membesarkan Bara, Brama, dan Bianka seorang diri. Aku bahkan sering digunjingkan oleh tetangga setiap anakku meraih kesuksesan. ”Pasti dia menjadi istri simpanan seorang Jenderal.” Begitu omongan ibu-ibu perumahan yang suka bergosip ketika Bara bisa masuk kuliah di sebuah perguruan tinggi ternama di kota Bandung. Padahal, belum genap tiga bulan aku melepas kepergian Kang Muslih untuk selama-lamanya. Aku tidak peduli.

Tetanggaku, bahkan anak-anakku sendiri, tidak tahu dari mana dan bagaimana aku bisa mendapatkan biaya hidup dan biaya kuliah. Aku hanya berpesan agar mereka selalu bersemangat belajar dan menanamkan keinginan kuat menjadi orang sukses. ”Tugas kalian hanya belajar, tidak perlu memikirkan dari mana ibu mendapatkan uang untuk biaya sekolah kalian,” kataku suatu hari ketika Brama memutuskan untuk bekerja selepas lulus SMA.

Ada satu hal yang sampai saat ini anak-anakku tidak tahu dari mana sumber keuangan untuk menghidupi dan membiayai kuliah mereka. Kejadian itu sangat berarti dalam diriku dan aku tidak pernah menceritakannya kepada mereka.

***
Suatu hari, aku menyempatkan diri mampir untuk melihat-lihat buku di sebuah toko buku. Kebiasaan membaca sudah tumbuh sejak aku kecil. Bahkan, pada saat masih ada Kang Muslih, aku mengoleksi novel dan berlangganan beberapa majalah.

Sebenarnya, pada saat itu, pikiranku sedang kalut. Bara membutuhkan sejumlah uang untuk biaya tugas praktek lapangan. Sementara penghasilan dari uang pensiunan janda veteran perang tidak cukup untuk menutupi kebutuhan Bara. Aku sempat berpikir untuk menggadaikan rumah, satu-satunya peninggalan Kang Muslih yang paling mewah, selain kenangan indah bersamanya.

Mampir ke toko buku membuat diriku agak sedikit rileks. Memang, toko buku ini tidak sebesar toko buku yang banyak bertebaran di Jakarta, tetapi cukup komplit menyediakan berbagai jenis buku. Mulai dari filsafat sampai politik, novel dan biografi, serta buku-buku yang berhubungan dengan hobi dan rumah tangga. Semua tersedia walaupun dengan jumlah yang sangat sedikit.

Seperti biasa, mataku lincah memamah setiap demi setiap judul buku. Sesekali aku meraih buku yang judulnya menarik. Membaca halaman depan dan halaman belakang. Menelisik nama pengarang dan mereka-reka isi bukunya. Kadang-kadang, setelah melirik kesana-kemari, aku suka membuka segel plastik pembungkus buku secara diam-diam. Hingga, aku tertegun di depan sebuah buku. Buku itu masih terbungkus rapi. Segel plastiknya masih utuh meski agak sedikit berdebu. Sepertinya buku itu jarang disentuh dan buku cetakan lama.

Penasaran. Akhirnya kucomot buku itu dari rak pajang. Benar, ini buku lama. Judulnya Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku karya R.A. Kartini yang diterjemahkan oleh Armijn Pane. Gila! Aku kaget. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1978. Benar, ini buku lama. Ini buku yang sangat berharga. Kenapa buku langka dan dahsyat seperti ini bisa luput dari para pencinta buku?

Aku tahu siapa Kartini. Aku mengenalnya lewat pelajaran sejarah di sekolah. Aku juga tahu kalau dulu Kartini sering surat-suratan dengan para sahabatnya, di dalam dan di luar nusantara. Tapi, terus terang, aku belum pernah membaca apalagi tahu isi bukunya. ”Buku ini tipis,” pikirku lagi. Tidak terlalu tebal bagi kutu buku sepertiku. Hanya 214 halaman.

Sesuatu dari dalam hati mendesak aku untuk membaca buku ini. Maka, setelah pemilik toko mengizinkan aku untuk membuka bungkus plastiknya, aku segera melahap daftar isi dan kata pengantarnya. ”Ah, aku suka buku ini. Suka sekali.” Aku memutuskan membeli buku langka ini, buku satu-satunya yang terpajang di rak buku itu.

Sampai di rumah, aku larut membaca buku tersebut. Hanyut. Hingga lupa akan kekalutanku. Lupa bahwa Bara sedang membutuhkan uang dan lupa kalau aku hanya seorang janda. Aku larut dengan isi buku yang dengan apik disusun oleh Armijn Pane. Padahal buku itu hanya berisikan 87 surat-surat Kartini yang ditujukan untuk teman-temannya di Belanda. Beberapa waktu kemudian aku baru tahu bahwa masih banyak surat-surat Kartini yang belum terpublikasikan di Indonesia.

”Demikian hebatnya surat-surat yang dibuat Kartini kepada sahabat-sahabat penanya,” desisku bersemangat. Beruntung sekali aku membeli buku itu. Aku sangat terinspirasi seusai membacanya. Ya, inspirasi. Begitulah perasaanku saat itu. Buku itu membakar semangatku. Aku harus mampu menyekolahkan anak-anakku dengan perjuangan sendiri. ”Tapi, bagaimana caranya? Hmm, aku kan bisa menulis. Ya, aku bisa menulis. Lalu, aku putuskan akan menulis sesuatu. Tapi, aku tidak punya mesin ketik.”

Tak apalah, tulis tangan pun bisa.

Malam itu juga aku menulis lembar demi lembar kenangan hidup bersama kang Muslih dengan tulisan tangan. Sampai aku tertidur.

Keesokan harinya, aku ke kantor Kelurahan. Salah seorang staf kelurahan masih terhitung kerabat almarhum suamiku. Aku meminjam mesin ketik untuk mengetik tulisanku semalam. Tulisan sederhana. Tulisan tentang kenangan bersama kang Muslih.

Selesai mengetik, aku memasukkan hasil ketikan itu ke dalam amplop dan mengirimkannya ke sebuah majalah wanita di Jakarta.

Aku berharap, tulisanku dimuat dan aku mendapatkan uang. ”Ah, tapi aku tidak boleh terlalu berharap.” Kalau tidak dimuat, nanti bisa kecewa. Yang penting, setelah membaca buku Habis Gelap terbitlah Terang aku sangat bersemangat. Itu saja. Tidak terpikirkan uang di benakku.

Aku akhirnya meminjam uang di Koperasi Veteran untuk menutupi biaya praktek lapangan Bara yang tertunda. Bara sampai mencium tanganku saat uang itu aku serahkan kepadanya. Seperti biasa, air mataku langsung mengalir dengan deras. ”Seandainya bapakmu masih hidup, ibu tidak akan berhutang,” batinku.

Setiap malam aku menulis. Menulis tentang apa saja. Dan keesokan harinya, setiap pagi, aku ke kantor kelurahan untuk mengetik tulisan itu. Kemudian, seperti biasa, tulisan itu aku masukkan ke dalam amplop dan mengirimnya ke media.

Apabila Brama dan Bianka bertanya ada urusan apa aku ke Kantor Kelurahan, aku selalu menjawab, ”ibu akan mengetik surat.”

Hingga suatu hari, ketika itu aku sedang membaca sebuah majalah wanita, aku sangat terkejut bercampur bahagia. Tulisanku dimuat di majalah itu. Itu tulisanku yang pertama kali dimuat di majalah. Aku sujud syukur. Bulu romaku meremang. Aku gembira sekali. Air mata bahagia pun tumpah. Saking gembiranya, aku hampir saja menceritakan perihal tulisan itu kepada anak-anakku. Aku lupa, aku menggunakan nama samaran di tulisan itu. Pun demikian pada tulisan-tulisan lainnya.

Dan aku merahasiakan hal itu.

Seumur hidupku.

Hingga kemudian beberapa tulisanku sering dimuat di majalah maupun koran. Akhirnya, walaupun tidak banyak, aku mendapatkan uang tambahan untuk memenuhi kebutuhanku sehari-hari. Bahkan untuk menambah uang kuliah anak-anakku.

Ketika Bara mulai menyusun skripsi, aku menulis sebuah novel. Mujurnya, novel tersebut diterbitkan oleh sebuah penerbit besar di Jakarta. Novel pertamaku sangat digemari oleh kalangan perempuan. Dari novel itu aku menerima sejumlah uang. Royalti atas tulisanku.

Dari royalti itu aku melahirkan semangat.

Sejak aku rasakan nikmatnya mencicipi uang dari tulisan, aku tidak pernah berhenti menulis. Pada mulanya meminjam mesin ketik di kantor kelurahan hingga akhirnya punya laptop. Pada mulanya hanya menulis pengalaman nyata, lembar-lembar kenangan bersama kang Muslih, suamiku tercinta. Sekarang aku bisa menulis apa saja. Mengarang apa saja.

Ya, aku menghidupi dan menyekolahkan anak-anakku dengan menjadi penulis. Anak-anakku belum juga tahu. Mereka juga tidak tahu tentang nama samaranku, Kartini. Biarlah anak-anakku tahu ibunya bernama Ida Kusdiah, janda veteran perang Timor-Timur.

Buku Kartini inspirasi hidupku. Namun, aku tidak sehebat Kartini.***

Jakarta, 6 Maret 2010