Minggu, 13 Juni 2010

Kami Pangil Dia, Babe.

KAMI PANGGIL DIA, BABE
Oleh: Bamby Cahyadi


Kami biasa memanggilnya, Babe, karena ia sudah seperti orang tua kami. Seharusnya, kami memanggilnya kakek. Usianya kata orang-orang sudah enampuluhan. Namun, karena orang-orang memanggilnya Babe, maka kami pun ikut-ikutan saja.

Wajah dan cara berjalan Babe membuat beberapa anak kecil di lingkungan kami ketakutan. Ia memiliki wajah yang terkesan seram, hidungnya pesek dan beberapa giginya di bagian tengah telah tanggal. Saat ia tertawa yang terlihat adalah gigi taringnya, hingga ia seperti menyeringai mirip drakula. Apalagi, di dahinya penuh dengan luka parut, alias codet. Kaki kanan Babe lebih pendek dibanding kaki kirinya, sehingga ia berjalan pincang. Apabila ia berjalan, jalannya terseok-seok seperti orang yang sedang mabuk kepayang.

Tapi, bagi kami, anak-anak yang sudah cukup lama mengenalnya, Babe tidaklah seseram penampilan fisiknya. Babe sangat baik dan ramah. Ia suka memberi kami makanan ringan, permen, es krim, bahkan uang tanpa kami minta.

Ia juga sangat dermawan, walaupun ia tak mempunyai pekerjaan tetap. Babe bukan pedagang, atau pegawai. Ia, hanya memulung sampah-sampah, lalu ia jual pada penadah di pinggiran kota. Babe, juga secara rutin menyumbangkan uang hasil memulung ke masjid sempit di gang perkampungan rumah kami. Aku sempat heran, Babe selalu menyumbang uang untuk masjid, padahal ia tak pernah terlihat shalat di masjid itu atau di rumahnya sekalipun.

Kalau ditanya untuk apa ia menyumbang uang ke masjid. Katanya, untuk tabungannya kelak di akhirat. Ia, tak ambil peduli tentang omongan orang mengenai shalat.

Babe hidup seorang diri. Ia tidak mempunyai sanak saudara. Menurut cerita orang-orang, ia berasal dari sebuah desa terpencil di Sumatera. Ia merantau ke Jakarta, karena anak dan istrinya meninggal akibat penyakit malaria. Dan, ia memang selalu mengulang cerita itu kepada orang-orang atau anak-anak yang sudah mengenalnya. Termasuk kepada aku dan Hasan. Mungkin juga pada Anda.

Ia dulu punya sehektar kebun kelapa sawit. Katanya, ia hidup berkecukupan saat itu. Hanya saja, sejak wabah malaria menyerang kampungnya, dan menewaskan anak dan istrinya, ia memutuskan merantau ke Jakarta. Luka parut pada wajahnya, katanya lagi, dicakar harimau liar, saat ia tengah menggarap lahan perkebunannya. Tujuannya menetap di Jakarta, untuk melupakan kenangan atas anak dan istrinya, bukan karena faktor ekonomi semata.

Rumah Babe terletak di ujung gang dekat kali. Rumahnya saling himpit dengan rumah-rumah kumuh lainnya di pinggiran kali. Aku dan Hasan sering berkunjung ke rumahnya. Seperti pagi ini kami datang menyambanginya karena kami dengar dari anak-anak jalanan yang lain ia jatuh sakit.

Kami masuk begitu saja ke dalam rumah, tanpa mengucapkan salam, begitulah kebiasaan kami. Rumah dalam keadaan lengang. Di meja ruang tamu yang sempit, tergeletak piring dan gelas kotor dengan sisa-sisa makanan yang telah mengering dan dirubungi lalat hijau.

”Babe, Babe di mana Be?” seruku.

Tak ada jawaban. Aku dan Hasan saling pandang. Hasan mengangkat bahu. Lalu kami mengetuk pintu kamar yang terbuat dari triplek penuh tempelan stiker murahan dan poster artis Miyabi. Aku tahu namanya, karena dalam poster tersebut tertera nama perempuan setengah telanjang itu sedang mengangkang dengan celana dalam yang hampir melorot.

”Be, Babe...!” Kali ini Hasan yang memanggilnya sambil berteriak. Tidak ada jawaban dari dalam kamar.

”Ke mana Babe ya? Katanya sakit, kok nggak ada di rumah?” tanyaku pada Hasan. Lagi-lagi Hasan mengangkat bahunya, tanda tak tahu. Kebiasaan yang membuat aku sebal, karena dengan begitu Hasan seperti orang tua yang acuh tak acuh.

”Mungkin Babe berobat ke Puskesmas, Rip,” kata Hasan.

”Jadi gimana dong? Kita tunggu, atau kita datang lagi entar sore?”

”Ya, udah. Kita ke sini lagi entar sore aja. Lagian kalo kita nggak ngamen, mau makan apa kita?”

”Betul juga. Yuk, jalan!”

Kami lalu keluar rumah dan menutup pintu rumah Babe.


(males ngelanjutinnya.... bersambung tanpa pandang waktu hehehe)

Jumat, 04 Juni 2010

Kakek dan Nenek dalam Kenangan

Kakek meninggal ketika tidur di sofa sembari nonton televisi. Nenek yang tak kuat menahan rasa sedih di hatinya dan kehampaan yang begitu mendadak terjadi karena ditinggal mati kakek, meninggal sebulan kemudian. Mungkin, kakek dan nenek ditakdirkan sehidup-semati. Namun mereka tak ditakdirkan mati bersama. Ada selisih waktu sebulan persisnya.

Enak sekali cara meninggal kakek, tengah asyik nonton televisi, tertidur, lalu mati. Mungkin kakek bermimpi dulu sebelum ruhnya tak balik lagi ke jasadnya. Atau, malaikat maut dengan sengaja menahan ruhnya di alam mimpi. Siapa tahu mereka tak sengaja berpapasan di alam mimpi, lalu malaikat maut mengajak kakek minum kopi dan merokok. Jadi menurutku kakek tak pernah merasakan kematiannya. Baginya, mati hanya sekadar tidur dan mimpi panjang tak berakhir. Tapi apakah memang begitu? Aku tak tahu persis.

Kasihan nenek, ia begitu sedih, setiap hari kerjanya hanya menangis dan menangis. Ia berhenti meratap, saat ia tertidur. Dalam tidurnya pun, kupastikan nenek menangis. Pantaslah kukira, nenek menangis saban hari, ia hidup bersama kakek cukup lama. Hitungannya bukan belasan tahun, tapi sudah puluhan tahun. Maka sangat wajar apabila nenek lalu sakit karena sedih, dan kemudian menyusul kakek ke alam baka.

Tapi nenek merasakan sakit dulu sebelum mati. Betapa menderita sakit sebelum mati, bukan kah begitu? Mudah-mudahan kakek dan nenek bisa bertemu di alam kematian mereka. Dan melanjutkan kehidupan mereka yang sempat terpisah sebulan serta menyelesaikan hal-hal yang sempat tertunda di dunia fana. Pasti kakek senang menyambut nenek. Kubayangkan mereka berpelukan seperti pose mereka di foto besar hitam-putih berbingkai kayu ukiran Jepara yang bertengger di kamar.

Begitulah kisah meninggalnya kakek dan nenekku. Kenangan ketika mereka meninggal tiba-tiba tumbuh kembali dalam ingatanku. Itu terjadi karena aku tertidur siang-siang. Walaupun tidurku sebentar, tapi aku sempat bermimpi. Mimpi bertemu kakek dan nenek di rumah mereka.

***

Kakek menyulut sebatang rokok kretek, ketika aku baru saja sampai di teras rumah. Secangkir kopi masih mengepulkan asap tergeletak di atas meja. Tanpa permisi, aku mengambil sebatang rokok dari kotaknya. Kakek hanya mengangguk ketika aku menatapnya. Aku menyulut rokok dan mengisapnya sekali. Lantas berkali-kali.

Tak ada percakapan, kami larut dalam isapan demi isapan rokok. Sesekali ia menyeruput kopinya. Sebenarnya ingin sekali aku menyerobot menyeruput kopinya, paling tidak menghilangkan rasa dingin yang ganjil yang menelusup dalam tulang-tulangku.

Ya, hawa dingin yang ganjil. Bukan kah ini di alam mimpi? Walaupun jelas, aku berada di ruang tamu rumah kakek dan nenek. Aku menyulut sebatang rokok lagi. Kakek belum membuka percakapan, aku pun malas memulai percakapan. Lagi pula, percakapan di alam mimpi akan menjadi bualan omong kosong yang sia-sia belaka. Aku pelupa. Pasti aku akan lupa tentang mimpiku apalagi obrolan yang terjadi di dalamnya. Ibarat membaca novel, tentu tak semua dialog-dialog dalam novel tersebut akan kita ingat baik-baik.

Seperti itulah aku, aku tak pernah mengingat-ingat perihal mimpi yang terjadi saat aku tidur. Saat terbangun dari tidur, aku tak pernah menyadari aku bermimpi saat tertidur. Kedengarannya sangat menyedihkan, hidup dan tertidur, tapi tanpa ingatan mimpi yang bisa dikenang.


(belum tamat)