Selasa, 14 September 2010

BONEKA (Dimuat di Suara Pembaruan, 1 Agustus 2010)

BONEKA
Oleh : Bamby Cahyadi


Hari ketujuh setelah kematian Riri, putriku. Dan, beginilah pekerjaanku setiap petang. Menutup jendela kamar Riri dan menutup pintunya rapat-rapat. Lalu aku menuju beranda.

Di luar rumah bulan purnama telah menyembul di langit malam. Baris-baris cahaya samar-samar terpantul di lantai beranda rumah kami. Istriku sedang duduk termenung di kursi teras, sambil memeluk boneka kesayangan Riri. Begitulah pekerjaannya tiap petang. Lantas aku bergabung dengannya, duduk-duduk melamun mengenang Riri, sambil berlinang-linang air mata, aku pun menangis bersama istriku. Hingga rasa kantuk datang menyerang kami. Hingga malam benar-benar pekat dan mengajak kami tidur lelap.

Terkadang aku bermimpi bertemu Riri. Tapi putriku itu tak bisa kudekati, setiap aku lari mendekatinya, maka terbentang jarak yang semakin lebar menganga. Ia terus menjauh. Aku melihat Riri seperti daun-daun kering yang ditiup angin kemarau, hingga jauh terbang ke angkasa. Tak bisa kuraih, tak bisa kugapai. Riri hilang ditelan awan-awan.

Apabila aku tak bermimpi bertemu Riri, maka istriku yang bermimpi. Pernah istriku bercerita ia bertemu Riri di sebuah gedung tua. Dalam mimpinya ia hanya bisa memandang Riri penuh kerinduan lewat jendela tinggi yang terbuka, setiap istriku berniat memanjat jendela itu agar bisa mendekati Riri, maka jendela itu semakin meninggi. Hingga istriku hanya melihat Riri sebagai titik kecil yang bergerak-gerak dan semakin menjauh. Dan seperti aku, istriku terbangun dengan napas tersengal, lalu ia terisak-isak. Cuma itu yang bisa ia lakukan. Untuk tidur kembali, istriku memeluk boneka kesayangan Riri.

Sebelum meninggal, Riri sempat merajuk agar boneka kesayangannya diperbaiki. Boneka kesayangan Riri adalah sebuah boneka bayi. Boneka bayi itu sangat lucu, apabila perutnya ditekan satu kali mengeluarkan kata “Papa,” dua kali berkata ”Mama.” Dan, apabila posisinya ditidurkan, mata boneka itu akan terpejam. Boneka itu terbuat dari plastik seperti boneka Barbie pada umumnya tetapi ukurannya cukup besar sehingga menyerupai bayi sesungguhnya.

Boneka bayi itu tubuhnya dibalut bahan velboa, bahan dengan bulu-bulu pendek dan halus serta lembut di tangan. Tentu saja Riri sangat menyukainya. Boneka bayi itu kubeli saat aku mengikuti sebuah seminar internasional di Tokyo, kala itu Riri berusia lima tahun.

Ah, aku tak tahu kenapa boneka itu rusak. Mungkin karena boneka itu sudah cukup lama dan tua. Saat ini saja Riri sudah beranjak remaja, bulan depan, seharusnya ia genap berusia duabelas.

“Pa, mata boneka Dede udah gak bisa nutup,” begitu kata Riri sambil menyorong boneka bayinya kepadaku.

“Coba Papa lihat,” kataku sambil memegang boneka itu.

Boneka itu lalu aku baringkan di atas meja. Ya, benar. Mata boneka bayi itu tak terpejam. Mata bulat boneka itu terus terbelalak.

“Tuh kan, Pa. Ayo dong dibenerin!” rajuk Riri.

“Papa belikan yang baru saja ya?” usulku.

“Gak mau! Riri pengen boneka Dede itu dibenerin. Kasihan Dede gak tidur-tidur,” katanya sambil cemberut. Aku hanya tersenyum melihat ulah Riri. Padahal ia bukan lagi anak kecil. Boneka bayi itu sejak lama dinamai Dede olehnya. Kukira sejak boneka itu ia terima sebagai buahtangan dari Jepang, boneka Dede itu menjadi teman bermain dan teman tidurnya.

“Dibenerin di mana Ri?” tanyaku.

“Di rumah sakit dong!” jawabnya ketus.

Tentu saja aku terkekeh mendengar jawaban Riri seperti itu. Riri mengambil bonekanya dari atas meja, dan ia berlari ke kamar mengurung diri. Istriku hanya tersenyam-senyum menyaksikan adegan itu. Lantas ia menyusul Riri yang masuk ke kamar. Pasti istriku akan membujuknya, agar Riri tidak ngambek berkepanjangan.

***
Kebiasaan membeli boneka telah kulakukan di awal-awal tahun kami menikah. Apalagi saat itu istriku belum juga hamil setelah kami menikah lebih dua tahun.

Aku ingat, boneka pertama yang kubeli adalah boneka Micky Mouse. Saat itu, aku harus bertemu dengan seorang klien di Los Angeles, Amerika Serikat. Sambil menunggu waktu pertemuan dengan klien, aku sempatkan diri untuk menyambangi Disneyland di California.

Boneka Micky Mouse begitu menggodaku. Maka iseng-iseng kubeli sebagai hadiah untuk Kinar, istriku. Pasti ia senang. Aku bayangkan Kinar akan memeluk boneka itu dengan gemas.

Dan, benar saja. Saat aku berikan boneka itu pada Kinar, matanya berbinar-binar. Ia memeluk boneka Micky itu sambil dielus-elusnya penuh kasih sayang. Sebenarnya ada rasa sesal membeli boneka itu jauh-jauh di Amerika, karena, pada saat Kinar mengelus-elus boneka itu, tanpa sengaja ia melihat label kecil yang tersembul di antara paha Micky. Pada label itu tertulis “Made in Indonesia.”

Tentu saja kami berdua tertawa-tawa menyadari ketololanku. Jauh-jauh beli boneka di Disneyland Amerika Serikat, boneka itu berasal dari Indonesia juga. Namun, sebulan kemudian kami tertawa bahagia, karena Kinar hamil.

Sebenarnya aku berharap anakku laki-laki. Aku bayangkan putraku tampak gagah menunggangi sepeda gunung yang biasa kupakai menjelajahi bukit-bukit di daerah Sentul sana.

Tapi toh, aku menerima dengan lapang dada, ketika kutahu anakku perempuan. Apa bedanya? Laki-laki atau perempuan, sama saja. Lagi pula, boneka-boneka yang kami beli jumlah cukup banyak. Sehingga kami tak perlu lagi membeli boneka baru untuk anak kami saat ia lahir kelak.

Maka saat Riri lahir, telah tersedia beragam boneka. Mulai dari boneka Teddy Bear hingga Micky Mouse. Dan boneka-boneka lainnya seperti Hello Kitty, Snoopy, Twitty, Winnie the Pooh dan Barbie. Tampaknya Riri sangat suka dengan semua boneka koleksinya itu. Hingga akhirnya ia memutuskan memilih satu boneka favorit, yaitu boneka bayi yang kubeli di Tokyo.

Riri memanggilnya boneka itu Dede. Apakah ia sangat ingin mempunyai seorang adik? Padahal istriku tak boleh lagi hamil karena ada masalah pada rahimnya. Tapi apakah Riri mau tahu, bahwa ibunya telah disteril. Karena Riri tak kunjung mendapatkan seorang adik, semakin sayang ia pada boneka bayinya itu.

Hingga boneka itu rusak dan ia merajuk meminta aku memperbaikinya. Tapi, belum sempat boneka itu kuperbaiki Riri meninggal dunia karena sakit.

Betapa hancur hati kami. Serpihan-serpihan hati kami yang hancur mungkin sampai ke langit ketujuh. Kepingnya tertinggal di sana, bersama Riri. Ya, kami terlambat menyelamatkan nyawa Riri dari serangan kanker otak. Betapa benci kami pada diri kami sendiri. Sia-sia uang dan harta yang kami miliki. Uang bagi kami, kini hanya selembar kertas tanpa arti. Mungkin kah Riri benci juga pada kami?

***

Aku mendongak menatap langit malam dan melihat bulan. Bulan purnama sempurna melayang di atas pucuk-pucuk pohon. Diam-diam cahaya bulan memudar, pendarnya meredup tertutup tipisnya awan-awan hitam. Awan tipis semakin menebal. Terdengar suara halilintar di langit. Hujan pun turun tak lama setelah itu.

Malam keempatpuluh sejak kematian Riri, keadaan tak berubah. Kami malah makin tenggelam dalam lubang kesedihan yang paling dalam. Selain rutinitas bekerja sepanjang hari. Maka sepanjang malam, aku dan Kinar hanya duduk-duduk melamun mengenang Riri di teras rumah.

Istriku memeluk boneka bayi kesayangan Riri sambil berurai air mata. Kesedihan kami ini bukan tanpa alasan. Betapa kami tak pernah bisa mendekati Riri dan memeluknya dalam mimpi sekalipun. Setidaknya, apabila kami bermimpi dan bertemu dengan putri kami itu, ingin rasanya memeluknya. Bercanda-canda dengannya atau menghadiahkan sebuah boneka baru untuknya. Tapi kenapa Riri tak bisa kami dekati, apalagi kami dekap. Meskipun hanya dalam mimpi.

Ya, betapa sulitnya kami menghapus kenangan bersama Riri. Tak semudah dan sesederhana menghapus tulisan dari papan tulis. Riri putri kami satu-satunya, cantik, lucu dan ia adalah matahari bagi kehangatan keluarga kami.

Kini tak ada lagi kebahagiaan dalam rumah besar ini. Tak ada lagi berisik suara Riri ketika akan berangkat ke sekolah sebelum sarapan, atau saat ia menyambut kami pulang kerja di senja hari. Suara berisik Riri itu mampu menghilangkan kepenatan kerja kami. Oh, betapa hampa hidup kami ini tanpa dirinya.

Hujan kelabu terus menitik turun menyiram malam, awan tebal bergulung-gulung di udara dan mewarnai langit, saat itulah kami berdua tertidur di sofa ruang tamu.

***
“Papa, Mama….!” Suara Riri samar terdengar.

Dengan cepat dan tercengang-cengang, aku dan istriku terbangun dari tidur. Kami bangkit dengan badan gemetar. Suara Riri yang memanggil-manggil kami walau lamat-lamat namun jelas terdengar. Kami ragu, apakah ini mimpi atau nyata.

“Papa, Mama, ke sini!”

Suara Riri terdengar lirih dari luar. Kami lalu berlari dan membuka pintu rumah. Hujan telah berhenti mengguyur tanah. Bulan belum sepenuhnya bulat, dalam temaram cahaya bulan kami mengikuti arah suara Riri memanggil.

Sampai di pekarangan rumah, halaman rumah dan sekelilingnya tiba-tiba mengabur. Aku dan Kinar berpelukan, napas kami tercekat di kerongkongan. Sejenak kami tak bergerak. Waktu berjalan sangat lambat dalam gelap.

“Papa, Mama, Riri di sini.” Suara Riri membuyarkan kegelapan yang menyelimuti tanah kami berpijak.

“Riri, kamu di mana sayang?” Aku mulai cemas. Aku mengedar pandangan. Kenapa kami sudah berada di ruangan besar ini? Apakah ini hanya imajinasiku dan Kinar yang datang bersamaan. Apakah kami berada di dimensi mimpi yang sama? Aku benar-benar tak ambil peduli. Yang penting, kami bertemu Riri.

“Mas, aku pernah datang ke gedung tua ini,” ujar Kinar dengan bibir bergetar. Ya, Kinar pernah ke sini. Ia datang di tempat ini dalam mimpinya.

“Lihat ada cahaya di ujung sana!” seruku. Aku dan Kinar setengah berlari menuju ujung lorong itu. Sungguh kami melihat pemandangan yang menakjubkan di situ. Di lorong itu penuh dengan berbagai macam boneka.

Sosok-sosok boneka itu terbaring tak berdaya di lantai lorong. Dari tubuh boneka-boneka itu keluar pendar cahaya yang redup. Seperti bola lampu yang kehilangan pijar cahaya. Ada boneka yang tanpa lengan, kaki dan bahkan, kepala. Mereka memang tak bernyawa, namun denyut hidup terasa di lorong itu. Begitu bergetar.

Aku dan Kinar terpukau. Tiba-tiba aku ingat boneka Dede, boneka bayi kesayangan Riri yang rusak. Perasaan sedih menyeruak dari rongga dada, ah kenapa aku tak segera memperbaiki boneka bayi kesayangan Riri itu.

“Papa, Mama!”

Suara Riri terdengar lagi memanggil kami. Suara itu begitu jelas. Sepertinya sosok Riri berada tepat di depan kami.

Tapi, suara itu bukan dari mulut mungil Riri yang kami rindukan. Suara itu berasal dari mulut boneka bayi kesayangan Riri yang tergolek di lantai. Mata bulat boneka bayi yang tak bisa terpejam itu berkaca-kaca. Air matanya meleleh melewati pipinya yang montok.

Dari kedalaman bola mata boneka bayi yang basah itu, kami melihat Riri sedang bermain gembira bersama para bidadari, di surga. Riri melambai-lambaikan tangannya pada kami, seperti daun-daun yang tertiup kesiur angin. Tangannya terus melambai-lambai, hingga pandangan kami mengabur. Kukira kami terlelap lagi dalam tidur sampai pagi.***

Jakarta, 6 Maret 2010