Jumat, 08 Juli 2011

KETIKA HUJAN REDA

KETIKA HUJAN REDA
Cerpen Oleh : Bamby Cahyadi


“Aku benci hujan, aku benci hujan!”
Entah umpatan atau sekadar gerutuan spontan yang terlontar dari mulutku, ketika mengetahui sore ini hujan turun sangat deras. Curah hujan semakin rapat dan di langit yang kelam petir menyambar-nyambar. Kulihat orang-orang berlarian di luar sana untuk berteduh di mana saja.
Sesaat aku tertegun di lobi depan gedung perkantoran tempatku bekerja. Menatap sekeliling dengan gamang. Apakah aku harus merobos hujan ini, batinku. Aku ingin segera pulang ke rumah. Aku lantas sibuk mengaduk-aduk isi tas, mencari payung lipat yang sudah kusiapkan sedari tadi saat menuju kantor pagi hari.
Beberapa hari belakangan ini, mendung tebal selalu menggelayuti langit Jakarta, oleh karenanya, aku telah siapkan sebuah payung lipat untuk mengantisipasi hujan yang sering mendadak runtuh dari langit. Seperti kata pepatah, sedia payung sebelum hujan, maka aku adalah seorang yang cukup patuh dengan pepatah itu. Dan ternyata sore ini hujan benar-benar menyiram bumi Jakarta. Pepatah itu begitu mujarab jadinya.
“Lebih baik hujan!”
Tiba-tiba kupingku menangkap suara seseorang bergumam. Mungkin juga ia menjawab gerutuanku. Aku memalingkan wajah ke arah kiri sumber suara. Saat aku menoleh, mataku bersitatap dengan sebuah mata bulat, indah dan berkilat. Oh, wanita yang bergumam itu begitu cantik. Dadaku sedikit bergemuruh.
“Anda suka hujan?” tanyaku.
“Tidak juga,” jawabnya.
“Kenapa Anda katakan, lebih baik hujan kalau Anda sendiri tidak suka hujan?” ujarku penasaran sambil tanganku sibuk mengaduk-aduk isi tas mencari payung. Tapi nihil. Aku tak menemukan payung lipatku. Seingatku, payung itu sudah kusisipkan ke salah satu bagian di tasku. Mungkin payung itu tertinggal. Tapi aku yakin, payung itu sudah kumasukkan dalam tas ini.
“Ini, pakai saja punyaku,” wanita itu menyodorkan sebuah payung lipat berwarna merah dengan tangan kirinya. Tangan kanannya memegang payung yang lain. Rupanya ia membawa dua buah payung lipat. Kuperhatikan ia sepertinya ingin meminjamkan payungnya dengan tulus padaku.
“Kenapa payung yang merah?” gerutuku dalam hati. Aih, ternyata ia tahu isi hatiku.
“Tidak suka merah ya?” tanya wanita itu seolah-olah ia tahu apa yang barusan kukatakan di dalam hati. Ia lantas melihat payung warna biru di tangan kanannya. Lantas ia menyorongkan payung warna biru di genggaman tangan kanannya kepadaku. Aku sempat tergeragap, tak menyangka ia sespontan itu.
“Terima kasih, aku bawa payung kok,” jawabku singkat sembari terus mengaduk-aduk isi tas, beberapa lembar kertas kerja dan alat-alat tulis hampir berserak di lantai lobi gedung perkantoran ini. Aku lantas menepuk jidatku.
“Ah, aku mungkin lupa!”
“Payungmu tertinggal ya?”
“Iya…!”
“Masih mau?” sodornya lagi.
“Terima kasih,” kataku sembari menerima payung dari tangan kanan wanita itu.
Baik sekali wanita ini batinku. Ia terlihat sangat anggun, penampilannya terlihat rapi dan elegan, mungkin ia seorang sekretaris di salah satu kantor di gedung ini pikirku.
“Kenapa Anda menawarkan pinjaman payung kepadaku? Mungkin saja arah tujuan kita berbeda,” ucapku sambil membuka lipatan payung. Lantas payung terbentang.
“Aku rasa kita ke arah yang sama. Anda akan ke halte itu juga kan?” Wanita itu menunjuk sebuah halte yang berada persis di depan gedung perkantoran ini bukan dengan ujung jarinya, tapi dengan memonyongkan bibirnya. Aku semakin terpukau. Ah, cantik dan lucu sekali wanita ini. Darahku berdesir aneh.
“Berarti Anda kerja di sini ya?” sahutku tidak mengiyakan pertanyaan tentang halte. “Kantor apa? Lantai berapa? Sebagai apa?” Lanjutku memberondongnya dengan pertanyaan. Aku begitu Penasaran. Ia memandangku, aku membalas tatapannya. Desiran dalam darahku menggetarkan syaraf-syarafku.
“Aku Karin!” tiba-tiba wanita itu menjulurkan tangannya untuk bersalaman. Bodohnya diriku! Sedari tadi aku bertukar tanya dengannya, kami belum saling berkenalan. Aku membalas uluran tangan Karin dan menjabatnya erat. Kehangatan mendadak menjalar di telapak tanganku hingga ke sekujur hatiku.
“Biola!” Aku memperkenalkan diri dengan menyebut nama panggilanku. Bukan nama panjangku.
”Biola? Masak lelaki, bernama Biola?” Matanya membelalak.
”Itu nama panggilan. Keren bukan namaku? Tapi, namamu juga keren. Karin, keren,” candaku. Ia terkekeh, pipinya merona merah. Cantik sekali.
“Apalah arti sebuah nama. O ya, maaf, tadi aku menyahut umpatanmu,” kata Karin sambil membuka payungnya juga. Payung warna merah itu terbentang.
“Ya, aku benci hujan di sore hari. Jalanan pasti macet karena banjir!” Aku sedikit memberikan tekanan nada saat mengucapkan kata macet. Karin tertawa kecil melihatku, ia melipat dan menggulung lagi payungnya yang telah dibentangkannya itu.
”Becek, nggak ada ojek! Ha..ha..ha,” lanjutnya sambil tertawa lepas. Aku pun ikut tertawa bersamanya. Entah mengapa, aku merasa telah sangat lama mengenal Karin.
”Kok payungmu dilipat lagi?” tanyaku. Ia tak menjawab.
“Aku rasa kamu juga salah menangkap maksud perkataanku tadi,” jelasnya.
“Maksud kamu?”
“Aku bilang lebih baik hujan. Maksudnya adalah daripada Jakarta panas dan gerah lebih baik hujan!” Ia menegaskan.
“Aku pikir kamu benar juga, beberapa hari ini langit selalu mendung, tetapi tidak hujan, udara menjadi sangat panas dan bikin gerah.” Aku pun ikut melipat kembali payung yang telah mengembang, seperti yang Karin lakukan.
“Tidak jadi ke halte?” tanyaku dan Karin berbarengan. Aku menggeleng. Karin menggeleng.
Hujan semakin deras di luar sana. Jalanan di depan gedung perkantoran kami sejak hujan belum turun memang sudah macet menjadi semakin macet, seolah kendaraan-kendaraan bermotor itu bagai melata yang malas merayap di jalanan yang basah.
Tampaknya tidak ada bus atau taksi yang melewati halte di depan gedung ini. Terkadang aku bertanya sendiri, kemana kendaraan umum seperti bus dan taksi disaat aku begitu membutuhkan keberadaan mereka. Kendaraan didominasi oleh mobil pribadi dan sepeda motor yang bergegas menerabas hujan yang tak mau reda.
Warna langit pun perlahan melindap menjadi suram. Senja tak merekah. Padahal aku sangat suka warna senja. Hujan menutupi warna jingga senja dengan warna kelabu. Kini langit berwarna jelaga, hitam, kelam, disertai hujan yang tak berjeda dan suara petir yang sesekali memekik memecah gelap malam.
Aku dan Karin memutuskan untuk menanti hujan reda dan kemacetan berlalu di sebuah kedai kopi yang terletak di beranda sebelah utara gedung perkantoran ini. Di kedai yang terang dan hangat ini, kami bercakap-cakap tentang apa saja yang terlintas di benak masing-masing sambil menikmati segelas cappucino panas dan sepiring kentang goreng.
”Padahal aku sangat suka warna senja.”
”Oh, romantis sekali itu. Tapi bukan kah kamu tak suka warna merah?”
”Senja berwarna jingga, bukan merah.”
”Tapi keduanya dari dasar warna yang sama.”
”Ah, sudahlah, aku kan sudah memilih payungmu yang berwarna biru.”
”Ya..ya..ya..!”
“Aku sebenarnya tak terlalu benci hujan!”
“Apaaa…?”
“Ah, bukan apa-apa.”
Aku dan Karin kembali menyeruput cappucino yang kini sudah tak benar-benar panas dalam genggaman tangan kami hingga tuntas. Sambil tertawa berseri-seri kami menikmati suara guyuran hujan di atas kanopi kedai kopi yang berdentang-dentang bagai simponi genderang yang bertalu-talu.
Meski makin larut, malam kian hangat. Namun kehangatan yang terjadi terasa begitu cepat berlalu dan buyar dalam sekejap, ketika istriku menelepon dan bertanya. “Kamu di mana?”
Karin melirikku. Setengah bergegas ia berbisik padaku, ”Itu suamiku, ia menjemputku rupanya.”
Kurasa mulutku terbuka, menganga. Lidahku kelu ketika Karin beranjak dari tempat duduk dan berlalu begitu saja. Ingin kukatakan padanya, ”Payungmu tertinggal!” Tapi aku hanya bisa terlongo-longo sendirian dengan mulut terkunci.
Di luar hujan telah reda rupanya. Istriku mengirim sebaris sms, galak sekali isinya. ”Cepat pulang!”***


Jakarta, 10 Maret 2011

Dimuat di Riau Pos, 3 Juli 2011