Sabtu, 13 Agustus 2011

EMOSI PAGI HARI

Emosi Pagi Hari (dimuat di Harian Analisa Medan, 14 Agustus 2011)

Oleh: Bamby Cahyadi

Terkadang liburan dari rutinitas kerja bagiku menjadi hal yang membosankan. Padahal beristirahat dari pekerjaan yang bertubi-tubi dan penuh target yang mesti dicapai adalah sebuah anugerah. Tentu akan menjadi membosankan apabila aku tak punya agenda acara untuk mengisi liburan kerja itu. Begitulah yang terjadi di hari selasa lalu.

Pagi-pagi, setelah sarapan dengan semangkuk oatmeal instan -makanan ini sudah menjadi menu sarapan pagi yang paling nikmat bagiku sejak lima tahun terakhir, padahal makanan berserat oat ini hambar rasanya dan bikin ingin muntah kalau dimakan sudah tak panas lagi-, minum segelas susu berkalsium -lagi-lagi susu ini sudah menjadi minuman favoritku sejak lima tahun terakhir ini, tapi tetap saja persendianku dan tulang-belulangku masih suka linu-linu apabila terkena udara dingin atau semburan AC yang terlampau sejuk- dan menelan sebutir vitamin C dosis tinggi.

Apabila Anda mengatakan aku korban iklan, maka akan kujawab: "Anda benar!"

Setelah sarapan, lalu mandi. Berdandan sedikit: menyisir rambut, menggunakan pelembab kulit dan menyemprotkan parfum secukupnya pada ketiak, merapikan kerah baju, lantas aku pamit pada pembantu rumah-tangga untuk keluar rumah sejenak. Aku tak pamit pada istriku karena dia sudah pergi bekerja pagi-pagi sekali, ketika jalanan masih lengang dan aku masih bergumul dengan mimpi-mimpi yang mengasyikkan (walaupun mimpi buruk, bagiku mimpi sesuatu yang keren dan asyik). Pernah tidak Anda bermimpi? Kalau Anda merasa jarang bermimpi atau tak pernah bermimpi atau lupa akan mimpi-mimpi yang Anda alami saat tertidur, kasihan sekali hidup Anda.

Aku keluar rumah dengan tujuan kantor pos dan selanjutnya belum jelas mau kemana. Ada beberapa buku pesanan teman yang belum sempat kukirimkan.

Sesampai di kantor pos. Entah karena hari itu masih hari selasa dan baru saja liburan panjang, suasana kantor pos sangat meriah. Sangat ramai. Penuh-sesak dan berdesak-desakkan. Kebanyakan orang yang sudah tua yang memenuhi seluruh ruang tunggu kantor pos. Mungkin mereka mau mengambil uang pensiun, batinku.

Aku mengantre di loket pengiriman kilat khusus. Dalam benakku, setelah berpuluh-puluh tahun menggunakan jasa pos, aku tak pernah dilayani dengan cepat. Petugas pos selalu lamban menangani pemakai jasa pos yang hendak kirim surat, dokumen dan barang kiriman lainnya. Entah di kantor pos langganan Anda.

Petugas pos loket kilat khusus mengetik pada keyboard komputer memakai sistem 11 jari, (seperti yang aku lakukan sekarang saat mengetik cerpen ini. Sistem 11 jari artinya hanya jari telunjuk tangan kanan-kiri saja yang beraktivitas), tapi kecepatan ketikanku tentu saja jauh lebih cepat ketimbang petugas pos yang kelihatannnya masih berusia muda-muda, tapi guratan wajah mereka seperti orang yang telah berpuluh-puluh tahun kerja di situ, tanpa ekspresi apalagi senyuman. Napas mereka seolah menghembuskan keluhan, keluhan dan keluhan! Seolah-olah orang yang dilayani adalah jarum jam yang berputar lambat, atau bisa jadi serupa toilet tisu tak berguna dan bikin kerjaan saja. Sesuatu yang menginterupsi kehidupan bahagia mereka saat itu.

Aku mengangsur tiga buah amplop kiriman kepada petugas loket. Amplop diterima dengan malas-malas oleh petugas, lalu sepintas dia membaca alamat kirim, lantas masih dengan malas-malas dia mengetik alamat kirim. Setelah itu dengan gerakan lemah dia melempar amplopku ke meja temannya di sebelahnya, untuk distempel.

"Isinya buku semua!" kata petugas itu.

"Oh, buku," sahut temannya tak kalah lesunya menyetempel amplopku yang berisi buku-buku karanganku itu. Aku berpikir, mungkin mereka belum sempat sarapan, hingga hari masih pagi mereka sudah loyo ibarat orang kekurangan vitamin dan gizi buruk.

Dengan wajah datar tak bersahabat, petugas pos menyodorkan kertas kuning padaku seraya berucap, "Dua puluh enam ribu, kalau bisa bayar pakai uang pas!" Aku geram dibuatnya. Mau marah rasanya.

Urusan uang kecil atau uang kembalian memang sudah menjadi masalah laten di ibukota. Apalagi apabila Anda menggunakan jasa taksi. Selalu sediakan uang dengan nominal kecil-kecil saja dalam dompet Anda. Rp. 50.000,- atau Rp. 100.000,- nominal yang pasti ditolak bila Anda melakukan transaksi apa saja di pagi hari. Inilah asumsiku. Buktinya, petugas kantor pos meminta aku membayar biaya kiriman dengan uang pas. Pasti dia tak punya uang kembalian. Bisa juga ia malas! Sudahlah.

Udara panas di ruang tunggu -yang disebabkan oleh tidak dinyalakannya empat unit AC 2 PK, kelihatannya untuk berhemat- hampir membakar emosiku yang sumbunya sangat pendek untuk disulut dan meledak. Untung ada seorang perempuan cantik yang senyum-senyum melihat aku yang sedang tampak sebal, gusar dan berkeringat. Hatiku agak sejuk dibuatnya.

Aku mengucapkan terima kasih. Bukan pada petugas pos yang melayaniku dengan beku. Aku menyungging senyum pada perempuan cantik itu dan mengucapkan terima kasih padanya, karena telah membuat hati dan kepalaku sejuk. Mudah-mudahan petugas di kantor pos tempat Anda berkirim sesuatu, tak sama dengan petugas kantor pos yang kuceritakan di sini.

Lepas dari kantor pos barulah aku memikirkan kemana tujuanku selanjutnya. Baiklah, aku berniat mengunjungi sebuah mal yang letaknya tak begitu jauh dari kantor pos ini. Aku menggunakan taksi -karena aku tak bisa nyetir mobil dan tak punya nyali yang cukup tangguh untuk mengendarai sepeda motor di tengah lalu-lintas Jakarta yang sangar dan kejam- menuju mal yang kumaksud.

Aku selalu mengunakan jasa taksi, karena lebih nyaman walaupun selalu menjebol isi dompetku di setiap tengah bulan. Lagi pula, jumlah kendaraan di Jakarta sudah sedemikian banyak, masih kah aku menambah jumlahnya yang tak cukup lagi ditampung oleh lajur jalanan?

Pada saat hendak naik taksi, aku kesal bukan kepalang. Darahku mendidih lagi. Para pengguna kendaraan sepeda motor yang tak sudi memberikan kesempatan padaku untuk menuju dan membuka pintu taksi. Padahal taksi sudah menepi mendekati trotoar, tetapi pengguna motor terus menerabas dari sisi kiri jalan. Mereka tak memberikan jalan dan kesempatan padaku untuk naik ke dalam taksi. Dengan sedikit keberanian kuhadang motor-motor itu dengan badanku, sambil aku membuat acungan jempol pada mereka. Mendadak motor-motor itu mengerem. Terdengar suara berdecit disusul suara-suara gerutuan dari para pengendara motor.

Heran! Kenapa mereka yang menggerutu? Apakah kalau mereka memperlambat laju motornya, mereka bakal kehilangan uang bermilyar-milyar rupiah? Atau, orang terkasih mereka akan mati? Tentu mereka tak kehilangan apa-apa bukan? Apabila memberi kesempatan padaku untuk melangkah dan masuk ke dalam taksi.

AC taksi membuat hatiku sejuk kembali. Sampailah aku di sebuah mal. Untuk berhemat, aku berhenti di sisi kiri jalan, sementara mal terletak di sisi kanan jalan. Apabila taksi mengantarku sampai lobi mal, taksi harus berputar-balik dan argonya bertambah Rp. 5.000,- -kan nilai yang lumayan untuk membeli menu serba lima ribu di sebuah restoran cepat saji-.

Untuk menuju mal, dari sisi kiri jalan tak ada Jembatan Penyeberangan Orang (JPO). Aku cukup terkesan, sudah tersedia lampu lalu-lintas di jalan itu untuk mengatur orang-orang yang hendak menyeberang. Apabila orang akan menyeberang, lampu hijau dengan gambar tanda orang akan menyala hijau, disertai dengan waktu hitungan 15 detik. Setelah hitungan detik ke-15, lampu itu akan berwarna merah untuk orang yang menyeberang dan tanda hijau pada kendaraan bermotor untuk berjalan.

Saat lampu hijau untuk tanda orang menyeberang menyala, dengan spontan aku menyeberang. Saat itu arus lalu-lintas cukup padat dan beberapa pengendara motor menjalankan motornya cukup kencang. Aku sengaja mengambil posisi menyeberang paling kanan. Saat itulah beberapa motor tetap melaju dengan kecepatan tinggi, walaupun tanda lampu untuk mereka berwarna merah yang berarti, mereka harus berhenti.

Melihat beberapa motor masih menyelinap, dengan penuh emosi dan gagah perkasa aku tendang sebuah motor yang hampir menyeruduk tubuhku. Dengan lantang aku berteriak, "Eh, Anda goblok banget ya? Sudah tahu tanda lampu merah, Anda jalan terus, mata Anda buta!"

Pengendara motor yang kuhardik hanya terkesima dan melotot ke arahku. Dengan segera aku acungkan jari tengah tangan kananku, dan aku berteriak, "Keparat!" -Maaf, kalimat itu kalau diterjemahkan dalam bahasa Inggris artinya Fuck You!-. Terus terang aku berteriak "keparat" dan sangat marah pada setiap pengendara motor yang tidak berdisiplin dan tak mematuhi aturan berlalu-lintas serta tak memberi kesempatan pada penyeberang jalan untuk melintas, seolah-olah jalanan hanya mereka yang punya. Keterlaluan!

Sesampai di dalam mal dengan bergegas aku masuk ke sebuah toko buku untuk menangkan diri. Setelah perasaanku agak nyaman, aku lantas melihat-lihat beberapa buku keluaran terbaru, mencari dan membeli buku-buku karya teman-teman yang terpajang di rak-rak penjualan buku. Hatiku benar-benar sejuk.

Kadang-kadang kehidupan ini membosankan apabila dilalui tanpa tujuan. Dikerjakan tanpa ujung, tanpa pangkal. Tak heran angka orang bunuh diri makin meningkat, sebab hidup ini memang membosankan, apabila tanpa tujuan, bukan? Kurasa, pada saat yang tepat, aku berhak marah-marah dan mengumpat.

Berteriak keparat kepada siapa saja, sekedar seolah-olah hidup ini menyenangkan. Setidaknya emosiku sedikit redam. Tentu bukan pada Anda, pembaca yang budiman. Apalagi kini sudah bulan puasa, dimana emosi tentu harus dikendalikan secara bijaksana, bukan?

Jakarta, 27 Juli 2011