Minggu, 25 Desember 2011

TENTANG LAN FANG [5 Maret 1970 - 25 Desember 2011]

Sumber: Tentang Penulis Novel Kembang Gunung Purei, penerbit Gramedia Pustaka Utama, April 2005, halaman 225.

Lan Fang lahir di Banjarmasin pada tanggal 5 Maret 1970 dari pasangan Johnny Gautama dan Yang Mei Ing, sebagai anak sulung dari dua bersaudara. Adiknya bernama Janet Gautama. Pada tahun 1988, ia menyelesaikan SMA-nya di Banjarmasin lalu meneruskan dan menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Surabaya (UBAYA).

Walaupun terlahir dalam keluarga keturunan Cina yang cukup konservatif dan lebih berkonsentrasi kepada dunia bisnis, Lan Fang sudah suka menulis dan membaca sejak usia sekolah dasar. Buku-buku Enid Blynton, Laura Ingals Wilder, atau sekadar majalah anak-anak, seperti Bobo dan Donal Bebek, telah mengantar imajinasinya ke dunia lain. Di sekolah pun, pelajaran kesukaannya adalah pelajaran Bahasa Indonesia, terutama mengarang. Sebetulnya keinginan Lan Fang untuk menulis cerpen sudah mulai ada sejak SMP ketika bacaannya mulai beralih kepada majalah-majalah remaja seperti Anita Cemerlang dan Gadis. Tetapi karena dianggap “ganjil” dan “tidak tertangkap mata” oleh keluarganya, tidak ada motivasi kuat untuk mempertajam talentanya. Keinginan menulis itu pun terlupakan begitu saja.

Ketika ia berusia 13 tahun, ibunya meninggal dunia karena kanker otak yang ganas. Sejak itu ia selalu merasa dirinya tidak lengkap, namun cinta pertamanya pada seorang pemuda di usia 15 tahun, memberinya inspirasi yang tak pernah kering. Walaupun bukan penulis, tetapi pemuda itu telah memberikan ruang gerak yang luas dan waktu yang tidak terbatas pada Lan Fang sehingga memacunya untuk berkarya. Ketika semua isi kepala dan hatinya itu dituangkan ke dalam tulisan dengan sangat lancar, Lan Fang merasa takjub ketika menyadari tulisan itu sudah berbentuk cerita. Sekadar iseng, ia kemudian mengirim cerita pendek pertamanya yang berjudul Catatan Yang Tertinggal itu ke majalah Anita Cemerlang pada tahun 1986. Ternyata cerpen tersebut langsung dimuat sebagai cerita utama di halaman depan.

Setelah itu Lan Fang jadi ketagihan menulis. Ketika menulis, ia menemukan dimensi baru tanpa ruang dan waktu, tempat ia bisa merasa bebas melompat-lompat dari dunia satu ke dunia lain. Ia merasa bebas mengungkapkan apa yang ia pikirkan, rasakan, bayangkan, pertanyakan, tanpa adanya benturan dengan batasan-batasan.

Pada periode 1986-1988, ia cukup banyak menulis cerpen remaja yang bertebaran di majalah-majalah remaja seperti Gadis, terutama Anita Cemerlang. Kebanyakan cerpen yang ia tulis bernapaskan cinta dengan banyak pengaruh tulisan Kahlil Gibran.

Sejak tahun 1997, ibu dari kembar tiga ini berulang kali memenangkan berbagai lomba penulisan. Di tahun tersebut, cerbernya Reinkarnasi menjadi Juara Penghargaan Lomba Mengarang Cerber Femina dan cerpennya Bicara Tentang Cinta, Sri… menjadi Juara II Lomba Cerpen Tabloid Nyata. Di tahun 1998, karyanya yang berjudul Pai Yin menjadi Pemenang Penghargaan Lomba Mengarang Cerber Femina. Di tahun yang sama cerpennya Bayang-Bayang pun menjadi Pemenang II Lomba Mengarang Cerpen Femina. Selain itu, cerpen Ambilkan Bulan, Bu… menjadi karya layak muat untuk Femina.

Ia sempat vakum selama lima tahun dari dunia tulis-menulis, karena sibuk berkonsentrasi dalam merintis karier di sebuah bank nasional swasta di Surabaya sampai tahun 2000. Saat ini, ia bergabung di sebuah perusahaan asuransi jiwa asing di kantor cabangnya di Surabaya.

Akhirnya pada tahun 2003 ini, Lan Fang berhasil menyelesaikan tulisannya yang mengendap selama jangka waktu itu. Karyanya yang berjudul Kembang Gunung Purei tersebut pun menjadi Pemenang Penghargaan Lomba Novel Femina 2003.

Dalam kesehariannya, ibu dari Vajra Yeshie Kusala, Vajra Virya Kusala, dan Vajra Vidya Kusala ini sangat mensyukuri keberadaan 3 Vajra = 3 Kekuatan yang di-milikinya sebagai sumber semangat dan motivator kuat untuk selalu bisa bertahan di saat-saat sulit.

Pada pembukaan novel Kembang Gunung Purei, Lan Fang menulis puisi sebagai berikut :

(Surabaya, 5 Agustus 2003)

Saat-saat kutulis bagian tengah buku ini di
Ujung kakinya…
Saat-saat tidak bisa menyelesaikan bagian akhir
Buku ini…
Karena…
Ia memberiku…
Tidur panjang yang cantik…
Mati indah,
Tapi meninggalkan ngilu dalam dan panjang…
Sehingga…
Buku ini…
Tidak pernah selesai…..

Lan Fang meninggal dunia pada tanggal 25 Desember 2011 di Rumah Sakit Mont Elisabeth Singapura, Minggu siang ketika sebagian dari kita merayakan hari Natal. Lan Fang mengalami tidur panjang yang cantik dan mati yang indah.

Jakarta, 25 Desember 2011

Selasa, 06 Desember 2011

To Hijack America

Waktu kami mulai menetap di Amerika, anak sulung kami berumur tigabelas tahun, sedangkan si bungsu belum cukup dua tahun.
Tahu-tahu, seperti sesuatu yang mendadak terjadi dalam sekejapan mata, semua anak kami sekarang sudah meninggalkan rumah: bersekolah, lalu bekerja.
Tentu itulah keinginan kami sebagai orang tua. Anak-anak bersekolah dengan baik dan memperoleh pekerjaan yang baik pula. Namun di samping itu, dalam hati kami juga terkandung harapan bahwa mereka akan menikah kelak dan mendirikan keluarga bahagia sendiri-sendiri, sesuai keinginan mereka. Terutama istriku yang mendesak ke arah itu.
Rupanya dorongan sekaligus hasrat istriku itu berhasil, anak kami menikah. Tetapi muncul pengalaman yang tak disangka-sangka. Di luar dugaan kami, setahun yang lalu.

***
Tahun yang lalu anak lelaki kami yang terbesar, Firman, selesai belajar dan memperoleh pekerjaan yang baik di negara bagian New York. Sebelum berangkat ke New York, ia pulang dulu ke rumah untuk pamit dan untuk memberi tahu sesuatu yang membuat aku dan istriku terkejut. Ia akan menikah!
”Kapan kamu akan menikah?” tanyaku.
”Hari Jumat minggu ini, Pa,” jawab anakku kalem.
”Hei, ini hari Senin, Nak. Kamu jangan main-main,” istriku menyela.
”Aku serius, Ma!” kata anakku.
”Lantas, siapa yang akan kamu nikahi? Mana mempelai perempuan, calon istrimu itu?” tanyaku.
”Ia akan datang ke sini, pada hari Kamis,” ujar Firman tersenyum.
Kulihat mata istriku berbinar-binar. Ia lantas memeluk anak lelaki kami yang terbesar. Firman akan menikah, gumamnya. Tapi dengan siapa? Banyak teman perempuannya, baik yang pernah ia kenalkan pada kami, atau sekadar ia ajak main ke rumah.
Pada hari Kamis, calon menantu kami itu benar-benar datang dan menginap di rumah kami. Seorang perempuan cantik, dan tentu saja orang Amerika asli. Namanya Alexa.
Keesokan harinya kami pergi ke pengadilan dan sepuluh menit sesudah membayar 40 dolar, anak kami secara resmi sudah beristri dan kami bermenantu. Sungguh sesuatu di luar dugaan kami.
Anehnya, istriku yang semula sangat berhasrat agar anak kami menikah, malah terlihat murung. Bagi istriku kejadian itu terlampau aneh, terlalu kosong. Maklumlah tradisi yang sudah berakar dalam hati generasi kami, khususnya orang Indonesia, tidak dapat diabaikan begitu saja.
Melalui telepon, kami beritahukan anak-anak kami yang tersebar ribuan kilometer jauhnya, bahwa kakak mereka sudah menikah hari Jumat lalu. Begitu juga pada sanak-kerabat di tanah air. Firman sudah menikah.
Dengan secepat kilat, aku dan istriku mengatur pesta kecil di rumah dengan mengundang tiga keluarga Indonesia yang bertempat tinggal di daerah kami.
”Agar mereka tahu bahwa anak kita menikah secara wajar,” kata istriku sambil mengatur meja makan.
”Kenapa kamu bicara seperti itu?” selidikku.
”Ah, sudahlah. Mungkin hanya masalah nilai-nilai kewajaran saja yang mengganggu pikiranku,” jawab istriku.
Aku lantas merenungkan perkataan istriku, sambil memandang ke arah jendela. Di luar rumah salju turun perlahan.
Nilai apakah yang menentukan kewajaran? Batinku. Pertalian sebagai suami-istri memang sudah disahkan undang-undang, namun bagaimana perasaan kami sebagai orang tua? Siapakah menantu kami itu?
Sewaktu masih berpacaran dengan anak lelaki kami yang terbesar, Alexa memang sudah diperkenalkan pada kami. Ketika itu ia diundang berlibur tiga hari di rumah kami oleh anakku. Ia seorang Amerika, California. Ia guru sekolah dasar. Kedua orang tuanya sudah bercerai ketika ia masih kecil.
Menurutnya, ia masih sering berhubungan dengan ibunya, melalui telepon atau bertemu di sebuah tempat. Dengan ayahnya? Ia mengakui kurang tahu di mana ayahnya berada.
Istriku sempat bertanya pada menantu kami itu, ”Apakah ibumu tahu kamu menikah?”
Dengan santai menantu kami menjawab, ”Itu kurang penting, nanti kalau aku bertemu dengannya akan kuberi tahu.”
Sebenarnya banyak pertanyaan yang kami ingin tanyakan dan ingin kami ketahui jawabannya, namun tidak sempat kami tanyakan. Karena mereka, pengantin baru itu, sudah terbang ke New York, untuk berbulan madu pada hari Minggu.
Kami hanya bisa bengong, terpukau dan tak percaya dengan apa yang terjadi. Hari Senin anak kami bilang ia akan menikah, hari Kamis calon menantu kami datang ke rumah dan menginap, hari Jumat mereka menikah, hari Minggu mereka pergi meninggalkan kami yang terbengong-bengong. Sungguh ironis apa yang terjadi itu. Atau kah sungguh lucu?

***
Akhirnya cerita itu kami ceritakan sebagai pengalaman ironi yang lucu kepada seorang kenalan Amerika, Kevin namanya. Namun, ia tidak mengerti di mana letak ironi dan lucunya.
”Anda beruntung tidak berhadapan dengan besan Anda,” kata Kevin.
”Lho, maksud Anda?” tanyaku.
”Istriku orang California, orang tuanya sudah bercerai waktu mereka bermukim di San Diego beberapa tahun silam. Waktu itu, orang tuaku tinggal di Chicago. Dalam perjalanan liburan, orang tuaku kebetulan melalui San Diego, kesempatan itu mereka pergunakan untuk berkenalan dengan orang tua istriku. Ternyata mereka hanya diterima di depan rumah dan tak diundang masuk. Selama sepuluh menit mereka berbicara, lalu orang tuaku pamit!" ujar Kevin getir.
Aku terperangah. Kevin meneruskan ceritanya, ”Istriku dengan dua orang anak kami sebulan yang lalu berangkat ke California untuk berlibur di rumahnya ayahnya. Mereka rupanya senang sekali di sana. Kemarin dulu istriku menelepon dengan saran supaya aku pindah saja dan mencari pekerjaan di California. Untuk sementara kami bisa tinggal di rumah ayahnya.”
”Lantas, kenapa Anda tak ikuti saran istrimu?” Tanyaku lugu.
”Tinggal bersama ayahnya? He, kamu kira aku orang China?” jawab Kevin dengan sebuah pertanyaan. Lantas ia tertawa terbahak-bahak. Sekali lagi aku terbengong-bengong. Menurutku, bukan orang China saja yang bisa hidup satu rumah bersama mertuanya, orang Indonesia pun banyak yang masih satu rumah dengan mertua atau orang tuanya walaupun mereka sudah menikah.
Ah, betapa aku tiba-tiba diserang kerinduan yang amat sangat tentang kehangatan keluarga besarku di Indonesia. Atau aku sudah begitu kolot untuk mengalami kondisi perbedaan kultur dan pergaulan sosial di Amerika ini?

***

Keherananku sebagai orang tua ternyata tidak berhenti sampai di sini saja. Tahun ini anak lelaki saya yang nomor dua, Lukman, pulang dari California, karena ia lebih suka cara hidup di daerah yang tak terlalu berisik dan ramai.
Tentu saja kami senang sekali. Keahliannya dalam bidang pertukangan kayu dan otomekanik, pasti akan sangat bermanfaat baginya untuk memulai berwiraswasta.
Kalau ada pekerjaan, tentu pendapatannya sebagai ahli pertukangan kayu dan otomekanik akan mendatangkan penghasilan yang lumayan besar. Kalau sedang sedang tak ada pekerjaan, ia bisa pergi ke laut untuk menangkap ikan dengan speargun, jala atau pancing. Sebuah cara hidup yang sederhana, orang-orang menyebutnya cara hidup orang ”local”.
Pada suatu malam, Lukman dipanggil lewat telepon oleh seorang peternak babi, Paul namanya, untuk memeriksa cetak biru sebuah rumah yang akan dibuatnya. Setelah beberapa kali datang untuk mendiskusikan proyeknya, aku melihat tingkah laku Lukman berubah.
Aku memberi tahu pengamatanku kepada istriku, yang biasanya berintuisi lebih tajam dalam hal perubahan perilaku anak-anaknya.
Istriku memandang Lukman dari kejauhan. Ya, Lukman tampak sedang tersenyum-senyum sendirian di kebun belakang rumah kami.
”Kamu jangan terlalu khawatir, sayang,” kata istriku. ”Kelihatannya, ia sedang jatuh cinta?” lanjut istriku dengan suara yang renyah.
Pengamatanku benar rupanya. Setengah berbisik aku berkata, ”You are right. Our son is in love.” Kami lantas tertawa sambil menggeleng-geleng kepala melihat tingkah Lukman di kebun belakang rumah.
”Kalau benar ia sedang jatuh cinta, lantas siapa pacarnya?” tanya istriku.
”Kamu benar, kita harus segera tanya padanya!” jawabku bersemangat.
Tidak terlalu berbelit ketika kami menanyakan sedang jatuh cinta pada siapa Lukman. Ia bahkan langsung memberitahu bahwa ia akan membawa teman wanitanya, Julie namanya, ke rumah untuk diperkenalkan pada kami.
Julie datang pada waktu yang ditentukan sambil membawa bayi berumur sebulan. Jantungku tiba-tiba berdetak cepat, darahku berdesir. Mustahil itu cucuku! Karena menurut pengakuan Lukman, ia baru pacaran dengan Julie kurang dari dua bulan.
Ah, ternyata bayi itu bukan cucuku. Lega rasanya. Julie lantas bercerita tentang dirinya. Julie adalah putri peternak babi Paul. Ia dilahirkan dan dibesarkan di daerah kami. Makanya meskipun berkulit putih ia disebut ”local” (seperti yang sering kita lihat tayangannya di film-film Hollywood), orang yang tumbuh-besar hanya di daerahnya saja, tak pernah kemana-mana.
Julie sudah pernah bertunangan, namun dua hari sebelum pernikahan berlangsung, ia membatalkan hubungan dengan tunangannnya itu. Tetapi kala itu, ia sudah mengandung!
Beberapa bulan kemudian, Julie melahirkan bayinya, ia memberi nama Brendi kepada bayinya itu.
Saat Lukman sering bertandang ke rumah peternak babi Paul, rupanya benih-benih asmara bersemaian di sana, Lukman merasa cocok dengan Julie. Mereka suka hidup dengan cara ”local”.
Mula-mula istriku keberatan hubungan Lukman dan Julie, namun lambat-laun istriku luluh juga. Rupanya kepribadian Julie sangat menawan hati istriku, Julie seorang yang lembut dan penyayang. Hingga akhirnya istriku rela juga melanggengkan hubungan Lukman dan Julie.

***

Sekarang mulai timbul keruwetan baru. Aku memang suka sekali pada bayi dan anak kecil. Maka setiap kali Brendi dibawa ke rumah, aku menggendong dan bermain dengannya. Aku memanggil Brendi selayaknya aku memanggil cucuku sendiri. Aku membayangkan bagaimana ia memanggilku kelak. Begitu pun dengan Julie. Apakah ia akan memanggilku, Ayah? Atau nama kecilku saja.
Inilah masalahnya bila tinggal dan hidup di Amerika. Sudah menjadi hal lumrah, hal wajar dan mungkin sangat sopan, untuk saling memanggil dengan hanya memanggil nama kecil saja. Biar pun usia terpaut jauh berbeda.
Julie yang sering datang ke rumah tak pernah memanggilku Mr. Mahmudi. Itu pun tidak pada tempatnya ia memanggilku dengan Mahmud saja, kukira ia merasa sungkan juga, kurang sopan. Karena ia tahu, Lukman memanggilku Papa. Pemakaian istilah Om atau Tante tidak bisa dipakai. Karena ini Amerika. Akhirnya, walaupun selalu canggung, demi menghormati aku dan istriku, Julie hanya mengatakan ”Hallo”, lain tidak ketika menyapa kami.
Setelah Lukman dan Julie menikah, keruwetan ini pasti akan terurai. Tentu mereka akan memanggil aku dan istriku: Papa dan Mama.
Tapi aku tak begitu yakin, soal lain bakal tak akan bikin ruwet lagi. Karena mendadak timbul keruwetan baru. Bapaknya Julie, Paul, mengundang kami makan malam dengan hidangan menu yang istimewa, namun membuat lidah kami tercekat: Babi Panggang! **