BEGINILAH PEMBUNUHAN
ITU DICERITAKAN
Oleh: Bamby Cahyadi
Emak Eti memang merasa ada yang tidak
beres dengan anaknya, Sumarna, pagi itu. Tidak seperti biasanya anak keduanya
itu bangun siang, sampai-sampai ia tak bisa mengantarkan adiknya ke sekolah.
Dari Gang Y, desa A, perempuan berusia 59 tahun tersebut buru-buru ke tempat
anaknya di ujung desa. Hatinya mendadak merasa was-was, perasaan khawatir
menyeruak menggigit-gigit ulu hatinya. Sakit kah Sumarna?
“Apa sudah pergi kerja anak saya?”
tanya Emak Eti kepada pemilik warung yang berjualan dekat rumah Sumarna.
“Belum tampak, Mak. Barangkali masih
tidur. Semalam ada tamu di sana,” jawab yang ditanya.
Perasaan seorang ibu, tiba-tiba
membuat Emak Eti semakin gelisah. Sesampai di rumah Sumarna, diketuk-ketuknya
pintu depan rumah anaknya, tapi tak ada jawaban dari dalam. Lalu ia pergi ke
belakang rumah, pintu di sana sudah digembok. Biasanya, apabila anaknya sudah
berangkat kerja pintu itu telah dikunci.
Tetapi, tak biasa Sumarna berangkat kerja tanpa diketahui oleh tetangga-tetangganya. Perasaan Emak Eti
semakin diamuk kecemasan yang bergulung-gulung.
Karena rasa khawatir dan penasaran
yang begitu melilitnya, ia meminta tetangga Sumarna membuka paksa pintu rumah.
Dibantu oleh beberapa tetangga, mereka mencoba mendobrak pintu. Namun tidak
juga memberi hasil. Perempuan itu semakin dilanda rasa cemas dan panasaran yang
berkecamuk.
Dengan tangga kayu, perempuan itu
mengintip ke kamar anaknya dari sela-sela kisi-kisi jendela.
Betapa terperanjat, perempuan itu seperti
disengat beribu binatang kalajengking. Ia melihat seluruh kelambu berwarna
merah. Hanya warna merah yang ia lihat dalam kamar yang remang itu. Ya, hanya
warna merah.
Di antara rasa was-was yang membuat
jantungnya berdetak sangat kencang, Emak Eti tercekat beberapa saat, ia
berteriak, namun suaranya nyaris tercekat di tenggorokan menyangkut di udara.
Kakinya bergetar lututnya terperangkap dalam gemetar ketika melihat tubuh
Sumarna tidur terlentang dengan leher bersimbah darah. Menantunya, Euis, telungkup,
juga penuh darah. Sedangkan cucunya, Asep yang baru berusia dua tahun,
digenangi darah seluruh tubuhnya.
Lemaslah sekujur tubuh Emak Eti,
dengan suara gemetar ia berusaha berteriak melihat pemandangan yang mengerikan
yang terpampang di pelupuk matanya. “Tolong, tolonglah, anak-anak saya dibunuh
orang!” Suara Emak Eti nyaris lirih tak terdengar. Dengan sisa-sisa kekuatannya
perempuan tua itu berusaha mendorong-dorong jendela kamar agar terbuka. Namun
sia-sia.
Orang-orang semakin ramai berdatangan
dan memenuhi halaman di sekitar rumah Sumarna. Ada juga yang mencoba mengintip
dari tangga di mana Emak Eti mengintip. Mereka melihat dan manyaksikan dengan
mata kepala sendiri tiga jasad yang membuat mereka merinding, menebarkan aroma
teror, kengerian dan ketakutan tak
terkira.
Tanggal 9 November tersebut, desa A,
kecamatan K, kabupaten T, Jawa Barat, gempar. Sumarna sekeluarga yang dikenal
sangat ramah kepada semua orang, telah dibunuh dengan kejam. Tak pernah ada
kejadian sekejam itu yang terjadi di Kabupaten T selama ini. Sepanjang sejarah
kabupaten penghasil beras itu.
***
Malam itu, Kosasih dengan tenang
menuju dapur ia membersihkan bekas-bekas darah pada parang, sebelum menyelipkan
benda tersebut ke dinding bambu. Malam itu, Kosasih telah menjelma malaikat
pencabut nyawa kepada Sumarna sekeluarga.
Namun Kosasih bukanlah sang malaikat
pencabut nyawa, lelaki itu tak pernah ditugasi Tuhan untuk menghabisi nyawa
ketiga manusia tak berdosa itu. Kosasih punya tugas sendiri yang ia telah
direncanakannya.
Ia membongkar lemari Sumarna,
mengambil perhiasan Euis, uang Rp 2.500.000,- milik Sumarna dan membawa kabur
sepeda motor milik Sumarna. Barang-barang itu diperlukannya untuk meresmikan
perkawinannya dengan Dedeh, pacarnya di desa G, kabupaten C, masih di wilayah
Jawa Barat.
Lelaki berdarah dingin itu melego
motor bebek keluaran tahun 2010 itu seharga Rp 3.800.000,- dan kemudian ia
belikan dua buah cincin kawin dan sebuah kalung emas. Perhiasan Euis dijualnya
seharga Rp 1.700.000,- ia belikan sebuah tempat tidur lengkap dengan kasur dan
bantal. Lalu untuk calon mertua, diberikan uang sebesar Rp 500.000,-. Uang
hasil merampok Rp 2.500.000,- dan uang sisanya menjual sepeda motor dan
perhiasan disimpannya sendiri.
Bagai seorang saudagar yang mendapat
untung besar, Kosasih pun membual kepada Dedeh. Ia berbohong bahwa ia
berdagang. Ia bahkan sesumbar, apabila ia dapat laba besar lagi, ia akan
membangun sebuah rumah untuk mereka.
***
Kegemparan memang melanda hampir
seluruh kabupaten T. Pembunuhan semacam itu baru pertama terjadi. Warga menjadi
resah. Aparat kepolisian dituntut warga bekerja serius dan berhati-hati. Karena
memang Kosasih berhasil menghilangkan semua barang bukti.
Polisi berhasil menyergap dan
meringkus Kosasih berkat kesaksian pemilik warung kopi, minuman keras murahan,
jamu dan obat kuat lelaki. Polisi bekerja keras untuk mendapatkan jejak
Kosasih.
Pada pukul 18.00 tanggal 17 November
beberapa polisi berseragam datang mengepung rumah calon istri Kosasih, Dedeh.
Saat itu Kosasih baru saja menyalakan lampu teras rumah Dedeh. Menyadari rumah
telah diincar polisi, dengan gerakan tipuan, Kosasih berhasil menyelinap kabur
lewat pintu belakang.
Lelaki berkulit putih itu melarikan
diri. Namun, belum begitu jauh ia bergerak sebanyak tujuh butir peluru
bersarang di kakinya. Ia terjengkang dan terkapar di tanah. Malam itu juga,
Kosasih digotong ke rumah sakit.
Penduduk yang mendengar bahwa pembunuh
keluarga Sumarna berhasil ditangkap, segera menyerbu ke rumah sakit di
kabupaten C. Bangsal tempat marawat tahanan polisi itu nyaris ambruk diserang
massa.
Setelah dirawat, Kosasih digiring ke
ruang Pengadilan Negeri kabupaten T.
“Saya butuh uang untuk mengawini
Dedeh,” jelas Kosasih dengan nada dengki.
Jaksa penuntut umum, memberikan
dakwaan, hukuman mati bagi Kosasih, di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri.
“Perbuatan yang dilakukan terdakwa
itu, bukan hanya untuk menguasai harta korban, tetapi juga untuk memenuhi
kepuasan melihat darah yang mengalir,” kata jaksa penuntut dengan suara
bergetar.
Kosasih tidak bergeming mendengar
tuntutan hukuman mati atas dirinya. Matanya yang liar itu menyorotkan rasa
tidak menyesal.
“Ia dihukum mati bukan karena membunuh
orang. Tetapi agar orang-orang lain tidak dibunuh pula olehnya di masa
mendatang,” ungkap jaksa, menyitir ucapan seorang hakim Inggris abad 19, Herce Burnet, ketika jaksa itu
diwawancarai media.
Dari balik jeruji besi kamar tahanan
Pengadilan Negeri, Kosasih menjawab pertanyaan wartawan. Jawaban yang cukup
mencengangkan, “Saya cuma sedih atas kematian sahabat saya, Sumarna.”
Entah apa yang ada di benak lelaki
berkulit putih itu.
***
Malam itu, di beberapa tempat
orang-orang masih tampak menggerombol. Kios-kios sudah tutup, hanya satu warung
yang menjual kopi, minuman keras murahan, jamu dan obat kuat lelaki yang masih
buka. Semakin malam situasi semakin sepi, orang-orang yang bergerombol tampak
menyusut hingga habis sebelum tengah malam tiba. Apalagi hujan telah turun.
Malam itu, kunjungan Kosasih yang
keempat kalinya ke rumah Sumarna di Desa A, di Kecamatan K, Kabupaten T, Jawa
Barat. Bila hari-hari sebelumnya ia datang minta tolong pinjam uang dan
dicarikan pekerjaan, Jumat malam tersebut ia datang hendak meminjam cangkul dan
linggis. Kepada Sumarna dikatakannya, bahwa ia telah mendapat pekerjaan.
“Di mana Engkos bekerja?” tanya
Sumarna pada Kosasih waktu itu.
“Di tempat teman. Pinjamilah saya
cangkul dan linggis Kang,” jawab Kosasih.
Pertemuan pukul 23.00 hari Jumat 8
November itu belum selesai begitu saja. Mereka ngobrol-ngobrol, seraya menonton
acara televisi. Sumarna bersama istri dan anaknya duduk di bagian tengah
ruangan. Di layar televisi, acara talk
show yang dibawakan Tukul Arwana, menghidangkan bincang-bincang lucu penuh
gelak tawa.
Di luar, hujan turun dengan lebat.
Malam itu, Kosasih kembali menumpang tidur di sana, di rumah Sumarna, sama
seperti pada malam tanggal 24 Oktober yang lalu.
Hawa dingin yang dikirim hujan,
membuat seisi rumah cepat terlelap. Kosasih berbaring di ruang tamu di atas
selembar tikar. Tetapi lelaki itu tidak tidur. Di mulutnya masih terselip
sebatang Djie Sam Soe dan asap tipis
keluar dari celah bibirnya.
Di rumah itu memang tidak ada
siapa-siapa lagi, kecuali Sumarna dengan istri dan anaknya, serta Kosasih yang
yang menumpang menginap. Suasana di dalam rumah senyap, tak kalah heningnya
dengan di luar, begitu sepi. Bahkan suara jengkerik dari semak-semak di sekitar
rumah pun tidak terdengar.
Kosasih bangkit dari lantai tempat ia
tiduran beralaskan tikar. Sambil sedikit mengendap-endap, pelan-pelan dibukanya
pintu rumah, lelaki itu keluar rumah menembus hujan. Ia mendatangi warung yang
masih buka tak jauh dari rumah Sumarna. Di situ dibelinya sebotol minuman keras
murahan. Lalu ia berlari kecil meninggalkan warung kembali ke dalam rumah.
Ia membuka tutup botol minuman keras
itu dan menenggak minuman itu demi memanasi tubuhnya, aroma alkohol menguar
bikin mabuk. Ia pun terus menerus merokok, bersambung dari batang yang satu ke
batang rokok yang lain. Kepulan asap rokok memenuhi seluruh ruangan. Kosasih
menyandarkan tubuhnya pada dinding, seperti ada yang berkecamuk di dalam
otaknya. Ia duduk dengan punggung menekan keras pada dinding rumah.
Lantas dengan gelisah ia berdiri.
Menoleh kanan kiri. Serupa orang yang sedang mencari sesuatu, Kosasih masuk ke
dapur. Matanya terlihat nyalang ketika melihat sebilah parang yang berkilau
ditimpa cahaya lampu neon yang redup. Tangannya yang kasar meraih benda tajam
itu dan dibawanya ke ruang tamu.
Kosasih, lelaki berkulit putih itu
kembali duduk, menyandarkan lagi tubuhnya pada dinding dan menghabiskan sisa
minumannya. Matanya mulai tersirat keliaran yang ganjil, dari kilatan bolamata
terkesan kekejian yang menakutkan. Tapi ia gelisah.
Kadang-kadang ia bangkit, kemudian
duduk kembali. Bangkit lagi, mondar-mandir, lalu ia berjalan menuju pintu kamar
tidur Sumarna yang hanya dihalau selembar kain tirai berwarna kelabu. Sudah ada
tiga kali ia berbuat seperti itu.
Kosasih ini memang terbilang kurang
ajar dan tak tahu diri. Meski ia pernah dipinjami uang oleh Sumarna, sahabatnya
tersebut, untuk melunasi pembayaran perabot rumahnya sebesar satu juta rupiah
pada bulan Agustus lalu, bahkan pernah pula diberi pinjaman tambahan lima ratus
ribu rupiah awal September lalu, ia tak segan menggoda istri Sumarna yang
tampak begitu ranum di matanya, bahkan dengan lancang ia menggoda Euis, istri
Sumarna dengan kata-kata seronok.
Pada kali kedua dan ketiga Kosasih
menginap di rumah Sumarna, ketika Sumarna tak berada di rumah atau sedang ke
warung, ketika Euis berjalan menuju ruang tamu dengan tangkas tangan lelaki ini
menyentuh rok istri Sumarna.
Tentu saja perbuatan ini sudah
keterlaluan bagi seorang sahabat dan juga tamu yang telah disambut dengan baik
kedatangannya. Namun, Kosasih tak pernah kapok. Pada kali ketiga ia menginap di
rumah Sumarna, entah telah berapa kali ia merogoh rok istri sahabatnya
tersebut. Euis pun tak mampu melakukan perlawanan, atau melaporkan perihal itu
kepada suaminya. Daripada mereka bertengkar, batinnya.
Dan pada kali keempat ia menginap,
malam itu Kosasih kembali mengintai dari balik tirai pintu kamar.
Tetapi malam itu Kosasih bukan hendak
mengintip pasangan tersebut. Apalagi ingin menyetubuhi Euis. Setelah tiga kali
mengintai dan mempelajari suasana kamar, ia masuk ke dalam dengan parang
terhunus.***
Jakarta, 25 Oktober 2013