TIDAK MUDAH MENJADI HANTU
Oleh: Bamby Cahyadi
Sultan Saladdin baru menyadari kematiannya
setelah 7 tahun ia tewas akibat sengatan listrik di ruang tamu rumahnya. Ya,
ketika itu usianya 38 tahun, dan apabila ia masih menjalani kehidupan sebagai
manusia bernyawa maka kini ia genap 45 tahun.
Sultan Saladdin adalah lelaki
baik-baik. Berumur tiga puluh delapan tahun kala itu, menikah dua kali. Pernikahan
dengan istri pertama tanpa anak, pernikahan kedua ia beroleh dua orang anak. Ia
bekerja sebagai wartawan di salah satu majalah mingguan ternama di ibukota, dan
ia begitu mencintai buku, terutama buku sastra. Ia bergabung dengan komunitas
penikmat sastra dan banyak mengikuti kegiatan-kegiatan sastra yang
diselenggarakan oleh komunitas di mana ia menjadi anggota, meskipun bukan
sebagai anggota aktif.
Kedengarannya memang konyol dan agak
berlebihan, Sultan Saladdin baru mengetahui kematiannya setelah 7 tahun
kemudian. 7 tahun, bukan 7 bulan apalagi 7 hari. Lalu kemana saja ia selama 7
tahun setelah kematiannya yang menyedihkan itu? Ia sendiri tampak bingung.
Dahinya berkerut, seperti sedang memikirkan sesuatu yang serius. Saat ini ia
merasa masih hidup. Dan, saat ini ia berada di sini, di rumahnya sendiri,
sebagai hantu.
Dengan kondisi masih linglung, Sultan
Saladdin berjalan menuju dinding ruang tamu, agak ragu-ragu ia menerabas masuk
melalui dinding dan ia berhasil. Ia bisa menembus dinding tanpa terhalang
lapisan semen dan batu bata di dalamnya. Ia lolos begitu saja serupa angin yang
menembus kelambu. Ia kini di kamar tidur, istri dan anak-anaknya tidak ada di
rumah saat ini. Kamar tidur lengang. Ia melihat sebuah sisir yang tergeletak di
atas kasur, dengan tangan kanannya ia berusaha untuk mengambil sisir tersebut
dan memindahkannya ke meja rias, namun hal itu tidak bisa dilakukannya, sisir
itu seperti menjelma menjadi air yang hendak digenggam. Sultan Saladdin hanya
memegang udara.
Sebagai hantu yang baru berada di
dunia lain, Sultan Saladdin belum menyadari bahwa untuk memindahkan benda, para
hantu harus mempelajarinya secara serius, karena dibutuhkan kemauan, kesabaran,
kerja keras dan stamina yang mumpuni. Pada kenyataannya menjadi hantu tidaklah
mudah bagi Sultan Saladdin. Ia mulai frustrasi.
Sultan Saladdin beranjak dari kamar
tidur, ia menembus dinding kamar tidur menuju ruang makan, ia tertegun sejenak.
Ketika tiba di ruang makan, ia
berharap mendapatkan suasana yang lebih ceria ketimbang di kamar tidurnya yang
muram, kenyataannya ia menemukan sebuah ruang yang begitu sepi. Ia melihat
sekeliling ruangan. Ada meja makan, enam kursi, dan lemari pendingin.
Sebuah jam besar menghadap ke arah
Sultan Saladdin, dan ia mengamati jarum detiknya bergerak dengan jemu, seakan
menegaskan lambatnya pergantian waktu bagi hantu seperti dirinya.
“Tidak ada siapa-siapa,” gumamnya.
Sultan Saladdin menghela napas,
bertanya-tanya mengapa ia menjadi hantu setelah 7 tahun kematiannya. Ia
memiringkan kepala, berpikir keras lagi.
Menjadi hantu setelah 7 tahun kematian
memang sesuatu yang aneh. Namun karena ia memiliki daya ingat yang luar biasa, perlu
diingat ia seorang wartawan semasa hidupnya. Samar-samar lantas makin tajam dan
jelas Sultan Saladdin ingat ketika masa ia hidup, 7 tahun yang lalu.
***
Sultan Saladdin ingat betul, sehari
sebelum kematiannya ia menonton berita di sebuah kafe di kawasan Kuningan dekat
kantor KPK, sambil minum secangkir kopi hitam tanpa gula dengan Salman Rusdie,
Sofyan Muharram dan Sabar Dwisunu. Mareka adalah sesama wartawan dari media
yang berbeda. Salman wartawan senior koran Kompas, Sofyan reporter dari Metro
TV dan Sabar selaku juru kamera. Mereka baru saja meliput konferensi pers yang
digelar oleh ketua KPK, Abraham Samad, tentang penangkapan salah satu pimpinan
KPK, Bambang Widjojanto oleh Bareskrim Mabes Polri.
Tapi ada yang luput dari ingatan Sultan
Saladdin kejadian pada malam musibah itu terjadi. Malam itu, tujuh tahun yang
lalu Jakarta dicekam musim hujan yang keji.
Esok hari setelah ia minum kopi di
kafe dekat kantor KPK seperti biasa ia pulang dari kantornya dengan mengendarai
motor kesayangannya menjelang tengah malam. Ia mengendarai motornya dari
seputaran Senayan menuju Tebet, Jakarta Selatan.
Malam itu, di beberapa tempat
orang-orang masih tampak menggerombol. Kios-kios sudah tutup, hanya satu warung
yang menjual kopi dan minuman keras murahan yang masih buka di depan kompleks
perumahannya. Semakin malam situasi semakin sepi, orang-orang yang bergerombol
tampak menyusut hingga habis sebelum tengah malam tiba, ketika ia sampai di
rumahnya hujan pun telah turun dengan deras.
Setelah membuka pintu gerbang dan
memarkirkan motornya di depan teras rumah, Sultan Saladdin mendadak merasa ada yang tidak
beres dengan istri dan anak-anaknya. Malam itu, tidak seperti biasanya istri
atau anak-anaknya tidak membukakan pintu untuk menyambut kedatangannya ketika
deru motor menggerung di depan gerbang pagar. Sampai-sampai mereka pun lupa
menyalakan lampu teras. Hatinya mendadak merasa was-was, perasaan khawatir
menyeruak menggigit-gigit ulu hatinya. Apakah istri dan anak-anak tidak berada
di rumah?
Pernah suatu ketika, saat ia pulang
kerja malam hari, keadaan rumah lengang seperti rumah yang tak ada penghuninya.
Lampu teras padam, di dalam rumah gelap gulita dan tak terdengar samar-samar
suara televisi yang ditonton oleh anak-anaknya. Waktu itu karena bingung dan
ponsel istri dan anak-anaknya tidak bisa dihubungi, ia kembali ke depan
kompleks dan bertanya kepada pemilik warung di situ.
“Apakah Bapak melihat kemana istri dan
anak-anak saya pergi?” tanya Sultan Saladdin kepada pemilik warung. Biasanya
apabila berpergian dengan kendaraan umum, mereka selalu menunggu taksi atau
angkot di depan warung itu.
“Tadi Ibu dan anak-anak naik taksi ke
arah sana, Pak,” jawab pemilik warung menunjuk ke arah Manggarai.
Namun waktu itu kekhawatiran Sultan
Saladdin segera pupus ketika menerima pesan pendek dari istrinya, bahwa ia dan
anak-anak ke rumah orangtua istrinya karena sang ayah mertua terkena serangan
jantung. Lega lah hati Sultan Saladdin.
Malam ini berbeda.
Perasaan seorang suami dan ayah dari
dua orang anak ini, tiba-tiba membuat hati Sultan Saladdin semakin gelisah.
Setelah ia mencopot helm yang membungkam kepalanya dan menanggalkan jaket yang
memeluk tubuhnya, diketuk-ketuk pintu rumah sambil mengucapkan salam
berulang-ulang, tapi tak ada jawaban dari dalam.
“Apakah suara deras hujan mengalahkan
suara ketukan pada pintu?” batinnya.
Ia nyaris tak tahan menunggu selama
beberapa menit di dalam kesuraman teras rumah dan perangkap malam yang basah.
Akhirnya ia melangkah dengan napas membeku dan
rasa dingin yang tiba-tiba menyebar ke bagian lehernya. Ia pergi ke belakang
rumah, pintu di sana sudah digembok biasanya memang begitu. Selepas senja pintu
belakang itu selalu telah dikunci. Perasaan Sultan Saladdin semakin diamuk
kecemasan yang bergulung-gulung ketika ia mengetuk-ngetuk jendela kamar istri
dan anak-anaknya tak ada sahutan dari dalam.
Ia kembali ke depan teras dan berusaha
mengintip dari celah gorden. Ia kembali mengetuk pintu yang berdiri tegak itu.
Karena rasa khawatir dan penasaran
yang begitu melilitnya, ia mencoba mendobrak pintu rumahnya dengan beberapa
tendangan. Namun tidak memberi hasil, misalnya pintu rumah jebol dan berantakan
seperti di film-film laga. Ia kemudian ingat, pintu rumahnya dibuat dari
material kayu yang tak mudah didobrak dan dijebol apalagi hanya dengan tendangan
kaki seorang wartawan.
Sultan Saladdin kembali mengintip
melalui celah gorden yang tersibak kesiur kipas angin di ruang tamu. Betapa
terperanjat, ia seperti disengat beribu binatang kalajengking, dari sela-sela
gorden yang melambai-lambai akibat tiupan kipas angin ia melihat seluruh lantai
di ruang keluarga berwarna merah. Hanya warna merah yang ia lihat di dalam
rumah yang remang itu. Warna merah darah!
Sultan Saladdin tercekat beberapa
saat, lantas ia berteriak, namun suaranya nyaris tercekik di tenggorokan
menyangkut di udara. Kakinya bergetar, lututnya terperangkap dalam gemetar
ketika melihat tubuh istrinya, Sumiati Susanti, terlentang dengan leher
bersimbah darah. Kedua anaknya, Sukma Saladdin anak pertamanya telungkup, juga
penuh darah. Sedangkan, Satria Saladdin anak kedua, digenangi darah seluruh
tubuhnya.
“Tolong-tolong! Istri dan anak-anak
saya dibunuh...!” Teriak Sultan Saladdin histeris.
Tetangganya dan orang-orang semakin
ramai berdatangan beberapa saat kemudian dan memenuhi halaman di sekitar rumah
Sultan Saladdin. Akhirnya pintu berhasil didobrak dengan bantuan petugas
keamanan kompleks. Ketua RT telah menghubungi polsek setempat.
Ketika Sultan Saladdin menyeruak masuk
ke ruang tamu sambil berteriak-teriak, ketika itu pula ia terpelanting dan
jatuh ke lantai dengan kepala membentur lantai yang penuh dengan aliran darah
istri dan anak-anaknya.
Ia merasa seperti disetrum oleh
listrik dengan daya sengat yang sangat tinggi. Pandangan Sultan Saladdin gelap,
semuanya menjadi berwarna hitam pekat.
***
Sultan Saladdin baru menyadari kematiannya
setelah 7 tahun ia tewas. Ada sesuatu yang ia luput, ia bukan tewas tersengat
listrik, ia hanya terpeleset genangan darah istri dan anak-anaknya, ia terpelanting
dan jatuh ke lantai. Lantas pingsan.
Pada kenyataannya, Sultan Saladdin
hanyalah seorang yang kehilangan kewarasannya. Ia seringkali merenungkan dan
lantas membuat alur cerita cerdik dan situasi ganjil yang membingungkan selayak
cerita dari buku-buku sastra beraroma detektif yang sering ia baca.
Ia punya kebiasaan berbicara sendiri,
kemudian ia melihat sekeliling, berharap tak ada seorang pun yang mendengarnya.
Ia kerap mengunjungi kuburan istri dan kedua anaknya, serta kuburan saya.
Terkadang ia membawa bunga dan hanya duduk-duduk seperti berpikir di pinggir
kuburan. Lantas ia berbicara sendiri, mengedar pandangan, dan berharap tak ada
orang yang mendengarnya.
Begitulah keterlibatan saya dalam
kisah ini. Saya adalah pendengar setia cerita-cerita Sultan Saladdin ketika ia
berbicara sendirian sambil ia menenggak vodka terkadang wiski dan merasakan
alkohol mengirimkan arus panas ke dalam darah dan tulangnya.
Setiap orang memiliki cara
masing-masing untuk mengatasi rasa kehilangan. Sultan Saladdin memilih menjadi pemabuk
yang gila. Tapi tidak mudah menjadi hantu dan sekaligus pencerita seperti saya.***
Jakarta,
12 Februari 2015