SURAT YANG TAK PERNAH DIBACA
Dulu, sewaktu saya masih mahasiswa. Saya pernah menulis surat kepada Menristek kala itu BJ. Habibie. Surat itu saya kirimkan kepada beliau, dengan harapan Pak Habibie tersentuh hatinya dengan isi surat saya.
Akan tetapi setelah menunggu balasan surat itu tak kunjung datang, saya beranggapan mungkin Pak Habibie tidak pernah membaca isi surat saya sampai hari ini. Atau lebih sial lagi, surat itu tak pernah sampai kepadanya. Ya, sudahlah. Kan, kehidupan tetap berlangsung seperti sekarang ini.
Maka sejak saat itu, saya tak pernah lagi menulis surat untuk orang-orang penting macam Pak Habibie.
Waktu saya masih sekolah dasar, hobi saya menggambar. Saya membuat gambar dan saya warnai dengan crayon. Lalu gambar itu saya masukkan dalam amplop dan saya kirim ke TVRI untuk acara Menggambar bersama Pak Tino Sidin. Gambar saya tampil di televisi hitam putih milik kami. Dengan gayanya yang khas, Pak Tino Sidin mengomentari gambar saya dengan sebuah kata: “Bagus!”
Bukan main girangnya saya waktu itu. Gambar saya yang dipegang Pak Tino, yang hanya sepersekian detik tampil di TV, namun membuat saya sangat termotivasi untuk berkarya. Saya terus menggambar, hingga saat ini.
Kembali kepada masalah surat saya untuk Pak Habibie. Mau tahu isi surat saya kepada Pak Menristek paling lama dalam sejarah Kabinet Indonesia? Saya menulis surat begini, “Pak Habibie yang terhormat, dulu sewaktu masih SD saya mengirim gambar ke Pak Tino Sidin, gambar saya tampil di TV. Sekarang saya ingin menggeluti dunia seni dengan menjadi pelukis. Saya mahasiswa dengan kondisi ekonomi pas-pasan, mohon bantuan Bapak untuk memberikan kepada saya, peralatan untuk melukis yang menurut saya sangat mahal harganya.”
Mungkin, kalau surat saya dibaca oleh Pak Habibie pada waktu itu, saya telah menjadi seniman lukis saat ini. Apakah begitu? Saya rasa hanya Tuhan yang tahu. Hehehe….
SURAT SAKTI DAN KREATIVITAS MAHASISWA
Kalau saya bilang, saya pernah menjadi penyiar radio. Percayakah anda? Pasti ada yang percaya, secara saya memang doyan ngocol dan ngomong pada saat itu. Bagi yang tidak percaya pun, anda tidak salah karena suara saya jelek, tak sejernih para penyiar radio kala itu.
Tapi saya tidak akan berbicara tentang penyiar radio. Saya ingin bercerita tentang surat sakti atau ketebelece.
Saya dan beberapa teman mahasiswa waktu itu, mendirikan radio mahasiswa. Tidak tanggung-tanggung, kami mendirikan stasiun radio dengan gelombang FM. Saat itu saja radio-radio komersil masih bermain di frekuensi AM.
Dasar pendirian radio itu, hanya berdasarkan tandatangan Menteri Penerangan saat itu Bapak Harmoko yang datang ke kampus kami dan oleh kami diminta beliau mengisi buku tamu Senat Mahasiswa (yang sebenarnya pada halaman buku tamu itu, kami tulis: “dukungan untuk Radio Mahasiswa”).
Lalu dengan modal buku tamu itu, pada kesempatan lain kami gunakan untuk bertemu dengan Gubernur Jawa Barat Moch. Yogie S. Memet dan beliau mengeluarkan surat keputusan menyetujui pendirian Radio Mahasiswa.
Singkat cerita, dengan berbekal surat keputusan Gubernur berdirilah radio mahasiswa. Kami himpunlah mahasiswa-mahasiswa yang pandai mengoperasikan radio (saat itu radio-radio gelap di frekuensi FM sangat marak). Lalu kami namai stasiun radio itu dengan nama “Suara KRESMA” (Kreativitas Mahasiswa). Tentu saja kami kreatif, meminta tandatangan Pak Harmoko dan menodong Pak Yogie untuk membuat SK.
Namun sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Radio yang sangat digemari oleh kalangan mahasiswa dan siswa SMA ini tersandung masalah dengan PRSSNI (organisasi persatuan radio swasta) pimpinan Ibu Tutut. Mereka, radio-radio swasta komersil terusik secara ekonomi.
Kami diadukan oleh PRSSNI ke pihak Deparpostel dan Kepolisian. Maka, stasiun radio kami digerebek dan disegel serta tidak boleh mengudara. Sedih hati kami. Terlebih lagi, saya selaku ketua unit radio mahasiswa terkena pasal pidana penyalahgunaan frekuensi ilegal. Saya dituntut hukuman penjara 5 tahun dan denda uang minimal Rp 50 juta jumlah yang sangat banyak dalam suatu sidang di pengadilan di kantor Deparpostel.
Lagi-lagi soal surat sakti. Sebelum saya mengikuti sidang penyalahgunaan frekuensi, saya dibekali oleh Rektor kampus saya dengan sebuah surat. Surat itu kemudian saya serahkan kepada pimpinan sidang yang ternyata berpangkat Kolonel Laut. Tentu setelah acara persidangan selesai. Ia, lalu membebaskan saya dan teman-teman dari tuntutan hukum setelah membaca isi surat. Pak Kolonel itu berkata, “bagaimanapun Letnan Jenderal itu kedudukan lebih tinggi ketimbang Kolonel walapun beliau itu (maksudnya Rektor saya) sudah purnawirawan.”
Maka bebaslah kami dengan surat sakti Pak Rektor. Namun kami tetap sedih, karena radio mahasiswa kami, mati muda.
KENAPA SAYA BEKERJA
Beberapa hari yang lalu, sewaktu teman saya menelepon dan menanyakan apakah saya masih bekerja di tempat yang sama. Tiba-tiba saya menjadi berang. Saya sangat marah, dan saya mengatakan, bahwa saya bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bukan untuk menjadi orang kaya. Kalaupun jabatan saya mentok, tak naik-naik, ya sudah, itu nasib saya.
Dan dengan sangat bersemangat, saya katakan bahwa teori kudrannya Robert T. Kiyosaki, tidak berlaku untuk saya. Saya akan tetap di kuadran pertama, sebagai employee. Saya katakan, bahwa tidak ada yang namanya passive income, kecuali saya ini keturunan anaknya orang kaya. Anaknya atau cucunya konglomerat. Tentu kalau mau mendapat penghasilan, saya harus bekerja. Dari mana uang akan bekerja untuk saya, kalau saya tidak punya uang? Saya bisa punya uang karena saya punya pekerjaan.
Jadi apa salah saya? Kalau saya masih bekerja. Bekerja di tempat itu-itu juga. 15 tahun lamanya. Lantas teman saya itu berkelit, kenapa saya tidak ikut paket pensiun muda yang ditawarkan oleh perusahaan tempo lalu. Betul. Apabila saya ikut paket pensiun muda tentu saya akan mendapat sejumlah uang, mungkin sekitar Rp 200.000.000,-
Uang itu katanya bisa saya pakai modal untuk buka usaha. Jadi pengusaha, bekerja tidak di bawah perintah orang lain. Sehingga katanya, saya bisa pindah kuadran ke kuadran dua, self employee. Maka dengan percaya diri, saya katakan hidup ini pilihan. Pilihan saya menjadi pekerja. Apakah kalau saya menjadi pengusaha dengan modal 200 juta, lantas serta merta saya akan berpenghasilan lebih banyak? Hidup lebih makmur? Punya mobil?
Mungkin teman saya kasihan melihat saya. 15 tahun bekerja saya belum memiliki sebuah mobil pun. Rumah pun hanya tipe 36, KPR lagi. Maaf teman, kata saya, saya tidak punya mobil bukan karena saya tidak mampu beli. Selain saya tidak bisa nyupir, bagi saya ukuran kesuksesan bekerja bukan berapa harta yang bisa diciptakan. Misalnya punya mobil atau rumah megah.
Menyadari saya berbicara dengan nada tinggi, teman saya itu kagetnya minta ampun. Ia lalu berkata, bahwa baru pertama kali ini saya berbicara dengan nada seperti itu kepadanya. Iya, saya katakan, bahwa benar saya marah, saya memang sedang sensitive. Karena akhir-akhir ini semua orang bertanya kepada saya, apakah saya merasa tidak tertipu dengan pekerjaan saya. Saya benar-benar marah!
1 komentar:
#1
Hm... Pak Habibie mungkin sempat baca, tapi ga sempat membalas. Ato, sempat mengirim apa yang Om Bamby inginkan, tapi ga nyampe-nyampe. Maklum, zaman Orba^^
#2
Ck..., ck..., ck....
#3
Sip, Om. Soal pekerjaan, kita cuma boleh mendengar nasehat orang lain, bukan celaan atau kritikan. Betul?^^
Posting Komentar