Minggu, 05 Juli 2009

HUDAN HIDAYAT dalam MENGANTAR AYAH cerpen Bamby Cahyadi

Sastra yang berhasil selalu meninggalkan jejak pada pembacanya. Jejak yang tak hendak hilang, jejak yang dalam. Jejak yang muncul dari totalitas cerita, menjadi kesan yang berdiam dalam benak pembacanya. Jejak yang membuat kita memikirkan terus apa dan mengapa hidup ini.

Cerita pendek Bamby Cahyadi, Mengantar Ayah, saya kira adalah cerita yang meninggalkan kesan semacam itu.

Mengantar Ayah adalah suatu satire, suatu ejekan, akan suatu "momen" panjang dalam sebuah masyarakat. Ejekan bahwa pencarian kebenaran, seolah dalam situasi malam, malam yang mengacu kepada sesuatu yang tak jelas. Pencarian sang Bapak atas sang anak di suatu malam bisa menjadi sebuah lambang pencarian sang Bapak - manusia - akan kebenaran itu sendiri. Anak yang dalam anggapan sebuah keluarga tak pulang, belum kembali, menjadi anak yang telah hilang, menjadi kebenaran yang telah hilang, dan kini sang Bapak masuk ke dalam malam, ke dalam pencarian sang anak kebenaran, yang seolah ada di suatu tempat - malam, suatu keadaan yang hitam tak jelas, penuh pertanyaan di balik misteri dan diamnya malam. Begitulah sebuah prosa yang baik bisa berwatak puisi - penuh asosiasi dalam dirinya sendiri.

Asosiasi ganda. Dari asosiasi kedua "keluarga yang membawa mayat ke dalam koper" itu, sebagai keluarga yang sedang mengalami nasib aneh yang absurd. Bahwa sang anggota keluarga kini pulang dari suatu keadaan dan telah menjadi mayat. Mengantar ayah dengan koper semacam itu, merebakkan suatu kasus kematian aktivis yang tiba-tiba meninggal dan kini tubuhnya pulang dengan koper yang ditenteng oleh pesawat udara. Lazimnya sang mayat ditaruh ke dalam peti mati. Tapi disimpan dalam koper, dibawa pesawat, bisa mengacu kepada asosiasi ganda yang lain lagi: pesawat sebagai motede kematian yang berjalan cepat, cepat cepat menghujamkan kematian kepada siapa yang dikehendakinya. Koper sebagai lambang kematian yang tak normal, dari seseorang yang ingin mendambakan kebenaran hidup bersama sesuai apa yang menjadi keyakinannya.

Begitulah cerita Bamby Cahyadi, sang pengarang yang telah mencapai tehnik bercerita seperti pengarang yang terdahulu kita yakni Putu Wijaya atau Budi Darma, telah melipatgandakan makna-makna asosiatif terhadap dunia ceritanya.

Makna asosiatif itu sendiri mungkin bukan muncul dari kehendak sang pengarang dengan sadar. Seperti galibnya cerita fiksi, biasanya pengarang ditarik oleh cerita itu sendiri. Bamby ditarik oleh misteri yang dikandung oleh cerita Mengantar Ayah. Ia mengikuti hukum cerita sebagai suatu permainan, permainan yang diperagakannya sebagai pengarang yang bisa menyetop ceritanya dalam suatu perhentian, dalam suatu stop cerita yang diberinya canda: sampai di sini dulu, bersambung, sambil melakukan hal yang jarang dilakukan oleh para pengarang yang tak hidup di dunia maya, yakni ha ha hi hi. Haha hihi sebagai suatu tehnik yang membuat pengarang tiba-tiba berjarak dengan dunia ceritanya. Seolah cerita mendadak terlepas, lepas dari momen sebelumnya di mana sang pengarang masuk sebagai narator yang bersembunyi di dalam cerita, dan kini narator itu berbicara dengan familiar kepada pembacanya.

Seolah pada saat itu ia seakan mengingatkan fungsi seorang observer, pengamat yang lagi menatapi suatu gejala masyarakat, dan cara ia mendekat kepada pembacanya serupa itu, adalah seakan suara sang observer tadi meminta perhatian kepada masyarakat pembacanya tentang sebuah satire, sebuah ejekan yang sedang dibangunkannya dalam suatu cerita. Mengantar Ayah terasa sebagai mengantar pikiran ke tengah masyarakat akan suatu upaya pencarian kebenaran. Mengantar sebuah wacana ke tengah masyarakat untuk terus menggeluit kebenaran akan tiap sesuatu yang tak terjelaskan, yang absurd, tapi diteriakkan terus oleh nurani masyarakat yang damba akan ketenangan hidup bersama.

Satire itu datang dari tingkatan relasional horisontal dalam masyarakat, dan ia bergerak menjadi ironi saat cerita ditransendir, atau saat cerita memiliki dimensi transendensinya. Pada saat inilah cerita mendapatkan watak ironinya. Yakni sebuah kesia-siaan yang datang dari nasib sang Ayah yang hendak menyelamatkan anaknya dari suatu malam yang hendak menelannya, tapi justru sang Ayah sendirilah yang ditelan oleh malam-malam dari suatu penamaan akan nasib yang menimpanya. Nasib yang mengenaskan dalam pandangan manusia. Kalau majas cerita telah ditake over oleh satire, kini cerita direnggutkan oleh ironi dari nasib yang ironis itu sendiri.

Apakah penyebab kematian sang Ayah?

Ironis sekali! Ia yang pergi meninggalkan keluarganya mencari sang anak yang hilang, pulang hanya dengan sebuah berita bahwa dirinya telah meninggal. Apakah yang menjadi penyebab kematian dirinya? Jelas kecelakaan. Tapi oleh kecelakaan apa? Ada polisi di sana - di rumah sakit itu, tapi common sensenya dilalui saja oleh Bamby: ia ingin langsung memeluk dan berhadapan dengan ironi itu sendiri. Yakni sang Ayah, sang kepala keluarga, yang kini telah mati secara ironis.

Disisihkannya penjelasan dunia atas kematian semacam itu. Ia langsung hendak memeluk absurditas dari kematian. dari wajah kematian yang selalu tak jelas. Seolah sia-sia belaka apa yang dibangunkan oleh manusia ke dalam penyebutan bahagia. Kalau kematian bisa datang di mana-mana dan kapan saja. Kalau Mengantar Ayah, adalah suatu fakta yang tak terbantahkan. Suatu fakta, suatu kepastian, yang tak bisa ditolak. Dalam situasi seperti itu, satire tak dibutuhkan lagi. Tapi kita langsung memeluk dan bergelut dengan ironi.

Kematian yang sia-sia. Dari hidup yang sia-sia, telah diperagakan dengan telak dan amat indah dalam cerita pengarang Bamby Cahyadi. Dan itulah suatu teks yang datang dari bumi. Bagaimana dengan teks dari langit sendiri tentangnya?


Dua Kesia-siaan - Langit

Saya tahu dunia tak bisa meninggalkan langit, langit yang menjadi pusat pemaknaan. Karena dunia sendiri adalah sesuatu yang harus memaknai. Bukan sesuatu yang dimaknai. Dalam perspektif luasnya, tak mungkin dunia yang sedang berpikir akan sebuah pemaknaan tiap kehadiran - katakanlah kehadiran dari sang ayah yang mati itu, bisa memaknai dirinya sendiri. Saat kita berpikir, adalah saat kita tak bisa memikirkan pikiran itu sendiri. sebab pikiran itulah yang menjadi instrumen kita berpikir. Dan pikiran selalu mengacu ke luar dirinya. Bahkan saat kita berpikir akan pikiran kita sendiri, pikiran itu sedang bergerak memikirkan dirinya. Selalu ia keluar, tak bisa ke dalam. analog barangkali bisa kita acukan dengan kita dan bayangan. Bayangan, tak bisa bergerak dan lepas dari sang badan. Selalu bayangan bergerak karena sang badan ditiup oleh angin. Sekeras apapun angin meniup bayangan, tanpa badannya, bayangan itu tidak akan bergerak. Bahkan tak ada bayangan tanpa ada suatu badan.

Kira-kira dalam situasi seperti itulah seorang pemikir filsafat berkata, bahwa dalam situasi yang kita tak bisa lagi bicara, kita harus diam. Sebuah pernyataan yang mengingatkan saya akan terdiamnya sang malaikat saat tuhan bertanya: apakah nama nama (benda benda) ini? Dan malaikat pun berdiam diri.

Kita pun akan berdiam diri. hanya hendak bicara sedikit saja. Mengacukan kediaman kita kepada dua frasa yang tersebut dengan amat indah, frasa yang datang dari langit. Indah dalam susunan bahasanya tapi mematikan dan menghidupkan dalam siratan maknanya. Sehingga cerita semacam Bamby itu bisa menjadi, atau diacukan, kepada makna yang mematikan dan menghidupkan itu.

Saya kutipkan penuh al hadid, besi.

Nah besi, suatu lambang yang bisa membawa kematian dan bisa membawa kehidupan, telah menjadi pintu masuk dari sebuah suara yang datang dari langit. Seakan dengan identitas besi, dan dengan bagian bagiannya, langit itu hendak berkata begitulah dunia yang kalian diami: ada besi yang menghidupkan kamu (kamu naik pesawat), tapi ada juga besi yang sekaligus membunuh kamu (kamu pun naik pesawat).

Dan di situlah makna kuat dari cerita semacam Mengantar Ayah, yakni saat dipakainya pesawat, burung besi itu, untuk mengantarkan sebuah kematian yang disebabkan oleh sesuatu benda keras yang menimpa sang Ayah, besi, tapi sekaligus menghidupkan pula sang keluarga yang tak jadi mati karena burung besi tak jadi jatuh, hidup kembali dengan mengantarkan sang ia yang telah mati. Bahwa ia yang telah dan masih hidup akan melanjutkan juga kehidupannya dengan besi-besi yang membuat orang, atau manusia, hidup dan bisa melanjutkan kehidupannya.

Tapi hidup memang tak bermakna. Dengan besi yang menghidupkan dan dengan besi yang mematikan, hidup memang tidak bermakna. Sebab makna hidup telah diletakkan oleh langit ke dalam suatu permainan, senda gurau, yang telah disebutkan oleh langit itu sendiri. Seperti pada bagian 20 yang bisa kita baca.

"ketahuilah olehmu, sungguh
kehidupan di dunia hanyalah
permainan dan hiburan,
bermegah megah dan adu kesombongan
antara kamu,
berlomba kekayaan dan keturunan.
dapat diumpamakan seperti hujan.
tanam tanaman yang ditumbuhkannya,
menakjubkan para petani,
kemudian menjadi layu.
lalu tampak menjadi kuning,
kemudian luluh karena kering.
tapi di akhirat ada azab
yang sangat dahsyat
dan ada pula ampunan dari allah
dan keridhaannya.
kehidupan di dunia hanyalah
kesenangan tipuan belaka."

Dan kita tahu betapa benar al hadid ini, benar karena secara empirik apa yang disuarakannya adalah wajah wajah di belahan dunia manapun, di belahan waktu di dunia manapun. Benar di dalam besi itu ada penjelasan, semacam optimisme yang berhembus, atau dihembuskan, bahwa di sana kelak ada ampunan. Tapi penjelasan semacam itu tak menentramkan kita, saat pikiran kita tak hendak diam, diam dari permintaan yang datang dari ahli filsafat yang telah kita katakan tadi, maupun diam dari kata langit itu sendiri dengan kias sang malaikat yang bungkam di depan pertanyaan, saat gagal membaui nama benda- benda.

Tapi suara semacam itu muncul pula dari kitab langit yang lain, injil, yang dalam pengkotbah satu memuat frasa kesia-siaan itu. Bagi saya frasa langit ini tak perlu dipertentangkan sebagai rentang pertanyaan, manakah yang benar dengan frasa langit yang telah saya kutip dari HB Jassin berjudul bacaan mulia tadi.

Langit itu mungkin terpecah, belah tiga oleh manusia. Tapi saya kira langit itu walau pecah dalam benak manusia, adalah tetap langit yang sama dengan wajah kisah yang sama pada esensinya. Seperti yang saya lihat kesamaannya dari pengkotbah bagian satu ini.

"Kesia-siaan belaka, kesia-siaan belaka. Segala sesuatu adalah sia-sia. Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari? Keturunan yang satu pergi dan keturunan yang lain datang, tetapi bumi tetap ada 'abadi'.

Matahari terbit, matahari terbenam, lalu terburu-buru menuju tempat ia terbit kembali. Angin bertiup ke selatan, lalu berputar putar ke utara, terus menerus ia berputar, dan dalam putarannya angin itu kembali.

Semua sungai mengalir ke luat, tapi laut tidak juga menjadi penuh; ke mana sungai mengalir, ke situ sungai mengalir selalu. Segala sesuatu menjemukan, sehingga tak terkatakan oleh manusia; mata tak kenyang melihat, telinga tak puas mendengar.

Apa yang pernah ada akan ada lagi, apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. Adakah sesuatu yang bisa dikatakan: “lihatlah ini baru? Tetapi itu sudah ada dulu, lama sebelum kita ada. Kenangan-kenangan dari masa lampau tidak ada, dan dari masa depan yang akan datang pun tidak akan ada kenangan pada mereka yang hidup sesudahnya."

Hudan Hidayat, Juli 2009

Tidak ada komentar: