Jumat, 04 Juni 2010

Kakek dan Nenek dalam Kenangan

Kakek meninggal ketika tidur di sofa sembari nonton televisi. Nenek yang tak kuat menahan rasa sedih di hatinya dan kehampaan yang begitu mendadak terjadi karena ditinggal mati kakek, meninggal sebulan kemudian. Mungkin, kakek dan nenek ditakdirkan sehidup-semati. Namun mereka tak ditakdirkan mati bersama. Ada selisih waktu sebulan persisnya.

Enak sekali cara meninggal kakek, tengah asyik nonton televisi, tertidur, lalu mati. Mungkin kakek bermimpi dulu sebelum ruhnya tak balik lagi ke jasadnya. Atau, malaikat maut dengan sengaja menahan ruhnya di alam mimpi. Siapa tahu mereka tak sengaja berpapasan di alam mimpi, lalu malaikat maut mengajak kakek minum kopi dan merokok. Jadi menurutku kakek tak pernah merasakan kematiannya. Baginya, mati hanya sekadar tidur dan mimpi panjang tak berakhir. Tapi apakah memang begitu? Aku tak tahu persis.

Kasihan nenek, ia begitu sedih, setiap hari kerjanya hanya menangis dan menangis. Ia berhenti meratap, saat ia tertidur. Dalam tidurnya pun, kupastikan nenek menangis. Pantaslah kukira, nenek menangis saban hari, ia hidup bersama kakek cukup lama. Hitungannya bukan belasan tahun, tapi sudah puluhan tahun. Maka sangat wajar apabila nenek lalu sakit karena sedih, dan kemudian menyusul kakek ke alam baka.

Tapi nenek merasakan sakit dulu sebelum mati. Betapa menderita sakit sebelum mati, bukan kah begitu? Mudah-mudahan kakek dan nenek bisa bertemu di alam kematian mereka. Dan melanjutkan kehidupan mereka yang sempat terpisah sebulan serta menyelesaikan hal-hal yang sempat tertunda di dunia fana. Pasti kakek senang menyambut nenek. Kubayangkan mereka berpelukan seperti pose mereka di foto besar hitam-putih berbingkai kayu ukiran Jepara yang bertengger di kamar.

Begitulah kisah meninggalnya kakek dan nenekku. Kenangan ketika mereka meninggal tiba-tiba tumbuh kembali dalam ingatanku. Itu terjadi karena aku tertidur siang-siang. Walaupun tidurku sebentar, tapi aku sempat bermimpi. Mimpi bertemu kakek dan nenek di rumah mereka.

***

Kakek menyulut sebatang rokok kretek, ketika aku baru saja sampai di teras rumah. Secangkir kopi masih mengepulkan asap tergeletak di atas meja. Tanpa permisi, aku mengambil sebatang rokok dari kotaknya. Kakek hanya mengangguk ketika aku menatapnya. Aku menyulut rokok dan mengisapnya sekali. Lantas berkali-kali.

Tak ada percakapan, kami larut dalam isapan demi isapan rokok. Sesekali ia menyeruput kopinya. Sebenarnya ingin sekali aku menyerobot menyeruput kopinya, paling tidak menghilangkan rasa dingin yang ganjil yang menelusup dalam tulang-tulangku.

Ya, hawa dingin yang ganjil. Bukan kah ini di alam mimpi? Walaupun jelas, aku berada di ruang tamu rumah kakek dan nenek. Aku menyulut sebatang rokok lagi. Kakek belum membuka percakapan, aku pun malas memulai percakapan. Lagi pula, percakapan di alam mimpi akan menjadi bualan omong kosong yang sia-sia belaka. Aku pelupa. Pasti aku akan lupa tentang mimpiku apalagi obrolan yang terjadi di dalamnya. Ibarat membaca novel, tentu tak semua dialog-dialog dalam novel tersebut akan kita ingat baik-baik.

Seperti itulah aku, aku tak pernah mengingat-ingat perihal mimpi yang terjadi saat aku tidur. Saat terbangun dari tidur, aku tak pernah menyadari aku bermimpi saat tertidur. Kedengarannya sangat menyedihkan, hidup dan tertidur, tapi tanpa ingatan mimpi yang bisa dikenang.


(belum tamat)

1 komentar:

YK mengatakan...

kapan sambungannya mas hehe