Sabtu, 20 Maret 2010

EREKSI

EREKSI
Bamby Cahyadi

Subuh menjadi dingin akibat hujan sepanjang malam. Seperti biasa, selayaknya laki-laki normal lainnya. Handoko merasa benda di selangkangnya mengeras dan berdiri. Anunya ereksi. Namun sebenarnya, ia tinggal menggauli istrinya yang masih tidur mendengkur di sampingnya untuk mengakhiri ereksi. Handoko gelisah, karena tak ada hasrat berahi untuk menggauli istrinya, agar ereksi berhenti. Ia tak bergairah, walaupun ia masih saja tetap ereksi.

Subuh pun menepi mendekati pagi. Istrinya sudah bangun dan menyiapkan sarapan. Handoko masih berbaring, tidak tidur. Tapi matanya terpejam. Ia hanya berguling-guling di atas kasur. Telungkup menyamping, terlentang kemudian tengkurap lagi. Baru kali ini, anuku mengeras lama sekali, batinnya. Biasanya, selayaknya laki-laki normal lainnya, setelah anunya mengeras tidak berapa lama kemudian mengecil kembali. Kempes, seperti balon yang dibuka simpul ikatannya.

Padahal kemarin, ia tidak memakan makanan yang bisa dengan mudah memicu libido, misalnya daging kambing. Ia pun tidak meminum ramu-ramuan atau jamu-jamuan peningkat stamina. Oleh karenanya ia sangat heran anunya terus ereksi.
Minarni istrinya masuk ke dalam kamar, perempuan itu ingin mencari tahu kenapa suaminya belum juga bangun untuk menuju dapur menyantap sarapan dan minum kopi yang telah tersedia.

“Mas, kamu sakit?” tanya Minarni melihat Handoko masih terbaring tengkurap memeluk guling.

“Enggak, aku masih ngantuk saja Min,” jawab Handoko sambil bergeliat. Ia pura-pura menguap.

“Benar kamu enggak sakit?” tanya istrinya lagi, masih penasaran lantas memegang dahi suaminya.

“Enggak!” Handoko menepis tangan istrinya.

“Ya, kalau begitu bangun dong!” pinta Minarni. “Aku sudah siapkan sarapan dan kopi,” lanjut Minarni, meninggalkan Handoko yang masih pegal dengan anunya yang masih tegang dan berdiri.

Bagaimana ini? Kok, enggak kempes-kempes juga. Huuuh, menyiksa sekali. Gumam Handoko di dalam hatinya.

Handoko lalu beringsut, turun dari tempat tidur. Dengan cepat ia mematut diri di depan cermin. Ia melihat dirinya dalam cermin. Bagian ujung celananya tepat di bagian depan selangkangnya menggunung. Handoko berusaha untuk menutupnya dengan memelintir anunya ke samping kiri, ke samping kanan tetapi tetap saja menonjol. Ia membengkokkan ke bawah, tetap saja menjendol.

Akhirnya Handoko mengambil sarung dan mengenakannya. Ah, ia sedikit lega, sarung itu mampu mengamuflase tonjolan anunya yang ereksi terus. Handoko pun bernyali untuk ke luar kamar. Menuju dapur untuk sarapan.

“Kok kamu pakai sarung Mas?” tanya istrinya heran.

“Aku lagi kepengen aja pakai sarung,” jawab Handoko sambil menyomot tempe mendoan buatan istrinya.

“Tumben saja, enggak biasanya,” balas Minarni.

“Min…” kata Handoko tercekat.

“Ya, Mas?”

“Aku…. Enggg…Enggak jadi deh.”

“Kamu mau ngomong apa sih, Mas?”

“Gini…” Handoko berhenti berkata, lantas ia menyeruput kopi yang masih panas.

“Apaan sih?” Minarni lalu duduk. “Mau ngomong apa?” sergah Minarni.

“Kok, burungku berdiri terus ya?” ujar Handoko akhirnya berterus terang kepada istrinya.

“Memang kita punya burung?” tanya Minarni polos tidak mengerti perihal perkataan suaminya.

“Min… Ini lho!” Handoko melorotkan sarungnya dan anunya yang sedang berdiri seolah menunjuk muka Minarni.

“Waaaw!” ucap Minarni kaget. Wajah perempuan itu bersemburat merah merona.
“Iya… gara-gara ini Min,” kata Handoko menujuk anunya yang ereksi itu dengan ujung bibirnya, manyun.

Minarni tergelak. Perempuan itu tertawa terkikik-kikik. Lalu dengan spontan Minarni menggiring suaminya untuk masuk ke dalam kamar kembali. Langkah Minarni tergesa, sementara Handoko tak bersemangat.

Di dalam kamar, Minarni lalu menanggalkan pakaiannya, termasuk beha dan celana dalamnya. Di dorongnya tubuh Handoko terjerembab ke kasur. Minarni kemudian menindih Handoko. Cukup bagian itu saja yang Anda ketahui pembaca yang budiman.
Minarni berkali-kali orgasme, tetapi anunya Handoko tetap saja ereksi. Handoko tidak sedikit pun ejakulasi.

Mata Minarni berbinar-binar karena merasakan kenikmatan bertubi-tubi. Ia akhirnya tertidur pulas, kecapaian. Sementara itu, Handoko merasakan pinggangnya pegal dan linu. Anunya Handoko masih saja dengan gagah perkasa mendongak keras menunjuk langit.
Malam pun tergelincir. Minarni masih berbinar-binar, walaupun ia juga tampak letih lantas dengan malas menyalakan lampu-lampu rumah. Di luar hujan deras mengguyur.
Sepanjang hari tadi Handoko hanya berdiam diri di rumah, ia tidak ke mana-mana. Seharian Handoko berusaha mengempeskan anunya dengan berbagai cara. Tentu sesekali dibantu oleh Minarni istrinya yang tidak melewatkan kesempatan yang melintas.

Usaha Handoko cukup keras akan tetapi sia-sia. Segala upaya pengempesan anunya yang ereksi tak membuahkan hasil. Mulai dari mengompres dengan air dingin. Menyiraminya dengan bedak gatal beraroma mint, yang diyakini mampu membuat anunya Handoko berhenti berdiri. Hingga mengolesinya dengan minyak kayu putih. Hasilnya, tetap ereksi tak berhenti dan anunya malah menjadi panas.
Karena terlampau capai, malam ini Minarni tertidur pulas sekali. Handoko tidak bisa tidur, ia bagaikan ikan belut di penggorengan. Handoko baru terlelap dalam tidur setelah hari menjelang pagi kembali. Dengan anunya yang masih ereksi.

***
Pagi datang kembali, seperti pagi kemarin yang dingin karena hujan semalaman.

“Bagaimana ini Min?” tanya Handoko kepada istrinya yang kini tidak lagi berbinar. Perempuan itu, kini jatuh kasihan kepada suaminya yang tersiksa akibat ereksi tak berkesudahan.

“Mas, kita ke dokter saja,” usul Minarni. Dan langsung diiyakan oleh Handoko.
Bergegas Minarni dan Handoko menuju garasi mobil. Handoko menggunakan sarung untuk sedikit menutupi tonjolan. Minarni mengambil alih setir mobil, ia menyupiri mobil, Handoko nyengir.

Sampailah mereka di sebuah klinik dokter. Sengaja mereka mencari dokter spesialis kulit dan kelamin, agar urusan ereksi Handoko bisa segara teratasi dengan akurat. Bukankah Handoko bermasalah dengan kelaminnya?

Dengan berat hati karena malu, Handoko turun dari mobil dengan menggunakan sarung. Minarni telah lebih dahulu masuk ke dalam klinik untuk mendaftarkan diri.
Suster yang menerima mereka mencatat nama Handoko di buku pasien. Sesaat kemudian, Handoko bersama Minarni masuk ke dalam ruang prakter dokter. Mereka tidak menyangka dokter spesialis kulit dan kelamin, berkelamin perempuan.

Handoko menjadi gelisah, keringatnya malah mengucur deras. Ia, merasakan ereksi anunya makin menjadi-jadi. Minarni kelihatan ragu-ragu, tiba-tiba menyelinap rasa cemburu di hatinya. Dalam sekejap hatinya menjadi panas tidak karu-karuan.

Minarni tidak sudi anu suaminya yang berdiri dengan gagah perkasa ditangani oleh dokter perempuan kinclong itu. Dokter itu sangat cantik, bahkan seksi. Begitulah pandangan Minarni ketika melihat dokter spesialis kelamin itu. Ibu dokter yang di hadapan mereka, lalu bertanya.

“Yang sakit, ibunya atau bapaknya?”

“Saya dok,” kata Handoko pelan sambil cepat-cepat mengangkat tangannya sedikit. Minarni menatap suaminya, nyalang.

“Apa keluhan Bapak?” lanjut dokter itu bertanya lagi. Kali ini sambil tersenyum memandang Handoko yang tersipu.

Maka berganti-gantian Handoko dan Minarni bercerita sebab-musabab keluhan Handoko. Dokter itu hanya mengangguk-angguk dan tersenyum sedikit-sedikit.
Setelah mengerti duduk persoalannya, dokter itu kemudian mempersilakan Handoko untuk berbaring di atas tempat tidur bersprei putih khas rumah sakit. Lalu suster yang mencatat nama Handoko di buku catatan pasien tadi ikut masuk ke kamar praktek. Minarni disuruh menunggu di luar kamar praktek.

Walaupun dengan perasaan cemburu yang tidak karu-karuan. Akhirnya Minarni pasrah menunggu Handoko ditangani oleh dokter perempuan itu bersama suster yang juga perempuan, di ruang tunggu.

Beberapa saat kemudian. Setelah merasa lama sekali menunggu. Minarni dipersilakan masuk ke kamar prakter dokter itu. Rupanya upaya dokter dan suster itu membuahkan hasil. Handoko terlihat lega dengan wajah berseri-seri, ceria.

Tentu saja Minarni senang melihat ekspresi suaminya yang kini tidak murung lagi akibat ereksi hebat. Dokter dan suster juga terlihat tersenyum-senyum, mungkin malu, mungkin geli. Lalu dengan tidak sabar, Minarni bertanya kepada dokter itu.
“Kenapa dengan suami saya dokter?”

Dokter itu lalu menjawab dengan pelan dan tegas, “Bapak hanya ingin kawin lagi Bu!”
Terbelalak mata Minarni mendengar penjelasan dokter kinclong itu. Lebih-lebih ketika ia melihat sprei putih khas rumah sakit itu kusut penuh dengan gumpalan cairan putih kental seperti santan. Tentu saja Anda paham cairan apa itu pembaca yang budiman.

Kemudian ditamparnya pipi Handoko sangat keras. Plak! Plok! Pipi kiri, pipi kanan. Dokter dan suster, maklum adanya. Handoko meringis lega, sambil memegang kedua pipinya yang panas akibat tamparan Minarni. Kuping Handoko berdenging.***

Senin, 01 Maret 2010

Saut Situmorang VS Hudan Hidayat, Sahabat Sejati

Ini adalah komen-komen Saut Situmorang, aku mengumpulkannya dan kusimpan dalam blog pribadiku, karena aku sangat suka perbedaan pendapat. Tetapi, aku tak suka arogansi model Saut Situmorang.


Hudan Hidayat memang Sampah Internet! Dia merusak Sastra Indonesia dengan memberikan puja-puji palsu persis kayak yang dia ejek-ejek Sapardi lakukan atas Ayu Utami. Apa pertanggung-jawaban dia terhadap mereka yang dia tipu dengan puja-pujinya itu? Dan ada persoalan apa dengan kau kalau aku bilang Hudan Hidayat itu Sampah Internet? Begitu susah dulu... See More untuk memberikan kesan bagus bagi Sastra di Internet yang dihina redaktur koran semasa dia sendiri juga melecehkan Internet, sekarang kerna aksesnya ke Media Indonesia udah gak ada lagi dan internet begitu bebas, seenaknya aja dia memanfaatkannya demi popularitas pribadi, ATAS NAMA SASTRA! ANJING DIA ITU! apa kau pikir gak gampang berbuat kayak yang dia buat itu! tapi kenapa cumak dia sendiri yang mau melakukannya! kerna cinta pada Sastra?! kerna memang bahagia dia melihat ada bakat-bakat bagus?! Cobak kau bela dia dan jelaskan di sini!

Hudan Hidayat itu kecil! karyanya pun tak penting dan cumak dibicarakan kawan-kawannya di Media Indonesia DULU kerna dia bujuk-bujuk terus! aku pun berkali-kali dia bujuk untuk bicarain ponografinya yang berjudul "Tuan dan Nona Kosong" itu, hahaha... Kacian nih makhluk. ngejek-ngejek Tardji dan Danarto cumak kerna iri mereka selalu ... See Moredibicarakan dan selalu dapat hadiah sastra! tidak lebih dari itu alasannya! Goenawan Mohamad aja kita hajar, apalagi cumak Hudan Hidayat dan para cecunguk yang berhutang budi padanya kerna dipuja-puji gak jelas! Kalau mau perang, silahkan katakan. kami dari "boemipoetra" akan dengan senang hati memerangi mereka yang merusak Sastra Indonesia!

tapi, Bamby, suatu saat aku memang pengen kali ketemu kau, hahaha... sejak kau bilang kau mau menghajar buku eseiku itu, aku jadi pengen belajar langsung ama kau, pasti kau hebat. eh, kemaren kok gak berani ke Jogja demi bukumu itu? buku sendiri harus dibela dong, di mana pun, hahaha...

INI ADALAH PEMBUKAAN CERPEN SI BAMBY YANG BARU AJA DIA TAG-KAN KE AKU:

"Cerpen saya di Majalah Story, edisi ke-7, 25 Januari - 24 Februari 2010

TANDA CINTA DARI AKHIRAT... See More
Oleh : Bamby Cahyadi

Kami adalah keluarga pertama yang menempati rumah di kompleks perumahan perbankan, di Medan. Sebuah kompleks perumahan yang diperuntukkan bagi staf sebuah bank milik negara terbesar di Indonesia. Tentu saja kami menempati salah satu rumah di kompleks itu, karena ayahku seorang staf di perusahaan bank tersebut.

Setelah mendarat di Bandara Polonia dengan sebuah pesawat Garuda Indonesia berbadan lebar, kami langsung diantar oleh seorang perwakilan perusahaan menuju kompleks perumahan itu...."

KALOK ORANG MEMBUKA CERPEN AJA KAYAK GINIAN, GIMANA MO NERUSKAN BACANYA! PERNAH BACA CERPEN SASTRA GAK YA PENULISNYA INI! HAHAHA... TAPI PASTI HUDAN HIDAYAT AKAN BILANG "KALIMAT-KALIMATNYA DAHSYAT" DAN SEGALA TAIK KUCING LAINNYA DAN BAMBY PUN JADI CERPENIS SASTRA, BUKAN CERPENIS MAJALAH FEMINA! HAHAHA...

DISAMPING BEGITU KERINGNYA KALIMAT-KALIMAT DI PARAGRAF PERTAMA ITU, COBAK LIAT MUBAZIRISME KALIMAT PERTAMA DAN KALIMAT TERAKHIR PARAGRAF PERTAMA TERSEBUT! KALOK KITA UDAH "MENEMPATI RUMAH" SEBUAH PERUMAHAN BERARTI KITA "MENEMPATI SALAH SATU RUMAH" DI SITU KAN! HAHAHA...

KEMUDIAN APA ADA RUPANYA PESAWAT GARUDA INDONESIA YANG "BERBADAN KECIL"! DAN BUAT APA INFO INI DIBERIKAN DALAM KONTEKS PEMBUKAAN CERITA ITU? APA MEMANG ADA FUNGSINYA? TAPI HUDAN HIDAYAT PASTI AKAN BILANG: WAH PESAWAT GARUDANYA KEREN, SANGAT PUITIS, DATANG DARI JIWA SEORANG PETUALANG ANGKASA SEJATI!

mo main kata-kata ama aku kau lagi, hahaha...aku gak kayak kau, obsesif dengan pendapat orang lain. kerna kau dulu yang begitu heroik di Facebook bilang mau menghajar buku eseiku kalok udah keluar, mangkanya aku ingatkan kau! itu kan janjimu, di ruang publik lagi kau teriakkan, nah sekarang buktikanlah. sederhana aja kan, hahaha...

sorry aku gak baca bukumu dan gak akan baca bukumu, hahaha... alasannya jugak sederhana: masih terlalu banyak buku bagus yang harus aku baca dan aku gak punya waktu untuk buang-buang waktu membaca karya sekedar saja, kerna pekerjaan membaca itu serius, gak kayak membaca ala Hudan, hahaha...

cerpenmu yang jelek itu udah aku tunjukkan keburukannya kan, nah sekarang tunjukkan pada sajakku di atas yang kau anggap buruk! ayo, bung, ayo, hahaha...


Hahaha... Aih, aih, au, au! Dia tahu 'anak muda' pasti akan terbakar dgn kombur omong kosong heroiknya itu tentang dia 'mengampak' yg senior2, hahaha... Baru diundang baca cerpen aja ke Salihara dia langsung puji2 TUK di Facebooknya sendiri, hahaha... Mungkin dia lupa bawa minyak angin cap Kapak nya waktu nerima undangan Sitok Sering-ek-ek itu, hahaha...

Bambino,

gak mampu alias impoten ya untuk buktiin jeleknya sajak om Saut yg kau muat di atas itu! Tapi memang itulah ciri-utama kalian para sastrahomo tuhan Hudan: GAK MAMPU JELEK2IN LANTAS MUJI2 SETINGGI LANGIT SEMUA SAMPAH KAWAN SENDIRI! ini namanya Tragedi Inteklektual dan Moral, hahaha... Orangutan di Bohorok aja kagak sehina ini, hahaha...
Bambino, hahaha... Makin mantaf kau! Gak perlu aku ladenin iri hatimu yg obsesif pengen kayak Saut Situmorang itu kan, hahaha... Kacian deh kau gampang dipsikoanalisis, hihihi... Eh, mana tuh pembuktian darimu tentang sajakKu yg kau muat di atas dan bilang karya jurnalistik itu? Aku masih nunggu neh. Siapa tau pembuktianmu sangat berguna dan aku ... See Morepakek buat revisi sajakku itu, lumayan kan buat perkembangan karier kepenyairanKu! Sampek kapankah daku musti menunggu, Bambino sayang? Jugak hajaranmu atas buku eseiku itu. Kan kau bilang udah kau baca abis buku itu, berarti udah siap dong kau menghajarnya! Janji musti ditepatin loh! Kalok nggak maka kau itu cumak kekasih homonya Hudan doang, hahaha...

Datang dong ke acara ultah Apsas kami itu. Kau anggota Apsas jugak ya? Kok bisa ya? Padahal mutu kayak kau gak pernah ada di Apsas kami, hahaha... Kok gak berani ke Jogja sih! Kerna tuhan Hudan gak ikut ya! Gimana kalok buku2 yg kau 'sumbangkan' untuk ultah Apsas kami ini aku tolak aja ya! Kan aku yg mimpin acara ini kayak kau bilang di atas, ... berarti pemimpin punya hak dong menentukan buku2 mana yg layak beredar di acaranya dan mana yg layak langsung terjun bebas ke tong sampah! Cemmana? Hahaha...

HAHAHA... PENCINTA BUKU NIH YEEE, TAPI OGAH JADI PENCINTA KEBENARAN, HAHAHA... BORJUIS BANGET, HAHAHA...