Sabtu, 03 Maret 2012

TENTANG MAYAT YANG SEDANG TERSENYUM
Oleh: Bamby Cahyadi


Ya, mayat itu ayahku.

Hari Jumat, menjelang sore. Setelah menempuh perjalanan udara dengan pesawat terbang, kami telah sampai di rumah nenek. Di sebuah kota di mana matahari terlampau dekat di ubun-ubun kepala sehingga cahaya teriknya selalu membuat mata silau.
Sebuah tenda besar berdiri sunyi di pekarangan rumah, kursi-kursi lipat dibentangkan dan disusun berjajar. Karangan bunga berjejer rapi dari mulut jalan hingga ke pintu rumah. Beberapa bendera kertas berwarna kuning berkibar-kibar sendirian di setiap ujung jalan.

Wajah ayah tampak pucat, warna kulitnya serupa kapas, putih dan bersih, ketika kami membuka tutup peti jenazah di mana ayah terbaring dengan tenang. Aroma formalin langsung menyeruak berhamburan di antara bau kembang melati dan bubuk kopi.

Ekspresi wajah ayah sungguh memukau, ia terlihat hanya sekadar tertidur lelap. Tapi ia juga tampak seperti tersenyum. Sudut-sudut bibirnya membentuk lekukan indah yang sangat kami kenal dengan baik. Senyuman tulus dan penuh kehangatan.

Mana mungkin senyum mayat yang beku bisa melumerkan suasana kesedihan yang mengental ini menjadi sebuah keriangan yang menghangatkan? Aku menyusut airmata yang kembali meleleh membanjiri pipiku dengan punggung tangan. Ibu menatap tanpa berkedip pada wajah ayah yang sedang tersenyum itu. Tatapannya kosong. Hampa. Penuh kepedihan, pun penuh pengharapan.

Aku tahu, ibu berharap ayah akan membuka kelopak matanya, menggerakkan kepala, tangan dan kakinya. Lantas ayah melompat dari peti itu dan ia berbicara pada kami dengan candaan khasnya dan tentu saja diselingi tawanya yang keras. ”Hei, kenapa kalian bersedih?” Aku pun mempunyai pengharapan seperti yang ibu dambakan. Kulihat kakakku bersimpuh di depan peti jenazah, ia menudukkan kepala sangat dalam, ia enggan melihat ayah yang sedang tersenyum. Mungkin kakakku terlampau sedih, ia pasti berharap yang dialaminya hanya mimpi buruk yang terjadi saat tertidur.

Celakanya kami tak sedang tidur, apalagi bermimpi. Kenyataannya ayah telah mati tadi malam, jantungnya tak berdetak lagi, kini ia terbujur kaku dalam peti mati. Sebentar lagi tubuhnya akan musnah ditelan bumi. Dilumat tanah dan dimakan cacing.
Pelayat yang lain mulai terisak-isak, mereka memandang ayah dengan mata nanar yang sekujur tubuhnya telah dikafani itu. ”Ia orang baik,” gumam beberapa orang sambil memegang pundak dan kepalaku. Aku makin sedih, aku kembali menangis tersedu-sedu. Ayah telah mati. Nenek memelukku untuk memberi kekuatan.

”Jangan sedih, jangan sedih! Ikhlaskan ayahmu,” kata nenek dengan suara tegas bergetar. Tapi airmata nenek malah berlinang-linang, sekelebat aku melihat kesedihan yang sama di bolamatanya ketika kakek meninggal tiga tahun yang lalu.

***
Rabu sore. Wajah ayah tampak sumringah, ia banyak tersenyum hari ini, hingga bibirnya yang kering tertarik lebar. Sesekali ia tergelak dengan suara tawa yang membahana di ruang tamu yang tak begitu luas. Ibu pun tak mampu menyembunyikan rasa bahagia, berkali-kali ibu mengucapkan kata syukur. Ibu menyeduh segelas kopi untuk ayah dan sirup jeruk untuk kami. Ya, ayahku baru saja naik jabatan menjadi Kepala Bagian di kantornya.

Aku dan kakakku bersorak-sorai, kami melonjak-lonjak kegirangan di ruang tamu sambil berteriak-teriak senang. Tentu saja kami sangat gembira, ayah naik jabatan berarti uang jajan kami akan bertambah. Kurasa itulah yang membuat aku dan kakakku bersorak-sorai. Dengan tambahan uang jajan, setidaknya aku bisa nonton film lebih sering di bioskop dengan teman-teman tatkala liburan sekolah. Kakakku akan lebih banyak membeli buku-buku bacaan sebagai koleksinya.

Ayah lantas berceloteh tentang fasilitas tambahan yang akan ia terima. Mobilnya yang semula Katana akan diganti jadi Avanza. Paling tidak, aku dan kakakku tak akan lagi sembunyi-sembunyi dan diam-diam menyelinap naik mobil saat ayah menjemput kami. Begitu kata ayah.

Ya, memang. Terkadang aku begitu keterlaluan, karena mobil ayah hanya sebuah jip Katana, saat ayah menjemput aku pulang sekolah apabila ada pelajaran tambahan, aku suka sembunyi-sembunyi sambil mengendap masuk ke dalam mobil tersebut. Maklum, sekolahku sekolah favorit, sekolah anak-anak orang kaya dan pejabat. Saat bubaran sekolah, mobil-mobil mewah berseliweran menunggu jemputan. Mobil ayah akan tampak butut di tengah kemegahan mobil-mobil yang lain. Terus terang aku malu.

Ayah pun maklum, apabila ia menjemputku, ia akan parkir di ujung jalanan sekolah. Sebenarnya, aku lebih suka pulang naik kendaraan umum seperti naik bus atau mikrolet, sesekali naik taksi. Tapi apabila ayah tak bermain tenis bersama teman-temannya di sore hari, maka ia dengan senang hati menjemputku pulang sekolah ketika aku ada pelajaran tambahan.

Mobil baru ayah, akan diserahkan besok oleh pihak kantor. Ayah berencana akan menjemputku besok tepat di depan gerbang sekolah dengan mobil baru. Aku dan ayah tampaknya tak sabar menunggu hari esok tiba. Kukira ibu dan kakakku pun berharap hari ini lebih cepat bergulir. Kami berharap hari Kamis segera menjelma. Karena hari esok adalah sebuah harapan baru bagi perjalanan karir ayah di kantor.
Namun sebelum tidur, aku berpikir untuk mengubah rencana.

***
Sekarang matahari telah tenggelam di ufuk barat. Pendar warna senja mulai melindap. Langit menjadi temaram dan kegelapan malam mulai membutakan segalanya.

Tubuh manusia bisa musnah ketika ia tak bernyawa lagi. Seperti tubuh ayah. Tubuh ayah diangkat oleh beberapa kerabat dari dalam peti ke atas kasur yang telah diselimuti kain batik warna gelap bercorak kelam. Di sudut-sudut ruangan bubuk-bubuk kopi ditabur dalam mangkok-mangkok terbuka. Seikat kembang melati tertata rapi di sebuah vas keramik berwarna putih. Beberapa kelopak melati gugur di atas karpet-karpet yang digelar di lantai.

Suara orang-orang mengaji tumpang-tindih dengan suara isak tangis kerabat dan saudara yang baru saja datang melayat. Mereka tak menyangka ayahku berpulang secepat ini. Aku dan kakakku duduk bersila kelelahan di lantai. Kami belum tidur sejak semalam, di pesawat terbang tadi, akibat badai yang menerjang, kami benar-benar terjaga sepanjang perjalanan udara yang menyedihkan itu. Rasanya kami pun masih belum percaya, kami berada di rumah nenek untuk mengantar ayah ke liang lahat.
Padahal empat bulan lalu, kami berkumpul di tengah ruangan ini dengan suka-cita, merayakan lebaran bersama nenek dan sanak-saudara dari pihak ayah dan ibu. Makan ketupat, opor ayam dan berebutan uang angpao lebaran. Kini kami bersimpuh dalam duka-cita. Oh, pantaslah sewaktu di pesawat tadi kami sepakat berdoa bersama agar pesawat yang membawa kami jatuh terhempas badai. Agar kami mati bersama ayah. Agar kami tetap menjadi keluarga yang utuh walaupun di alam kematian. Bukankah, jiwa tak pernah mengenal mati? Biarlah, jiwa-jiwa kami lepas dari jasad dan kami bertemu dalam kehidupan yang abadi. Bersama ayah.

Dengan suara lirih aku mulai bercakap-cakap dengan kakakku. Kami berbincang-bincang, sambil mengingat-ingat kejadian hari Rabu sore kemarin ketika ayah menyampaikan kabar ia dipromosikan menjadi Kepala Bagian.

”Kak, aku rasa hari Rabu kemarin adalah hari yang sangat membahagiakan,” kataku. Kakak memandangku. Kakakku tak menjawab, ia diam, tapi bibirnya tampak bergerak-gerak.
”Justru aku merasa hari itu hari yang sangat menyedihkan,” lirih kakakku.
”Kenapa begitu, Kak?” tanyaku.
”Terus terang waktu kita berteriak-teriak kegirangan, mendadak hatiku begitu pilu. Aku tiba-tiba merasa suasana yang mencekam, Dik,” jawab kakakku.
”Kenapa Kakak tidak cerita padaku, atau cerita pada Ibu?” sergahku.
”Aku tak mau merusak kebahagiaan kabar baik dari Ayah, itu saja. Mungkin juga itu firasat,” tandasnya, sambil memeluk lututnya.
”Kak, aku menyesal pulang terlambat,” kataku tercekat.
”Sudahlah, Dik, semua telah terjadi,” gumam kakakku.
Kami pun bergeming dengan pikiran masing-masing. Rasa penat tak kuasa kutahan. Kelopak mataku begitu berat karena kelelahan menangis sepanjang hari. Lepas magrib nanti, jenazah ayah akan dikebumikan di pemakaman keluarga yang hanya berjarak dua kilometer dari rumah nenek.
Tiba-tiba suasana menjadi hening. Aku mendengar suara misterius dari ruangan ini. Suara itu jelas terdengar dari tempat di mana mayat ayah terbaring. Aku segera menengadahkan wajah, memandang ke arah suara itu berasal, dan aku melihat sesuatu yang membuat darahku beku. Sesuatu yang serba putih berkelebat.
Darahku seperti terkesiap, aku melihat dengan jelas ayah bangkit dan bergerak cepat melintas di ruangan, ayah mendatangi ibu lalu memeluk dan menciuminya. Mendatangi nenek dan mencium tangan nenek, ayah terus bergerak cepat seolah khawatir keberadaannya diketahui seseorang. Ia lantas mendatangi kakakku, ayah memeluk kakakku dan mencium dahinya penuh kasih sayang. Kini tiba giliranku.
Aku melompat ke arah ayah tanpa menunggu ayah menghampiriku, aku ingin memeluknya, aku ingin minta maaf padanya. Aku memang nakal dan suka merepotkan dirinya. Aku hanya ingin bilang padanya, ”Ayah jangan mati. Kami membutuhkanmu!”
Jantungku berdetak dengan cepat ketika ayah melangkah ke arahku, kakinya begitu ringan, wajah ayah yang pucat kini tampak bercahaya, terang-benderang. Dan menghilang! Aku tersentak. Ruangan kembali gaduh oleh orang-orang mengaji diselingi isak tangis para pelayat. Di beranda, keranda telah disiapkan. Suara sirine meraung-raung dari mobil jenazah menuju pemakaman.
”Ayah! Ayah! Ayah!” jeritku histeris. Ketika tubuh ayah tertimbun tanah di liang lahat.
***
Kamis pagi. Kami sarapan bersama, seperti biasa ibu dengan cekatan menyiapkan menu sarapan. Tiga butir telur ayam kampung setengah matang, nasi goreng sosis, beberapa tangkup roti berselai cokelat. Minuman untuk ayah secangkir kopi panas, untuk kami masing-masing segelas susu krim. Minuman sehat yang terkadang membuatku mual ingin muntah. Tapi ibu selalu setia menyediakan segelas susu untuk kami. Demi pertumbuhan kami, begitu kata ibu.
Ayah tampak bersemangat mengunyah roti berselai cokelat sambil menyeruput kopinya.
”Kamu nanti Ayah jemput ya, pakai mobil baru, hehehe,” ujar ayah tertawa senang.
Sesuai rencana yang telah kupikirkan semalam, ayah tak perlu menjemputku pulang sekolah setelah pelajaran tambahan nanti. Aku malu, nanti teman-temanku menyangka aku pamer-pamer mobil baru pada mereka. Apa kata Yopi, Turman dan Panca, ketika melihat mobil Katana berubah menjadi Avanza. Ya, sudahlah, kupikir ayah tak perlu menjemputku nanti.
”Yah, aku nggak usah dijemput. Aku pulang pakai bus bareng teman-teman,” kataku.
”Lho, kamu gimana sih? Katanya ingin merasakan mobil baru,” balas ayah tersenyum. Ia terdiam sejenak memandangiku seolah ingin meyakinkan perkataanku padanya. Aku mengangguk. ”Ya, sudah, jadi kamu nggak perlu Ayah jemput,” lanjut ayah. Aku menjawabnya dengan senyuman.
Ayah lantas beranjak, menemui ibu. Ayah pamit menuju kantor. Karena arah sekolah kami tidak searah dengan kantor ayah, maka aku dan kakakku ke sekolah menggunakan bus atau mikrolet dari depan komplek rumah.
Begitulah, saat sarapan pagi itulah aku terakhir menyaksikan ayah sebagai tubuh yang bernyawa.
Aku tak menyangka, akibat ulahku pulang terlambat selepas pelajaran tambahan di sekolah, kini aku kehilangan sosok yang sangat kusayangi. Aku tergoda bujukkan Yopi, Turman dan Panca mengajakku jalan-jalan ke mal dan nonton film.
Karena aku terlambat pulang hingga larut malam, ibu sangat cemas, maka ibu menyuruh ayah menjemputku. Tapi aku sudah lebih dulu menuju mal untuk nonton. Ketika ayah tiba di sekolah, halaman sekolah telah kosong dan hari telah gelap.
Saat itulah seseorang mendekati ayah, lalu orang tersebut mengajak ayah berbincang-bincang. Entah bagaimana caranya, orang itu ikut masuk ke mobil baru ayah, lantas mengajak ayah berputar-putar.
Rupanya orang tersebut berniat jahat, ia hendak merebut mobil ayah. Mungkin ayah melawan. Beberapa tusukan senjata tajam menghujam ulu hati ayah. Saat ayah tak berdaya, orang tersebut membuang ayah selayak sampah tak berguna di pinggiran jalan. Mobil ayah pun lenyap bersama nyawanya.
Kabar tersebut diceritakan secara kronologis oleh petugas kepolisian, berdasarkan asumsi sementara di tempat kejadian perkara, usai kami menemui ayah yang terbaring kaku di ruang Unit Gawat Darurat rumah sakit dengan perutnya yang penuh genangan darah. Kami hanya bisa menangis sejadi-jadinya.
Baiklah. Itulah kisah yang dapat kututurkan pada kalian, apabila kalian bertanya, ”Kenapa ayah meninggal?”
Ya, ayahku mati dibunuh. Ditikam. Ulu hatinya berlubang!
Suatu perasaan pilu yang tak bisa kuberi nama. Sebuah kehilangan yang takkan bisa tergantikan. Ayahku meninggalkan kenangan yang tak pernah pupus dalam ingatan. Ia masih sempat membentuk lekukan senyum di sudut-sudut bibirnya, meskipun sebagai mayat.***

Jakarta, 11 -1-11

Tidak ada komentar: