Minggu, 04 Agustus 2013
Pagi Ini Luar Biasa (Cerpen dimuat di Tribun Jabar)
PAGI YANG LUAR BIASA
Oleh: Bamby Cahyadi
Aku lelaki yang serba biasa. Mungkin biasa kalian lihat saat berada di bus kota, gerbong kereta api kelas ekonomi, di pasar, di trotoar, atau di mana saja. Saat kalian melihat seorang lelaki yang biasa-biasa saja melintas tak ada istimewanya di pelupuk mata kalian, itulah aku! Aku karyawan rendahan di sebuah perusahaan ekspedisi kecil yang letaknya di tengah kota yang sibuk. Aku kerap memakai kemeja berwarna putih yang sudah menguning dan celana bahan yang serba kedodoran. Tubuhku ceking, selayaknya lelaki yang memang biasa-biasa saja.
Setiap pagi, untuk menuju ujung gang ke jalan raya, biasanya aku berebutan jalan dengan tukang sayur gerobak, tukang ketoprak, anak-anak kecil berseragam sekolah, ibu-ibu yang menyusui anaknya di pojok gang dan pengendara sepada motor yang serobot sana serobot sini. Sampai di ujung gang, sebuah jalan raya yang dipadati oleh angkot telah membentang. Aku menggunakan angkot untuk menuju terminal Lebak Bulus.
Angkot yang kutumpangi ini sepi penumpang. Hanya ada seorang perempuan muda duduk di jok depan di samping sopir–agar merasa aman barangkali–padahal sang sopir berkali-kali melirik bagian payudara perempuan itu dengan mata berahi. Tentu saja di angkot ini ada sang sopir bermata keranjang. Bibir sang sopir yang kering menjepit rokok yang sudah berupa puntung.
Penumpang lain adalah dua remaja berseragam SMP yang baru saja turun dari angkot, lalu membayar ongkos seadanya, tangan sang sopir menjulur mengambil dua lembar uang ribuan, lantas sang sopir ngomel-ngomel tak jelas, sembari ujung sikutnya berusaha menyentuh ujung dada perempuan penumpang angkot di sebelahnya.
”Maaf tidak sengaja,” katanya ketika perempuan itu mendelik.
Begitulah kejadian yang biasa terjadi saat di angkutan kota atau angkutan umum yang lain. Tapi nanti dulu, ada hal yang tak biasa di angkot ini. Di ujung jok belakang tergolek sebuah kantong kresek berwarna hitam. Naluriah saja, aku lantas mengambil kantong kresek itu, sambil berkata pada sopir angkot, ”Bang, ada kantong kresek ketinggalan nih!”
”Ah, palingan isinya sampah, buang aja, Mas!” ujar sopir tanpa sedikit pun menoleh padaku. Matanya masih terus menghunjam dada penumpang perempuan di sampingnya.
Mungkin bagi sopir angkot kantong kresek yang tertinggal di mobilnya selalu isinya sampah atau barang tak berguna. Bisa jadi bagi mereka itu hal biasa, maka kantong kresek itu tak menarik perhatiannya kecuali payudara perempuan itu.
”Tapi kayaknya bukan sampah deh, Bang,” kataku.
”Kalau gitu, Mas ambil aja, barangkali isinya duit ha..ha..ha...!” Ia terkekeh.
Baiklah, karena aku meyakini kantong kresek ini bukan berisi sampah, lagi pula sesuatu di dalamnya cukup berat maka aku langsung memasukkannya ke dalam ranselku.
Sampailah aku di terminal Lebak Bulus. Melanjutkan perjalanan ke kantorku di Pasar Baru. Pilihanku seperti biasa, bus ekonomi. Akan tetapi sebelum aku naik ke salah satu bus yang bersiap untuk meluncur, aku teringat kantong kresek warna hitam yang ada di ranselku.
”Apa isinya ya?” batinku.
Karena rasa penasaran yang bertubi-tubi, tak kuhiraukan bus yang akan berangkat itu. Toh, masih ada bus berikutnya, pikirku.
Terus terang baru kali ini aku melakukan hal tak biasa, mengambil sesuatu yang bukan hak milikku. Meski aku pegawai rendahan, gaji kembang-kembis, ngutang sana-sini, tak pernah makan enak dan hidup sederhana. Aku tak pernah mengambil yang bukan hakku. Tidak seperti, pejabat korup di negeri ini. Berdasarkan desakan hati nurani, aku harus membuka isi kantong kresek ini di WC terminal. Di dalam bilik WC yang beraroma pesing akibat kencing tak disiram, aku keluarkan kantong kresek itu dari ranselku.
Ransel kukaitkan pada sebuah paku berkarat yang ditancap di kusen pintu, kini aku leluasa mengeluarkan isi kantong kresek ini. Meski isinya sampah tak berguna, paling tidak hasrat penasaranku segera sirna. Saat kurogoh kantong kresek itu, aku menyentuh bungkusan dari lembaran koran bekas yang dibungkus secara serampangan.
”Sampah beneran ini,” gumamku memandangnya kecewa. ”Tapi, kenapa isinya cukup berat ya?” tanyaku dalam hati. Isi bungkusan ini seperti logam berat, aku menimang-nimangnya.
”Jangan-jangan emas batangan?”
Napasku terasa sesak menyumbat batang tenggorakanku saat membuka lembar demi lembar lilitan pembungkus kertas koran dari benda yang ada di dalamnya. Kertas koran pembungkus berjatuhan di lantai WC yang kotor. Sungguh mengejutkan benda yang kini berada di genggamanku. Bikin darahku berdesir dan serasa lunglai tulang-belulangku. Sepucuk pistol!
Aku benar-benar panik, tak pernah seumur hidupku memegang sebuah pistol yang berasa sangat dingin di genggamanku ini. Lantaran dilanda kepanikan yang amat sangat benda itu jatuh dan masuk ke dalam lubang kloset toilet. Keringat dingin menetes perlahan di pelipisku. Napasku memburu. Pistol yang terjatuh ke lubang kloset itu cukup besar, sehingga tak langsung nyemplung di lubang kotoran yang menjijikkan itu.
”Ambil tidak, ambil tidak, ambil tidak, ambil....!”
Dengan tergopoh-gopoh kupungut kembali pistol dari lubang kloset, tanpa membersihkannya terlebih dulu. Pistol itu langsung aku masukkan ke dalam tas ransel yang kugantung di paku kusen pintu. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum keluar dari WC. Saat keluar WC petugas memandangku penuh kecurigaan dan hal-hal negatif dalam pikirannya. Samar-samar kudengar petugas WC itu berkata, ”Kalau onani jangan di sini dong!”
Aku tak peduli, sambil berlari kecil menaiki sebuah bus kota yang sudah merayap meninggalkan terminal Lebak Bulus yang gegap-gempita.
Di dalam bus yang penuh sesak seperti di kamp pengungsian, jelas aku tak mendapat tempat duduk. Aku berdiri di dekat pintu bus yang berjalan terseok-seok wajahku diterpa kesiur angin semilir. Aha, Sesuatu yang biasa rupanya sedang terjadi di dalam bus yang sarat penumpang ini. Ada copet yang sedang beraksi!
Kulihat tiga orang copet sedang beraksi, mereka dengan arogan menggerayangi isi tas beberapa penumpang perempuan dan mencongkel dompet-dompet penumpang laki-laki yang tampak tak berdaya melihat keberingasan mereka. Dompet, HP, BB, dan barang berharga lainnya berpindah kepemilikkan. Tak seorang pun berani berteriak atau melakukan perlawanan. Tersebab ketiga copet ini memegang senjata tajam dan memperlihatkan tampang garang. Seperti biasa aku pun memilih untuk diam, seolah peristiwa itu tak sedang terjadi.
Suasana di dalam bus benar-benar bagai di neraka. Semua penumpang terdiam, merasa tertindas ulah kawanan pencopet yang beroperasi bagai hantu di pagi hari. Mereka beraksi tanpa suara. Penumpang pun memilih tak bersuara, daripada nyawa mereka menjadi ancaman. Ini benar-benar seperti operasi senyap yang mencekam.
Mendadak aku teringat sesuatu. Mendadak nuraniku berkata, kejahatan harus dilawan! Ya, harus dilawan. Hal ini tak boleh jadi kebiasaan bagi kawanan pencopet itu, tak boleh jadi kebiasaan bagi para penumpang yang memilih pasrah. Kebiasaan ini harus dienyahkan, paling tidak untuk pagi ini. Aku memiliki sepucuk pistol. Meski aku tak tahu apakah pistol yang tadi kutemukan dalam angkot berisi peluru atau tidak. Paling tidak aku punya pistol, kawanan copet itu hanya berbekal sebilah belati. Maka dengan keberanian yang entah datangnya dari mana, aku menerabas ke dalam bus yang sesak sambil merogoh pistol dalam tas ranselku.
”Angkat tangan!” teriakku pada ketiga pencopet itu sambil menodongkan moncong pistol ke jidat salah satu copet.
”Buang pisau kalian, buang hasil copetan kalian!” bentakku dengan suara bergetar. Sejujurnya aku takut sekali apabila mereka melawan.
Sejurus kemudian, aku menyaksikan betapa wajah-wajah copet yang garang itu mendadak putih seperti kehilangan darah. Nyali mereka melindap. Muka mereka pucat pasi dengan raut ketakutan. Tangan mereka gemetaran dan dengan refleks mereka membuang pisau belati dan hasil jarahan.
”Ampun Pak, ampun Pak, kami minta ampun!” mohon mereka bertiga mengiba-iba.
Melihat situasi di atas angin, penumpang yang lain beramai-ramai menggebuki, memukuli, menendangi, menghantami, menjambaki, mencakari, meludahi, dan pada akhirnya membuang ketiga copet itu ke jalanan setelah kondisi mereka tak keru-keruan lagi. Apakah mereka masih bernyawa? Aku tak tahu, semua orang pun tak perduli.
Bus kota terus melaju, seolah tak terjadi apa-apa yang baru saja terjadi. Semua kembali seperti biasa. Ada sesuatu yang tak biasa dari pandangan orang-orang padaku. Aku baru saja dieluk-elukkan oleh mereka bak pahlawan. Mereka, para penumpang mengira aku seorang detektif polisi yang tengah menyamar untuk memberantas aksi-aksi para copet yang memang sudah keterlaluan meresahkan penumpang. Saat aku turun dari bus di terminal Senen, sebagian penumpang memberikan tepuk tangan yang sangat meriah. Hatiku berbunga-bunga adanya.
Dari terminal Senen, aku melanjutkan perjalanan menuju Pasar Baru dengan metromini, sampai di perempatan Pasar Baru aku turun dan berjalan kaki menuju kantorku yang sederhana, yang tampak mungil dihimpit bengkel motor dan Warung Tegal. Sesampainya di kantor, atasanku langsung memerintahku untuk mengambil sebuah paket kiriman barang di sebuah bank yang letaknya tak jauh dari kantor.
Tentu saja dengan cekatan aku berjalan kaki ke arah bank yang dimaksud sembari masih memanggul tas ransel yang di dalamnya terdapat sepucuk pistol yang membuat pagi ini menjadi pagi yang tak biasa-biasa lagi bagiku. Pagi yang manis. Sesampai di bank, aku menunjukkan secarik kertas alamat kepada satpam. Lantas aku dipersilakan menemui seseorang yang mungkin kepala cabang di bank tersebut. Aku masuk ke sebuah ruangan, di sana telah menunggu sang empunya barang yang akan menitipkan barang kirimannya kepada perusahaanku. Seorang perempuan setengah baya yang tampak anggun dengan setelan blazer warna cerah.
Ia menyerahkan sebuah bungkusan kepadaku. Aku menerimanya dengan takzim. Agar barang tak tercecer aku memasukkan dalam ransel, aku membuka ritsleting ransel, pada saat itulah sepucuk pistol yang ada di dalam ranselku loncat, lantas menggelinding di lantai, tergeletak beku.
Dalam sekejap, perempuan itu berteriak-teriak histeris.
”Rampok, rampok, rampoookkkk!”
Sebelum ia jatuh pingsan, aku telah diringkus oleh satpam tanpa perlawanan. Kulihat moncong pistol itu seperti tersenyum padaku. Senyuman yang seperti berkata, ”Sungguh pagi ini, pagi yang luar biasa! ***
Jakarta, 12-12-12
Bamby Cahyadi, lahir di Manado, 5 Maret 1970. Bergiat di Komunitas Sastra Jakarta (Kosakata). Kumpulan Cerpen Terbarunya, Kisah Muram di Restoran Cepat Saji (Gramedia Pustaka Utama, 2012).
DIMUAT DI TRIBUN JABAR, April 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar