Cahaya bulan tak pernah tampak, dan jalanan kini begitu
lengang. Toko-toko telah lama tutup, lampu-lampu taman pun sudah dipadamkan.
Aku melesat dengan sebuah mobil kekar buatan Jepang, membelah malam, menyingkap
paksa tirai gerimis yang terus berderai. Mobil ini bagai kuda besi yang
berderap-derap melaju di padang rumput yang basah dan sunyi.
Saat ini jarak
adalah sesenti demi sesenti yang menyiksaku. Jarak antara aku dan kau. Mobilku
terus melaju kencang. Berpacu, berpacu, berpacu! Jangan sampai terlambat. Musik
kusetel kencang-kencang, terdengar musik ala R&B David Guetta dari sebuah
stasiun radio swasta yang tak pernah berhenti mengudara. Stasiun radio itu
telah mengubah informasi kemacetan lalu-lintas menjadi hiburan yang
ditunggu-tunggu pendengarnya.
Saat kita terakhir bertemu–beberapa jam lalu–kau mengenakan
kaus dan celana jins, meskipun pakaianmu tak minim, dadamu begitu besar hingga
membuat kausnya terenggang ketat
Aku menatapmu takjub dan bersiul spontan saat kau
mendekatiku. Aku mohon maaf, bukannya aku lancang melakukan sebagian aktivitas
pelecehan seksual yang jelas-jelas tercantum dalam peraturan perusahaan. Sampai-sampai tatapanku
seperti menjelajahi sekujur tubuhmu. Terus terang tatapanku terkunci pada
setiap lekuk tubuhmu. Masa bodoh dengan peraturan perusahaan, aku rela menerima surat peringatan
karena memandangmu dengan pukau. Pura-pura tak melihat belahan dadamu dibalut
kaus ketat adalah tindakan lelaki bodoh.
Berkat kompromi kita minum di sebuah restoran
yang berdekatan dengan toko buku di sebelah tenggara kantor selepas jam kerja. Aku banyak merayumu
sepanjang minum bergelas-gelas red wine
kegemaranmu. Jujur aku kurang suka wine,
minuman itu membuatku cepat mengantuk. Pilihanku sebenarnya pada vodka, itu lebih mantap, membuatku lebih
lepas. Sambil mencicipi menu makan tapas,
aku melontarkan ucapan-ucapan gombal yang paling dahsyat.
Matahari menjelang terbenam ketika aku dan kau meninggalkan
restoran itu dan melangkah memasuki sebuah toko buku di pojok jalan. ”Aku
mencari sebuah novel,” katamu. ”Novel?” tanyaku.
Sekolom cahaya jatuh ke lantai toko buku saat kami
memasukinya.
Lampu-lampu halogen digantung pada kait-kait besi di
dinding membuat rak-rak kayu bermandikan cahaya. Dinding toko buku terbuat dari
batu-batu kasar ditumpuk rapat saling menempel membentuk sudut miring. ”Pantas
kamu memilih toko buku ini untuk mencari novel, ah novel apa tadi?”
”Aku belum menyebutkan judul novel yang kumaksud, Tio,”
jawabmu sambil berpaling tersenyum padaku yang berjalanan di belakangmu. Aku
begitu menikmati dirimu, menikmati wewangian Boss Nuit Pour Femme nan
sensual.
Aku terus mengekormu, memandang pantatmu yang elok dan
begitu padat terbungkus jins yang beruntung itu menuju suatu koridor. Kau
berbelok di sudut lain koridor dan segera memasuki sebuah ruang.
”Novelnya ada di sini!” cetusmu sambil menunjuk ruangan
yang kita masuki.
Matamu berbinar-binar ketika novel itu kau ambil dari
raknya. Novel yang cukup tebal, bisa dipakai sebagai senjata beladiri disaat terdesak.
”Haruki Murakami, 1Q84!”
ujarku spontan.
”Yup!” katamu mantap,
memandang sampul novel itu.
”Aku sudah baca buku
Murakami yang lain... Norwegian Wood dan Dunia Kafka, hanya dua itu, karya dia yang lain belum baca, yang
itu juga belum,” kepalaku menjulur menunjuk ke arah buku yang kau pegang dengan bahagia.
Tiba-tiba kau berkata,
dan perkataanmu membuatku terkejut namun tak mampu kutahan tawaku, kerena
kupikir kau bercanda.
“Tio, aku akan masuk ke dalam buku ini. Aku adalah tokoh
utama novel ini!”
”Hah?” Aku terperangah dan terdiam sejenak. Lantas aku
tergelak. Beberapa pengunjung toko mengeluh. Seorang dari mereka, perempuan
separuh baya yang terlihat memesona karena memakai gaun rancangan desainer
terkenal, kuduga. Ia melotot dan mendesis. Ia menaruh jari telunjuknya tepat
pada bibir yang dibuat melancip.
”Maaf!” seruku.
Ketika itu kau mendadak lenyap dari pandanganku. Kau benar-benar
hilang. Hanya
sebuah buku tebal Murakami yang jatuh berdebam lantas tergolek di lantai toko buku ini. Plastik
pembungkusnya terlepas, dan novel tersebut dalam keadaan terbuka.
”Aurora!” jeritku.
Pengunjung toko yang menyaksikan kau mendadak lenyap masuk
ke dalam buku, tercekat. Perempuan anggun yang tadi melotot dan mendesis padaku
berteriak histeris, lantas pingsan. Ia benar-benar melihatmu hilang dan masuk
dalam novel itu seperti kesiur angin yang menyelinap di celah jendela.
Aku memungut novel Murakami dan bergegas menuju kasir untuk
membayar novel tebal ini. Kasir itu ragu-ragu ketika ia menindai novel Murakami
ini, karena ia tahu, kau ada di dalam buku ini sekarang! Aku cepat-cepat pergi meninggalkan toko. Berharap
dengan cemas, aku sekadar bermimpi saja.
Di luar toko, gumpalan awan kelabu seakan berpagut dengan
pucuk-pucuk gedung pencakar langit, senja cepat berganti malam. Aku berlari menuju parkiran mobil diiringi hujan
gerimis yang siap menderas. Di dalam mobil hanya menggunakan penerangan minim segera
kubaca novel tebal ini untuk melacakmu.
Setelah membaca beberapa halaman novel ini, aku tahu cara
menyusulmu, Aurora. Aku tahu, sangat tahu. Tunggu aku di tahun 1984!
Pukul sebelas malam. Sebenarnya aku cukup gusar, menatap nanar novel Murakami yang ada
di tangan kiriku, tangan kananku mencengkeram erat setir mobil seraya terus mencari celah
cahaya untuk menembus ruang dan waktu. Aku berkendara melewati Cawang. Memutar
arah untuk lewat jalan tol, lantas mobilku melenggang di jalan tol yang lengang
ke arah Bogor.
Wiper kaca mobil berdesir-desir menyingkap tetesan hujan yang
terus menerus menimpa kaca mobilku. Pikiranku melayang pada novel ini lagi.
Jadi kau sekarang menjelma, Aomame,
nama tokoh utama perempuan dalam novel ini. Seorang instruktur kesehatan (cocok
sekali dengan tubuhmu yang bugar dan aduhai itu), dan kau seorang pembunuh
bayaran tanpa ampun. Ya ampun, mengerikan sekali! Aurora, maksudku, Aomame, sadar kah kau, dalam cerita itu kau
telah berpindah ke dunia surealis dan kau sendiri tak pernah tahu jawabannya.
Dunia di mana ditandai dengan meningkatnya jumlah bulan menjadi dua. Makanya,
Murakami menyebutnya 1Q84. Plesetan
tahun 1984 itu dijadikan judul novel ini, cerdas sekali ia!
Baiklah, baiklah. Satu-satunya cara menemuimu, aku harus
menjadi Tengo. Tokoh lelaki novel
sialan ini. Entah kebetulan, entah tidak. Tokoh perempuan bernama Aomame, kau Aurora. Aku Tio, nama tokoh
novel ini Tengo. A ketemu A. T jumpa
T. Ya, kubaca tadi, Tengo berprofesi
guru matematika dan penulis lepas. Ia menerima tawaran dari seorang editor
untuk menjadi ghost writer dengan
menulis ulang karya berjudul Air Chrysalis (Kepompong Udara) milik gadis aneh berusia 17 tahun bernama Fuka-Eri. Sejak itu banyak masalah muncul dalam kehidupan Tengo (kalau aku bisa sampai pada tahun
1984, berarti ia itu diriku). Dan masalah memuncak, ketika Tengo sadar bahwa dunianya mendadak berubah persis seperti apa yang
dituliskannya dalam Air Chrysalis, di
mana jumlah bulan meningkat menjadi dua.
Imajinasi yang luar biasa bukan? Brengsek benar Murakami,
ia telah mencuri kau dariku, Aurora. Kini ia memaksa aku memasuki tahun 1984,
dengan cara memacu mobilku sekencang-kencangnya, membelah jalanan malam yang
kelam, tepat pukul nol-nol, akan ada seberkas cahaya yang harus aku terobos, saat aku sudah melintas pada cahaya itu dengan
kecepatan tinggi tentunya, aku akan sampai di tahun 1984, tahun di mana latar
kisah karya Murakami ini terjadi.
Seberkas cahaya tampak terang benderang di ujung jalan tol
ketika aku melewati wilayah Cibinong. Aku pacu mobil ini semakin kencang,
semakin cepat, sekencang-kencangnya bagai kilat halilintar, dan aku, hilang! Melesat cepat dan hampa.
Langit merendah dan membungkus kami. Sekarang aku paham
kenapa Aurora masuk ke dalam buku, kenapa aku bersusah payah menembus masa lalu
di tahun 1984. Karena aku dan Aurora harus menjadi manusia yang hampa, yang tiada,
yang kosong, agar jarak bukan lagi sesenti demi sesenti yang menyiksa. Agar kami menjadi imajinasi.
Bagi seorang pencerita, rasanya ideal sekali jika cerita kami
berakhir dengan luar biasa. Akhir yang membahagiakan. Kalian menahan napas
menanti hal itu di akhir cerita ini bukan? Kedengarannya bagai dongeng saja. Tapi ini sama
sekali bukan dongeng. Percayalah.***
Cerpen ini terinspirasi dari Novel 1Q84 karya Haruki Murakami
Jakarta, 5 Maret 2013 – 1 Januari 2014
Bamby Cahyadi. Lahir di Manado, 5 Maret 1970. Bergiat di Komunitas Sastra Jakarta
(Kosakata). Menulis cerpen di berbagai koran dan majalah. Kumpulan Cerpennya, Tangan untuk Utik (2009) dan Kisah
Muram di Restoran Cepat Saji (2012).