Jumat, 03 Januari 2014

Curhat Dua Generasi (Cerpen Suara Karya, 4 Januari 2014)

Lelaki Tua yang Tak Pernah Puas

Usia saya sudah tak muda lagi, mendekati enam puluh tiga tahun. Seumur hidup saya ini, saya telah mengalami perkawinan sebanyak tiga kali. Perkawinan pertama hanya berlangsung delapan tahun, lantas kandas bagai kapal laut yang karam mencium batu karang.
Perceraian terjadi karena masalah ketidakharmonisan rumah tangga. Biduk pernikahan saya pecah berantakan, akibat rasa tidak puas diri saya. Persoalannya sebenarnya sepele, apalagi pada zaman sekarang tentunya. Ya, istri saya ternyata bukan gadis lagi saat saya menikahinya. Ia bukan perawan! Selama delapan tahun saya mencoba menahan derita batin ini akibat rasa tidak puas padanya.
Namun saya tak berhasil mengatasi perasaan ketidakpuasan itu. Terlebih lagi apabila saya membaca tulisan tentang “perawan” atau teman-teman sekantor bergosip masalah “keperawanan” seorang perempuan, hati saya selalu merasa tersinggung dan teriris.
“Wah, sungguh beruntung si Badu, ia menikah dengan perawan yang masih fresh from the oven,” celetuk sejawat saya saat itu. Hati saya langsung mendidih.
“Pasti seprai ranjangnya penuh dengan titik-titik noda merah,” seru sejawat saya yang lain di seberang meja. Hati saya membara mendengarnya. Panas, panas, panas!
“Kalian jangan menyindirku!” hardik saya, sejawat saya di kantor saling berpandangan dan pecahlah tawa mereka. Begitulah, saya menjadi lelaki yang sangat muda tersinggung.
Tak lama setelah perceraian dengan istri saya yang tak perawan itu, saya tergiur oleh kecantikan seorang perempuan keturunan Arab dan ia berstatus janda. Gayung bersambut, sang janda yang Arab itu mau menikah dengan saya. Perkawinan pun terjadi.
Ah, tapi sungguh menyedihkan. Bahtera rumah tangga bersama perempuan keturunan Arab itu hanya berlangsung dua tahun. Ya, dua tahun! Persoalannya pun cukup memalukan, saya tak mampu mencukupi kebutuhannya secara ekonomi. Istri saya yang Arab itu sungguh doyan belanja dan pelesir.
Dua kali saya berstatus duda dengan menghasilkan empat orang anak. Tiga anak dari istri saya yang tak perawan itu dan seorang anak dari istri saya yang keturunan Arab itu. Semuanya masih kecil-kecil. Tentu saja semuanya ikut ibunya.
Atas tawaran dan petunjuk kedua orang tua saya pada waktu itu, akhirnya saya menikah untuk ketiga kalinya. Saya menikah dengan seorang guru bahasa Inggris berstatus janda dengan dua anak. Sehingga anak saya menjadi enam. Ambisi untuk menikahi perempuan perawan saya paksakan enyah dalam sanubari saya, musnah dalam kehidupan saya. Bukan karena saya menyerah, tapi saya sadar diri  pada saat itu, saya bukan jejaka lagi.
Ternyata dengan sikap menerima kenyataan, tidak berambisi menikahi seorang gadis yang masih perawan, kehidupan rumah tangga saya yang terakhir ini bisa bertahan 24 tahun lamanya. Dari istri saya yang guru berstatus janda dengan dua anak, saya dikaruniai dua orang anak lagi. Sehingga total anak saya ada delapan.
Terus terang, malu sebenarnya saya mau bercerita kondisi saat ini, dalam usia tua seperti sekarang ini, saya sangat haus akan bacaan-bacaan berbau porno, film-film bernapas porno, begitu pula gambar-gambar beraroma porno. Otak saya isinya porno melulu.
Melalui internet saya berhasil melampiaskan hobi berburu sesuatu yang porno-porno. Saya bahkan tahu ada 10 peringkat bintang porno berusia paling muda sedunia. Melihat mereka darah saya bergelegak. Berahi saya morat-marit.
Padahal dalam umur yang setua sekarang ini, saya pun telah berusaha untuk memperkuat iman dengan membaca buku-buku agama, menghadiri berbagai majelis taklim dan mendalami berbagai pengetahuan tentang ajaran-ajaran agama. Tetapi apa daya, semua itu tak mempan.
Rasa tidak puas dalam kehidupan seksual saya benar-benar mengganggu ketenangan jiwa saya. Masalahnya, di saat-saat saya masih ingin mencari kepuasan biologis, istri saya yang berumur 51 tahun itu tampaknya sudah mulai pasif. Sehingga apa pun yang berhubungan dengan hubungan intim pasangan suami istri, inisiatif selalu timbul dari saya.
Pernah saya berterus terang mengemukakan apa yang sebenarnya saya inginkan darinya. Ia mengerti dan bersedia memenuhi apa yang saya minta. Ia minum jamu-jamuan tradisional dan obat herbal dari China agar singset dan libidonya membara. Ia pergi ke salon, totok wajah, totok payudara dan totok vagina. Tetapi itu hanya berlangsung beberapa minggu saja, lalu ia pasif kembali seperti sebatang pohon pisang yang tergolek di atas ranjang.
Oh, bagaimana saya mengatasi rasa tidak puas selagi saya masih mampu melakukan hal itu? Jujur, saya tidak mau meniru hal-hal yang sering dilakukan oleh pejabat atau elite partai di negeri ini, nikah siri. Bagi saya, pernikahan ketiga ini yang terakhir.
Walapun, hal-hal porno selalu menari-nari di benak saya, menggelayuti di kepala saya yang rambutnya sudah tersapu warna kelabu pada setiap helainya dan menancap pada otak saya. Jijik saya menikahi secara siri seorang perempuan muda perawan pula.
Biarlah orang tua tak tahu diri yang lain yang melakukannya. Bukan saya. “Bukan begitu Miyabiku sayang?”
Kepala saya serasa dikangkangi oleh Miyabi yang manis itu. Masih untung Miyabi, bukan sapi. “Ha..ha..ha!” Tawa saya lepas sekali.

Perempuan yang Mencintai Dirinya Sendiri

Saya seorang pelajar berusia 17 tahun, duduk di bangku kelas III SMK. Saya mendapat haid pertama kali pada usia 12 tahun. Waktu itu saya merasa sangat malu, sehingga saya tidak mau memberitahu kepada siapa pun. Termasuk ibu saya.
Namun pada akhirnya ibu saya tahu. Terus terang saya sangat takut waktu masa haid datang pada waktu itu. Ibu saya yang membelikan pembalut wanita di super market.
Pernah suatu kali, pembalut bocor dan menodai pakaian saya yang serba putih (padahal tayangan iklan pembalut tersebut di televisi, katanya anti bocor), sehingga apabila haid datang dan saya harus bepergian saya menjadi sangat gelisah.
Bila pelajaran olahraga tiba, saya sering berpura-pura sedang sakit, saya begitu takut orang lain akan tahu saya sedang haid. Pengalaman saya ini mirip sekali dengan tayangan iklan di televisi, tetapi begitulah faktanya.
Sebenarnya bukan masalah haid ini yang akan saya ceritakan. Begini, saya mempunyai masalah, akhir-akhir ini  saya sering bermimpi bermesraan dengan teman sejenis. Saya sering bermimpi bergumul, bermesraan dan bercinta dengan perempuan. Hal ini membuat hati saya cemas, sekaligus bahagia. Saya sangat menikmati mimpi-mimpi indah tersebut.
Waktu saya masih SMP, saya pernah berteman akrab dengan Irawati. Ia murid baru di sekolah kami, ia baru pulang dari Amerika mengikuti orang tuanya yang diplomat. Irawati lah yang menghampiri saya ketika saya pura-pura sakit karena haid datang. Ia dengan ramah bertanya pada saya, apakah saya baik-baik saja?
Lalu akhirnya saya cerita sebenarnya saya tidak sakit, tapi lagi datang bulan. Irawati lantas tertawa ngakak. Selanjutnya ia menawari saya sebuah pembalut wanita yang ia sering kenakan. Pembalut itu super tipis, berbeda seperti yang ibu saya sering belikan di super market.
“Percayalah, ini dijamin anti bocor,” katanya meyakinkan dan bukan bermaksud beriklan.
Tiba-tiba pertanyaan bodoh meluncur dari bibir saya, “Apakah pembalut setipis ini dapat menghilangkan kegadisan seseorang?”
Irawati kembali tertawa ngakak, “Suatu hal yang jauh dari kenyataan,” katanya setelah tawanya reda. Ada desiran halus yang menggetarkan saraf-saraf saya ketika melihat Irawati tertawa ngakak seperti itu.
Entah mengapa, saya nurut saja ketika Irawati meminta agar saya segera memakai pembalut pemberiannya, ia mengantar saya sampai di depan pintu toilet sekolah. Ia berjaga di depan pintu toilet, dan entah kenapa darah saya semakin berdesir-desir.
Irawati lantas menjadi sahabat saya. Kami semakin akrab. Saya tahu Irawati menyukai saya. Tapi saya tak tahu perasaan suka seperti apa yang menyeruak dari hati saya menyelinap ke hati Irawati, atau sebaliknya.
Saya ingin sekali dipacari Irawati, padahal pada waktu itu ia sudah memberikan sinyal kuat bahwa ia akan memacari saya. Tapi saya tolak dengan halus, terus terang saya takut dosa, saya masih takut pada Tuhan. Yang jelas Irawati pernah mencium bibir saya dengan begitu membara
Lepas SMP, Ira pindah ke Kanada. Ia ikut orang tuanya yang ditugaskan negara. Sekarang Irawati jauh dari saya, dan saya selalu rindu padanya.
Banyak teman laki-laki yang suka terhadap saya, bahkan ada yang terang-terangan mengucapkan kata-kata cinta di kantin sekolah. Entah gombal, entah beneran. Semuanya saya tolak. Jadi saya belum pernah pacaran sama laki-laki.
Saya menjadi tidak suka laki-laki. Padahal saya ingin sekali bisa mencintai laki-laki. Lantas melupakan Irawati yang lesbian. Tapi saya mencintai Irawati, saya menyukai perempuan, serupa saya mencintai diri saya sendiri.
“Hai, peluklah saya, saya sangat menginginkannya. Peluklah saya dengan mesra”. Tulis saya di penghabisan halaman catatan harian. ***


Catatan: Kalau ada kesamaan curhat dengan cerpen ini, yang pasti itu bukan plagiat

Jakarta, 30 Mei 2013


Bamby Cahyadi, lahir di Manado, 5 Maret 1970. Bergiat di Komunitas Sastra Jakarta (Kosakata). Buku terbarunya, Kisah Muram di Restoran Cepat Saji (Gramedia Pustaka Utama, 2012)

Tidak ada komentar: