ACTA EST FABULA
Seekor kecoa berputar-putar di antara kaki kursi dan meja
selama beberapa saat di ruangan sempit layaknya toilet tanpa penyejuk udara
ini. Seolah kecoa itu sedang bermain petak umpet, takut ketahuan oleh kaki
manusia. Sebuah pemandangan yang ganjil bagiku disaat hendak menulis cerita.
Ruang ini sempit, walaupun ada jendela yang terbuka lebar
mengarah ke taman kecil di pekarangan. Hanya terdapat dua kursi dan satu meja
terbuat dari kayu sederhana. Di meja itu tersedia sebuah laptop dan segelas
kopi. Aku menduduki salah satu kursi itu dan menimbulkan suara berderit yang
berisik.
Kecoa itu terkejut. Sayap kecoa itu tampak bergetar lalu
ia terbang hinggap di lenganku. Lenganku gempal dan berbulu, aku mengibaskan
lenganku mengusir kecoa yang hinggap itu. Kecoa itu menggoyangkan sayapnya,
hendak menolakkan kaki-kakinya untuk melayang terbang. Namun kibasan lenganku
yang gempal lebih keras dan mengentak.
Kecoa itu terlempar menampar dinding lantas jatuh
terkulai di lantai. Baru saja kecoa itu tampak bergeliat bergerak untuk lari
menyelamatkan diri, aku keburu menghajarnya. Kuinjak tubuh kecoa malang itu
dengan telapak sepatuku hingga pecah. Kecoa tak berdaya itu jelas saja mati
dengan tubuh hancur menjijikan.
Insiden kecoa pun berlalu tanpa kesan, seolah hanya
sekadar pemain figuran sinetron kejar-tayang yang melintas di layar kaca. Aku
pun mulai menulis.
Sebagai penulis cerita, tentu keinginan terbesarku saat
mengarang cerita kemudian kutulis menjadi rangkaian kata-kata, menjelma
kalimat, lalu jadi paragraf-paragraf lantas menjadi sebuah karya tulis yang
utuh sebagai cerita pendek, yaitu dibaca oleh pembaca. Suatu keinginan yang
wajar dan sangat lazim tentunya.
Masalahnya, aku selalu berharap seseorang yang membaca
ceritaku itu percaya bahwa kisah-kisah imajinatif yang kubangun dengan
susah-payah menjadi kisah fantastik di benak mereka. Aku selalu ingin
menceritakan senarai kejadian-kejadian biasa dan sederhana pada dunia menjadi
sesuatu yang luar biasa. Hal itu malah memicuku menjadi tidak produktif
menulis. Akibat terlalu banyak berpikir. Berselancar di dunia maya dan
berinteraksi di sosial media pun membunuh kreativitasku.
Sejatinya
sebagai pencerita, aku selalu melakukannya dengan cara yang terang benderang,
jelas, lugas dan tanpa komentar. Aku tak mau mencoba bercerita yang membuat
seseorang merasa tersiksa membaca cerpenku. Apalagi ia merasa diintimidasi
dengan liukan kata-kata yang membuat ia berhenti membaca karena tak sanggup
menulis cerita serupa gayaku. Atau bahkan hanya sekadar menuturkan ulang.
Tadi kukatakan, aku bercerita tanpa komentar. Tersebab,
kejadian-kejadian yang terjadi dan diceritakan di dunia ini tak lebih daripada
serangkaian hubungan sebab-akibat bersifat alamiah dan ilmiah belaka. Tersebab,
tiada hal baru di dunia ini, kecuali kita mengulangnya dengan cara yang lebih
kreatif. Maka tak perlu berkomentar soal tema cerita yang kusuguhkan.
Terus terang, aku hampir putus asa. Bahkan mencoba
pensiun jadi penulis.
Hingga
pada suatu hari aku bermimpi. Hari itu adalah hari yang indah dan aku sedang
berjalan-jalan dengan Franz Kafka. Karena ini mimpi jadi tak perlu kujelaskan
bagaimana aku menyimpulkan bahwa sosok yang kutemui dalam mimpi itu Kafka yang
oleh Haruki Murakami dijadikan judul sebuah novel karyanya, Dunia Kafka. Sementara Haruki Murakami
sendiri, kujadikan cerpen berjudul Dunia
Murakami.
Dalam
mimpi walaupun hari ini hari yang indah, namun kami berjalan dengan langkah
yang terseok-seok. Selangkah dua langkah yang susah-payah, hingga kami tiba di
sebuah pekuburan. Aku tak mengerti suasana di pekuburan ini begitu berangin.
Tiupan angin yang dingin sangat cerdas untuk menegaskan bahwa mimpiku ini
bernuansa kelam.
Kami
mendekati sebuah gundukan nisan yang masih tampak segar dan kami berhenti tepat
di depan gundukan nisan itu.
“Itu
kuburan Marquez,” kata Kafka.
“Maksudmu Gabriel Garcia Marquez?” tanyaku. “Ia tak
pernah dikubur, ia dikremasi jadi abu,” sanggahku. Kafka belum menjawab, mimpi
keburu selesai.
Aku
lantas teringat akan kematian. Bukan kematianku, tetapi kematian seseorang yang
sangat kuharapkan. Narasi ceritanya begini:
Kamu
mati tertimpa atap supermarket yang runtuh. Siapa yang tahu? Kamu suka sekali
belanja, suka sekali menjelajahi mal-mal dan supermarket besar di kota ini.
Banyak bangunan di kota ini yang dibuat dengan kesalahan desain dan kualitas
konstruksi yang jelek. Kamu mungkin tak mati dengan kepala remuk, namun karena
kamu terperangkap dan pencarian atas dirimu bergerak lambat, kamu mati
kehabisan napas.
Kamu pun bisa mati ketika berkendara dengan mobil
keluaran terbaru di atas jalan beraspal yang mulus. Bukan akibat tabrakan
beruntun. Tapi lantaran pipa gas negara yang dibenamkan di kedalaman tanah di
atas jalan mulus di mana kamu melintas itu tiba-tiba meledak. Pipa gas milik
negara di kota ini bisa saja sudah keropos, akibat tekanan yang terlalu tinggi,
meledak! Kamu tergolek bersama mobilmu yang hancur. Tubuhmu juga hancur
tentunya, seperti kecoa yang baru saja tewas di telapak sepatuku tadi.
Kamu bisa mati di mana saja. Dalam tidur dan mimpiku
sekalipun.
Betapa aku sangat menginginkan kematianmu, wahai
politikus busuk!
Namun kenyataannya aku yang mati. Menyedihkan sekali
bukan?
Kala itu Kuala Lumpur diselimuti kabut asap, kabut asap
yang menyerupai halimun di pegunungan berwarna putih serupa asap para perokok
di kedai kopi. Meski berkabut aku sempat menyaksikan gemerlap lampu kota bak
berlian yang menyeruak di antara celah-celah gelap. Aku jadi ingat cerpen Umar
Kayam, Seribu Kunang-kunang di Manhattan.
Aku yakin betul di Kuala Lumpur saat itu berhawa sejuk.
Musim hujan yang hijau dan sendu membuat Kuala Lumpur menjadi kelabu. Musim
hujan tentu saja menutupi warna merah kekuningan senja di cakrawala. Malam itu
pesawat yang kutumpangi dari Kuala Lumpur menuju Beijing meledak menjadi serpihan
debu paling kecil di dunia. Bahkan menjadi kesiur angin laut yang lembap tak
terdeteksi radar. Mereka mengatakan pesawat itu hilang.
Beberapa hari sebelumnya. Pada hari Kamis, calon menantu kami itu benar-benar
datang dan menginap di rumah kami. Seorang perempuan cantik, dan tentu saja
orang Amerika asli. Namanya Alexa. Keesokan harinya kami pergi ke pengadilan dan sepuluh
menit sesudah membayar biaya nikah, anakku secara resmi sudah beristri dan kami bermenantu.
Anehnya,
istriku yang semula sangat berhasrat agar anak kami menikah, malah terlihat
murung. Bagi istriku kejadian itu terlampau aneh, terlalu kosong. Maklumlah
tradisi yang sudah berakar dalam hati generasi kami, khususnya orang Indonesia,
tak
dapat diabaikan begitu saja.
Melalui
telepon, kami beritahukan anak-anak kami yang tersebar ribuan kilometer
jauhnya, bahwa kakak mereka sudah menikah hari Jumat lalu. Begitu juga pada
sanak-kerabat di tanah air. Anak paling
besar kami sudah menikah.
Dengan terburu-buru,
aku dan istriku mengatur pesta kecil di rumah dengan mengundang lima
keluarga Indonesia yang bertempat tinggal di daerah kami.
”Agar
mereka tahu bahwa anak kita menikah secara wajar,” kata istriku sambil mengatur
meja makan.
”Kenapa
kamu bicara seperti itu?” selidikku.
”Ah,
sudahlah. Mungkin hanya masalah nilai-nilai kewajaran saja yang mengganggu
pikiranku,” jawab istriku.
Aku
lantas merenungkan perkataan istriku, sambil memandang ke arah jendela. Di luar
rumah salju turun perlahan.
Nilai
apakah yang menentukan kewajaran? Batinku. Pertalian sebagai suami-istri memang
sudah disahkan undang-undang, namun bagaimana perasaan kami sebagai orang tua?
Sewaktu
masih berpacaran dengan anak lelaki kami yang terbesar, perempuan bule itu memang sudah diperkenalkan pada kami. Ketika itu ia diundang berlibur tiga
hari di rumah kami oleh anakku. Ia seorang Amerika, Texas.
Ia guru sekolah dasar. Kedua orang tuanya sudah bercerai ketika ia masih kecil. Menurutnya, ia
masih sering berhubungan dengan ibunya, melalui telepon atau bertemu di sebuah
tempat. Dengan ayahnya? Ia mengakui kurang tahu di mana ayahnya berada.
Istriku
sempat bertanya pada menantu kami itu, ”Apakah ibumu tahu kamu menikah?”
Dengan
santai menantu kami menjawab, ”Itu kurang penting, nanti kalau aku bertemu
dengannya akan kuberi tahu.”
Sebenarnya
banyak pertanyaan yang kami ingin tanyakan dan ingin kami ketahui jawabannya,
namun tidak sempat kami tanyakan. Karena mereka, pengantin baru itu, sudah
terbang ke Las Vegas, untuk berbulan madu pada hari Minggu.
Kami
hanya bisa bengong, terpukau dan tak percaya dengan apa yang terjadi. Hari
Senin anak kami bilang ia akan menikah, hari Kamis calon menantu kami datang ke
rumah dan menginap, hari Jumat mereka menikah, hari Minggu mereka pergi
meninggalkan kami yang terbengong-bengong. Sungguh ironis apa yang terjadi itu, sekaligus lucu.
Ya,
ironis dan lucu berbaur, tumpang tindih. Karena apa? Karena cerita di atas
adalah bagian dari adegan mimpiku yang lain. Dan mimpiku selesai.
Kurasa Anda merasa tertipu dengan ceritaku yang melulu
ternyata berupa rangkaian mimpi belaka. Kumohon bacalah sampai selesai.
Debu yang terbawa angin menampar-nampar jendela
seolah-olah dilemparkan oleh tangan-tangan yang tak kelihatan. Aku baru saja
berangkat lepas fajar dan telah dua jam berjalan kaki dalam pagi yang dingin,
merambah dataran lengang berbatu yang memanjang hingga batas cakrawala yang
kemerahan.
Angin bertiup sepoi-sepoi dan pucuk padi tertunduk
teratur, seperti angin sedang berjalan di atasnya. Katak-katak berbunyi
serempak juga kunang-kunang menuju ke tengah sawah. Udara menjadi dingin bukan
main. Angin bertiup, menggesekan dahan dan daun pada talang yang bocor.
Tanggal 31 Desember 2014. Pukul 21.15 Wib. Sorak-sorai
pun bergemuruh. Di atas ring, Kido Buto, petinju asal Surabaya terjerembab dan
tak bangun lagi. Hanya beberapa depa darinya, Robin Bantai, sang Juara,
melonjak kegirangan. Ia sesumbar menantang siapa saja yang bersedia melawannya
untuk pertandingan berikutnya. Sementara si Petinju yang dipencundangi itu
terkulai layu. Ia tak kuasa menatap mata sejumlah penonton yang seolah-olah
mencemoohkannya.
Robin Bantai seperti dilahirkan untuk memukul atau
dipukul. Ia memang Preman yang dibesarkan di antara tukang pukul di kota Medan.
Masa silamnya begitu keras.
Menjelang penggantian tahun 2014 menuju 2015. Pukul 21.15
Wib. Ada seorang tante yang kesepian. Ada seorang mahasiswa yang
terombang-ambing, kemudian mencari kedamaian di sebuah tempat pelacuran yang
sudah tutup. Ada seorang pemuda baik-baik yang oleh berbagai kemelut akhirnya
terperangkap menjadi Gigolo. Ada sepasang makhluk yang terkulai di atas ranjang,
lalu larut dalam rasa berdosa yang dalam.
Beberapa jam kemudian. Presiden terpilih melalui pemilu
paling pilu di bulan Juli 2014 menyulut kembang api di Monas tepat pada pukul
duabelas tengah malam.
Aku menyaksikan itu semua sebagai hantu di ruangan sempit
ini. Ingat, ini bukan mimpi. Acta est
fabula. Apa yang terjadi adalah sebuah kisah. Aku berada dalam pesawat
nahas yang kalian nyatakan hilang itu. Permainan telah berakhir. Kalian masih terus
mencari, mencari hingga kalian lupa apa yang kalian cari.***
Keterangan: Acta
Est Fabula adalah frasa latin yang berarti Apa yang terjadi adalah sebuah kisah. Bisa pula berarti Permainan/sandiwara
(the play) telah berakhir. (Inggris: The
play is over)
Bellagio
Residence, 30 Juni 2014