Saya dan Cerita-cerita Tentang Saya
Bagi saya menulis adalah semacam terapi
dan akan mencegah saya agar tidak terjerumus ke dalam suasana hati yang
terkadang cenderung saya masuki itu. Suasana itu bernama kenangan.
***
Kerena
mengikuti Ayah saya yang perpindah-pindah tempat bertugas di sebuah perusahaan
perbankan milik negara, masa kecil hingga remaja saya habiskan di Pulau Sulawesi,
Jawa dan Sumatera. Oleh karenanya, saya dan kakak saya terlahir di Manado, Sulawesi
Utara. Di Sulawesi Utara, Ayah sempat berpindah dari Manado ke Kotamobagu
(Bolaang Mongondow). Di Kotamobagu adik saya lahir. Lantas pindah ke Bitung,
sebuah kota pelabuhan super sibuk di wilayah Timur Indonesia masih di Sulawesi
Utara. Masa penugasan Ayah saya setelah dari Bitung ke Ampana, Sulawesi Tengah.
Ampana sebuah kota kecil yang berada di pesisir laut yang menghadap ke Teluk
Tomini. Untuk mencapai Ampana, kami mendarat di Palu, lantas ke Poso dan
kemudian melanjutkan perjalanan melalui darat dari Poso ke Ampana. Masa penugasan
Ayah di Sulawesi Utara dan Tengah pada kurun waktu 1967-1979, masing-masing
kota rata-rata 3 tahun. Oleh karenanya, saya bersekolah di TK hingga SD kelas I
adalah di Bitung dan kelas II-IV SD di Ampana.
Pada
tahun 1979, Ayah saya dipindahtugaskan ke Tegal, Jawa Tengah. Saat pindah ke
Tegal, masa itu saya kelas V Sekolah Dasar. Lulus SD di Tegal dan saya masuk ke
sebuah SMP Negeri di kota Tegal, hingga kelas II, tahun 1983 Ayah
dipindahtugaskan lagi, kali ini ke Medan, Sumatera Utara. Ayah saya meninggal
dunia karena sakit ketika bertugas di Medan, tepatnya 15 Februari 1985, dan sebentar
lagi–pada waktu itu–saya akan mengikuti Ujian Nasional kelulusan SMP. Saya
lulus SMP di Medan.
Ayah
saya berasal dari Samarinda, Kalimantan Timur dan Ibu saya dari Tasikmalaya,
Jawa Barat. Sewaktu Ayah meninggal, keluarga besar kami berunding mengenai di
mana kah Ayah akan dimakamkan? Pihak keluarga besar Ayah saya menginginkan Ayah
dimakamkan di Samarinda, kampung halamannya. Namun Ibu saya berkehendak lain, Ibu
ingin Ayah dimakamkan di Tasikmalaya. Pada akhirnya, Ayah saya dimakamkan di
Tasikmalaya, kota kelahiran Ibu saya. Kisah perjalanan ketika kami membawa
jenazah Ayah dari Medan menuju Tasikmalaya, saya pernah tuturkan dalam sebuah
cerpen berjudul “Aku Bercerita dari Pesawat yang Sedang Terbang.”
Setelah
lulus SMP tanpa disaksikan oleh Ayah, Ibu membawa kami pindah ke Tasikmalaya,
kota berhawa sejuk dengan Gunung Galunggung yang fenomenal sebagai latar kota.
Di Tasikmalaya saya menghabiskan masa SMA hingga Perguruan Tinggi. Lulus
kuliah, saya memutuskan untuk bekerja di Jakarta, hingga saat ini.
Tentu
agak aneh, kenapa saya mengisahkan sekelumit masa kecil saya hingga remaja
sampai lulus kuliah pada kata pengantar buku ini. Pertanyaan itu akan terjawab
nantinya.
***
Ketertarikkan
saya menulis cerita pendek memang agak terlambat, apalagi memasuki dunia sastra
Indonesia bisa dikatakan sangat terlambat. Dunia sastra itu bagaikan belantara
luas, tanpa ujung dan pangkal. Kadang saya menemukan titik terang di sana,
kadang saya tersesat di dalamnya. Dunia yang penuh dinamika yang tak pernah
saya duga dan sangka-sangka sebelumnya.
Saya memang gemar membaca, saya masih
ingat ketika itu bacaan yang sering saya santap adalah Kompas. Saya terbiasa membaca koran itu sejak SD kelas I, ketika
koran itu dibawa Ayah dari kantornya ke rumah. Saya sering berebutan membacanya
dengan kakak saya. Dikarenakan kami gemar membaca, maka Ibu mulai berlangganan
majalah Si Kuncung dan Bobo untuk kami, pun majalah-majalah lainnya
seperti Femina dan Kartini, tentu majalah dewasa itu untuk
konsumsi Ibu saya, namun kami pun tak kuasa menahan hasrat untuk melahap isi
kedua majalah tersebut. Saat SMP, kami berlangganan majalah Hai, Kawanku
dan Anita Cemerlang.
Masa
kanak-kanak saya, remaja hingga dewasa memang bergelimang bahan-bahan bacaan
mulai dari koran, majalah, buku-buku dongeng, novel dan komik. Ayah selalu
membelikan kami buku bacaan baru apabila ia berdinas ke suatu tempat. Mungkin
hal inilah yang memicu saya bercita-cita ingin menjadi wartawan. Bisa menulis
berita apa saja dan tulisan saya dibaca oleh orang-orang. Ya, waktu itu
cita-cita saya menjadi wartawan.
Selain
membaca, kegemaran saya yang lain adalah menggambar dan melukis. Ketika di
Tegal, saya pernah menjadi juara ke-2 Lomba menggambar antar SD se-kabupaten
Tegal, pun pada masa kelas VI SD saya pernah mengikuti Lomba Menggambar Kantor
Pos kota Tegal, walaupun tidak menjadi juara, saat itu saya masuk liputan Berita
Daerah di TVRI Yogyakarta. Bukan main girangnya, ketika melihat foto hitam
putih yang ada sayanya sedang menggambar ditayangkan TVRI stasiun Yogyakarta.
Saya sampai berguling-guling di lantai saking bahagia. Saya pun pernah
mengirimkan hasil karya menggambar saya ke Bapak Tino Sidin di Jakarta, dan ketika
Pak Tino Sidin menampangkan gambar saya di layar kaca TVRI Pusat, sambil
berkata, “Bagus!” Ketika itu pula dunia saya seperti ditaburi dengan beraneka
ragam bunga-bunga, entah melambung kemana perasaan saya saking bahagia.
Begitulah kelakukan saya kanak-kanak.
Karena
keahlian menggambar, saya menjadi pengisi tetap Majalah Dinding saat SMP di
Medan dan SMA di Tasikmalaya. Bahkan, saya mendapat jatah menjadi kartunis
tetap edisi mingguan di Mading, dengan nama tokoh si Bocah, akronim nama saya.
Di SMA selain bergabung menjadi anggota Pramuka dan pengurus OSIS, saya pun
bergabung sebagai tim redaksi majalah sekolah. Masih lekat dalam ingatan saya,
kami membuat majalah dengan sistem stensilan. Selain menulis di majalah
tersebut, saya menjadi ilustrator untuk majalah siswa itu.
Saya
mengikuti banyak kegiatan ekstra kulikuler dan pelbagai kesibukan lainnya
sejujurnya semua itu upaya pelarian dari kesedihan saya akibat Ayah meninggal.
Saya ingin sekali melupakan kenangan yang penuh warna bersama Ayah saat ia
masih hidup. Dunia saya waktu itu mendadak berubah warna, dari berwarna-warni
menjadi kelabu. Saya marah kepada Tuhan, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Ibu
saya setiap hari menangis dan menangis, meratapi kepergian Ayah yang begitu
cepat. Meskipun ia larut dalam kesedihan yang mendalam, Ibu saya sosok
perempuan yang tegar dan punya prinsip yang kokoh untuk menyekolahkan kami hingga
ke perguruan tinggi. Cerita perjuangan Ibu saya pernah saya narasikan sebagai
sebuah kisah berbalut fiksi berjudul “Aku Tidak Sehebat Kartini.”
Melupakan
kesedihan mengantar saya memiliki banyak aktivitas di sekolah. Sebuah
pengalihan yang positif dan tentu bermanfaat bagi diri saya sebagai remaja.
Tanggal
16 Agustus 1987, saya mengalami kecelakaan lalu-lintas yang hampir merenggut
nyawa saya pada sebuah kegiatan Pramuka. Saya tak sadarkan diri hingga
berjam-jam lamanya. Pada saat pingsan, saya bertemu dengan almarhum Ayah yang
mengajak saya untuk mengikutinya ke sebuah tempat. Namun saya menolaknya,
karena saya ingin menemani Ibu dan jangan sampai Ibu bertambah sedih akibat kehilangan
saya. Dalam alam tak sadar itu, Ayah saya memaklumi keputusan saya, Ayah lalu
pergi, ia memunggungi saya tanpa menoleh sedikitpun. Ketika itu saya tersadar
dari pingsan serta bingung dengan apa yang terjadi. Tubuh saya tergolek di meja
operasi. Dikarenakan cidera di kepala yang parah, saya menjalani perawatan intensif
di rumah sakit sebulan penuh. Pengalaman ini saya jadikan cerpen berjudul
“Tanda Cinta dari Akhirat.” (Bersambung di buku terbaru)
Jakarta, 31 Desember 2014, pukul 23.59 Wib.