Minggu, 25 Desember 2011

TENTANG LAN FANG [5 Maret 1970 - 25 Desember 2011]

Sumber: Tentang Penulis Novel Kembang Gunung Purei, penerbit Gramedia Pustaka Utama, April 2005, halaman 225.

Lan Fang lahir di Banjarmasin pada tanggal 5 Maret 1970 dari pasangan Johnny Gautama dan Yang Mei Ing, sebagai anak sulung dari dua bersaudara. Adiknya bernama Janet Gautama. Pada tahun 1988, ia menyelesaikan SMA-nya di Banjarmasin lalu meneruskan dan menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Surabaya (UBAYA).

Walaupun terlahir dalam keluarga keturunan Cina yang cukup konservatif dan lebih berkonsentrasi kepada dunia bisnis, Lan Fang sudah suka menulis dan membaca sejak usia sekolah dasar. Buku-buku Enid Blynton, Laura Ingals Wilder, atau sekadar majalah anak-anak, seperti Bobo dan Donal Bebek, telah mengantar imajinasinya ke dunia lain. Di sekolah pun, pelajaran kesukaannya adalah pelajaran Bahasa Indonesia, terutama mengarang. Sebetulnya keinginan Lan Fang untuk menulis cerpen sudah mulai ada sejak SMP ketika bacaannya mulai beralih kepada majalah-majalah remaja seperti Anita Cemerlang dan Gadis. Tetapi karena dianggap “ganjil” dan “tidak tertangkap mata” oleh keluarganya, tidak ada motivasi kuat untuk mempertajam talentanya. Keinginan menulis itu pun terlupakan begitu saja.

Ketika ia berusia 13 tahun, ibunya meninggal dunia karena kanker otak yang ganas. Sejak itu ia selalu merasa dirinya tidak lengkap, namun cinta pertamanya pada seorang pemuda di usia 15 tahun, memberinya inspirasi yang tak pernah kering. Walaupun bukan penulis, tetapi pemuda itu telah memberikan ruang gerak yang luas dan waktu yang tidak terbatas pada Lan Fang sehingga memacunya untuk berkarya. Ketika semua isi kepala dan hatinya itu dituangkan ke dalam tulisan dengan sangat lancar, Lan Fang merasa takjub ketika menyadari tulisan itu sudah berbentuk cerita. Sekadar iseng, ia kemudian mengirim cerita pendek pertamanya yang berjudul Catatan Yang Tertinggal itu ke majalah Anita Cemerlang pada tahun 1986. Ternyata cerpen tersebut langsung dimuat sebagai cerita utama di halaman depan.

Setelah itu Lan Fang jadi ketagihan menulis. Ketika menulis, ia menemukan dimensi baru tanpa ruang dan waktu, tempat ia bisa merasa bebas melompat-lompat dari dunia satu ke dunia lain. Ia merasa bebas mengungkapkan apa yang ia pikirkan, rasakan, bayangkan, pertanyakan, tanpa adanya benturan dengan batasan-batasan.

Pada periode 1986-1988, ia cukup banyak menulis cerpen remaja yang bertebaran di majalah-majalah remaja seperti Gadis, terutama Anita Cemerlang. Kebanyakan cerpen yang ia tulis bernapaskan cinta dengan banyak pengaruh tulisan Kahlil Gibran.

Sejak tahun 1997, ibu dari kembar tiga ini berulang kali memenangkan berbagai lomba penulisan. Di tahun tersebut, cerbernya Reinkarnasi menjadi Juara Penghargaan Lomba Mengarang Cerber Femina dan cerpennya Bicara Tentang Cinta, Sri… menjadi Juara II Lomba Cerpen Tabloid Nyata. Di tahun 1998, karyanya yang berjudul Pai Yin menjadi Pemenang Penghargaan Lomba Mengarang Cerber Femina. Di tahun yang sama cerpennya Bayang-Bayang pun menjadi Pemenang II Lomba Mengarang Cerpen Femina. Selain itu, cerpen Ambilkan Bulan, Bu… menjadi karya layak muat untuk Femina.

Ia sempat vakum selama lima tahun dari dunia tulis-menulis, karena sibuk berkonsentrasi dalam merintis karier di sebuah bank nasional swasta di Surabaya sampai tahun 2000. Saat ini, ia bergabung di sebuah perusahaan asuransi jiwa asing di kantor cabangnya di Surabaya.

Akhirnya pada tahun 2003 ini, Lan Fang berhasil menyelesaikan tulisannya yang mengendap selama jangka waktu itu. Karyanya yang berjudul Kembang Gunung Purei tersebut pun menjadi Pemenang Penghargaan Lomba Novel Femina 2003.

Dalam kesehariannya, ibu dari Vajra Yeshie Kusala, Vajra Virya Kusala, dan Vajra Vidya Kusala ini sangat mensyukuri keberadaan 3 Vajra = 3 Kekuatan yang di-milikinya sebagai sumber semangat dan motivator kuat untuk selalu bisa bertahan di saat-saat sulit.

Pada pembukaan novel Kembang Gunung Purei, Lan Fang menulis puisi sebagai berikut :

(Surabaya, 5 Agustus 2003)

Saat-saat kutulis bagian tengah buku ini di
Ujung kakinya…
Saat-saat tidak bisa menyelesaikan bagian akhir
Buku ini…
Karena…
Ia memberiku…
Tidur panjang yang cantik…
Mati indah,
Tapi meninggalkan ngilu dalam dan panjang…
Sehingga…
Buku ini…
Tidak pernah selesai…..

Lan Fang meninggal dunia pada tanggal 25 Desember 2011 di Rumah Sakit Mont Elisabeth Singapura, Minggu siang ketika sebagian dari kita merayakan hari Natal. Lan Fang mengalami tidur panjang yang cantik dan mati yang indah.

Jakarta, 25 Desember 2011

Selasa, 06 Desember 2011

To Hijack America

Waktu kami mulai menetap di Amerika, anak sulung kami berumur tigabelas tahun, sedangkan si bungsu belum cukup dua tahun.
Tahu-tahu, seperti sesuatu yang mendadak terjadi dalam sekejapan mata, semua anak kami sekarang sudah meninggalkan rumah: bersekolah, lalu bekerja.
Tentu itulah keinginan kami sebagai orang tua. Anak-anak bersekolah dengan baik dan memperoleh pekerjaan yang baik pula. Namun di samping itu, dalam hati kami juga terkandung harapan bahwa mereka akan menikah kelak dan mendirikan keluarga bahagia sendiri-sendiri, sesuai keinginan mereka. Terutama istriku yang mendesak ke arah itu.
Rupanya dorongan sekaligus hasrat istriku itu berhasil, anak kami menikah. Tetapi muncul pengalaman yang tak disangka-sangka. Di luar dugaan kami, setahun yang lalu.

***
Tahun yang lalu anak lelaki kami yang terbesar, Firman, selesai belajar dan memperoleh pekerjaan yang baik di negara bagian New York. Sebelum berangkat ke New York, ia pulang dulu ke rumah untuk pamit dan untuk memberi tahu sesuatu yang membuat aku dan istriku terkejut. Ia akan menikah!
”Kapan kamu akan menikah?” tanyaku.
”Hari Jumat minggu ini, Pa,” jawab anakku kalem.
”Hei, ini hari Senin, Nak. Kamu jangan main-main,” istriku menyela.
”Aku serius, Ma!” kata anakku.
”Lantas, siapa yang akan kamu nikahi? Mana mempelai perempuan, calon istrimu itu?” tanyaku.
”Ia akan datang ke sini, pada hari Kamis,” ujar Firman tersenyum.
Kulihat mata istriku berbinar-binar. Ia lantas memeluk anak lelaki kami yang terbesar. Firman akan menikah, gumamnya. Tapi dengan siapa? Banyak teman perempuannya, baik yang pernah ia kenalkan pada kami, atau sekadar ia ajak main ke rumah.
Pada hari Kamis, calon menantu kami itu benar-benar datang dan menginap di rumah kami. Seorang perempuan cantik, dan tentu saja orang Amerika asli. Namanya Alexa.
Keesokan harinya kami pergi ke pengadilan dan sepuluh menit sesudah membayar 40 dolar, anak kami secara resmi sudah beristri dan kami bermenantu. Sungguh sesuatu di luar dugaan kami.
Anehnya, istriku yang semula sangat berhasrat agar anak kami menikah, malah terlihat murung. Bagi istriku kejadian itu terlampau aneh, terlalu kosong. Maklumlah tradisi yang sudah berakar dalam hati generasi kami, khususnya orang Indonesia, tidak dapat diabaikan begitu saja.
Melalui telepon, kami beritahukan anak-anak kami yang tersebar ribuan kilometer jauhnya, bahwa kakak mereka sudah menikah hari Jumat lalu. Begitu juga pada sanak-kerabat di tanah air. Firman sudah menikah.
Dengan secepat kilat, aku dan istriku mengatur pesta kecil di rumah dengan mengundang tiga keluarga Indonesia yang bertempat tinggal di daerah kami.
”Agar mereka tahu bahwa anak kita menikah secara wajar,” kata istriku sambil mengatur meja makan.
”Kenapa kamu bicara seperti itu?” selidikku.
”Ah, sudahlah. Mungkin hanya masalah nilai-nilai kewajaran saja yang mengganggu pikiranku,” jawab istriku.
Aku lantas merenungkan perkataan istriku, sambil memandang ke arah jendela. Di luar rumah salju turun perlahan.
Nilai apakah yang menentukan kewajaran? Batinku. Pertalian sebagai suami-istri memang sudah disahkan undang-undang, namun bagaimana perasaan kami sebagai orang tua? Siapakah menantu kami itu?
Sewaktu masih berpacaran dengan anak lelaki kami yang terbesar, Alexa memang sudah diperkenalkan pada kami. Ketika itu ia diundang berlibur tiga hari di rumah kami oleh anakku. Ia seorang Amerika, California. Ia guru sekolah dasar. Kedua orang tuanya sudah bercerai ketika ia masih kecil.
Menurutnya, ia masih sering berhubungan dengan ibunya, melalui telepon atau bertemu di sebuah tempat. Dengan ayahnya? Ia mengakui kurang tahu di mana ayahnya berada.
Istriku sempat bertanya pada menantu kami itu, ”Apakah ibumu tahu kamu menikah?”
Dengan santai menantu kami menjawab, ”Itu kurang penting, nanti kalau aku bertemu dengannya akan kuberi tahu.”
Sebenarnya banyak pertanyaan yang kami ingin tanyakan dan ingin kami ketahui jawabannya, namun tidak sempat kami tanyakan. Karena mereka, pengantin baru itu, sudah terbang ke New York, untuk berbulan madu pada hari Minggu.
Kami hanya bisa bengong, terpukau dan tak percaya dengan apa yang terjadi. Hari Senin anak kami bilang ia akan menikah, hari Kamis calon menantu kami datang ke rumah dan menginap, hari Jumat mereka menikah, hari Minggu mereka pergi meninggalkan kami yang terbengong-bengong. Sungguh ironis apa yang terjadi itu. Atau kah sungguh lucu?

***
Akhirnya cerita itu kami ceritakan sebagai pengalaman ironi yang lucu kepada seorang kenalan Amerika, Kevin namanya. Namun, ia tidak mengerti di mana letak ironi dan lucunya.
”Anda beruntung tidak berhadapan dengan besan Anda,” kata Kevin.
”Lho, maksud Anda?” tanyaku.
”Istriku orang California, orang tuanya sudah bercerai waktu mereka bermukim di San Diego beberapa tahun silam. Waktu itu, orang tuaku tinggal di Chicago. Dalam perjalanan liburan, orang tuaku kebetulan melalui San Diego, kesempatan itu mereka pergunakan untuk berkenalan dengan orang tua istriku. Ternyata mereka hanya diterima di depan rumah dan tak diundang masuk. Selama sepuluh menit mereka berbicara, lalu orang tuaku pamit!" ujar Kevin getir.
Aku terperangah. Kevin meneruskan ceritanya, ”Istriku dengan dua orang anak kami sebulan yang lalu berangkat ke California untuk berlibur di rumahnya ayahnya. Mereka rupanya senang sekali di sana. Kemarin dulu istriku menelepon dengan saran supaya aku pindah saja dan mencari pekerjaan di California. Untuk sementara kami bisa tinggal di rumah ayahnya.”
”Lantas, kenapa Anda tak ikuti saran istrimu?” Tanyaku lugu.
”Tinggal bersama ayahnya? He, kamu kira aku orang China?” jawab Kevin dengan sebuah pertanyaan. Lantas ia tertawa terbahak-bahak. Sekali lagi aku terbengong-bengong. Menurutku, bukan orang China saja yang bisa hidup satu rumah bersama mertuanya, orang Indonesia pun banyak yang masih satu rumah dengan mertua atau orang tuanya walaupun mereka sudah menikah.
Ah, betapa aku tiba-tiba diserang kerinduan yang amat sangat tentang kehangatan keluarga besarku di Indonesia. Atau aku sudah begitu kolot untuk mengalami kondisi perbedaan kultur dan pergaulan sosial di Amerika ini?

***

Keherananku sebagai orang tua ternyata tidak berhenti sampai di sini saja. Tahun ini anak lelaki saya yang nomor dua, Lukman, pulang dari California, karena ia lebih suka cara hidup di daerah yang tak terlalu berisik dan ramai.
Tentu saja kami senang sekali. Keahliannya dalam bidang pertukangan kayu dan otomekanik, pasti akan sangat bermanfaat baginya untuk memulai berwiraswasta.
Kalau ada pekerjaan, tentu pendapatannya sebagai ahli pertukangan kayu dan otomekanik akan mendatangkan penghasilan yang lumayan besar. Kalau sedang sedang tak ada pekerjaan, ia bisa pergi ke laut untuk menangkap ikan dengan speargun, jala atau pancing. Sebuah cara hidup yang sederhana, orang-orang menyebutnya cara hidup orang ”local”.
Pada suatu malam, Lukman dipanggil lewat telepon oleh seorang peternak babi, Paul namanya, untuk memeriksa cetak biru sebuah rumah yang akan dibuatnya. Setelah beberapa kali datang untuk mendiskusikan proyeknya, aku melihat tingkah laku Lukman berubah.
Aku memberi tahu pengamatanku kepada istriku, yang biasanya berintuisi lebih tajam dalam hal perubahan perilaku anak-anaknya.
Istriku memandang Lukman dari kejauhan. Ya, Lukman tampak sedang tersenyum-senyum sendirian di kebun belakang rumah kami.
”Kamu jangan terlalu khawatir, sayang,” kata istriku. ”Kelihatannya, ia sedang jatuh cinta?” lanjut istriku dengan suara yang renyah.
Pengamatanku benar rupanya. Setengah berbisik aku berkata, ”You are right. Our son is in love.” Kami lantas tertawa sambil menggeleng-geleng kepala melihat tingkah Lukman di kebun belakang rumah.
”Kalau benar ia sedang jatuh cinta, lantas siapa pacarnya?” tanya istriku.
”Kamu benar, kita harus segera tanya padanya!” jawabku bersemangat.
Tidak terlalu berbelit ketika kami menanyakan sedang jatuh cinta pada siapa Lukman. Ia bahkan langsung memberitahu bahwa ia akan membawa teman wanitanya, Julie namanya, ke rumah untuk diperkenalkan pada kami.
Julie datang pada waktu yang ditentukan sambil membawa bayi berumur sebulan. Jantungku tiba-tiba berdetak cepat, darahku berdesir. Mustahil itu cucuku! Karena menurut pengakuan Lukman, ia baru pacaran dengan Julie kurang dari dua bulan.
Ah, ternyata bayi itu bukan cucuku. Lega rasanya. Julie lantas bercerita tentang dirinya. Julie adalah putri peternak babi Paul. Ia dilahirkan dan dibesarkan di daerah kami. Makanya meskipun berkulit putih ia disebut ”local” (seperti yang sering kita lihat tayangannya di film-film Hollywood), orang yang tumbuh-besar hanya di daerahnya saja, tak pernah kemana-mana.
Julie sudah pernah bertunangan, namun dua hari sebelum pernikahan berlangsung, ia membatalkan hubungan dengan tunangannnya itu. Tetapi kala itu, ia sudah mengandung!
Beberapa bulan kemudian, Julie melahirkan bayinya, ia memberi nama Brendi kepada bayinya itu.
Saat Lukman sering bertandang ke rumah peternak babi Paul, rupanya benih-benih asmara bersemaian di sana, Lukman merasa cocok dengan Julie. Mereka suka hidup dengan cara ”local”.
Mula-mula istriku keberatan hubungan Lukman dan Julie, namun lambat-laun istriku luluh juga. Rupanya kepribadian Julie sangat menawan hati istriku, Julie seorang yang lembut dan penyayang. Hingga akhirnya istriku rela juga melanggengkan hubungan Lukman dan Julie.

***

Sekarang mulai timbul keruwetan baru. Aku memang suka sekali pada bayi dan anak kecil. Maka setiap kali Brendi dibawa ke rumah, aku menggendong dan bermain dengannya. Aku memanggil Brendi selayaknya aku memanggil cucuku sendiri. Aku membayangkan bagaimana ia memanggilku kelak. Begitu pun dengan Julie. Apakah ia akan memanggilku, Ayah? Atau nama kecilku saja.
Inilah masalahnya bila tinggal dan hidup di Amerika. Sudah menjadi hal lumrah, hal wajar dan mungkin sangat sopan, untuk saling memanggil dengan hanya memanggil nama kecil saja. Biar pun usia terpaut jauh berbeda.
Julie yang sering datang ke rumah tak pernah memanggilku Mr. Mahmudi. Itu pun tidak pada tempatnya ia memanggilku dengan Mahmud saja, kukira ia merasa sungkan juga, kurang sopan. Karena ia tahu, Lukman memanggilku Papa. Pemakaian istilah Om atau Tante tidak bisa dipakai. Karena ini Amerika. Akhirnya, walaupun selalu canggung, demi menghormati aku dan istriku, Julie hanya mengatakan ”Hallo”, lain tidak ketika menyapa kami.
Setelah Lukman dan Julie menikah, keruwetan ini pasti akan terurai. Tentu mereka akan memanggil aku dan istriku: Papa dan Mama.
Tapi aku tak begitu yakin, soal lain bakal tak akan bikin ruwet lagi. Karena mendadak timbul keruwetan baru. Bapaknya Julie, Paul, mengundang kami makan malam dengan hidangan menu yang istimewa, namun membuat lidah kami tercekat: Babi Panggang! **

Rabu, 16 November 2011

A Gloomy Tale from a Fast Food Restaurant

A Gloomy Tale from a Fast Food Restaurant
*Bamby Cahyadi (Translator: Bung Kelinci)

This short story waiting for a publisher

Sabtu, 13 Agustus 2011

EMOSI PAGI HARI

Emosi Pagi Hari (dimuat di Harian Analisa Medan, 14 Agustus 2011)

Oleh: Bamby Cahyadi

Terkadang liburan dari rutinitas kerja bagiku menjadi hal yang membosankan. Padahal beristirahat dari pekerjaan yang bertubi-tubi dan penuh target yang mesti dicapai adalah sebuah anugerah. Tentu akan menjadi membosankan apabila aku tak punya agenda acara untuk mengisi liburan kerja itu. Begitulah yang terjadi di hari selasa lalu.

Pagi-pagi, setelah sarapan dengan semangkuk oatmeal instan -makanan ini sudah menjadi menu sarapan pagi yang paling nikmat bagiku sejak lima tahun terakhir, padahal makanan berserat oat ini hambar rasanya dan bikin ingin muntah kalau dimakan sudah tak panas lagi-, minum segelas susu berkalsium -lagi-lagi susu ini sudah menjadi minuman favoritku sejak lima tahun terakhir ini, tapi tetap saja persendianku dan tulang-belulangku masih suka linu-linu apabila terkena udara dingin atau semburan AC yang terlampau sejuk- dan menelan sebutir vitamin C dosis tinggi.

Apabila Anda mengatakan aku korban iklan, maka akan kujawab: "Anda benar!"

Setelah sarapan, lalu mandi. Berdandan sedikit: menyisir rambut, menggunakan pelembab kulit dan menyemprotkan parfum secukupnya pada ketiak, merapikan kerah baju, lantas aku pamit pada pembantu rumah-tangga untuk keluar rumah sejenak. Aku tak pamit pada istriku karena dia sudah pergi bekerja pagi-pagi sekali, ketika jalanan masih lengang dan aku masih bergumul dengan mimpi-mimpi yang mengasyikkan (walaupun mimpi buruk, bagiku mimpi sesuatu yang keren dan asyik). Pernah tidak Anda bermimpi? Kalau Anda merasa jarang bermimpi atau tak pernah bermimpi atau lupa akan mimpi-mimpi yang Anda alami saat tertidur, kasihan sekali hidup Anda.

Aku keluar rumah dengan tujuan kantor pos dan selanjutnya belum jelas mau kemana. Ada beberapa buku pesanan teman yang belum sempat kukirimkan.

Sesampai di kantor pos. Entah karena hari itu masih hari selasa dan baru saja liburan panjang, suasana kantor pos sangat meriah. Sangat ramai. Penuh-sesak dan berdesak-desakkan. Kebanyakan orang yang sudah tua yang memenuhi seluruh ruang tunggu kantor pos. Mungkin mereka mau mengambil uang pensiun, batinku.

Aku mengantre di loket pengiriman kilat khusus. Dalam benakku, setelah berpuluh-puluh tahun menggunakan jasa pos, aku tak pernah dilayani dengan cepat. Petugas pos selalu lamban menangani pemakai jasa pos yang hendak kirim surat, dokumen dan barang kiriman lainnya. Entah di kantor pos langganan Anda.

Petugas pos loket kilat khusus mengetik pada keyboard komputer memakai sistem 11 jari, (seperti yang aku lakukan sekarang saat mengetik cerpen ini. Sistem 11 jari artinya hanya jari telunjuk tangan kanan-kiri saja yang beraktivitas), tapi kecepatan ketikanku tentu saja jauh lebih cepat ketimbang petugas pos yang kelihatannnya masih berusia muda-muda, tapi guratan wajah mereka seperti orang yang telah berpuluh-puluh tahun kerja di situ, tanpa ekspresi apalagi senyuman. Napas mereka seolah menghembuskan keluhan, keluhan dan keluhan! Seolah-olah orang yang dilayani adalah jarum jam yang berputar lambat, atau bisa jadi serupa toilet tisu tak berguna dan bikin kerjaan saja. Sesuatu yang menginterupsi kehidupan bahagia mereka saat itu.

Aku mengangsur tiga buah amplop kiriman kepada petugas loket. Amplop diterima dengan malas-malas oleh petugas, lalu sepintas dia membaca alamat kirim, lantas masih dengan malas-malas dia mengetik alamat kirim. Setelah itu dengan gerakan lemah dia melempar amplopku ke meja temannya di sebelahnya, untuk distempel.

"Isinya buku semua!" kata petugas itu.

"Oh, buku," sahut temannya tak kalah lesunya menyetempel amplopku yang berisi buku-buku karanganku itu. Aku berpikir, mungkin mereka belum sempat sarapan, hingga hari masih pagi mereka sudah loyo ibarat orang kekurangan vitamin dan gizi buruk.

Dengan wajah datar tak bersahabat, petugas pos menyodorkan kertas kuning padaku seraya berucap, "Dua puluh enam ribu, kalau bisa bayar pakai uang pas!" Aku geram dibuatnya. Mau marah rasanya.

Urusan uang kecil atau uang kembalian memang sudah menjadi masalah laten di ibukota. Apalagi apabila Anda menggunakan jasa taksi. Selalu sediakan uang dengan nominal kecil-kecil saja dalam dompet Anda. Rp. 50.000,- atau Rp. 100.000,- nominal yang pasti ditolak bila Anda melakukan transaksi apa saja di pagi hari. Inilah asumsiku. Buktinya, petugas kantor pos meminta aku membayar biaya kiriman dengan uang pas. Pasti dia tak punya uang kembalian. Bisa juga ia malas! Sudahlah.

Udara panas di ruang tunggu -yang disebabkan oleh tidak dinyalakannya empat unit AC 2 PK, kelihatannya untuk berhemat- hampir membakar emosiku yang sumbunya sangat pendek untuk disulut dan meledak. Untung ada seorang perempuan cantik yang senyum-senyum melihat aku yang sedang tampak sebal, gusar dan berkeringat. Hatiku agak sejuk dibuatnya.

Aku mengucapkan terima kasih. Bukan pada petugas pos yang melayaniku dengan beku. Aku menyungging senyum pada perempuan cantik itu dan mengucapkan terima kasih padanya, karena telah membuat hati dan kepalaku sejuk. Mudah-mudahan petugas di kantor pos tempat Anda berkirim sesuatu, tak sama dengan petugas kantor pos yang kuceritakan di sini.

Lepas dari kantor pos barulah aku memikirkan kemana tujuanku selanjutnya. Baiklah, aku berniat mengunjungi sebuah mal yang letaknya tak begitu jauh dari kantor pos ini. Aku menggunakan taksi -karena aku tak bisa nyetir mobil dan tak punya nyali yang cukup tangguh untuk mengendarai sepeda motor di tengah lalu-lintas Jakarta yang sangar dan kejam- menuju mal yang kumaksud.

Aku selalu mengunakan jasa taksi, karena lebih nyaman walaupun selalu menjebol isi dompetku di setiap tengah bulan. Lagi pula, jumlah kendaraan di Jakarta sudah sedemikian banyak, masih kah aku menambah jumlahnya yang tak cukup lagi ditampung oleh lajur jalanan?

Pada saat hendak naik taksi, aku kesal bukan kepalang. Darahku mendidih lagi. Para pengguna kendaraan sepeda motor yang tak sudi memberikan kesempatan padaku untuk menuju dan membuka pintu taksi. Padahal taksi sudah menepi mendekati trotoar, tetapi pengguna motor terus menerabas dari sisi kiri jalan. Mereka tak memberikan jalan dan kesempatan padaku untuk naik ke dalam taksi. Dengan sedikit keberanian kuhadang motor-motor itu dengan badanku, sambil aku membuat acungan jempol pada mereka. Mendadak motor-motor itu mengerem. Terdengar suara berdecit disusul suara-suara gerutuan dari para pengendara motor.

Heran! Kenapa mereka yang menggerutu? Apakah kalau mereka memperlambat laju motornya, mereka bakal kehilangan uang bermilyar-milyar rupiah? Atau, orang terkasih mereka akan mati? Tentu mereka tak kehilangan apa-apa bukan? Apabila memberi kesempatan padaku untuk melangkah dan masuk ke dalam taksi.

AC taksi membuat hatiku sejuk kembali. Sampailah aku di sebuah mal. Untuk berhemat, aku berhenti di sisi kiri jalan, sementara mal terletak di sisi kanan jalan. Apabila taksi mengantarku sampai lobi mal, taksi harus berputar-balik dan argonya bertambah Rp. 5.000,- -kan nilai yang lumayan untuk membeli menu serba lima ribu di sebuah restoran cepat saji-.

Untuk menuju mal, dari sisi kiri jalan tak ada Jembatan Penyeberangan Orang (JPO). Aku cukup terkesan, sudah tersedia lampu lalu-lintas di jalan itu untuk mengatur orang-orang yang hendak menyeberang. Apabila orang akan menyeberang, lampu hijau dengan gambar tanda orang akan menyala hijau, disertai dengan waktu hitungan 15 detik. Setelah hitungan detik ke-15, lampu itu akan berwarna merah untuk orang yang menyeberang dan tanda hijau pada kendaraan bermotor untuk berjalan.

Saat lampu hijau untuk tanda orang menyeberang menyala, dengan spontan aku menyeberang. Saat itu arus lalu-lintas cukup padat dan beberapa pengendara motor menjalankan motornya cukup kencang. Aku sengaja mengambil posisi menyeberang paling kanan. Saat itulah beberapa motor tetap melaju dengan kecepatan tinggi, walaupun tanda lampu untuk mereka berwarna merah yang berarti, mereka harus berhenti.

Melihat beberapa motor masih menyelinap, dengan penuh emosi dan gagah perkasa aku tendang sebuah motor yang hampir menyeruduk tubuhku. Dengan lantang aku berteriak, "Eh, Anda goblok banget ya? Sudah tahu tanda lampu merah, Anda jalan terus, mata Anda buta!"

Pengendara motor yang kuhardik hanya terkesima dan melotot ke arahku. Dengan segera aku acungkan jari tengah tangan kananku, dan aku berteriak, "Keparat!" -Maaf, kalimat itu kalau diterjemahkan dalam bahasa Inggris artinya Fuck You!-. Terus terang aku berteriak "keparat" dan sangat marah pada setiap pengendara motor yang tidak berdisiplin dan tak mematuhi aturan berlalu-lintas serta tak memberi kesempatan pada penyeberang jalan untuk melintas, seolah-olah jalanan hanya mereka yang punya. Keterlaluan!

Sesampai di dalam mal dengan bergegas aku masuk ke sebuah toko buku untuk menangkan diri. Setelah perasaanku agak nyaman, aku lantas melihat-lihat beberapa buku keluaran terbaru, mencari dan membeli buku-buku karya teman-teman yang terpajang di rak-rak penjualan buku. Hatiku benar-benar sejuk.

Kadang-kadang kehidupan ini membosankan apabila dilalui tanpa tujuan. Dikerjakan tanpa ujung, tanpa pangkal. Tak heran angka orang bunuh diri makin meningkat, sebab hidup ini memang membosankan, apabila tanpa tujuan, bukan? Kurasa, pada saat yang tepat, aku berhak marah-marah dan mengumpat.

Berteriak keparat kepada siapa saja, sekedar seolah-olah hidup ini menyenangkan. Setidaknya emosiku sedikit redam. Tentu bukan pada Anda, pembaca yang budiman. Apalagi kini sudah bulan puasa, dimana emosi tentu harus dikendalikan secara bijaksana, bukan?

Jakarta, 27 Juli 2011

Jumat, 08 Juli 2011

KETIKA HUJAN REDA

KETIKA HUJAN REDA
Cerpen Oleh : Bamby Cahyadi


“Aku benci hujan, aku benci hujan!”
Entah umpatan atau sekadar gerutuan spontan yang terlontar dari mulutku, ketika mengetahui sore ini hujan turun sangat deras. Curah hujan semakin rapat dan di langit yang kelam petir menyambar-nyambar. Kulihat orang-orang berlarian di luar sana untuk berteduh di mana saja.
Sesaat aku tertegun di lobi depan gedung perkantoran tempatku bekerja. Menatap sekeliling dengan gamang. Apakah aku harus merobos hujan ini, batinku. Aku ingin segera pulang ke rumah. Aku lantas sibuk mengaduk-aduk isi tas, mencari payung lipat yang sudah kusiapkan sedari tadi saat menuju kantor pagi hari.
Beberapa hari belakangan ini, mendung tebal selalu menggelayuti langit Jakarta, oleh karenanya, aku telah siapkan sebuah payung lipat untuk mengantisipasi hujan yang sering mendadak runtuh dari langit. Seperti kata pepatah, sedia payung sebelum hujan, maka aku adalah seorang yang cukup patuh dengan pepatah itu. Dan ternyata sore ini hujan benar-benar menyiram bumi Jakarta. Pepatah itu begitu mujarab jadinya.
“Lebih baik hujan!”
Tiba-tiba kupingku menangkap suara seseorang bergumam. Mungkin juga ia menjawab gerutuanku. Aku memalingkan wajah ke arah kiri sumber suara. Saat aku menoleh, mataku bersitatap dengan sebuah mata bulat, indah dan berkilat. Oh, wanita yang bergumam itu begitu cantik. Dadaku sedikit bergemuruh.
“Anda suka hujan?” tanyaku.
“Tidak juga,” jawabnya.
“Kenapa Anda katakan, lebih baik hujan kalau Anda sendiri tidak suka hujan?” ujarku penasaran sambil tanganku sibuk mengaduk-aduk isi tas mencari payung. Tapi nihil. Aku tak menemukan payung lipatku. Seingatku, payung itu sudah kusisipkan ke salah satu bagian di tasku. Mungkin payung itu tertinggal. Tapi aku yakin, payung itu sudah kumasukkan dalam tas ini.
“Ini, pakai saja punyaku,” wanita itu menyodorkan sebuah payung lipat berwarna merah dengan tangan kirinya. Tangan kanannya memegang payung yang lain. Rupanya ia membawa dua buah payung lipat. Kuperhatikan ia sepertinya ingin meminjamkan payungnya dengan tulus padaku.
“Kenapa payung yang merah?” gerutuku dalam hati. Aih, ternyata ia tahu isi hatiku.
“Tidak suka merah ya?” tanya wanita itu seolah-olah ia tahu apa yang barusan kukatakan di dalam hati. Ia lantas melihat payung warna biru di tangan kanannya. Lantas ia menyorongkan payung warna biru di genggaman tangan kanannya kepadaku. Aku sempat tergeragap, tak menyangka ia sespontan itu.
“Terima kasih, aku bawa payung kok,” jawabku singkat sembari terus mengaduk-aduk isi tas, beberapa lembar kertas kerja dan alat-alat tulis hampir berserak di lantai lobi gedung perkantoran ini. Aku lantas menepuk jidatku.
“Ah, aku mungkin lupa!”
“Payungmu tertinggal ya?”
“Iya…!”
“Masih mau?” sodornya lagi.
“Terima kasih,” kataku sembari menerima payung dari tangan kanan wanita itu.
Baik sekali wanita ini batinku. Ia terlihat sangat anggun, penampilannya terlihat rapi dan elegan, mungkin ia seorang sekretaris di salah satu kantor di gedung ini pikirku.
“Kenapa Anda menawarkan pinjaman payung kepadaku? Mungkin saja arah tujuan kita berbeda,” ucapku sambil membuka lipatan payung. Lantas payung terbentang.
“Aku rasa kita ke arah yang sama. Anda akan ke halte itu juga kan?” Wanita itu menunjuk sebuah halte yang berada persis di depan gedung perkantoran ini bukan dengan ujung jarinya, tapi dengan memonyongkan bibirnya. Aku semakin terpukau. Ah, cantik dan lucu sekali wanita ini. Darahku berdesir aneh.
“Berarti Anda kerja di sini ya?” sahutku tidak mengiyakan pertanyaan tentang halte. “Kantor apa? Lantai berapa? Sebagai apa?” Lanjutku memberondongnya dengan pertanyaan. Aku begitu Penasaran. Ia memandangku, aku membalas tatapannya. Desiran dalam darahku menggetarkan syaraf-syarafku.
“Aku Karin!” tiba-tiba wanita itu menjulurkan tangannya untuk bersalaman. Bodohnya diriku! Sedari tadi aku bertukar tanya dengannya, kami belum saling berkenalan. Aku membalas uluran tangan Karin dan menjabatnya erat. Kehangatan mendadak menjalar di telapak tanganku hingga ke sekujur hatiku.
“Biola!” Aku memperkenalkan diri dengan menyebut nama panggilanku. Bukan nama panjangku.
”Biola? Masak lelaki, bernama Biola?” Matanya membelalak.
”Itu nama panggilan. Keren bukan namaku? Tapi, namamu juga keren. Karin, keren,” candaku. Ia terkekeh, pipinya merona merah. Cantik sekali.
“Apalah arti sebuah nama. O ya, maaf, tadi aku menyahut umpatanmu,” kata Karin sambil membuka payungnya juga. Payung warna merah itu terbentang.
“Ya, aku benci hujan di sore hari. Jalanan pasti macet karena banjir!” Aku sedikit memberikan tekanan nada saat mengucapkan kata macet. Karin tertawa kecil melihatku, ia melipat dan menggulung lagi payungnya yang telah dibentangkannya itu.
”Becek, nggak ada ojek! Ha..ha..ha,” lanjutnya sambil tertawa lepas. Aku pun ikut tertawa bersamanya. Entah mengapa, aku merasa telah sangat lama mengenal Karin.
”Kok payungmu dilipat lagi?” tanyaku. Ia tak menjawab.
“Aku rasa kamu juga salah menangkap maksud perkataanku tadi,” jelasnya.
“Maksud kamu?”
“Aku bilang lebih baik hujan. Maksudnya adalah daripada Jakarta panas dan gerah lebih baik hujan!” Ia menegaskan.
“Aku pikir kamu benar juga, beberapa hari ini langit selalu mendung, tetapi tidak hujan, udara menjadi sangat panas dan bikin gerah.” Aku pun ikut melipat kembali payung yang telah mengembang, seperti yang Karin lakukan.
“Tidak jadi ke halte?” tanyaku dan Karin berbarengan. Aku menggeleng. Karin menggeleng.
Hujan semakin deras di luar sana. Jalanan di depan gedung perkantoran kami sejak hujan belum turun memang sudah macet menjadi semakin macet, seolah kendaraan-kendaraan bermotor itu bagai melata yang malas merayap di jalanan yang basah.
Tampaknya tidak ada bus atau taksi yang melewati halte di depan gedung ini. Terkadang aku bertanya sendiri, kemana kendaraan umum seperti bus dan taksi disaat aku begitu membutuhkan keberadaan mereka. Kendaraan didominasi oleh mobil pribadi dan sepeda motor yang bergegas menerabas hujan yang tak mau reda.
Warna langit pun perlahan melindap menjadi suram. Senja tak merekah. Padahal aku sangat suka warna senja. Hujan menutupi warna jingga senja dengan warna kelabu. Kini langit berwarna jelaga, hitam, kelam, disertai hujan yang tak berjeda dan suara petir yang sesekali memekik memecah gelap malam.
Aku dan Karin memutuskan untuk menanti hujan reda dan kemacetan berlalu di sebuah kedai kopi yang terletak di beranda sebelah utara gedung perkantoran ini. Di kedai yang terang dan hangat ini, kami bercakap-cakap tentang apa saja yang terlintas di benak masing-masing sambil menikmati segelas cappucino panas dan sepiring kentang goreng.
”Padahal aku sangat suka warna senja.”
”Oh, romantis sekali itu. Tapi bukan kah kamu tak suka warna merah?”
”Senja berwarna jingga, bukan merah.”
”Tapi keduanya dari dasar warna yang sama.”
”Ah, sudahlah, aku kan sudah memilih payungmu yang berwarna biru.”
”Ya..ya..ya..!”
“Aku sebenarnya tak terlalu benci hujan!”
“Apaaa…?”
“Ah, bukan apa-apa.”
Aku dan Karin kembali menyeruput cappucino yang kini sudah tak benar-benar panas dalam genggaman tangan kami hingga tuntas. Sambil tertawa berseri-seri kami menikmati suara guyuran hujan di atas kanopi kedai kopi yang berdentang-dentang bagai simponi genderang yang bertalu-talu.
Meski makin larut, malam kian hangat. Namun kehangatan yang terjadi terasa begitu cepat berlalu dan buyar dalam sekejap, ketika istriku menelepon dan bertanya. “Kamu di mana?”
Karin melirikku. Setengah bergegas ia berbisik padaku, ”Itu suamiku, ia menjemputku rupanya.”
Kurasa mulutku terbuka, menganga. Lidahku kelu ketika Karin beranjak dari tempat duduk dan berlalu begitu saja. Ingin kukatakan padanya, ”Payungmu tertinggal!” Tapi aku hanya bisa terlongo-longo sendirian dengan mulut terkunci.
Di luar hujan telah reda rupanya. Istriku mengirim sebaris sms, galak sekali isinya. ”Cepat pulang!”***


Jakarta, 10 Maret 2011

Dimuat di Riau Pos, 3 Juli 2011

Kamis, 02 Juni 2011

Tuhan Memang Lucu dan Maha Berkehendak

Cerpen oleh: Bamby Cahyadi



Sudah lama kami mendambakan seorang keturunan. Ya, seorang anak. Aku dan istriku ingin sekali punya bayi lucu sebagaimana layaknya orang tua yang suka pamer foto anaknya di profil Facebook dan BlackBerry. Dalam kehidupan berumah tangga, mungkin itu saja tujuan kami masih bertahan sebagai pasangan suami-istri. Punya anak.



Hingga kini buah-hati yang kami tunggu-tunggu belum juga dilepas-lepas dari genggaman Tuhan ke rahim istriku.



Sebenarnya Tuhan pernah melepas calon anak kepada kami, akan tetapi Tuhan hanya menyimpan di rahim istriku sangat sebentar. Sebelum roh anak kami dihembuskan oleh-Nya ke rahim istriku, Tuhan kembali merenggut roh anak kami itu. Enam tahun yang lalu istriku keguguran. Sakit hati kami. Menangis kami setiap hari.



"Oh, buah hati yang pernah singgah dalam rahim istriku, kau pergi tanpa permisi, Nak," ratapku kala itu. Kami hanya bisa termangu-mangu penuh kesedihan di subuh yang kering dan asing.



Saat itu seonggok daging merah kehitaman keluar dari vagina istriku. Istriku menahan rasa sakit sambil meraung-raung. Ketika dokter mengambil tindakan medis untuk membersihkan isi rahimnya. "Tuhan Maha Berkehendak," begitu kata dokter yang membersihkan rahim istriku. Dan, kami pasrah apa adanya tak berdaya. Mau apa lagi, coba? Kalau itu kemauan Tuhan.



***

Aku adalah pribadi dengan perilaku yang ganjil. Lebih tepat unik, aneh. Aku sering melakukan beberapa pekerjaan dalam waktu yang bersamaan. Aku seperti menjelma menjadi amuba. Bisa membelah diri. Saat aku sedang membaca di ruang tamu, maka diriku yang lain sedang menonton televisi. Atau pada saat aku mandi, maka diriku yang lain sedang menerima telepon dari seorang klien.



Ya, bahkan aku bisa menerabas lorong-lorong waktu. Bermain-main di dimensi waktu. Sesekali aku ke masa lampau dan lebih sering melesat ke masa depan. Karena, menyenangkan melihat masa depan. Di masa depan, sungguh suasananya sangat menakjubkan. Tapi, hal itu tak boleh kubeberkan di sini. Karena kalau kuceritakan di sini situasi dan kondisi di masa depan, kalian bisa ikut-ikutan gila. Lagi pula, kami–para penjelajah waktu–dilarang keras membocorkan rahasia.



Terkadang teman-temanku suka tertawa geli melihat tingkah-polahku. Bahkan ada yang sampai terkikik-kikik berguling-guling di atas trotoar jalan. Dalam pandangan mereka, aku adalah orang gila yang lucu, orang gila yang menghibur. Tetapi pada akhirnya mereka akan bungkam sendiri, saat ada kejadian yang membuat mereka takjub dan terkagum-kagum tentang ceracauku jadi kenyataan.



Sebagian dari teman-teman percaya bahwa aku bisa meramal. Menerawang masa depan atau bisa melihat hal-hal gaib. Aku memang bisa. Maka tidak sedikit yang berkonsultasi denganku masalah-masalah supranatural yang aku sendiri tidak tahu wujudnya seperti apa.



Ramalanku selalu tepat tentang sesuatu peristiwa atau perihal seseorang. Misalnya tentang bencana gempa atau gunung meletus. Atau tentang sakit dan kematian orang-orang yang kukenal atau tak kukenal. Aku sangat yakin diriku yang lain telah melompat ke masa depan, lalu ia kembali lagi menyeruak ke masa kini, kemudian ia membisikkan padaku tentang informasi masa depan itu yang dibutuhkan olehku. Tapi terkadang ia sangat pelit. Ia, memberiku informasi sedikit-sedikit dan terpotong-potong. Hingga aku harus menyusunnya sendiri, seperti potongan puzzle yang berantakan. Biasanya aku menyusun informasi gaib itu lewat energi yang kurasa dari aura seseorang atau aliran energi alam tertentu yang menjalari sekujur tubuhku.



Baiklah, lupakan dulu omong-kosongku tadi. Begini, saat ini aku sangat suka makan rujak. Istriku saja sampai terheran-heran, karena setiap hari aku makan rujak. Pagi, siang, sore, malam, dini hari bahkan subuh pun, rujak selalu kusantap. Betapa nikmatnya buah-buahan asam-manis itu kukunyah dengan bumbu terasi pedas. Ah, tak terbayangkan. Akibatnya, karena harus selalu ada persediaan rujak aku sering berburu rujak dari warung ke warung, dari penjual rujak gerobak ke penjual rujak gerobak yang lain hingga mencari rujak yang dijual di mal-mal.



Aku seperti perempuan yang sedang ngidam. Istriku terkikik-kikik, ketika suatu hari, aku sampai linglung karena ingin makan rujak tak kesampaian. "Kamu seperti orang ngidam saja Mas," kata istriku, saat aku uring-uringan mencari penjual rujak di sekitar kompleks rumah. Tetapi tak satu pun penjual rujak yang kutemui, hingga akhirnya aku putuskan mencari rujak di sebuah mal. Karena di areal food court mal tersebut tersedia counter penganan rujak.



Keadaan akan menjadi tak terkendali apabila aku tak makan rujak sehari saja. Aku akan uring-uringan sepanjang hari, dari bangun hingga kembali tidur. Emosiku akan sangat labil, aku menjadi seorang pemarah yang menjengkelkan. Kalau sudah begitu, istriku buru-buru memberiku obat penenang hingga aku tertidur lelap. Anehnya, dalam tidur pun aku bermimpi sedang mencari-cari rujak, tapi tidak ketemu. Sehingga aku mengigau tak karuan.



Melihat kondisiku ini, istriku menjadi prihatin. Aku pun menyetujui usulan istriku untuk berkonsultasi dengan dokter ahli jiwa atau semacam psikiater. Setelah beberapa kali pertemuan dengan dokter ahli jiwa itu. Akhirnya aku direkomendasi untuk menemui dokter spesialis kandungan oleh dokter ahli jiwa itu. Lho kok?



Tentu saja aku marah. Aku tersinggung pada dokter ahli jiwa itu. Masak aku disuruh menemui dokter kandungan! Namun dengan sabar dokter itu berkata, "Bapak dan Ibu, saya persilakan untuk tes kesuburan di sana. Nah, dokter spesialis kandunganlah ahlinya."



Lantas dokter jiwa itu melanjutkan ucapannya. "Mungkin, Bapak sangat berharap mempunyai seorang anak, sehingga Bapak merasa perlu makan rujak terus-menerus sehingga seolah-olah sedang ngidam."



Tanpa menunggu lebih lama aku dan istriku menuju poliklinik kandungan. Singkat cerita, dokter kandungan meminta kami untuk tes urin. Bukan tes kesuburan. Air kencing kami ditampung dalam tabung botol kecil. Lalu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Kami menunggu dengan sabar hasil tes urin tersebut.



Setelah menunggu sedikit lama, kami dipanggil kembali untuk menemui dokter kandungan tersebut. Dokter itu tidak bercakap sedikit pun. Ia memandangi kami silih berganti. Ke aku, lalu ke istriku. Aku lagi, istriku lagi. Begitu seterusnya. Sampai akhirnya ia berhenti sendiri kecapaian atau bisa jadi karena kepalanya menjadi pusing.



"Ada apa Dok?" tanyaku tak sabar.



"Begini Pak, hasil pemeriksaan urin yang kami lakukan, Bapak positif hamil!" kata dokter itu tercengang sendiri dengan suara bergetar hebat. Ia seolah tak percaya dengan hasil tes medis laboratorium rumah sakit ini. Ia tampak tak percaya dengan ucapannnya sendiri.



"Saya hamil, Dok? Betul saya hamil?" seruku kegirangan.



Istriku sampai bertepuk tangan mendengar kabar baik dari dokter itu dan mengepalkan tangannya, diacungkan tinjunya ke langit, lalu ditariknya ke bawah lagi di atas perutnya. "Yes!" sorak istriku histeris.



Beberapa saat kemudian, dokter kandungan itu terkulai pingsan di kursi duduknya.



Kami lalu mengabari tentang kehamilanku kepada semua orang. Kepada tetangga, kepada teman-teman, kepada keluarga dan kerabat lainnya. Mereka sangat takjub dan tercengang, bahkan ada yang sampai kena serangan jantung.



Aku dan istriku tentu sangat paham dan tak heran dengan kehamilanku. Karena aku pernah sedikit membocorkan rahasia padanya perihal masa depan kami. Tentu saja, tanpa sepengetahuan para penjelajah waktu yang lain.



Akhirnya setelah menjalani sembilan bulan masa hamil, aku melahirkan seorang bayi mungil yang lucu. Aku menjadi sangat terkenal, bukan saja di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Aku adalah laki-laki yang hamil dan kini telah melahirkan seorang anak. Bukan seperti Thomas Beatie, laki-laki yang melahirkan seorang anak, tapi ia melalui proses transgender terlebih dahulu. Aku berbeda, aku lelaki tulen.



Ah, sekarang kami sudah mempunyai seorang momongan yang terlahir dari rahimku. "Oh, Tuhan terima kasih ya," ujarku menimang bayi yang lahir dari rahimku.



Istriku tersenyum bahagia di sampingku, sambil mengusap-usap rambutku.



***

Anakku hilang. Entah mengapa ia bisa hilang. Aku takut ia diculik. Aku ngeri sekali sampai jantungku berdebar-debar hebat seakan mengedor-gedor rongga dadaku. Saking kencang debaran jantungku, aku sangat takut tulang rusukku akan patah akibat debaran yang bergemuruh. Aku memegang dadaku untuk meredam suara debar yang mengerikan itu. Keringatku mengucur deras. Istriku membangunkan aku dari tidur, ia duduk di tepian tempat tidur yang seprainya telah kusut dan basah.



"Anak kita mana, Ma?" tanyaku pada istriku saat aku terbangun dari tidur.



"Anak...? Anak kita yang mana?" balas istriku balik bertanya sambil melongo.



"Ya, anak yang lahir dari rahimku tentunya!" kataku kesal.



"Mas...Mas, kamu kok suka mimpi yang aneh-aneh," ujar istriku tertawa menahan geli melihatku bermandikan keringat.



"Kok mimpi yang aneh-aneh?" balasku.



"Makanya jangan tidur sore-sore. Pamali!" lanjutnya sembari terus terkekeh sambil berurai air mata.



Entah air mata geli atau sedih. Aku menelan ludah. Cuma mimpi rupanya. Mungkin aku yang terlalu serius memikirkan soal keturunan yang belum turun-turun. Tuhan memang lucu dan maha berkehendak.

Jakarta, 25 Desember 2011