Minggu, 26 Juli 2009

Cerpen Saya di Koran Tempo: Aku Bercerita dari Pesawat yang Sedang Terbang

[dimuat di Koran Tempo Minggu tanggal 26 Juli 2009]

Seandainya aku tidak terlambat pulang sekolah, mungkin aku kini tak berada di atas ketinggian 30.000 kaki. Aku melihat awan-awan kelabu tebal bararak-arak yang seolah-olah ikut menangis dari balik jendela pesawat terbang ini. Aku kembali mengusap air mataku yang jatuh membasahi pipi dengan selembar tisu.

Kulihat ibuku memandang kosong ke arah jendela yang lain di sisinya. Matanya sembab, air matanya mungkin sudah kering sejak tadi pagi. Kakakku tertidur di bangku pesawat di samping ibu. Nenyak sekali tidurnya, paling tidak ia bisa melupakan sejenak kesedihan yang tadi malam tiba-tiba merenggut kebahagiaan kami sebagai suatu keluarga.

Aku kembali menerawang memandang awan-awan kelabu tebal yang seolah menangis itu. Laju pesawat kukira membelah gerombolan awan-awan itu, buyar. Berpencar. Seperti kami, keluarga yang baru saja tercabik.

Baiklah, mungkin kalian akan bertanya-tanya, sedang membuat cerita seperti apakah aku sekarang? Mari kita kembali, di hari kemarin. Di mana ceritaku ini bermula.

***
Hari Kamis, menjelang sore. Seharusnya aku sudah berada di rumah, namun entah kenapa aku mau saja terbujuk rayuan Yopi, Turman dan Panca usai bubaran sekolah. Ya, memang ada pelajaran tambahan yang diadakan oleh sekolah dalam rangka persiapan kami mengikuti Ujian Nasional. Sehingga menjelang sore kami baru keluar dari kelas.

Semula Yopi yang iseng mengusulkan sebuah ide dan ide tersebut diamini oleh Turman dan Panca. Yopi mengajak kami untuk jalan-jalan ke sebuah mal dan nonton film. Ide itu menggodaku juga. Tanpa pikir panjang, kami beramai-ramai menuju sebuah mal, tentu dengan menutup atribut seragam sekolah dengan jaket dan rompi.

Sewaktu kami sedang di taksi meluncur ke mal. Aku teringat sesuatu. Aku belum mengabarkan kepada ibuku, bahwa aku tidak langsung pulang ke rumah selesai pelajaran tambahan. Namun ternyata hapeku mati. Baterainya habis. Teman-temanku tak memiliki pulsa cukup hanya untuk sekadar mengirim sms ke hape ibu.

Rencananya aku akan menelepon ibu sesampai di mal nanti. Tetapi ternyata kemeriahan mal sore itu membuat aku lupa untuk menelepon ibu di rumah. Kami langsung terhanyut oleh suasana keramaian dan keceriaan mal. Terus terang aku dan teman-teman memang paling senang berada dan berlama-lama di mal ketimbang di sekolah. Ya, namanya juga anak muda. Kami baru kelas tiga SMP dan bulan depan kami akan mengikuti Ujian Nasional.

Tentu saja menghadapi Ujian Nasional kami merasa tertekan, stres. Sehingga ide Yopi untuk menyambangi mal dan nonton film adalah ide yang brilian. Sebelum menuju studio bioskop, kami membeli makanan dan minuman ringan di sebuah supermarket di lantai basement. Lalu makanan dan minuman itu kami masukkan ke dalam tas dan ransel masing-masing. Karena kalau ketahuan oleh petugas bioskop, bisa-bisa kami tak bisa ngemil di dalam bioskop nanti.

Terkadang peraturan nonton yang melarang membawa makanan dan minuman dari luar cukup menjengkelkan kami para pelajar. Harga tiket masuk bioskop memang murah dan terjangkau. Tetapi, apabila kami harus membeli makanan dan minuman untuk cemilan nonton di kafetaria bioskop, sama saja bohong. Harga di situ, dua atau tiga kali lipat harga di supermarket atau di warung-warung.

Kami memilih nonton sebuah film remaja di salah satu studio di bioskop mal terbesar dan termegah di kota ini. Film yang sedang digandrungi oleh para remaja masa kini. Tentu kami sangat ceria, tertawa-tawa cekikikan dan sambil bercanda. Film yang kami tonton juga sangat seru.

Aku benar-benar lupa, bahwa aku belum pernah pulang terlambat seusai sekolah. Aku benar-benar lupa, bahwa aku belum memberitahu perihal aku jalan-jalan ke mal dan nonton hingga malam hari kepada ibu atau ayahku.

Usai nonton baru aku menyadari hari telah bergulir malam. Langit telah menghitam, lampu-lampu jalan berpendar-pendar dan pijaran lampu dari gedung-gedung bertingkat telah menerangi sebagian gelap malam.

Aku memutuskan pulang duluan. Tak kuhiraukan lagi rayuan Yopi yang akan mentraktir kami makan di sebuah restoran burger ternama.

Sesampai di rumah, ibu telah menungguku dengan cemas di depan teras rumah. Kakakku juga cemas. Mereka bernafas lega ketika aku datang. Aku merasa sangat bersalah, kuciumi tangan ibu.

Aku bertanya, mana ayah? Ternyata ayah menjemputku ke sekolah. Tetapi, malah ayah yang belum pulang. Ibu kembali dilanda rasa cemas. Tiba-tiba menyeruak juga rasa cemas yang luar biasa dari dalam jiwaku. Bukan ibu saja yang merasakan, aku, dan kakakku juga. Kami kini sama-sama cemas. Malam kian larut, ayah tak kunjung pulang.

***

Tanda mengenakan sabuk pengaman menyala, disertai suara khas yang berdenting. Lantas disusul suara pilot pesawat menyampaikan sesuatu membelah sunyi kabin. Rupanya, pesawat akan melewati badai yang terjadi di depan. Guncangan akibat badai mungkin akan terjadi beberapa saat. Penumpang tetap tenang.

Aku melihat penumpang yang lain bergegas menyematkan sabuk pengaman. Beberapa di antara mereka terlihat berkomat-kamit, mungkin berdoa. Ya, berdoa. Bukankah berdoa akan menentramkan jiwamu? Melepasmu dari kecemasan? Kulihat ibu memandangku. Kakakku masih tertidur di kursi samping ibu. Begitu nyenyak ia tertidur.

Pandangan ibu masih hampa. Ada derita di bolamatanya. Derita yang kini kutanggung juga. Sepertinya kami sepakat untuk tidak berdoa. Atau mungkin berdoa, boleh jadi berdoa untuk sesuatu yang lain.

Ketika badan pesawat betul-betul terguncang-guncang, aku sempat berharap. Berharap pesawat ini benar-benar terguncang lebih dashyat. Lebih bergoyang-goyang dari ini. Lalu tersambar petir, lalu pecah, meledak berkeping-keping bersama tubuh-tubuh di dalamnya. Atau, aku berharap pesawat ini jatuh. Menghunjam bumi atau tenggelam di dasar samudera yang berada di bawah sana. Lalu hilang bersama kami, tubuh-tubuh yang ada di dalamnya.

Aku melilirik ibuku. Ia, membalas melirikku. Ibu tersenyum hampa. Aku tahu, ibu pun ingin pesawat ini jatuh. Dan kami mati. Mati bersama. Kakakku terbangun dari tidurnya yang lelap, mungkin mimpinya terganggu oleh guncangan. Ia, lalu menggamit tangan ibuku. Ia juga menatapku lekat. Semoga kita mati bersama.

Pesawat terguncang sungguh sangat lama. Penumpang yang lain mulai panik. Ada yang berteriak-teriak, ada yang menangis dan banyak juga yang menyebut nama kebesaran Tuhan. Oh, Tuhan yang Mahaberkehendak jatuhkan pesawat ini. Jatuhkan pesawat ini. Mulutku berkomat-kamit, berdoa agar pesawat ini benar-benar jatuh.

Aku ingin bersama ayahku!

Aku menangis lagi. Menangis sejadi-jadinya. Tersedu-sedu, sangat pedih, sangat sedih. Ayah, aku ingin bersamamu. Ibu juga, kakak juga.

Pikiranku kembali melayang.

Baiklah, aku lanjutkan lagi cerita yang sedang kubuat ini. Lupakan pesawat kami yang sedang terguncang-guncang di hantam badai. Karena pilot pesawat ini telah bertindak cerdik, ia menaikkan ketinggian pesawat menjadi 35.000 kaki. Dan, pesawat kami tidak pernah jatuh.

***
Ayahku belum juga kunjung pulang sampai selarut ini. Aku menyesal telah membuat ayah bersusah payah menyusulku ke sekolah. Pasti ayah tak akan menemukan siapa-siapa. Karena pada saat itu, aku, Yopi, Turman dan Panca telah lebih dahulu meninggalkan sekolah menuju mal. Ia hanya akan menemui halaman sekolah yang telah kosong melompong.

Aku merasa sangat bersalah telah membuat ibuku cemas, menungguku. Menyesal membuat ayah menjemputku. Kakakku hanya mengusap rambutku ketika aku pulang selesai nonton. “Jangan kau lakukakan lagi, kasihan ibu,” katanya mengacak rambutku. Aku tersenyum, meminta maaf padanya. “Tak perlu Dik. Kita tunggu ayah pulang,” lanjutnya.

Ibu berkali-kali menelepon hape ayah. Tetapi ayah tak pernah menjawabnya. Ibu hanya ingin memberitahu, bahwa aku sudah berada di rumah. Aku hanya pergi menonton film di mal. Aku tidak melakukan aktivitas yang berbahaya, walaupun aku terlambat pulang dari sekolah. Mungkin ibu juga akan bilang, aku tak senakal seperti yang mereka pikirkan.

Aku nakal, aku akui. Aku sering terlibat dalam tawuran sekolah dengan musuh bebuyutan sekolah kami. Tapi aku hanya ikut-ikutan, bukan tokoh utama. Atau aku suka meninggalkan pelajaran tak aku sukai, semisal matematika dan bahasa Inggris. Tapi itu kenakalan yang wajar bukan? Lagi pula aku tak suka gurunya. Aku tak pernah terlibat narkoba atau pergaulan seks bebas. Maaf, bukan aku itu! Ya, aku tidak senakal itu. Katakan kepada ayah.

“Aneh, kenapa ayah tidak mengangkat telepon dari ibu ya?” Ibu bertanya bukan pada kami, seolah ia bertanya pada ayah yang belum juga pulang. Padahal malam semakin larut. Gelap di luar semakin kelam, kesiur angin malam menghempas daun pintu rumah kami. Tiba-tiba telepon rumah berdering.

Ibu berlari menuju meja telepon. Ibu dengan cepat mengangkat gagang telepon. Ibu tak lagi berucap selain kata halo. Lantas ibu seperti tercekat. Tangannya gemetar. Telepon itu bukan dari ayah. Ibu limbung, badannya terhuyung saat meletakkan gagang telepon pada tempatnya. Kakakku memegang ibu, aku menghampiri ibu dengan pandangan bertanya.

“Ada apa Bu?”

“Tadi telepon dari rumah sakit. Cepat kita ke sana!”

Dengan bergegas kami menyetop taksi yang lewat. Ibu menyebutkan alamat sebuah rumah sakit di kota ini. Sopir taksi paham betul letak rumah sakit itu. Ibu menyuruhnya untuk tancap gas lebih dalam. Lebih dalam lagi. Jantungku berdetak sangat keras. Pembuluh darahku membesar berdesir-desir. Ah, aku tak suka keadaan seperti ini. Mau pingsan rasanya.

***

Lampu tanda mengenakan sabuk pengaman padam, disertai suara dentingan yang khas. Ting! Penumpang menghembuskan napasnya yang tertahan, lega. Kami tak jadi mati bersama. Tubuh kami tak jadi hancur berkeping-keping bersama serpihan badan pesawat yang hancur terkena badai. Dengan intonasi suara yang tak berubah (pasti pilot telah dilatih untuk bersuara dengan irama datar), pilot melaporkan bahwa cuaca kini telah cerah kembali. Dipastikan dalam waktu tidak kurang dari 45 menit lagi kami akan mendarat di Jakarta.

Ibu tampak kecewa. Begitu juga aku, begitu juga kakakku. Bukankah kami telah memanjatkan doa agar pesawat ini jatuh? Ternyata pesawat tidak jatuh, doa kami tak dikabulkan. Mungkin karena kami hanya bertiga. Lebih banyak penumpang yang memohon keselamatan. Itulah sebab, mengapa orang lebih suka berdoa bersama-sama. Tidak bertiga, apalagi sendiri. Bukankah mereka lebih dominan di hadapan Tuhan? Apalah kami yang cuma bertiga.

Oh, tidak. Kami tidak bertiga. Ada ayah dalam pesawat ini bersama kami. Tapi, apakah tadi ayah ikut berdoa?

Pasti kalian heran. Sedari tadi aku bercerita tentang keadaan kami dalam pesawat yang sedang terbang ini, tak pernah menyinggung soal ayahku. Lalu, kenapa aku katakan bahwa kami tidak bertiga?

Ya, ayahku berada dalam pesawat ini juga. Tidak percaya? Ayah berada di tempat yang lain. Ya, di tempat yang lain masih di pesawat ini.
Bolehkah aku mengajak kalian mendengarkan kisahku lagi? Sedikit lagi saja.

***

Aroma rumah sakit menyeruak, ketika kami sampai di pelataran rumah sakit. Baunya membuatku mual. Aku tidak suka rumah sakit. Baunya, bau kematian. Seorang polisi telah menunggu di depan ruang Unit Gawat Darurat.

Ibuku berlari masuk ke ruang itu. Tak dihiraukannya polisi yang akan menjelaskan sesuatu. Aku dan kakakku mempercepat langkah setengah berlari menyusul ibu yang telah masuk duluan.

Ruangan seketika mendadak hening. Sangat senyap, sunyi menjalari malam. Sepertinya semua orang, semua benda hidup, benda mati, apakah itu malaikat atau ruh gentayangan sekalipun tahu dan bersepakat, bahwa saat ini bukan waktu yang tepat bagi mereka untuk bersuara. Saat ini waktu untuk kami. Sungguh waktu untuk kami.

Ibu menangis menyayat-nyayat. Aku menangis meraung-raung. Kakakku menangis tertahan dengan air mata berderai-derai.

Ayahku tersenyum sebagai mayat.

***

Kami tidak bertiga, kami berempat. Ayahku berada di lambung pesawat ini juga. Di dalam peti mati bersama koper-koper besar dan barang-barang kargo lainnya di bagasi pesawat. Kami mengantar ayah untuk pulang.

Hari Jumat menjelang siang. Pesawat telah mendarat dengan selamat.***

Jakarta, 29-30 Juni dan 1 Juli 2009

7 komentar:

Shakila dan Syauqi mengatakan...

Kereen Ji. next ; Kompas minggu ya... ditunggu dengan sabar kemunculannya hehehe

Sidik Nugroho mengatakan...

Bagus Mas, ceritanya. Dalam plot ganda, jalinan kisah mengalir mulus.

Selamat!

Eti Puji mengatakan...

selangkah lagi menembus Kompas

ga ada bilik salam (chatbox) jadi ya menyapa di sini saja.
selamat pagi mas Bamby.

Eti Puji mengatakan...

selangkah lagi menembus Kompas

ga ada bilik salam (chatbox), ya menyapa di sini saja.
selamat pagi mas bamby ^^

sandra palupi mengatakan...

menarik. cerita dan alur yang sungguh menarik, dan juga berani. berani karna kau sudah keluarkan endingnya di awal, namun toh masih mampu membuat pembaca penasaran hingga bertemu ending yang sebenarnya.

Unknown mengatakan...

ikut mbaca ya om

Unknown mengatakan...

oohh, ini toh cerita sebelumnya dari http://bambydanceritanya.blogspot.com/2012/03/tentang-mayat-yang-sedang-tersenyum.html... lama juga ya baru keluar? hehe