Jumat, 22 Oktober 2010

Cerpen VS Novel: Imajinasi Terbatas Industri

Cerpen vs Novel: Imajinasi Terbatas Industri
Oleh: OWL (Buzenk, Goodreads Indonesia)


Pernah tidak merasa kesulitan menulis cerita pendek tapi justru lancar-aman-terkendali berekplorasi dalam menulis prosa yang panjang semacam novel? Hasil laporan pandangan mata berikut mungkin bisa memberikan gambaran mengapa menjadi novelis lebih diminati daripada cerpenis.

Menulis cerita pendek (cerpen) ternyata lebih sulit dibanding menulis novel. Karena tidak mudah menuangkan keliaran imajinasi hanya dalam beberapa ratus kata. Hal Ini juga yang dirasakan oleh ketiga narasumber: Bamby Cahyadi, Kurnia Effendy ((kef), dan Wa Ode Wulan Ratna dalam diskusi santai Klub Buku GRI: Kumcer vs Novel di TM Bookstore Poins Square Lebak Bulus, Minggu (17/10) kemarin. Gak cuma itu, ketiga narasumber juga banyak berbagi ilmu dan pengalaman seputar dunia tulis-menulis terutama cerpen dan novel.

Ada banyak situasi ataupun kondisi yang mempengaruhi seseorang hingga memutuskan untuk menjadi penulis. Faktor x=suka menulis biasanya menjadi alasan seseorang berkecimpung dalam dunia kepenulisan. Faktor x jugalah yang kemudian menjadi latar perjalanan Wulan dan Kef menjadi penulis sampai saat ini. Sedangkan bagi Bamby, ada faktor lain yang membuatnya melirik jurusan tulis-menulis hingga menelurkan buku kumpulan cerpen Tangan Untuk Utik. Ia mengatakan bahwa terjun ke dunia sastra merupakan ketidaksengajaan. Kebiasaannya membaca cerpen di koran setiap hari minggu ternyata membuat ia tertarik untuk menulis.

Disamping itu, menulis bagi Bamby juga menjadi terapi jiwa. Pengalaman psikologis yang dialaminya mengharuskan ia menjalani suatu terapi yang salah satu rekomendasinya adalah menulis. Mulai sejak itu ia mulai giat menghasilkan cerpen demi cerpen walaupun untuk konsumsi pribadi. Hasil karyanya ia arsipkan dalam blog pribadinya, Wordpress dan Friendster, sampai kemudian ia mengenal seorang penulis perempuan yang memotivasinya untuk menulis sastra. Terpacu menekuni dunia itu, Bamby mulai menapakinya.

"Dari situ, akhirnya mulai mencari-cari satu komunitas penulis dan bertemu yang namanya kemudian.com, dan bertemu penulis-penulis lain seperti Krisna Pabicara yang akhirnya menemani saya untuk serius menekuni dunia sastra," ungkapnya.

Kumpulan cerpen Tangan Untuk Utik yang juga menjadi buku baca bareng GRI di bulan September adalah buah karya Bamby yang keseluruhan cerita dipublikasikan melalui blog pribadinya dan kemudian.com. Tidak ada satu pun cerita yang dimuat di media. Ia mengatakan bahwa justru atas usulan sang editor-lah ia mengirimkan ke koran dan majalah, sembari menunggu proses penerbitan. Akhirnya, tiga dari 13 cerpen dalam kumpulan cerpen Tangan Untuk utik dimuat di koran dan majalah.

Pengalaman berbeda justru terjadi pada Kurnia Effendi atau yang akrab di sapa Kef. Ia yang sudah menulis sejak dari sekolah dasar, memanfaatkan mesin tik di kantor OSIS sekolahnya ketika SLTA, untuk menulis cerpen dan dikirimkan ke majalah. Anugerah baginya sebab karyanya diterima dan langsung dimuat.

"Ada pengalaman yang menurut saya anugerah sehingga saya merasa dimanjakan. Ketiga karya saya yang pertama, dua puisi dan satu cerpen langsung diterima dan dimuat saat itu di majalah Gadis, Aktuil, dan koran Sinar Harapan. Tapi bukan berarti saya tidak pernah mengalami penolakan. Setelah itu ya iya," ujarnya.

Lain lagi dengan Wa Ode Wulan Ratna. Terbiasa menulis sejak SMP namun tidak berani mengirimkan karyanya ke media. Berbekal informasi berbagai perlombaan dari temannya, ia pun mulai menyertakan buah imajinasinya dalam perlombaan. Beberapa cerita dalam buku Cari Aku Di Canti memenangi ajang tersebut.

Ditambahkan oleh Wulan bahwa menulis cerpen sebenarnya lebih banyak dilakukannya ketika kuliah. Sedangkan masa SMP lebih banyak menulis prosa panjang semacam teenlit. Ada lima judul yang ia selesaikan saat itu. Satu judul diselesaikan sekitar satu bulan dengan tulisan tangan, dan menghabiskan rata-rata dua buku tulis untuk satu judul. Maka tidak heran jika ia memiliki banyak buku harian. Ketika masa SMA ia menjelajahi dunia puisi, dan sesekali menulis cerpen. Namun tetap malu untuk dipublikasikan.

“Sebenarnya saya malu untuk dipublikasikan. Tapi waktu itu pernah dipublikasikan oleh sahabat saya. Waktu SMA nulis cerpen untuk tugas sekolah mereka (sahabatnya). Saya menulis cerpen dan mereka mengirimkannya ke majalah-majalah tapi pake nama mereka. Tapi saya malah senang karena ada yang baca, teman-teman senang, dan saya ditraktir. Waktu SMA memang tidak kepikiran untuk mengirimkannya ke majalah. Teman-teman yang berinisiatif meskipun dengan nama mereka,” kenangnya.


Saat imajinasi tak terkendali, menulis menjadi cara efektif untuk merekam scene demi scene yang diproyeksikan benak kita. Dan setiap orang memiliki kebebasan dalam mengeksplorasikan perasaan, pikiran, maupun emosinya. Entah dalam bentuk puisi, cerpen, prosa, bahkan tulisan yang tidak terstruktur sekalipun. Bamby memilih cerpen sebagai media pelampiasan imajinasi dan pikiran-pikirannya, baik ataupun buruk. Alasan-nya, “cerpen tidak perlu banyak perenungan.”

Dalam prosesnya, ia banyak menerima berbagai masukan tatkala karyanya dipublikasikan di blog. Dari hasil masukan-masukan tersebut ia melakukan pembacaan ulang dan editing. Kemudian, ia yang merasa masih sangat hijau dalam dunia sastra pun menyadari bahwa menulis cerpen tidak gampang. Ia berkisah, menuangkannya memang terasa mudah, tapi ketika tahu bahwa menulis harus menggunakan bahasa baku ia pun mengalami kesulitan.

Ia mengatakan bahwa kesulitan terbesarnya adalah tidak bisa membedakan alur, jalan cerita, cara membuat tokoh, karakter, dan konflik.Ia yang sebelumnya tidak pernah membaca teori menulis hanya menuliskan apa yang ingin ditulisnya saja dengan gaya sesuka hati. Selain itu, ia pun mengalami kesulitan dalam membuat tokoh dan menentukan judul. Sehingga tokoh-tokoh dalam karyanya banyak diambil dari nama teman sendiri. Dan merupakan tantangan besar baginya untuk menuangkan segala yang ada dibenaknya.

Ada ragam waktu bagi Bamby dalam menyelesaikan satu cerita pendek. Mulai dari hitungan jam bahkan sampai berbulan-bulan. Ia menyontohkan cerita “Karyawan Tua” dalam kumpulan cerpen Tangan Untuk Utik. Ditulis pada 30 November, terinspirasi dari kisah seorang teman yang pensiun dari restoran cepat saji, dan cerita diselesaikan hanya dalam waktu 3 jam. Atau cerita “Menemui Ujang” yang bagian pembuka ditulis di Bandung dan bagian penutup di Jakarta, dan membutuhkan waktu satu minggu dalam penyelesaiannya.

Sedikit mengupas buku Tangan Untuk Utik yang tema-tema ceritanya dianggap suram. Diakui Bamby, beberapa rekannya berpendapat bahwa ada efek kejut di setiap cerpen-cerpennya dan terkesan melenceng. “Hampir beberapa tokoh di cerpen ini berusia anak-anak antara 7-11 tahun. Kemudian, delapan diantaranya bercerita tentang kematian. Adapula kehampaan, kemudian tema yang absurd yakni ada empat tokoh yang kepalanya pecah. Terus terang saya penderita vertigo dan pada suatu masa saya ingin memenggal kepala saya sendiri supaya vertigo saya hilang. Tapi kalau dipenggal kepala, saya mati. Itu sebabnya kepala menjadi sasaran untuk dihancurkan. Mengapa masa anak-anak? Ada masa anak-anak yang ingin saya lupakan. Karena ingin dilupakan maka jadi mengendap. Pada saat menulis maka saya menulis endapan yang ingin saya lupakan tersebut. Tentang tema kematian, saya suka bercerita tentang kematian karena itu sesuatu yang pasti.”

Jika Bamby memilih menaburi cerpennya dengan kesuraman, Wulan memilih memuat nuansa lokal dalam cerpen-cerpennya. Ia banyak mengangkat tema kedaerahan yang inti persoalannya juga banyak terjadi di daerah-daerah lain. Sehingga ia beranggapan penting dan perlu untuk mengemukakan persoalan-persoalan kedaerahan, tidak melulu urban. Disamping itu, mengangkat tema lokal juga menjadi pengobat rindu terhadap kampung halamannya yang telah lama ia tinggalkan. “Saya pikir saya terlalu kangen sama kampung halaman dan seumur hidup tidak pernah pulang ke kampung halaman. Waktu itu memang sudah lama terbayang di benak saya untuk menulis persitiwa yang sudah pernah saya lewati disana,” ujar Wulan yang salah satu cerpennya mengangkat Buton diikutsertakan lomba Creative Writing Institute pada tahun 2005.

Pada proses pengumpulan data, ternyata Wulan banyak memanfaatkan teknologi internet untuk mencari data. Kemampuan mengolah data dan berimajinasi lah yang ia andalkan untuk meracik data tersebut menjadi cerita pendek yang sarat wawasan. Selain menelusur melalui internet, ia mendatangi tempat-tempat yang sekiranya dapat merepresentasikan situasi atau kondisi daerah cerita tanpa harus ke lokasi. Ia pun bertutur, “Kalau mau mengangkat settingan suatu daerah atau tempat tertentu otomatis harus tahu topografinya, sedangkan untuk hal-hal tertentu bisa saya dapatkan dari kuliah atau ketika datang ke suatu tempat yang juga mungkin situasinya sama, misalnya sungai yang di Riau mungkin sama seperti yang ada di Baduy. Dalam cerpen Bulan Gendut di Tepi Gangsal datanya dicari, tapi kalau Cari Aku di Canti saya ketempatnya langsung, tapi hasilnya sangat berbeda. Kelokalannya sangat berbeda. Kelokalannya lebih kental di Bulan Gendut dibanding Cari Aku di Canti. Saya juga tidak tahu kenapa, tapi mungkin bagaimanapun modal utama seorang penulis adalah kekuatan imajinasi karena kekuatan imajinasi sangat mempengaruhi kekuatan dalam berkarya.”

Kef, yang telah malang-melintang di dunia kepenulisan berbagi pengalaman dalam menulis cerpen dan novel. Penulis novel “Merjan-Merjan Jiwa” ini menuturkan bahwa pada dasarnya cerpen bukanlah novel yang dipendekan dan novel bukan cerpen yang dipanjangkan. Baik novel maupun cerpen sesunggunnya memiliki niat yang berbeda. Ia menganalogikan perbedaan cerpen dan novel seperti pembuatan warung tenda kaki lima dengan kursi seadanya, menu yang semua orang menikmati, selesai, tanpa perlu promosi. Akan berbeda ketika membuat McD yang segala sesuatunya harus ditentukan dengan detail.

“Jadi ketika membuat novel, konfliknya akan berbeda dengan cerpen, detailnya akan berbeda dengan cerpen, hal-hal yang akan mendukung karakter manusianya akan berbeda, kemudian plot, alur, dan sebagainya juga akan berbeda dengan cerpen. Cerpen lebih simple. Ketika saya menulis novel, karena ada tuntutan juga, saya harus membuat kerangkanya terlebih dulu. Berbeda dengan cerpen yang mungkin mengalir bahkan ada yang dikerjakan selama 2 jam dan sampai berbulan-bulan. Jadi intinya disitu. Bahkan ketika kerangkannya sudah selesai saya bisa menulis dari belakang. Ketika ada hambatan ditengah-tengah karena referensinya kurang misalnya, saya bisa menulis dari bab penutup dahulu. Kalau di cerpen misalnya endingnya terlebih dahulu. Hanya persoalan inspirasi saja,” tutur pria kelahiran Tegal, 20 Oktober 1960 ini.


Pasti selalu ada pengalaman seru yang dapat dibagikan dalam proses kreatif tulisan. Cerita lebih berliku tatkala memasuki ranah industri. Ketika industri berbicara terkadang mau-tidak-mau banyak penulis yang banting setir ke segmen yang lebih dilirik pasar. Seperti memaksa imajinasi mengikuti arus.

Secara aktual, novel lebih menjual dibandingkan cerpen. Informasi dari salah seorang penanya saat sesi tanya-jawan menyebutkan bahwa dari survei terhadap 100 orang pembeli buku fiksi di toko buku, tiga orang diantaranya membeli cerpen, satu orang memilih puisi, dan sembulan puluh enam membeli novel. Sehingga ada kecenderungan pembaca lebih menyukai novel daripada cerpen.

Kef menanggapi bahwa memang saat ini seorang seniman harus bersentuhan dengan manajemen dan sistem yg terjadi di masyarakat, dan harus memperhatikan siapa pembacanya. Sedangkan Wulan merespon sangat sulit untuk menerbitkan kumpulan cerpen karena pembaca lebih banyak membaca novel. Mungkin saja karena peristiwa di cerpen sangat singkat jadi tidak menimbulkan ingatan jangka panjang. Kalau pembaca mencari cerpen mungkin penerbit akan berbondong-bondong untuk menerbitkan cerpen.

Suatu karya sastra jika sudah dilempar ke pasar maka sudah industri yang berbicara. Untuk itu dibutuhkan trik-trik penjualan untuk meraih perhatian pasar. Salah satunya adalah dengan tanpa mencantumkan "kumpulan cerpen" di dalam jilid maupun dalam halaman judul. Banyak kumpulan cerpen cetak ulang yang kemudian menggunakan trik ini supaya tetap bertahan dipasaran. Kef berharap bahwa ini hanya siklus semata walaupun memang pada faktanya sebuah karya yang pada awalnya sebuah seni ketika bertemu dengan sistem industri akan menjadi budaya massa. Semua tergantung bagaimana kecermatan penulis dalam membaca pasar tanpa harus membatasi imajinasinya.


So, cerpen atau novel?

Kef menjawab, “dua-duanya suka. Persoalannya hanya waktu. Menulis novel lebih butuh nafas panjang. Kalau cerpen menulisnya relatif lebih cepat. Saya tidak ingin berhenti menulis maka saya mengambil apapun. Kalau wakunya menulis puisi saya menulis puisi. Jadi dua-duanya saya suka. Kalau saya punya kesempatan untuk cuti melahirkan misalnya saya akan menulis novel.”

Wulan menjawab, “ternyata lebih gampang menulis novel. Saya baru ngerasain soalnya jadi ketagihan. Sudah bikin, tinggal mencari penerbit. Settingnya lokal tapi ceritanya lebih fokus.”

Bamby menjawab, “jadi satu impian untuk menghasilkan satu novel. Menulis cerpen seperti membaca cerpen, lima belas menit atau dua puluh menit selesai. Begitupun dengan menulis novel. Kadang-kadang saya berniat membuat satu naskah novel, tapi saya sendiri yang memutuskan itu akan dibuat cerpen. Contohnya, Bab satu dari novel yang ingin saya buat jadi cerpen di majalah Story. Bab dua jadi cerpen di koran Republika. Ada dua novel yang tertunda, ingin diselesaikan tapi belum punya waktu yang leluasa.”


___________________________________

Kata mereka:

"Diskusinya bagus. Yang didapetin buku gratis hehe. Em, banyak pengetahuan soal bedanya antara pembaca cerpen dan pembaca novel bedanya kayak apa."
Dini Yulianti, Kelapa Gading

"Saya baru ikut karena suami saya lihat di facebook makanya ikut kesini. Acaranya sendiri seru. Kita bisa tahu mengenai buku-buku kisah sastra, kemudian mengenai perjuangan penulis bagaimana karyanya bisa diterima jadi memotivasi untuk kita supaya kita tidak takut untuk menulis."
Dinda (30 Tahun), Guru.

"Seneng. Saya jadi ingin belajar menulis. Em, apa alamat web untuk diskusi ini?"
Irwati, Rempoa.

"Acaranya rame banget coy!. Yang didapetin: ngantuk. Yang nanya juga kelihatannya aktif, sebenernya saya juga pengen nanya tapi tadi pertanyaan pertama sudah di embat sama bang jimmy, yang kedua udah kesorean hehe..."
Nenangs, Balikpapan.

(Dari diskusi Goodreads Indonesia, di TogaMas Poins square, 17 Oktober 2010)

Tidak ada komentar: