Selasa, 12 Oktober 2010

Nadya Lebaran Sendirian [Cerpen Majalah D'sari edisi September 2010]

NADYA LEBARAN SENDIRIAN
Oleh : Bamby Cahyadi

“Membayangkan bau terasi yang menyengat sepanjang perjalanan, rasanya mau muntah aku, Mas.” Begitu kata Nadya suatu ketika setahun yang lalu saat aku memutuskan untuk mudik lebaran melalui jalur pantura. “Apalagi kalau kita terjebak macet…Huuuh panas, bete, aku enggak kuat, lebih baik kita pakai pesawat saja!” katanya, sambil cemberut membuang muka.

“Tapi itu kan pilihan yang tidak ekonomis, Nadya,” sahutku. “Harga tiket pesawat saat ini sangat mahal, lagi pula kita bisa lebih leluasa ke sana kemari dengan mobil saat di Semarang nanti,” lanjutku, menanggapi usulan Nadya mudik dengan menggunakan jalur udara.

“Kalau begitu, ya sudah, pakai jalur selatan saja!” timpalnya, dengan ketus.

Nadya memang sangat suka mudik atau sekadar berlibur melalui jalur selatan menuju kota kelahirannya, Semarang. Katanya lebih nyaman dan sekaligus menyenangkan.

“Walaupun jarak tempuhnya tambah jauh, jalur selatan lebih nyaman,” ungkapnya, tetap pada pendirian, memilih jalur selatan.

Dalam hati, aku mengiyakan semua perkataan Nadya. Perjalanan dengan menggunakan kendaraan sendiri sangat menyenangkan melalui wilayah Jawa Barat bagian selatan. Dari Jakarta kami ke Bandung melalui tol Cipularang, kemudian kami bisa berjalan-jalan sejenak di kota Bandung, lalu melanjutkan perjalanan menuju kota Tasikmalaya. Lantas kami menelusuri jalan ke arah timur, ke kota Ciamis dari situ lalu masuk wilayah Jawa Tengah dan akhirnya menuju Semarang. Sepanjang perjalanan nuansa persawahan yang hijau, pepohonan yang rindang, jalanan yang berkelok dan pemandangan yang asri pasti sanggup melupakan waktu tempuh yang lebih lama ketimbang memilih jalur pantura.

Nadya kini tampak berkemas, aku memerhatikannya dengan sedikit cemas. Nadya istriku, tidak terlalu pintar untuk urusan berkemas. Ia tidak terampil menyusun pakaian dan perlengkapan perjalanan di dalam koper. Baju-baju dan perlengkapan lainnya seperti sepatu, alat mandi, kosmetik dan peralatan shalat dijejalkannya tak beraturan. Lalu resleting koper ditutupnya.

Koper tampak kembung tak karuan. Aku tersenyum getir. “Istriku Nadya, seandaikan aku…” gumamku pelan, tak jadi melanjutkan kata-kata. Aku beranjak dari tempatku duduk, kemudian berlalu meninggalkan Nadya yang sedang berkacak pinggang menatap kopernya yang buncit seperti perut kekenyangan.

***
“Kamu tidak menemaninya?” Tanya seorang Kakek berperawakan kecil berjanggut putih kepadaku, setelah aku meninggalkan Nadya. Rupanya Nadya sudah memasukkan koper dan semua keperluan pribadinya saat ia di Semarang nanti ke bagasi mobil. Tidak lupa ia membekali dirinya dengan laptop. Lalu mobil berwarna merah metalik itu menderu, melaju perlahan meninggalkan pekarangan rumah.

“Tidak Kek, nanti saja aku temui Nadya di Semarang,” kataku menjawab pertanyaan kakek berjanggut putih itu. Kakek itu pun pergi meninggalkan aku yang masih termangu di teras rumah.

Aku kembali sibuk dengan urusanku sendiri. Hari ini aku berencana menemui beberapa kerabat untuk bersilaturahmi. Aku pikir, saat ramadhan dan menjelang idul fitri adalah waktu yang tepat bagiku menemui beberapa kerabat yang kukenal untuk sekadar saling mengucap maaf lahir dan batin, sekaligus saling berbagi, memberi motivasi dan dukungan satu dengan yang lainnya.

Kami sering berkumpul di saat-saat tertentu. Mungkin aku akan menemui terlebih dahulu Arya, bocah kecil usianya kini 6 tahun. Lantas menemui sepasang suami-istri Handoko dan Pratiwi. Pasangan yang tidak pernah berpisah walaupun belum dikarunia seorang anak pun, mereka selalu mesra dan saling setia.

Mungkin kali ini aku akan mengusulkan kepada mereka, agar Arya bisa mereka angkat menjadi anak asuh. Hitung-hitung beramal, sekaligus Arya mendapat pengganti orang tuanya. Setelah itu aku akan menemui Kapten Polisi Gahana. Sekadar ngobrol tentang situasi mudik lebaran, atau kalau lagi beruntung aku bisa mendapatkan bocoran-bocoran informasi penting seputar dunia politik dan keamanan. Maklum Kapten Gahana punya banyak relasi di Mabes Polri.

Tapi, entah kenapa, tiba-tiba menyelinap rasa ragu. Aku putuskan untuk mengurungkan niat menemui kerabat-kerabatku itu. Perasaanku seketika disusupi oleh perasaan yang tidak enak. Bayangan Nadya berkelebat di benakku. “Ah, Nadya, tunggu… aku ikut!”

Namun terlambat, aku sudah tak bisa lagi menemukan jejak mobilnya. Mungkin mobilnya sudah sejak tadi melesat menuju Semarang. Dan sekarang sedang melaju bersama kendaraan-kendaraan lain dan tenggelam di jalan raya yang sesak, menuju kampung halaman masing-masing.

Rasa tidak enak terus menerus menggedor relung hatiku, perasaan melankoli menyeruak. Aku menjadi sangat sedih dan kesepian.

***
Terbayang kembali peristiwa perpisahan kami setahun yang lalu. Kenangan bagai film usang yang diputar berulang-ulang. Sebenarnya kami tidak pernah bercerai. Setelah kami berdebat sengit perihal jalur pantura atau jalur selatan yang akan kami lalui untuk mudik, akhirnya aku mengalah. Dan sepakat dengan pilihannya. Jalur selatan. Walaupun dengan perasaan dongkol, aku menuruti kemauan Nadya. Kami pun mudik melalui jalur selatan tiga hari menjelang lebaran setahun yang lalu.

Sepanjang perjalanan dengan mobil Nissan Terrano, aku tidak banyak bercakap-cakap dengannya. Aku lebih banyak diam, serius menyetir sambil menatap jalanan yang masih lengang karena puncak mudik belum tiba. Sama dengan aku, Nadya pun, mengunci mulutnya, diam. Mungkin, saling berdiam diri, adalah keputusan yang bijaksana, agar kami tidak berdebat lagi atau terlibat keributan mulut yang akan mengurangi pahala puasa kami saat itu.

Mobil kami terus melaju membelah jalan. Selepas dari pintu tol Padalarang, barulah Nadya bersuara. “Aku kangen ketupat dan opor ayam buatan ibuku,” katanya, membuka percakapan.

“Hai, akhirnya kamu bersuara juga” candaku.

“Kamu sih nyebelin, buktinya sampai Padalarang perjalanan kita lancar,” sungutnya, wajahnya tetap cantik walaupun sedang cemberut.

“Ngomong-ngomong soal ketupat dan opor, aku jadi laper nih Nad,” ujarku, sambil mengusap-usap perut. Nadya malah mencubit perutku. Aku menjerit kesakitan.

“Nanti makannya setelah tanjakan Nagreg saja ya? Kan di situ banyak restoran,” kata Nadya manja. Suasana seketika mencair. Aku dan Nadya kemudian ngobrol tentang rencana kami setiba di Semarang nanti, diselingi canda dan tawa.

Memasuki jalan tol kota Bandung menuju pintu tol Cileunyi tiba-tiba langit berubah menjadi mendung, hujan tampaknya akan turun. Dan benar saja hanya dalam hitungan detik bulir-bulir air hujan telah menimpa kaca mobil kami, semakin banyak dan akhirnya sangat deras.

Nadya kemudian tertidur, aku tetap serius menatap jalanan. Curah hujan yang deras membuat pandanganku tidak leluasa. Akhirnya kami memasuki daerah Cicalengka lantas Pamucatan, Nagreg. Jalan yang menurun landai membuat aku ekstra hati-hati, sementara dari arah berlawanan banyak mobil atau bus yang mogok karena tak sanggup menanjaki jalanan yang cukup terjal itu, sehingga mengakibatkan antrian kendaraan yang sangat panjang. Beberapa dari pengendara yang tidak sabar membunyikan klakson.

Mendadak aku melihat sekelebat bayangan hitam menyeberang di depan mobilku. Bayangan hitam itu bagai energi buruk yang membuatku kaget dan terkesiap. Dengan gugup aku membanting setir mobil yang sedang melaju kencang ke kiri jalan. Nadya terbangun dan menjerit. Karena panik aku tak sanggup menguasai keadaan. Mobilku kemudian menyeruduk motor yang sedang ditumpangi oleh pasangan suami- istri yang berboncengan. Mereka terseret bersama motornya di bawah kolong mobil kami. Seorang petugas polisi yang sedang mengatur lalu lintas jalanan pun tak luput dari terjangan mobilku yang tak terkendali.

Tubuh petugas polisi itu terpental dan kepalanya membentur aspal jalanan yang basah. Kepalanya rengkah. Sebelum terhempas ke jalan, tubuhnya membentur pengendara motor lainnya, seorang Bapak dengan anaknya yang sedang berboncengan. Motor itu terjatuh, namun Bapak pengendara motor itu berhasil merangkak dan menepi. Malang bagi bocah yang dibonceng itu, tubuhnya terguling ke jalan kemudian terlindas oleh sebuah truk dari arah belakang. Peristiwa itu berlangsung sangat cepat.

Nadya masih berteriak-teriak sambil menyebut asma Allah. Pandanganku mulai gelap, mataku nanar. Mobil lantas menerjang sebuah pohon besar dan berhenti. Tuhan Mahapenyayang, Nadya selamat. Aku berusaha untuk membebaskan diri dari jepitan setir mobil yang menghimpit dadaku. Aku melihat Nadya menangis. Aku berteriak agar ia tetap tenang dan segera ke luar dari mobil. Tapi Nadya terus menangis dan menjerit histeris. Lalu ia pingsan.

Ringan sekali tubuhku ke luar dari himpitan setir mobil dengan kondisi mobil yang ringsek. Aku memandang sekeliling, orang-orang mulai berhamburan mendekati mobil kami dan melihat motor yang berada di kolong mobil. Ada yang berteriak-teriak memberi instruksi, ada yang menangis, ada yang menutup mulutnya, tercekat. Seketika suasana jalanan Nagreg menjadi riuh rendah. Kemacetan parah pun terjadi.

Aku lihat seorang petugas polisi mendekatiku, lalu diikuti oleh pasangan suami- istri, mereka menghampiriku. Lantas seorang anak kecil berjalan pelan ke arahku. Masya Allah! Mereka tadi yang tertabrak mobilku. Mereka tidak meninggal. Mereka masih hidup! Pekikku dalam hati begitu gembira. Namun aku shock, Nadya masih pingsan.

Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi bersatu dengan Nadya. Kami berpisah di jalanan tanjakan Nagreg. Tetapi kami tidak pernah bercerai.

Petugas polisi, pasangan suami istri dan seorang anak kecil bersamaku kemudian berjalan bersama menuju sebuah lorong besar dikawal oleh seorang bertubuh tinggi dengan wajah yang samar.

Kami beristirahat setelah melewati lorong besar itu, di sebuah tempat yang luas berkabut dan dipenuhi bunga. Orang bertubuh tinggi itu menyuruh kami menunggu. Saat itulah aku berkenalan dengan Kapten Polisi Gahana, Handoko, Pratiwi dan Arya. Tetapi aku masih khawatir dengan keadaan Nadya. Apakah ia baik-baik saja?

Seorang kakek bertubuh kecil berjanggut putih menghampiri kami, ia menyalami kami satu persatu. Mengucapkan salam selamat datang di tempat yang ganjil ini. Seperti tahu isi pikiranku, ia lantas berkata. ”Istrimu akan baik-baik saja sampai lebaran tahun depan,” sambil menjabat tanganku erat.

Aku masih belum menyadari apa yang terjadi, begitu juga dengan Kapten Gahana, Handoko dan Pratiwi serta Arya.

Menyusuri sebuah lorong besar, maka akan sampailah kalian di sebuah hamparan tempat yang mahaluas penuh halimun dan bunga. Di tempat itu aku menetap bersama yang lain. Tidak jauh dari tanjakan Nagreg, kukira.

***
Mobil merah metalik milik Nadya melintas. Aku berusaha untuk menghentikan mobil itu. Nadya terkejut dan menginjak rem mendadak. Saat ini, menjelang senja. Nadya menepikan mobilnya pada sebuah pohon besar di sisi kiri tanjakan Nagreg. Ia lalu turun dari mobil. Perlahan ia berjalan mendekati pohon besar itu. Pohon setahun yang lalu ditabrak olehku. Tempat di mana aku berpisah dengan Nadya.

Dengan berlinang air mata, Nadya mengusap pohon itu dan sejenak kemudian ia bersedekap. Seperti orang berdoa. Bibirnya bergetar ketika ia berkata. “Mas, aku yakin kamu sudah tenang di alam sana.”

Aku menangis tersedu-sedu mendengar Nadya berbicara seperti itu. Aku berusaha untuk memeluk Nadya, aku begitu rindu padanya. Tapi Nadya tak bisa kuraih, tak bisa kurengkuh. Ia bagai energi gaib yang tak tersentuh. Aku ingin bercakap-cakap dengannya barang sejenak.

Seketika semuanya tampak terang. Nadya terkesima melihat cahaya terang benderang itu. “Mas, senanglah di tempatmu. Maafkan aku telah menahanmu menuju alam abadimu. Kini aku ikhlas!” jerit Nadya terisak-isak.

Aku tak pernah merasakan kedamaian seperti ini. Hatiku begitu sejuk dan tentram. Ah, Tuhan telah menyambutku rupanya.

“Maafkan aku Nadya, kamu lebaran sendirian lagi tahun ini,” ucapku lirih.

Seolah mendengar perkataanku, Nadya mengangguk-angguk. Sosok Nadya tiba-tiba hilang dari penglihatanku.***

Jakarta, 2009-2010

1 komentar:

Muzz Mey' Ong mengatakan...

cerpen yang keren.... ikut tegang aku membacanya mas Bambi & ikut plong setelah smpai pd endingnya...:)