Jumat, 22 Oktober 2010

Cerpen VS Novel: Imajinasi Terbatas Industri

Cerpen vs Novel: Imajinasi Terbatas Industri
Oleh: OWL (Buzenk, Goodreads Indonesia)


Pernah tidak merasa kesulitan menulis cerita pendek tapi justru lancar-aman-terkendali berekplorasi dalam menulis prosa yang panjang semacam novel? Hasil laporan pandangan mata berikut mungkin bisa memberikan gambaran mengapa menjadi novelis lebih diminati daripada cerpenis.

Menulis cerita pendek (cerpen) ternyata lebih sulit dibanding menulis novel. Karena tidak mudah menuangkan keliaran imajinasi hanya dalam beberapa ratus kata. Hal Ini juga yang dirasakan oleh ketiga narasumber: Bamby Cahyadi, Kurnia Effendy ((kef), dan Wa Ode Wulan Ratna dalam diskusi santai Klub Buku GRI: Kumcer vs Novel di TM Bookstore Poins Square Lebak Bulus, Minggu (17/10) kemarin. Gak cuma itu, ketiga narasumber juga banyak berbagi ilmu dan pengalaman seputar dunia tulis-menulis terutama cerpen dan novel.

Ada banyak situasi ataupun kondisi yang mempengaruhi seseorang hingga memutuskan untuk menjadi penulis. Faktor x=suka menulis biasanya menjadi alasan seseorang berkecimpung dalam dunia kepenulisan. Faktor x jugalah yang kemudian menjadi latar perjalanan Wulan dan Kef menjadi penulis sampai saat ini. Sedangkan bagi Bamby, ada faktor lain yang membuatnya melirik jurusan tulis-menulis hingga menelurkan buku kumpulan cerpen Tangan Untuk Utik. Ia mengatakan bahwa terjun ke dunia sastra merupakan ketidaksengajaan. Kebiasaannya membaca cerpen di koran setiap hari minggu ternyata membuat ia tertarik untuk menulis.

Disamping itu, menulis bagi Bamby juga menjadi terapi jiwa. Pengalaman psikologis yang dialaminya mengharuskan ia menjalani suatu terapi yang salah satu rekomendasinya adalah menulis. Mulai sejak itu ia mulai giat menghasilkan cerpen demi cerpen walaupun untuk konsumsi pribadi. Hasil karyanya ia arsipkan dalam blog pribadinya, Wordpress dan Friendster, sampai kemudian ia mengenal seorang penulis perempuan yang memotivasinya untuk menulis sastra. Terpacu menekuni dunia itu, Bamby mulai menapakinya.

"Dari situ, akhirnya mulai mencari-cari satu komunitas penulis dan bertemu yang namanya kemudian.com, dan bertemu penulis-penulis lain seperti Krisna Pabicara yang akhirnya menemani saya untuk serius menekuni dunia sastra," ungkapnya.

Kumpulan cerpen Tangan Untuk Utik yang juga menjadi buku baca bareng GRI di bulan September adalah buah karya Bamby yang keseluruhan cerita dipublikasikan melalui blog pribadinya dan kemudian.com. Tidak ada satu pun cerita yang dimuat di media. Ia mengatakan bahwa justru atas usulan sang editor-lah ia mengirimkan ke koran dan majalah, sembari menunggu proses penerbitan. Akhirnya, tiga dari 13 cerpen dalam kumpulan cerpen Tangan Untuk utik dimuat di koran dan majalah.

Pengalaman berbeda justru terjadi pada Kurnia Effendi atau yang akrab di sapa Kef. Ia yang sudah menulis sejak dari sekolah dasar, memanfaatkan mesin tik di kantor OSIS sekolahnya ketika SLTA, untuk menulis cerpen dan dikirimkan ke majalah. Anugerah baginya sebab karyanya diterima dan langsung dimuat.

"Ada pengalaman yang menurut saya anugerah sehingga saya merasa dimanjakan. Ketiga karya saya yang pertama, dua puisi dan satu cerpen langsung diterima dan dimuat saat itu di majalah Gadis, Aktuil, dan koran Sinar Harapan. Tapi bukan berarti saya tidak pernah mengalami penolakan. Setelah itu ya iya," ujarnya.

Lain lagi dengan Wa Ode Wulan Ratna. Terbiasa menulis sejak SMP namun tidak berani mengirimkan karyanya ke media. Berbekal informasi berbagai perlombaan dari temannya, ia pun mulai menyertakan buah imajinasinya dalam perlombaan. Beberapa cerita dalam buku Cari Aku Di Canti memenangi ajang tersebut.

Ditambahkan oleh Wulan bahwa menulis cerpen sebenarnya lebih banyak dilakukannya ketika kuliah. Sedangkan masa SMP lebih banyak menulis prosa panjang semacam teenlit. Ada lima judul yang ia selesaikan saat itu. Satu judul diselesaikan sekitar satu bulan dengan tulisan tangan, dan menghabiskan rata-rata dua buku tulis untuk satu judul. Maka tidak heran jika ia memiliki banyak buku harian. Ketika masa SMA ia menjelajahi dunia puisi, dan sesekali menulis cerpen. Namun tetap malu untuk dipublikasikan.

“Sebenarnya saya malu untuk dipublikasikan. Tapi waktu itu pernah dipublikasikan oleh sahabat saya. Waktu SMA nulis cerpen untuk tugas sekolah mereka (sahabatnya). Saya menulis cerpen dan mereka mengirimkannya ke majalah-majalah tapi pake nama mereka. Tapi saya malah senang karena ada yang baca, teman-teman senang, dan saya ditraktir. Waktu SMA memang tidak kepikiran untuk mengirimkannya ke majalah. Teman-teman yang berinisiatif meskipun dengan nama mereka,” kenangnya.


Saat imajinasi tak terkendali, menulis menjadi cara efektif untuk merekam scene demi scene yang diproyeksikan benak kita. Dan setiap orang memiliki kebebasan dalam mengeksplorasikan perasaan, pikiran, maupun emosinya. Entah dalam bentuk puisi, cerpen, prosa, bahkan tulisan yang tidak terstruktur sekalipun. Bamby memilih cerpen sebagai media pelampiasan imajinasi dan pikiran-pikirannya, baik ataupun buruk. Alasan-nya, “cerpen tidak perlu banyak perenungan.”

Dalam prosesnya, ia banyak menerima berbagai masukan tatkala karyanya dipublikasikan di blog. Dari hasil masukan-masukan tersebut ia melakukan pembacaan ulang dan editing. Kemudian, ia yang merasa masih sangat hijau dalam dunia sastra pun menyadari bahwa menulis cerpen tidak gampang. Ia berkisah, menuangkannya memang terasa mudah, tapi ketika tahu bahwa menulis harus menggunakan bahasa baku ia pun mengalami kesulitan.

Ia mengatakan bahwa kesulitan terbesarnya adalah tidak bisa membedakan alur, jalan cerita, cara membuat tokoh, karakter, dan konflik.Ia yang sebelumnya tidak pernah membaca teori menulis hanya menuliskan apa yang ingin ditulisnya saja dengan gaya sesuka hati. Selain itu, ia pun mengalami kesulitan dalam membuat tokoh dan menentukan judul. Sehingga tokoh-tokoh dalam karyanya banyak diambil dari nama teman sendiri. Dan merupakan tantangan besar baginya untuk menuangkan segala yang ada dibenaknya.

Ada ragam waktu bagi Bamby dalam menyelesaikan satu cerita pendek. Mulai dari hitungan jam bahkan sampai berbulan-bulan. Ia menyontohkan cerita “Karyawan Tua” dalam kumpulan cerpen Tangan Untuk Utik. Ditulis pada 30 November, terinspirasi dari kisah seorang teman yang pensiun dari restoran cepat saji, dan cerita diselesaikan hanya dalam waktu 3 jam. Atau cerita “Menemui Ujang” yang bagian pembuka ditulis di Bandung dan bagian penutup di Jakarta, dan membutuhkan waktu satu minggu dalam penyelesaiannya.

Sedikit mengupas buku Tangan Untuk Utik yang tema-tema ceritanya dianggap suram. Diakui Bamby, beberapa rekannya berpendapat bahwa ada efek kejut di setiap cerpen-cerpennya dan terkesan melenceng. “Hampir beberapa tokoh di cerpen ini berusia anak-anak antara 7-11 tahun. Kemudian, delapan diantaranya bercerita tentang kematian. Adapula kehampaan, kemudian tema yang absurd yakni ada empat tokoh yang kepalanya pecah. Terus terang saya penderita vertigo dan pada suatu masa saya ingin memenggal kepala saya sendiri supaya vertigo saya hilang. Tapi kalau dipenggal kepala, saya mati. Itu sebabnya kepala menjadi sasaran untuk dihancurkan. Mengapa masa anak-anak? Ada masa anak-anak yang ingin saya lupakan. Karena ingin dilupakan maka jadi mengendap. Pada saat menulis maka saya menulis endapan yang ingin saya lupakan tersebut. Tentang tema kematian, saya suka bercerita tentang kematian karena itu sesuatu yang pasti.”

Jika Bamby memilih menaburi cerpennya dengan kesuraman, Wulan memilih memuat nuansa lokal dalam cerpen-cerpennya. Ia banyak mengangkat tema kedaerahan yang inti persoalannya juga banyak terjadi di daerah-daerah lain. Sehingga ia beranggapan penting dan perlu untuk mengemukakan persoalan-persoalan kedaerahan, tidak melulu urban. Disamping itu, mengangkat tema lokal juga menjadi pengobat rindu terhadap kampung halamannya yang telah lama ia tinggalkan. “Saya pikir saya terlalu kangen sama kampung halaman dan seumur hidup tidak pernah pulang ke kampung halaman. Waktu itu memang sudah lama terbayang di benak saya untuk menulis persitiwa yang sudah pernah saya lewati disana,” ujar Wulan yang salah satu cerpennya mengangkat Buton diikutsertakan lomba Creative Writing Institute pada tahun 2005.

Pada proses pengumpulan data, ternyata Wulan banyak memanfaatkan teknologi internet untuk mencari data. Kemampuan mengolah data dan berimajinasi lah yang ia andalkan untuk meracik data tersebut menjadi cerita pendek yang sarat wawasan. Selain menelusur melalui internet, ia mendatangi tempat-tempat yang sekiranya dapat merepresentasikan situasi atau kondisi daerah cerita tanpa harus ke lokasi. Ia pun bertutur, “Kalau mau mengangkat settingan suatu daerah atau tempat tertentu otomatis harus tahu topografinya, sedangkan untuk hal-hal tertentu bisa saya dapatkan dari kuliah atau ketika datang ke suatu tempat yang juga mungkin situasinya sama, misalnya sungai yang di Riau mungkin sama seperti yang ada di Baduy. Dalam cerpen Bulan Gendut di Tepi Gangsal datanya dicari, tapi kalau Cari Aku di Canti saya ketempatnya langsung, tapi hasilnya sangat berbeda. Kelokalannya sangat berbeda. Kelokalannya lebih kental di Bulan Gendut dibanding Cari Aku di Canti. Saya juga tidak tahu kenapa, tapi mungkin bagaimanapun modal utama seorang penulis adalah kekuatan imajinasi karena kekuatan imajinasi sangat mempengaruhi kekuatan dalam berkarya.”

Kef, yang telah malang-melintang di dunia kepenulisan berbagi pengalaman dalam menulis cerpen dan novel. Penulis novel “Merjan-Merjan Jiwa” ini menuturkan bahwa pada dasarnya cerpen bukanlah novel yang dipendekan dan novel bukan cerpen yang dipanjangkan. Baik novel maupun cerpen sesunggunnya memiliki niat yang berbeda. Ia menganalogikan perbedaan cerpen dan novel seperti pembuatan warung tenda kaki lima dengan kursi seadanya, menu yang semua orang menikmati, selesai, tanpa perlu promosi. Akan berbeda ketika membuat McD yang segala sesuatunya harus ditentukan dengan detail.

“Jadi ketika membuat novel, konfliknya akan berbeda dengan cerpen, detailnya akan berbeda dengan cerpen, hal-hal yang akan mendukung karakter manusianya akan berbeda, kemudian plot, alur, dan sebagainya juga akan berbeda dengan cerpen. Cerpen lebih simple. Ketika saya menulis novel, karena ada tuntutan juga, saya harus membuat kerangkanya terlebih dulu. Berbeda dengan cerpen yang mungkin mengalir bahkan ada yang dikerjakan selama 2 jam dan sampai berbulan-bulan. Jadi intinya disitu. Bahkan ketika kerangkannya sudah selesai saya bisa menulis dari belakang. Ketika ada hambatan ditengah-tengah karena referensinya kurang misalnya, saya bisa menulis dari bab penutup dahulu. Kalau di cerpen misalnya endingnya terlebih dahulu. Hanya persoalan inspirasi saja,” tutur pria kelahiran Tegal, 20 Oktober 1960 ini.


Pasti selalu ada pengalaman seru yang dapat dibagikan dalam proses kreatif tulisan. Cerita lebih berliku tatkala memasuki ranah industri. Ketika industri berbicara terkadang mau-tidak-mau banyak penulis yang banting setir ke segmen yang lebih dilirik pasar. Seperti memaksa imajinasi mengikuti arus.

Secara aktual, novel lebih menjual dibandingkan cerpen. Informasi dari salah seorang penanya saat sesi tanya-jawan menyebutkan bahwa dari survei terhadap 100 orang pembeli buku fiksi di toko buku, tiga orang diantaranya membeli cerpen, satu orang memilih puisi, dan sembulan puluh enam membeli novel. Sehingga ada kecenderungan pembaca lebih menyukai novel daripada cerpen.

Kef menanggapi bahwa memang saat ini seorang seniman harus bersentuhan dengan manajemen dan sistem yg terjadi di masyarakat, dan harus memperhatikan siapa pembacanya. Sedangkan Wulan merespon sangat sulit untuk menerbitkan kumpulan cerpen karena pembaca lebih banyak membaca novel. Mungkin saja karena peristiwa di cerpen sangat singkat jadi tidak menimbulkan ingatan jangka panjang. Kalau pembaca mencari cerpen mungkin penerbit akan berbondong-bondong untuk menerbitkan cerpen.

Suatu karya sastra jika sudah dilempar ke pasar maka sudah industri yang berbicara. Untuk itu dibutuhkan trik-trik penjualan untuk meraih perhatian pasar. Salah satunya adalah dengan tanpa mencantumkan "kumpulan cerpen" di dalam jilid maupun dalam halaman judul. Banyak kumpulan cerpen cetak ulang yang kemudian menggunakan trik ini supaya tetap bertahan dipasaran. Kef berharap bahwa ini hanya siklus semata walaupun memang pada faktanya sebuah karya yang pada awalnya sebuah seni ketika bertemu dengan sistem industri akan menjadi budaya massa. Semua tergantung bagaimana kecermatan penulis dalam membaca pasar tanpa harus membatasi imajinasinya.


So, cerpen atau novel?

Kef menjawab, “dua-duanya suka. Persoalannya hanya waktu. Menulis novel lebih butuh nafas panjang. Kalau cerpen menulisnya relatif lebih cepat. Saya tidak ingin berhenti menulis maka saya mengambil apapun. Kalau wakunya menulis puisi saya menulis puisi. Jadi dua-duanya saya suka. Kalau saya punya kesempatan untuk cuti melahirkan misalnya saya akan menulis novel.”

Wulan menjawab, “ternyata lebih gampang menulis novel. Saya baru ngerasain soalnya jadi ketagihan. Sudah bikin, tinggal mencari penerbit. Settingnya lokal tapi ceritanya lebih fokus.”

Bamby menjawab, “jadi satu impian untuk menghasilkan satu novel. Menulis cerpen seperti membaca cerpen, lima belas menit atau dua puluh menit selesai. Begitupun dengan menulis novel. Kadang-kadang saya berniat membuat satu naskah novel, tapi saya sendiri yang memutuskan itu akan dibuat cerpen. Contohnya, Bab satu dari novel yang ingin saya buat jadi cerpen di majalah Story. Bab dua jadi cerpen di koran Republika. Ada dua novel yang tertunda, ingin diselesaikan tapi belum punya waktu yang leluasa.”


___________________________________

Kata mereka:

"Diskusinya bagus. Yang didapetin buku gratis hehe. Em, banyak pengetahuan soal bedanya antara pembaca cerpen dan pembaca novel bedanya kayak apa."
Dini Yulianti, Kelapa Gading

"Saya baru ikut karena suami saya lihat di facebook makanya ikut kesini. Acaranya sendiri seru. Kita bisa tahu mengenai buku-buku kisah sastra, kemudian mengenai perjuangan penulis bagaimana karyanya bisa diterima jadi memotivasi untuk kita supaya kita tidak takut untuk menulis."
Dinda (30 Tahun), Guru.

"Seneng. Saya jadi ingin belajar menulis. Em, apa alamat web untuk diskusi ini?"
Irwati, Rempoa.

"Acaranya rame banget coy!. Yang didapetin: ngantuk. Yang nanya juga kelihatannya aktif, sebenernya saya juga pengen nanya tapi tadi pertanyaan pertama sudah di embat sama bang jimmy, yang kedua udah kesorean hehe..."
Nenangs, Balikpapan.

(Dari diskusi Goodreads Indonesia, di TogaMas Poins square, 17 Oktober 2010)

Selasa, 12 Oktober 2010

Nadya Lebaran Sendirian [Cerpen Majalah D'sari edisi September 2010]

NADYA LEBARAN SENDIRIAN
Oleh : Bamby Cahyadi

“Membayangkan bau terasi yang menyengat sepanjang perjalanan, rasanya mau muntah aku, Mas.” Begitu kata Nadya suatu ketika setahun yang lalu saat aku memutuskan untuk mudik lebaran melalui jalur pantura. “Apalagi kalau kita terjebak macet…Huuuh panas, bete, aku enggak kuat, lebih baik kita pakai pesawat saja!” katanya, sambil cemberut membuang muka.

“Tapi itu kan pilihan yang tidak ekonomis, Nadya,” sahutku. “Harga tiket pesawat saat ini sangat mahal, lagi pula kita bisa lebih leluasa ke sana kemari dengan mobil saat di Semarang nanti,” lanjutku, menanggapi usulan Nadya mudik dengan menggunakan jalur udara.

“Kalau begitu, ya sudah, pakai jalur selatan saja!” timpalnya, dengan ketus.

Nadya memang sangat suka mudik atau sekadar berlibur melalui jalur selatan menuju kota kelahirannya, Semarang. Katanya lebih nyaman dan sekaligus menyenangkan.

“Walaupun jarak tempuhnya tambah jauh, jalur selatan lebih nyaman,” ungkapnya, tetap pada pendirian, memilih jalur selatan.

Dalam hati, aku mengiyakan semua perkataan Nadya. Perjalanan dengan menggunakan kendaraan sendiri sangat menyenangkan melalui wilayah Jawa Barat bagian selatan. Dari Jakarta kami ke Bandung melalui tol Cipularang, kemudian kami bisa berjalan-jalan sejenak di kota Bandung, lalu melanjutkan perjalanan menuju kota Tasikmalaya. Lantas kami menelusuri jalan ke arah timur, ke kota Ciamis dari situ lalu masuk wilayah Jawa Tengah dan akhirnya menuju Semarang. Sepanjang perjalanan nuansa persawahan yang hijau, pepohonan yang rindang, jalanan yang berkelok dan pemandangan yang asri pasti sanggup melupakan waktu tempuh yang lebih lama ketimbang memilih jalur pantura.

Nadya kini tampak berkemas, aku memerhatikannya dengan sedikit cemas. Nadya istriku, tidak terlalu pintar untuk urusan berkemas. Ia tidak terampil menyusun pakaian dan perlengkapan perjalanan di dalam koper. Baju-baju dan perlengkapan lainnya seperti sepatu, alat mandi, kosmetik dan peralatan shalat dijejalkannya tak beraturan. Lalu resleting koper ditutupnya.

Koper tampak kembung tak karuan. Aku tersenyum getir. “Istriku Nadya, seandaikan aku…” gumamku pelan, tak jadi melanjutkan kata-kata. Aku beranjak dari tempatku duduk, kemudian berlalu meninggalkan Nadya yang sedang berkacak pinggang menatap kopernya yang buncit seperti perut kekenyangan.

***
“Kamu tidak menemaninya?” Tanya seorang Kakek berperawakan kecil berjanggut putih kepadaku, setelah aku meninggalkan Nadya. Rupanya Nadya sudah memasukkan koper dan semua keperluan pribadinya saat ia di Semarang nanti ke bagasi mobil. Tidak lupa ia membekali dirinya dengan laptop. Lalu mobil berwarna merah metalik itu menderu, melaju perlahan meninggalkan pekarangan rumah.

“Tidak Kek, nanti saja aku temui Nadya di Semarang,” kataku menjawab pertanyaan kakek berjanggut putih itu. Kakek itu pun pergi meninggalkan aku yang masih termangu di teras rumah.

Aku kembali sibuk dengan urusanku sendiri. Hari ini aku berencana menemui beberapa kerabat untuk bersilaturahmi. Aku pikir, saat ramadhan dan menjelang idul fitri adalah waktu yang tepat bagiku menemui beberapa kerabat yang kukenal untuk sekadar saling mengucap maaf lahir dan batin, sekaligus saling berbagi, memberi motivasi dan dukungan satu dengan yang lainnya.

Kami sering berkumpul di saat-saat tertentu. Mungkin aku akan menemui terlebih dahulu Arya, bocah kecil usianya kini 6 tahun. Lantas menemui sepasang suami-istri Handoko dan Pratiwi. Pasangan yang tidak pernah berpisah walaupun belum dikarunia seorang anak pun, mereka selalu mesra dan saling setia.

Mungkin kali ini aku akan mengusulkan kepada mereka, agar Arya bisa mereka angkat menjadi anak asuh. Hitung-hitung beramal, sekaligus Arya mendapat pengganti orang tuanya. Setelah itu aku akan menemui Kapten Polisi Gahana. Sekadar ngobrol tentang situasi mudik lebaran, atau kalau lagi beruntung aku bisa mendapatkan bocoran-bocoran informasi penting seputar dunia politik dan keamanan. Maklum Kapten Gahana punya banyak relasi di Mabes Polri.

Tapi, entah kenapa, tiba-tiba menyelinap rasa ragu. Aku putuskan untuk mengurungkan niat menemui kerabat-kerabatku itu. Perasaanku seketika disusupi oleh perasaan yang tidak enak. Bayangan Nadya berkelebat di benakku. “Ah, Nadya, tunggu… aku ikut!”

Namun terlambat, aku sudah tak bisa lagi menemukan jejak mobilnya. Mungkin mobilnya sudah sejak tadi melesat menuju Semarang. Dan sekarang sedang melaju bersama kendaraan-kendaraan lain dan tenggelam di jalan raya yang sesak, menuju kampung halaman masing-masing.

Rasa tidak enak terus menerus menggedor relung hatiku, perasaan melankoli menyeruak. Aku menjadi sangat sedih dan kesepian.

***
Terbayang kembali peristiwa perpisahan kami setahun yang lalu. Kenangan bagai film usang yang diputar berulang-ulang. Sebenarnya kami tidak pernah bercerai. Setelah kami berdebat sengit perihal jalur pantura atau jalur selatan yang akan kami lalui untuk mudik, akhirnya aku mengalah. Dan sepakat dengan pilihannya. Jalur selatan. Walaupun dengan perasaan dongkol, aku menuruti kemauan Nadya. Kami pun mudik melalui jalur selatan tiga hari menjelang lebaran setahun yang lalu.

Sepanjang perjalanan dengan mobil Nissan Terrano, aku tidak banyak bercakap-cakap dengannya. Aku lebih banyak diam, serius menyetir sambil menatap jalanan yang masih lengang karena puncak mudik belum tiba. Sama dengan aku, Nadya pun, mengunci mulutnya, diam. Mungkin, saling berdiam diri, adalah keputusan yang bijaksana, agar kami tidak berdebat lagi atau terlibat keributan mulut yang akan mengurangi pahala puasa kami saat itu.

Mobil kami terus melaju membelah jalan. Selepas dari pintu tol Padalarang, barulah Nadya bersuara. “Aku kangen ketupat dan opor ayam buatan ibuku,” katanya, membuka percakapan.

“Hai, akhirnya kamu bersuara juga” candaku.

“Kamu sih nyebelin, buktinya sampai Padalarang perjalanan kita lancar,” sungutnya, wajahnya tetap cantik walaupun sedang cemberut.

“Ngomong-ngomong soal ketupat dan opor, aku jadi laper nih Nad,” ujarku, sambil mengusap-usap perut. Nadya malah mencubit perutku. Aku menjerit kesakitan.

“Nanti makannya setelah tanjakan Nagreg saja ya? Kan di situ banyak restoran,” kata Nadya manja. Suasana seketika mencair. Aku dan Nadya kemudian ngobrol tentang rencana kami setiba di Semarang nanti, diselingi canda dan tawa.

Memasuki jalan tol kota Bandung menuju pintu tol Cileunyi tiba-tiba langit berubah menjadi mendung, hujan tampaknya akan turun. Dan benar saja hanya dalam hitungan detik bulir-bulir air hujan telah menimpa kaca mobil kami, semakin banyak dan akhirnya sangat deras.

Nadya kemudian tertidur, aku tetap serius menatap jalanan. Curah hujan yang deras membuat pandanganku tidak leluasa. Akhirnya kami memasuki daerah Cicalengka lantas Pamucatan, Nagreg. Jalan yang menurun landai membuat aku ekstra hati-hati, sementara dari arah berlawanan banyak mobil atau bus yang mogok karena tak sanggup menanjaki jalanan yang cukup terjal itu, sehingga mengakibatkan antrian kendaraan yang sangat panjang. Beberapa dari pengendara yang tidak sabar membunyikan klakson.

Mendadak aku melihat sekelebat bayangan hitam menyeberang di depan mobilku. Bayangan hitam itu bagai energi buruk yang membuatku kaget dan terkesiap. Dengan gugup aku membanting setir mobil yang sedang melaju kencang ke kiri jalan. Nadya terbangun dan menjerit. Karena panik aku tak sanggup menguasai keadaan. Mobilku kemudian menyeruduk motor yang sedang ditumpangi oleh pasangan suami- istri yang berboncengan. Mereka terseret bersama motornya di bawah kolong mobil kami. Seorang petugas polisi yang sedang mengatur lalu lintas jalanan pun tak luput dari terjangan mobilku yang tak terkendali.

Tubuh petugas polisi itu terpental dan kepalanya membentur aspal jalanan yang basah. Kepalanya rengkah. Sebelum terhempas ke jalan, tubuhnya membentur pengendara motor lainnya, seorang Bapak dengan anaknya yang sedang berboncengan. Motor itu terjatuh, namun Bapak pengendara motor itu berhasil merangkak dan menepi. Malang bagi bocah yang dibonceng itu, tubuhnya terguling ke jalan kemudian terlindas oleh sebuah truk dari arah belakang. Peristiwa itu berlangsung sangat cepat.

Nadya masih berteriak-teriak sambil menyebut asma Allah. Pandanganku mulai gelap, mataku nanar. Mobil lantas menerjang sebuah pohon besar dan berhenti. Tuhan Mahapenyayang, Nadya selamat. Aku berusaha untuk membebaskan diri dari jepitan setir mobil yang menghimpit dadaku. Aku melihat Nadya menangis. Aku berteriak agar ia tetap tenang dan segera ke luar dari mobil. Tapi Nadya terus menangis dan menjerit histeris. Lalu ia pingsan.

Ringan sekali tubuhku ke luar dari himpitan setir mobil dengan kondisi mobil yang ringsek. Aku memandang sekeliling, orang-orang mulai berhamburan mendekati mobil kami dan melihat motor yang berada di kolong mobil. Ada yang berteriak-teriak memberi instruksi, ada yang menangis, ada yang menutup mulutnya, tercekat. Seketika suasana jalanan Nagreg menjadi riuh rendah. Kemacetan parah pun terjadi.

Aku lihat seorang petugas polisi mendekatiku, lalu diikuti oleh pasangan suami- istri, mereka menghampiriku. Lantas seorang anak kecil berjalan pelan ke arahku. Masya Allah! Mereka tadi yang tertabrak mobilku. Mereka tidak meninggal. Mereka masih hidup! Pekikku dalam hati begitu gembira. Namun aku shock, Nadya masih pingsan.

Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi bersatu dengan Nadya. Kami berpisah di jalanan tanjakan Nagreg. Tetapi kami tidak pernah bercerai.

Petugas polisi, pasangan suami istri dan seorang anak kecil bersamaku kemudian berjalan bersama menuju sebuah lorong besar dikawal oleh seorang bertubuh tinggi dengan wajah yang samar.

Kami beristirahat setelah melewati lorong besar itu, di sebuah tempat yang luas berkabut dan dipenuhi bunga. Orang bertubuh tinggi itu menyuruh kami menunggu. Saat itulah aku berkenalan dengan Kapten Polisi Gahana, Handoko, Pratiwi dan Arya. Tetapi aku masih khawatir dengan keadaan Nadya. Apakah ia baik-baik saja?

Seorang kakek bertubuh kecil berjanggut putih menghampiri kami, ia menyalami kami satu persatu. Mengucapkan salam selamat datang di tempat yang ganjil ini. Seperti tahu isi pikiranku, ia lantas berkata. ”Istrimu akan baik-baik saja sampai lebaran tahun depan,” sambil menjabat tanganku erat.

Aku masih belum menyadari apa yang terjadi, begitu juga dengan Kapten Gahana, Handoko dan Pratiwi serta Arya.

Menyusuri sebuah lorong besar, maka akan sampailah kalian di sebuah hamparan tempat yang mahaluas penuh halimun dan bunga. Di tempat itu aku menetap bersama yang lain. Tidak jauh dari tanjakan Nagreg, kukira.

***
Mobil merah metalik milik Nadya melintas. Aku berusaha untuk menghentikan mobil itu. Nadya terkejut dan menginjak rem mendadak. Saat ini, menjelang senja. Nadya menepikan mobilnya pada sebuah pohon besar di sisi kiri tanjakan Nagreg. Ia lalu turun dari mobil. Perlahan ia berjalan mendekati pohon besar itu. Pohon setahun yang lalu ditabrak olehku. Tempat di mana aku berpisah dengan Nadya.

Dengan berlinang air mata, Nadya mengusap pohon itu dan sejenak kemudian ia bersedekap. Seperti orang berdoa. Bibirnya bergetar ketika ia berkata. “Mas, aku yakin kamu sudah tenang di alam sana.”

Aku menangis tersedu-sedu mendengar Nadya berbicara seperti itu. Aku berusaha untuk memeluk Nadya, aku begitu rindu padanya. Tapi Nadya tak bisa kuraih, tak bisa kurengkuh. Ia bagai energi gaib yang tak tersentuh. Aku ingin bercakap-cakap dengannya barang sejenak.

Seketika semuanya tampak terang. Nadya terkesima melihat cahaya terang benderang itu. “Mas, senanglah di tempatmu. Maafkan aku telah menahanmu menuju alam abadimu. Kini aku ikhlas!” jerit Nadya terisak-isak.

Aku tak pernah merasakan kedamaian seperti ini. Hatiku begitu sejuk dan tentram. Ah, Tuhan telah menyambutku rupanya.

“Maafkan aku Nadya, kamu lebaran sendirian lagi tahun ini,” ucapku lirih.

Seolah mendengar perkataanku, Nadya mengangguk-angguk. Sosok Nadya tiba-tiba hilang dari penglihatanku.***

Jakarta, 2009-2010