Senin, 17 Maret 2014

Resensi Film Pemenang Oscar 2014

Meresensi Dengan Cara Bercerita Karena Tujuannya Bukan Agar Kalian Nonton

Oleh: Bamby Cahyadi


            Film ini saya resensi, karena 12 Years A Slave sangat menyentuh hati. Bahkan ketika menonton filmnya, hati saya bagai tersayat sembilu yang paling tajam di dunia. Kekejaman, kebrutalan dan sadisme yang disuguhkan dalam film ini membuat saya enggan memalingkan bahkan mengedipkan mata dari layar bioskop, apalagi beranjak dari bangku empuk bioskop dengan pendingin ruangan yang sejuk. Film ini menteror nurani saya dan menjadikannya semacam dokumentasi sejarah yang paling jujur dan berani tentang sekelumit peradaban kelam manusia di muka bumi, terutama di Amerika Serikat sesaat sebelum Perang Sipil terjadi. Pun film ini baru saja menyabet penghargaan bergengsi Piala Oscar tahun 2014 sebagai film terbaik.
12 Years A Slave  merupakan film Inggris Amerika bergenre drama epik sejarah, yang dirilis pada tahun 2013. Film ini merupakan adaptasi dari kisah nyata Solomon Northup, seorang negro kelahiran New York yang diculik di Washington D.C pada tahun 1841 untuk dijual sebagai seorang budak belian. Ia bekerja di sebuah perkebunan di negara bagian  Louisiana selama dua belas tahun sebelum ia dibebaskan. Edisi ilmiah dari Northup's Memoir, pertama kali diedit pada tahun 1968 oleh Sue Eakin and Joseph Logsdon dengan sangat cermat dan hati-hati. Mereka menelusuri dan memvalidasi memoar tersebut sebelum meyakini memoar tersebut benar-benar akurat.
Ini adalah film ketiga karya  Steve McQueen  yang ditulis oleh John RidleyChiwetel Ejiofor sebagai pemeran utama Northup. Sedangkan Michael FassbenderBenedict Cumberbatch, Paul DanoPaul GiamattiLupita Nyong'oSarah PaulsonBrad Pitt dan Alfre Woodardfeatured membintangi film ini sebagai pemeran pembantu. Seperti kita ketahui, Lupita Nyong’o pun meraih penghargaan Osacar sebagai Pemeran Pembantu Terbaik 2014. Pengambilan gambar film ini berlokasi di  New Orleans, Louisiana, dari tanggal 27 Juni sampai 13 Agustus 2012, dengan biaya produksi sebesar $ 20 juta. Lokasi syuting yang digunakan adalah empat perkebunan yang bersejarah: FelicityMagnolia, Bocage, dan Destrehan. Dari keempatnya, Magnolia merupakan perkebunan yang nyata dimana Northup pernah bekerja sebagai budak di situ. Film ini juga meraih Writing Adapted Screenplay pada ajang bergengsi Oscar 2014.
12 Years a Slave menuai pujian dan kritik seiring dengan dirilisnya film ini pada tahun  2013, dan masuk kategori film terbaik oleh beberapa media. Pada  tahun 2014 film ini dianugerahi  the Golden Globe Award untuk kategori  Best Motion Picture – Drama, dan memperoleh Sembilan nominasi  Academy Award yang meliputi  Best PictureBest Director for McQueen, Best Actor for Ejiofor,Best Supporting Actor for Fassbender, dan Best Supporting Actress for Nyong'o. The British Academy of Film and Television Arts (BAFTA) mengakui  film ini sebagai film terbaik pada bulan Februari 2014, dengan Ejiofor sebagai aktor terbaik, dan memenangkan  BAFTA. Film ini pada bulan November 2013 silam sempat diputar pada ajang bergengsi Jakarta International Film Festival (JiFFest) 2013 di Jakarta.

Cerita Pedih dari Perkebunan
Pada tahun 1841, Solomon Northup (Chiwetel Ejiofor) adalah seorang warga negara kulit hitam yang bebas dan mendapat privilese yang hampir sama dengan orang kulit putih. Ia bekerja sebagai tukang kayu, sekaligus pemain biola yang andal. Ia hidup bahagia bersama istri dan kedua anaknya di Saratoga, New York. Lalu pada suatu hari datanglah dua orang lelaki (Scoot McNairy dan Taran Killam) menawarinya pekerjaan selama dua minggu sebagai musisi di sebuah sirkus keliling. Namun mereka malah membius Northup, merantainya, dan akhirnya menjualnya ke perdagangan manusia (perbudakan). Ketika itu berubahlah kehidupan bahagia Northup.
Northup dikirim ke New Orleans, namanya pun diganti menjadi  "Platt", sebuah identitas baru dirinya sebagai budak yang berasal dari Georgia. Ia sempat protes dan mengatakan bahwa ia manusia bebas. Namun tak ada yang peduli. Ia malah disekap di ruang bawah tanah. Dalam penyekapan, ia dipukuli berulang kali, lalu ia dijual ke kalangan atas yang tidak berperasaan. Seorang penjual budak Theophilus Freeman (Paul Giamatti) lantas menjualnya kepada seorang pemilik perkebunan William Prince Ford (Benedict Cumberbatch). Saat bekerja di perkebunan kayu milik Ford, Northup berusaha mengatur dan menjaga hubungan baik dengan Ford. Karena Ford merupakan seorang tuan yang baik. Northup dan budak-budak lainnya bertugas menebang dan membawa kayu-kayu gelondongan ke sebuah tempat. Atas ide Northup gelondangan kayu tersebut tidak diangkut lewat jalur darat namun menggunakan jalur air atau sungai untuk mengangkut kayu secara cepat dan efektif. Berkat ide cemerlang itu, Ford menghadiahkannya sebuah biola. Seorang pengawas para budak, John Tibeats (Paul Dano) sangat membenci Northup. Ia mulai melecehkannya secara verbal dan memberikan perintah yang tak boleh ditentang oleh Northup.
Ketegangan antara Tibeats dan Northup semakin menjadi-jadi. Tibeats menyerang Northup, dan Northup melawan balik, terjadilah perkelahian. Perkelahian dimenangi oleh Northup. Sebagai bentuk balas dendam, Tibeats dan teman-temannya akan mengeksekusi mati Northup tanpa proses pengadilan dengan cara menggantungnya dengan tali. Namun usaha mereka digagalkan oleh seorang mandor perkebunan kepercayaan Ford. Akan tetapi mandor tersebut membiarkan Northup menderita dalam kondisi setengah tergantung. Tali gantungan Northup akhirnya dilepaskan oleh Ford. Ford kemudian membawa Northup ke rumahnya. Ford menjelaskan bahwa Tibeats dan teman-temannya pasti menginginkan nyawa Northup. Ford saat itu dihadapkan pada situasi dilematis. Ford menjelaskan supaya nyawa Northup selamat, ia harus menjual Northup kepada Edward Epps (Michael Fassbender). Northup berupaya menjelaskan kepada Ford, bahwa sesungguhnya ia adalah manusia bebas. Namun Ford bersikeras berpura-pura tak mengetahui tentang status Northup yang semula manusia bebas. Ia bahkan menjawab, “Saya mempunyai hutang yang harus saya bayar!” Maka Northup pun dijual kepada seorang pemilik perkebunan kapas bernama Epps.
Majikan baru Northup mempunyai perilaku bengis. Ia gemar menyiksa budak-budaknya. Epps percaya bahwa ia berhak menyiksa budak yang mendapat sanksi dari alkitab dan mendukung para budak untuk menerima takdir mereka dan hukuman bagi mereka. Epps sering membacakan ayat-ayat dari al-kitab secara berkala bagi para budaknya. Epps juga mengharuskan setiap budak untuk menghasilkan sedikitnya 200 pon kapas setiap hari, kalau tidak, mereka akan dihukum. Seorang budak perempuan yang masih muda, bernama Patsey (Lupita Nyong'o) mampu menghasilkan lebih dari 500 pon dan dihargai secara berlebihan oleh Epps. Karena Epps terlalu menyanjung Patsey, maka istrinya (Sarah Paulson) menjadi cemburu terhadap perhatian yang diberikan suaminya kepada Patsey sehingga dengan kejam ia kerap menyiksa gadis itu pada setiap kesempatan. Terlebih setelah Epps terang-terangan menyatakan ia lebih memilih Patsey, jika terpaksa, ketimbang istrinya. Epps berulang kali menggagahi Patsey saat berahi lelaki itu terbakar. Patsey pun sangat tersiksa dengan perlakukan Epps terhadap dirinya. Derita batin dan fisik yang menderanya membuat Patsey nyaris putus asa dan memohon bantuan Northup untuk mengakhiri hidupnya, namun Northup menolaknya.
Suatu ketika perkebunan kapas milik Epps diserang wabah. Paska perkebunan diserang wabah serangga kapas, Epps mengatakan bencana ini memang dikirim Tuhan akibat ulah para budak-budaknya yang tak tahu diri. Ia pun menyewakan budak-budaknya untuk bekerja di perkebunan tebu (gula) sampai sisa musim paceklik kapas berakhir. Selama bekerja di perkebunan tebu, Northup merasakan kebaikan sang pemilik perkebunan, yang membiarkan dirinya bermain biola di sebuah resepsi pernikahan dan menyimpan uang hasil bekerja.
Ketika Northup kembali ke perkebunan Epps, ia berupaya menggunakan uangnya untuk membayar mantan pengawas (Garret Dillahunt) untuk kirim surat tulisan Northup yang ditujukan kepada teman-teman Northup di New York. Mantan mandor yang kini menjadi budak berkulit putih pun setuju untuk mengirimkan surat-surat tersebut, dan menerima uang yang ditawarkan. Ternyata ia mengkhianati Northup. Ia melapor perihal Northup menulis dan akan mengirimkan surat kepada Epps. Northup bersusah-payah meyakinkan Epps bahwa cerita itu bohong. Dan Epps percaya, karena alasan Northup cukup masuk akal, “Saya hanya seorang budak, tak bisa menulis dan membaca. Dari mana saya memperoleh kertas dan tinta untuk menulis?” Setelah itu Northup membakar surat-suratnya yang ia telah tulis dengan susah-payah. Surat yang merupakan harapan satu-satunya untuk bebas musnah, ia sangat sedih.
Suatu hari, Epps murka, ia marah besar ketika mengetahui Patsey hilang dari perkebunan. Saat ia kembali, Patsey mengaku pergi untuk mengambil sabun di perkebunan sebelah, karena istri Epps tidak pernah memberikannya sabun hanya untuk sekadar membersihkan dirinya saat mandi. Epps memerintahkan Patsey melucuti bajunya, lantas kemudian diikat pada sebuah tiang kayu. Tindakan menghukum cambuk terhadap Patsey sangat didukung oleh istri Epps. Akan tetapi Epps tidak tega untuk mencambuk Patsey dengan tangannya sendiri, ia pun memaksa Northup untuk mencambuk Patsey. Northup dengan terpaksa menuruti perintah majikannya tersebut. Karena merasa tak tega Northup mencambuk Patsey setengah hati dan pelan. Karena itu Epps berang, akhirnya Northup mencambuk Patsey dengan sangat keras. Melihat Nothup mampu mencambuk Patsey dengan keras, Epps mengambil alih cambuk dari tangan Northup dan melanjutkan mencambuk Patsey dengan kejam hingga serpihan daging dan cucuran darah Patsey bercambur di atas tali cambuk. Punggung Patsey hancur lebur akibat cambukan beringas Epps, Patsey pun terkulai pingsan.
Saat Patsey pulih, Northup mulai bekerja di sebuah konstruksi  gazebo dengan seorang tukang kayu asal Kanada bernama Bass (Brad Pitt). Bass terang-terangan menyampaikan ketidaksenangan terhadap Epps atas perlakuan kejam Epps terhadap budak-budaknya. Bass mengekspresikan dirinya bahwa ia melakukan perjuangan anti perbudakan. Hal ini didengar oleh Northup. Dan memicu keyakinan Northup bahwa Bass adalah orang yang tepat untuk menceritakan tentang riwayat hidupnya sesungguhnya. Northup pun bercerita kepada Bass tentang penculikannya. Sekali lagi, Northup mencoba mencari pertolongan melalui Bass dengan mengirimkan surat ke Saratoga. Awalnya Bass menolak, dengan alasan berisiko terhadap keselamatan dirinya sendiri, namun akhirnya ia setuju untuk mengirimkan surat-surat tersebut demi kemanusiaan dan perjuangan terhadap penghapusan perbudakan.
Northup pun dipanggil oleh sherif setempat, yang datang menggunakan kereta kuda bersama seorang lelaki. Sherif menanyakan serangkaian pertanyaan investigasi kepada Northup untuk mencocokkan dengan sejumlah fakta yang terjadi di kehidupan kota New York. Northup mengenali teman sherif sebagai seorang penjaga toko yang ia kenal baik dari Saratoga. Lelaki ini memang datang untuk membebaskannya. Lalu keduanya berpelukan dalam suasana penuh keharuan. Epps menolak pembebasan itu. Patsey pun merasa bingung dengan situasi pembebasan itu. Northup bergegas pergi meninggalkan perkebunan dan  tidak memberikan Patsey pelukan terakhir. Setelah diperbudak selama 12 tahun, Northup kembali menjadi manusia bebas dan berkumpul kembali dengan keluarganya.
Film ini ditutup dengan catatan yang berisikan informasi bahwa Northup membawa orang-orang yang bertanggung jawab atas penculikan dirinya ke pengadilan namun tidak berhasil menjerat mereka dengan hukuman yang setimpal. Pada tahun 1853, Northup mempublikasikan bukunya, Twelve Years a Slave yang kemudian menjadi judul film pemenang Piala Oscar 2014 ini.***


Jakarta, 5 Maret 2014

Tidak ada komentar: