Aku Tidak Sehebat Kartini
Oleh : Bamby Cahyadi
PIRING DAN GELAS KOTOR di dapur sudah menumpuk tinggi. Baru saja keluarga besarku mengadakan pesta pertunangan putriku, Bianka. Saat ini, pembantuku sedang menumpuk karpet yang kami pinjam dari musholla. Rasanya lelah sekali. Aku bayangkan bagaimana kalau Bianka menikah kelak. Pasti lebih repot, lebih lelah. Aku harus mempertimbangkan untuk menyewa gedung pertemuan kelurahan saja untuk acara pernikahan putriku nanti.
Calon mantuku, sesuai harapanku. Seorang sarjana dan memiliki pekerjaan tetap. Kalaupun ada beberapa kriteria yang tidak sesuai dengan harapanku, itu tak masalah. Lalu, aku bandingkan dengan almarhum suamiku, Kang Muslih. ”Ah, kalau saja Kang Muslih masih hidup, pasti ia akan menilai lalu membandingkan juga calon mantuku itu dengan dirinya,” batinku.
Ya, Kang Muslih selalu menginginkan anak lelakinya menjadi seperti dirinya. Persis sama dengan dirinya. Aku jadi ingat, semasa hidupnya, ia selalu mengharapkan anak tertuaku menjadi seperti dirinya, karena ia anak laki-laki. Demikian juga anak keduaku, karena ia pun anak laki-laki. ”Laki-laki itu harus sepertiku,” kata Kang Muslih.
Saat itu, Bara, anak tertuaku yang baru saja berusia 17 tahun, pulang ke rumah dengan wajah bersimbah darah karena terlibat tawuran masal dengan pelajar sekolah lain, musuh abadi sekolahnya.
Keesokan harinya, sebelum berangkat sekolah, Bara yang masih lebam akibat tawuran dibekali dengan sepucuk pistol. ”Jika masih ada yang berani menghajar kamu, tembak saja!” Kata kang Muslih waktu itu sambil menyodorkan pistol. ”Kamu itu laki-laki,” katanya lagi, sambil melangkah ke mobil dinasnya. Alih-alih membawa pistol ke sekolah, Bara malah menyerahkan pistol itu kepadaku. ”Aku bisa mengatasi masalahku tanpa harus menggunakan pistol ini,” kata Bara.
Tak dinyana, peristiwa itu merupakan kenangan terakhir suamiku kepada putra pertamanya, Bara. Ia gugur ketika sedang bertugas memimpin operasi militer di Timor-Timur. Sebagai komandan, suamiku sangat dihormati dan disegani oleh anak buahnya. Sebagai kepala rumah tangga, suamiku sangat dicintai dan dikagumi oleh anak istrinya. Demikianlah, suamiku tidak bisa menyaksikan Bara merayakan kelulusannya di sebuah SMA favorit. Kini, Bara tinggal dan bekerja di Jakarta. Hidup bahagia dengan seorang istri cantik dan dua anak. Bara tidak memiliki satu pun sifat dan watak ayahnya.
Brama, anak keduaku, mewarisi sifat dan watak ayahnya. Ia disiplin dan keras. Ketika suamiku gugur, Brama baru saja lulus SMP. Tamat SMA, atas bantuan rekan sejawat suamiku, Brama diterima sebagai Taruna Akademi Militer di Magelang. Karir dan prestasi belajar Brama sangat menonjol. Ia menjadi salah satu lulusan terbaik Akmil Magelang. Brama belum menikah. Sekarang ia bertugas di Nepal, bergabung dengan pasukan perdamaian PBB di bawah bendera Kontingen Garuda. Hanya ada satu yang membedakan Brama dengan ayahnya, Brama lebih pintar.
Aku menghela nafas. Mengenang suamiku membuat hatiku selalu teriris dan sedih. Setiap kali membuka kitab ingatan, air mata selalu berdesakan berlomba keluar dari kelopak mataku. Betapa tidak, aku dan anak-anakku tidak pernah melihat jenazah Kang Muslih. Kabarnya, tubuhnya hancur diberondong peluru tentara Fretelin dan ledakan granat yang sedang dipegangnya. Padahal, aku sangat ingin melihat jenazahnya. Melihat untuk yang terakhir kalinya. Memberi kecupan selamat jalan di keningnya. Dan menuturkan gigil doa di pelupuk matanya. Tapi peraturan militer tidak membolehkan aku dan anak-anakku melakukan hal-hal itu. Aku hanya bisa melihat peti jenazah suamiku yang tertutup bendera merah putih, sebelum dimasukkan ke liang lahat di Taman Makam Pahlawan Seroja Timor-Timur.
”Kang, Bianka sudah tunangan. Seandainya Akang masih ada di sini, pasti aku tidak secapek dan selelah ini.” Miris. Sedih. Dan mataku tak mau lepas dari sosok pada sebuah pigura, foto seorang laki-laki gagah dengan seragam militer. Tanpa terasa air mataku mengalir. Tetes demi tetes. ”Sudah dua kali aku menangis hari ini, Kang.”
“Bu, kok Ibu menangis lagi?”
Tiba-tiba suara Bianka mengagetkan aku. Lamunanku buyar.
“Ibu ingat ayahmu Bian,” jawabku singkat.
Aku tidak mau merusak kebahagiaan anak bungsuku, Bianka, yang baru saja bertunangan. Bianka kemudian merangkulku, dia ikut menangis tersedu-sedu. Akhirnya kami berdua sama-sama menangis. Melampiaskan seluruh rasa haru, rasa sedih, dan rasa bahagia.
Aku segera menyusut air mata. Menyekanya dengan punggung tangan. Aku tidak boleh terus bersedih. Jika pun harus ada air mata, maka yang pantas adalah air mata bahagia. Apalagi, sepanjang prosesi pertunangan tadi, Bianka tampak sangat bahagia. Dia banyak tersenyum, sumringah. Sesekali pipinya memerah mendengar senda gurau teman-temannya tentang misteri malam pertama, khususnya tentang rahasia hubungan badan suami-istri.
Aku memeluk Bianka sangat erat.
Aku biarkan tangisnya tumpah di dadaku. Saat ini, seperti aku, Bianka juga pasti sangat merindukan kehadiran bapaknya. Betapa bangga dan bahagianya acara tukar cincin tadi, jika disaksikan oleh Kang Muslih.
Selain itu, aku juga sedih karena harus mempersiapkan diri untuk ditinggalkan olehnya. Perasaanku sekarang berbeda sekali saat aku melepas Bara untuk menikahi Rindri. Sangat beda. Dulu, ketika Bara pergi, aku masih bisa tenang karena masih ada Bianka yang menemaniku di rumah ini. Tapi sekarang, aku bakal sendirian. Tak ada lagi yang menemani aku, selain kenangan.
Aku pasti akan kesepian, pasti. Karena setelah menikah nanti, Bianka akan diboyong oleh Harry, calon mantuku itu, ke Pekanbaru. Harry bekerja sebagai Manajer di sebuah perusahaan pengolahan kayu internasional. Bianka pun sepertinya akan bekerja di sebuah perusahaan kayu lokal. Aku tahu, dia tidak akan menyia-nyiakan gelar sarjana kehutanannya setelah dengan susah payah dia menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Kehutanan IPB. Sebuah jurusan yang sangat cocok dengan jiwa petualangnya. Aku bersyukur sekali dia menikah, karena mengurangi bebanku sebagai ibu seorang anak perempuan.
Tapi, dibalik rasa bahagia, menelusup nyeri. Sebentar lagi aku akan hidup sendiri.
***
Acara pernikahan Bianka berlangsung lancar. Meriah. Sanak-famili, handai-taulan, dan karib-kerabat, semuanya tumpah-ruah. Sangat meriah. Rasa capek dan lelahku berlalu sudah.
Dan, seperti yang aku takutkan, aku benar-benar sendirian. Tak ada siapa-siapa. Aku benar-benar sendiri. Kesendirian yang selalu memaksa aku membuka kitab-kitab kenangan. Siapa yang bisa bertahan dari gempuran keindahan masa lalu, ketika dia bersunyi sendiri? Tidak ada. Aku yakin tidak ada. Paling hanya bisa memalingkan sekejap ingatan dari kenangan dengan melakukan kegiatan ringan, seperti membaca, menulis, merawat tanaman. Sesudah itu, kenangan kembali akan merajalela.
Untung saja, sekarang aku punya mainan baru, sebuah laptop pemberian Bara. Suatu hari, sebagai rasa syukur atas kelulusan Magisternya, Bara menghadiahkan sebuah laptop. ”Bu, aku belikan laptop untuk Ibu, supaya ibu kalau mau menulis surat tidak perlu pinjam mesin ketik kelurahan,” ujar Bara serius, waktu itu. Ia pun mengajari aku bagaimana caranya menggunakan komputer jinjing itu. Aku sangat bahagia.
Hari-hari kini aku lalui dengan banyak menulis dan membaca e-mail dari Brama yang masih di Nepal. Terakhir membaca berita dari Brama ketika ia bercerita tentang temannya yang gugur akibat kecelakaan helikopter. Berita itu lalu aku ikuti di media cetak nasional. Laptop ini sekarang menjadi teman paling setiaku.
Lagi-lagi aku jadi teringat Kang Muslih.
Sungguh berat sekali rasanya membesarkan Bara, Brama, dan Bianka seorang diri. Aku bahkan sering digunjingkan oleh tetangga setiap anakku meraih kesuksesan. ”Pasti dia menjadi istri simpanan seorang Jenderal.” Begitu omongan ibu-ibu perumahan yang suka bergosip ketika Bara bisa masuk kuliah di sebuah perguruan tinggi ternama di kota Bandung. Padahal, belum genap tiga bulan aku melepas kepergian Kang Muslih untuk selama-lamanya. Aku tidak peduli.
Tetanggaku, bahkan anak-anakku sendiri, tidak tahu dari mana dan bagaimana aku bisa mendapatkan biaya hidup dan biaya kuliah. Aku hanya berpesan agar mereka selalu bersemangat belajar dan menanamkan keinginan kuat menjadi orang sukses. ”Tugas kalian hanya belajar, tidak perlu memikirkan dari mana ibu mendapatkan uang untuk biaya sekolah kalian,” kataku suatu hari ketika Brama memutuskan untuk bekerja selepas lulus SMA.
Ada satu hal yang sampai saat ini anak-anakku tidak tahu dari mana sumber keuangan untuk menghidupi dan membiayai kuliah mereka. Kejadian itu sangat berarti dalam diriku dan aku tidak pernah menceritakannya kepada mereka.
***
Suatu hari, aku menyempatkan diri mampir untuk melihat-lihat buku di sebuah toko buku. Kebiasaan membaca sudah tumbuh sejak aku kecil. Bahkan, pada saat masih ada Kang Muslih, aku mengoleksi novel dan berlangganan beberapa majalah.
Sebenarnya, pada saat itu, pikiranku sedang kalut. Bara membutuhkan sejumlah uang untuk biaya tugas praktek lapangan. Sementara penghasilan dari uang pensiunan janda veteran perang tidak cukup untuk menutupi kebutuhan Bara. Aku sempat berpikir untuk menggadaikan rumah, satu-satunya peninggalan Kang Muslih yang paling mewah, selain kenangan indah bersamanya.
Mampir ke toko buku membuat diriku agak sedikit rileks. Memang, toko buku ini tidak sebesar toko buku yang banyak bertebaran di Jakarta, tetapi cukup komplit menyediakan berbagai jenis buku. Mulai dari filsafat sampai politik, novel dan biografi, serta buku-buku yang berhubungan dengan hobi dan rumah tangga. Semua tersedia walaupun dengan jumlah yang sangat sedikit.
Seperti biasa, mataku lincah memamah setiap demi setiap judul buku. Sesekali aku meraih buku yang judulnya menarik. Membaca halaman depan dan halaman belakang. Menelisik nama pengarang dan mereka-reka isi bukunya. Kadang-kadang, setelah melirik kesana-kemari, aku suka membuka segel plastik pembungkus buku secara diam-diam. Hingga, aku tertegun di depan sebuah buku. Buku itu masih terbungkus rapi. Segel plastiknya masih utuh meski agak sedikit berdebu. Sepertinya buku itu jarang disentuh dan buku cetakan lama.
Penasaran. Akhirnya kucomot buku itu dari rak pajang. Benar, ini buku lama. Judulnya Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku karya R.A. Kartini yang diterjemahkan oleh Armijn Pane. Gila! Aku kaget. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1978. Benar, ini buku lama. Ini buku yang sangat berharga. Kenapa buku langka dan dahsyat seperti ini bisa luput dari para pencinta buku?
Aku tahu siapa Kartini. Aku mengenalnya lewat pelajaran sejarah di sekolah. Aku juga tahu kalau dulu Kartini sering surat-suratan dengan para sahabatnya, di dalam dan di luar nusantara. Tapi, terus terang, aku belum pernah membaca apalagi tahu isi bukunya. ”Buku ini tipis,” pikirku lagi. Tidak terlalu tebal bagi kutu buku sepertiku. Hanya 214 halaman.
Sesuatu dari dalam hati mendesak aku untuk membaca buku ini. Maka, setelah pemilik toko mengizinkan aku untuk membuka bungkus plastiknya, aku segera melahap daftar isi dan kata pengantarnya. ”Ah, aku suka buku ini. Suka sekali.” Aku memutuskan membeli buku langka ini, buku satu-satunya yang terpajang di rak buku itu.
Sampai di rumah, aku larut membaca buku tersebut. Hanyut. Hingga lupa akan kekalutanku. Lupa bahwa Bara sedang membutuhkan uang dan lupa kalau aku hanya seorang janda. Aku larut dengan isi buku yang dengan apik disusun oleh Armijn Pane. Padahal buku itu hanya berisikan 87 surat-surat Kartini yang ditujukan untuk teman-temannya di Belanda. Beberapa waktu kemudian aku baru tahu bahwa masih banyak surat-surat Kartini yang belum terpublikasikan di Indonesia.
”Demikian hebatnya surat-surat yang dibuat Kartini kepada sahabat-sahabat penanya,” desisku bersemangat. Beruntung sekali aku membeli buku itu. Aku sangat terinspirasi seusai membacanya. Ya, inspirasi. Begitulah perasaanku saat itu. Buku itu membakar semangatku. Aku harus mampu menyekolahkan anak-anakku dengan perjuangan sendiri. ”Tapi, bagaimana caranya? Hmm, aku kan bisa menulis. Ya, aku bisa menulis. Lalu, aku putuskan akan menulis sesuatu. Tapi, aku tidak punya mesin ketik.”
Tak apalah, tulis tangan pun bisa.
Malam itu juga aku menulis lembar demi lembar kenangan hidup bersama kang Muslih dengan tulisan tangan. Sampai aku tertidur.
Keesokan harinya, aku ke kantor Kelurahan. Salah seorang staf kelurahan masih terhitung kerabat almarhum suamiku. Aku meminjam mesin ketik untuk mengetik tulisanku semalam. Tulisan sederhana. Tulisan tentang kenangan bersama kang Muslih.
Selesai mengetik, aku memasukkan hasil ketikan itu ke dalam amplop dan mengirimkannya ke sebuah majalah wanita di Jakarta.
Aku berharap, tulisanku dimuat dan aku mendapatkan uang. ”Ah, tapi aku tidak boleh terlalu berharap.” Kalau tidak dimuat, nanti bisa kecewa. Yang penting, setelah membaca buku Habis Gelap terbitlah Terang aku sangat bersemangat. Itu saja. Tidak terpikirkan uang di benakku.
Aku akhirnya meminjam uang di Koperasi Veteran untuk menutupi biaya praktek lapangan Bara yang tertunda. Bara sampai mencium tanganku saat uang itu aku serahkan kepadanya. Seperti biasa, air mataku langsung mengalir dengan deras. ”Seandainya bapakmu masih hidup, ibu tidak akan berhutang,” batinku.
Setiap malam aku menulis. Menulis tentang apa saja. Dan keesokan harinya, setiap pagi, aku ke kantor kelurahan untuk mengetik tulisan itu. Kemudian, seperti biasa, tulisan itu aku masukkan ke dalam amplop dan mengirimnya ke media.
Apabila Brama dan Bianka bertanya ada urusan apa aku ke Kantor Kelurahan, aku selalu menjawab, ”ibu akan mengetik surat.”
Hingga suatu hari, ketika itu aku sedang membaca sebuah majalah wanita, aku sangat terkejut bercampur bahagia. Tulisanku dimuat di majalah itu. Itu tulisanku yang pertama kali dimuat di majalah. Aku sujud syukur. Bulu romaku meremang. Aku gembira sekali. Air mata bahagia pun tumpah. Saking gembiranya, aku hampir saja menceritakan perihal tulisan itu kepada anak-anakku. Aku lupa, aku menggunakan nama samaran di tulisan itu. Pun demikian pada tulisan-tulisan lainnya.
Dan aku merahasiakan hal itu.
Seumur hidupku.
Hingga kemudian beberapa tulisanku sering dimuat di majalah maupun koran. Akhirnya, walaupun tidak banyak, aku mendapatkan uang tambahan untuk memenuhi kebutuhanku sehari-hari. Bahkan untuk menambah uang kuliah anak-anakku.
Ketika Bara mulai menyusun skripsi, aku menulis sebuah novel. Mujurnya, novel tersebut diterbitkan oleh sebuah penerbit besar di Jakarta. Novel pertamaku sangat digemari oleh kalangan perempuan. Dari novel itu aku menerima sejumlah uang. Royalti atas tulisanku.
Dari royalti itu aku melahirkan semangat.
Sejak aku rasakan nikmatnya mencicipi uang dari tulisan, aku tidak pernah berhenti menulis. Pada mulanya meminjam mesin ketik di kantor kelurahan hingga akhirnya punya laptop. Pada mulanya hanya menulis pengalaman nyata, lembar-lembar kenangan bersama kang Muslih, suamiku tercinta. Sekarang aku bisa menulis apa saja. Mengarang apa saja.
Ya, aku menghidupi dan menyekolahkan anak-anakku dengan menjadi penulis. Anak-anakku belum juga tahu. Mereka juga tidak tahu tentang nama samaranku, Kartini. Biarlah anak-anakku tahu ibunya bernama Ida Kusdiah, janda veteran perang Timor-Timur.
Buku Kartini inspirasi hidupku. Namun, aku tidak sehebat Kartini.***
Jakarta, 6 Maret 2010
Selasa, 11 Mei 2010
Sabtu, 20 Maret 2010
EREKSI
EREKSI
Bamby Cahyadi
Subuh menjadi dingin akibat hujan sepanjang malam. Seperti biasa, selayaknya laki-laki normal lainnya. Handoko merasa benda di selangkangnya mengeras dan berdiri. Anunya ereksi. Namun sebenarnya, ia tinggal menggauli istrinya yang masih tidur mendengkur di sampingnya untuk mengakhiri ereksi. Handoko gelisah, karena tak ada hasrat berahi untuk menggauli istrinya, agar ereksi berhenti. Ia tak bergairah, walaupun ia masih saja tetap ereksi.
Subuh pun menepi mendekati pagi. Istrinya sudah bangun dan menyiapkan sarapan. Handoko masih berbaring, tidak tidur. Tapi matanya terpejam. Ia hanya berguling-guling di atas kasur. Telungkup menyamping, terlentang kemudian tengkurap lagi. Baru kali ini, anuku mengeras lama sekali, batinnya. Biasanya, selayaknya laki-laki normal lainnya, setelah anunya mengeras tidak berapa lama kemudian mengecil kembali. Kempes, seperti balon yang dibuka simpul ikatannya.
Padahal kemarin, ia tidak memakan makanan yang bisa dengan mudah memicu libido, misalnya daging kambing. Ia pun tidak meminum ramu-ramuan atau jamu-jamuan peningkat stamina. Oleh karenanya ia sangat heran anunya terus ereksi.
Minarni istrinya masuk ke dalam kamar, perempuan itu ingin mencari tahu kenapa suaminya belum juga bangun untuk menuju dapur menyantap sarapan dan minum kopi yang telah tersedia.
“Mas, kamu sakit?” tanya Minarni melihat Handoko masih terbaring tengkurap memeluk guling.
“Enggak, aku masih ngantuk saja Min,” jawab Handoko sambil bergeliat. Ia pura-pura menguap.
“Benar kamu enggak sakit?” tanya istrinya lagi, masih penasaran lantas memegang dahi suaminya.
“Enggak!” Handoko menepis tangan istrinya.
“Ya, kalau begitu bangun dong!” pinta Minarni. “Aku sudah siapkan sarapan dan kopi,” lanjut Minarni, meninggalkan Handoko yang masih pegal dengan anunya yang masih tegang dan berdiri.
Bagaimana ini? Kok, enggak kempes-kempes juga. Huuuh, menyiksa sekali. Gumam Handoko di dalam hatinya.
Handoko lalu beringsut, turun dari tempat tidur. Dengan cepat ia mematut diri di depan cermin. Ia melihat dirinya dalam cermin. Bagian ujung celananya tepat di bagian depan selangkangnya menggunung. Handoko berusaha untuk menutupnya dengan memelintir anunya ke samping kiri, ke samping kanan tetapi tetap saja menonjol. Ia membengkokkan ke bawah, tetap saja menjendol.
Akhirnya Handoko mengambil sarung dan mengenakannya. Ah, ia sedikit lega, sarung itu mampu mengamuflase tonjolan anunya yang ereksi terus. Handoko pun bernyali untuk ke luar kamar. Menuju dapur untuk sarapan.
“Kok kamu pakai sarung Mas?” tanya istrinya heran.
“Aku lagi kepengen aja pakai sarung,” jawab Handoko sambil menyomot tempe mendoan buatan istrinya.
“Tumben saja, enggak biasanya,” balas Minarni.
“Min…” kata Handoko tercekat.
“Ya, Mas?”
“Aku…. Enggg…Enggak jadi deh.”
“Kamu mau ngomong apa sih, Mas?”
“Gini…” Handoko berhenti berkata, lantas ia menyeruput kopi yang masih panas.
“Apaan sih?” Minarni lalu duduk. “Mau ngomong apa?” sergah Minarni.
“Kok, burungku berdiri terus ya?” ujar Handoko akhirnya berterus terang kepada istrinya.
“Memang kita punya burung?” tanya Minarni polos tidak mengerti perihal perkataan suaminya.
“Min… Ini lho!” Handoko melorotkan sarungnya dan anunya yang sedang berdiri seolah menunjuk muka Minarni.
“Waaaw!” ucap Minarni kaget. Wajah perempuan itu bersemburat merah merona.
“Iya… gara-gara ini Min,” kata Handoko menujuk anunya yang ereksi itu dengan ujung bibirnya, manyun.
Minarni tergelak. Perempuan itu tertawa terkikik-kikik. Lalu dengan spontan Minarni menggiring suaminya untuk masuk ke dalam kamar kembali. Langkah Minarni tergesa, sementara Handoko tak bersemangat.
Di dalam kamar, Minarni lalu menanggalkan pakaiannya, termasuk beha dan celana dalamnya. Di dorongnya tubuh Handoko terjerembab ke kasur. Minarni kemudian menindih Handoko. Cukup bagian itu saja yang Anda ketahui pembaca yang budiman.
Minarni berkali-kali orgasme, tetapi anunya Handoko tetap saja ereksi. Handoko tidak sedikit pun ejakulasi.
Mata Minarni berbinar-binar karena merasakan kenikmatan bertubi-tubi. Ia akhirnya tertidur pulas, kecapaian. Sementara itu, Handoko merasakan pinggangnya pegal dan linu. Anunya Handoko masih saja dengan gagah perkasa mendongak keras menunjuk langit.
Malam pun tergelincir. Minarni masih berbinar-binar, walaupun ia juga tampak letih lantas dengan malas menyalakan lampu-lampu rumah. Di luar hujan deras mengguyur.
Sepanjang hari tadi Handoko hanya berdiam diri di rumah, ia tidak ke mana-mana. Seharian Handoko berusaha mengempeskan anunya dengan berbagai cara. Tentu sesekali dibantu oleh Minarni istrinya yang tidak melewatkan kesempatan yang melintas.
Usaha Handoko cukup keras akan tetapi sia-sia. Segala upaya pengempesan anunya yang ereksi tak membuahkan hasil. Mulai dari mengompres dengan air dingin. Menyiraminya dengan bedak gatal beraroma mint, yang diyakini mampu membuat anunya Handoko berhenti berdiri. Hingga mengolesinya dengan minyak kayu putih. Hasilnya, tetap ereksi tak berhenti dan anunya malah menjadi panas.
Karena terlampau capai, malam ini Minarni tertidur pulas sekali. Handoko tidak bisa tidur, ia bagaikan ikan belut di penggorengan. Handoko baru terlelap dalam tidur setelah hari menjelang pagi kembali. Dengan anunya yang masih ereksi.
***
Pagi datang kembali, seperti pagi kemarin yang dingin karena hujan semalaman.
“Bagaimana ini Min?” tanya Handoko kepada istrinya yang kini tidak lagi berbinar. Perempuan itu, kini jatuh kasihan kepada suaminya yang tersiksa akibat ereksi tak berkesudahan.
“Mas, kita ke dokter saja,” usul Minarni. Dan langsung diiyakan oleh Handoko.
Bergegas Minarni dan Handoko menuju garasi mobil. Handoko menggunakan sarung untuk sedikit menutupi tonjolan. Minarni mengambil alih setir mobil, ia menyupiri mobil, Handoko nyengir.
Sampailah mereka di sebuah klinik dokter. Sengaja mereka mencari dokter spesialis kulit dan kelamin, agar urusan ereksi Handoko bisa segara teratasi dengan akurat. Bukankah Handoko bermasalah dengan kelaminnya?
Dengan berat hati karena malu, Handoko turun dari mobil dengan menggunakan sarung. Minarni telah lebih dahulu masuk ke dalam klinik untuk mendaftarkan diri.
Suster yang menerima mereka mencatat nama Handoko di buku pasien. Sesaat kemudian, Handoko bersama Minarni masuk ke dalam ruang prakter dokter. Mereka tidak menyangka dokter spesialis kulit dan kelamin, berkelamin perempuan.
Handoko menjadi gelisah, keringatnya malah mengucur deras. Ia, merasakan ereksi anunya makin menjadi-jadi. Minarni kelihatan ragu-ragu, tiba-tiba menyelinap rasa cemburu di hatinya. Dalam sekejap hatinya menjadi panas tidak karu-karuan.
Minarni tidak sudi anu suaminya yang berdiri dengan gagah perkasa ditangani oleh dokter perempuan kinclong itu. Dokter itu sangat cantik, bahkan seksi. Begitulah pandangan Minarni ketika melihat dokter spesialis kelamin itu. Ibu dokter yang di hadapan mereka, lalu bertanya.
“Yang sakit, ibunya atau bapaknya?”
“Saya dok,” kata Handoko pelan sambil cepat-cepat mengangkat tangannya sedikit. Minarni menatap suaminya, nyalang.
“Apa keluhan Bapak?” lanjut dokter itu bertanya lagi. Kali ini sambil tersenyum memandang Handoko yang tersipu.
Maka berganti-gantian Handoko dan Minarni bercerita sebab-musabab keluhan Handoko. Dokter itu hanya mengangguk-angguk dan tersenyum sedikit-sedikit.
Setelah mengerti duduk persoalannya, dokter itu kemudian mempersilakan Handoko untuk berbaring di atas tempat tidur bersprei putih khas rumah sakit. Lalu suster yang mencatat nama Handoko di buku catatan pasien tadi ikut masuk ke kamar praktek. Minarni disuruh menunggu di luar kamar praktek.
Walaupun dengan perasaan cemburu yang tidak karu-karuan. Akhirnya Minarni pasrah menunggu Handoko ditangani oleh dokter perempuan itu bersama suster yang juga perempuan, di ruang tunggu.
Beberapa saat kemudian. Setelah merasa lama sekali menunggu. Minarni dipersilakan masuk ke kamar prakter dokter itu. Rupanya upaya dokter dan suster itu membuahkan hasil. Handoko terlihat lega dengan wajah berseri-seri, ceria.
Tentu saja Minarni senang melihat ekspresi suaminya yang kini tidak murung lagi akibat ereksi hebat. Dokter dan suster juga terlihat tersenyum-senyum, mungkin malu, mungkin geli. Lalu dengan tidak sabar, Minarni bertanya kepada dokter itu.
“Kenapa dengan suami saya dokter?”
Dokter itu lalu menjawab dengan pelan dan tegas, “Bapak hanya ingin kawin lagi Bu!”
Terbelalak mata Minarni mendengar penjelasan dokter kinclong itu. Lebih-lebih ketika ia melihat sprei putih khas rumah sakit itu kusut penuh dengan gumpalan cairan putih kental seperti santan. Tentu saja Anda paham cairan apa itu pembaca yang budiman.
Kemudian ditamparnya pipi Handoko sangat keras. Plak! Plok! Pipi kiri, pipi kanan. Dokter dan suster, maklum adanya. Handoko meringis lega, sambil memegang kedua pipinya yang panas akibat tamparan Minarni. Kuping Handoko berdenging.***
Bamby Cahyadi
Subuh menjadi dingin akibat hujan sepanjang malam. Seperti biasa, selayaknya laki-laki normal lainnya. Handoko merasa benda di selangkangnya mengeras dan berdiri. Anunya ereksi. Namun sebenarnya, ia tinggal menggauli istrinya yang masih tidur mendengkur di sampingnya untuk mengakhiri ereksi. Handoko gelisah, karena tak ada hasrat berahi untuk menggauli istrinya, agar ereksi berhenti. Ia tak bergairah, walaupun ia masih saja tetap ereksi.
Subuh pun menepi mendekati pagi. Istrinya sudah bangun dan menyiapkan sarapan. Handoko masih berbaring, tidak tidur. Tapi matanya terpejam. Ia hanya berguling-guling di atas kasur. Telungkup menyamping, terlentang kemudian tengkurap lagi. Baru kali ini, anuku mengeras lama sekali, batinnya. Biasanya, selayaknya laki-laki normal lainnya, setelah anunya mengeras tidak berapa lama kemudian mengecil kembali. Kempes, seperti balon yang dibuka simpul ikatannya.
Padahal kemarin, ia tidak memakan makanan yang bisa dengan mudah memicu libido, misalnya daging kambing. Ia pun tidak meminum ramu-ramuan atau jamu-jamuan peningkat stamina. Oleh karenanya ia sangat heran anunya terus ereksi.
Minarni istrinya masuk ke dalam kamar, perempuan itu ingin mencari tahu kenapa suaminya belum juga bangun untuk menuju dapur menyantap sarapan dan minum kopi yang telah tersedia.
“Mas, kamu sakit?” tanya Minarni melihat Handoko masih terbaring tengkurap memeluk guling.
“Enggak, aku masih ngantuk saja Min,” jawab Handoko sambil bergeliat. Ia pura-pura menguap.
“Benar kamu enggak sakit?” tanya istrinya lagi, masih penasaran lantas memegang dahi suaminya.
“Enggak!” Handoko menepis tangan istrinya.
“Ya, kalau begitu bangun dong!” pinta Minarni. “Aku sudah siapkan sarapan dan kopi,” lanjut Minarni, meninggalkan Handoko yang masih pegal dengan anunya yang masih tegang dan berdiri.
Bagaimana ini? Kok, enggak kempes-kempes juga. Huuuh, menyiksa sekali. Gumam Handoko di dalam hatinya.
Handoko lalu beringsut, turun dari tempat tidur. Dengan cepat ia mematut diri di depan cermin. Ia melihat dirinya dalam cermin. Bagian ujung celananya tepat di bagian depan selangkangnya menggunung. Handoko berusaha untuk menutupnya dengan memelintir anunya ke samping kiri, ke samping kanan tetapi tetap saja menonjol. Ia membengkokkan ke bawah, tetap saja menjendol.
Akhirnya Handoko mengambil sarung dan mengenakannya. Ah, ia sedikit lega, sarung itu mampu mengamuflase tonjolan anunya yang ereksi terus. Handoko pun bernyali untuk ke luar kamar. Menuju dapur untuk sarapan.
“Kok kamu pakai sarung Mas?” tanya istrinya heran.
“Aku lagi kepengen aja pakai sarung,” jawab Handoko sambil menyomot tempe mendoan buatan istrinya.
“Tumben saja, enggak biasanya,” balas Minarni.
“Min…” kata Handoko tercekat.
“Ya, Mas?”
“Aku…. Enggg…Enggak jadi deh.”
“Kamu mau ngomong apa sih, Mas?”
“Gini…” Handoko berhenti berkata, lantas ia menyeruput kopi yang masih panas.
“Apaan sih?” Minarni lalu duduk. “Mau ngomong apa?” sergah Minarni.
“Kok, burungku berdiri terus ya?” ujar Handoko akhirnya berterus terang kepada istrinya.
“Memang kita punya burung?” tanya Minarni polos tidak mengerti perihal perkataan suaminya.
“Min… Ini lho!” Handoko melorotkan sarungnya dan anunya yang sedang berdiri seolah menunjuk muka Minarni.
“Waaaw!” ucap Minarni kaget. Wajah perempuan itu bersemburat merah merona.
“Iya… gara-gara ini Min,” kata Handoko menujuk anunya yang ereksi itu dengan ujung bibirnya, manyun.
Minarni tergelak. Perempuan itu tertawa terkikik-kikik. Lalu dengan spontan Minarni menggiring suaminya untuk masuk ke dalam kamar kembali. Langkah Minarni tergesa, sementara Handoko tak bersemangat.
Di dalam kamar, Minarni lalu menanggalkan pakaiannya, termasuk beha dan celana dalamnya. Di dorongnya tubuh Handoko terjerembab ke kasur. Minarni kemudian menindih Handoko. Cukup bagian itu saja yang Anda ketahui pembaca yang budiman.
Minarni berkali-kali orgasme, tetapi anunya Handoko tetap saja ereksi. Handoko tidak sedikit pun ejakulasi.
Mata Minarni berbinar-binar karena merasakan kenikmatan bertubi-tubi. Ia akhirnya tertidur pulas, kecapaian. Sementara itu, Handoko merasakan pinggangnya pegal dan linu. Anunya Handoko masih saja dengan gagah perkasa mendongak keras menunjuk langit.
Malam pun tergelincir. Minarni masih berbinar-binar, walaupun ia juga tampak letih lantas dengan malas menyalakan lampu-lampu rumah. Di luar hujan deras mengguyur.
Sepanjang hari tadi Handoko hanya berdiam diri di rumah, ia tidak ke mana-mana. Seharian Handoko berusaha mengempeskan anunya dengan berbagai cara. Tentu sesekali dibantu oleh Minarni istrinya yang tidak melewatkan kesempatan yang melintas.
Usaha Handoko cukup keras akan tetapi sia-sia. Segala upaya pengempesan anunya yang ereksi tak membuahkan hasil. Mulai dari mengompres dengan air dingin. Menyiraminya dengan bedak gatal beraroma mint, yang diyakini mampu membuat anunya Handoko berhenti berdiri. Hingga mengolesinya dengan minyak kayu putih. Hasilnya, tetap ereksi tak berhenti dan anunya malah menjadi panas.
Karena terlampau capai, malam ini Minarni tertidur pulas sekali. Handoko tidak bisa tidur, ia bagaikan ikan belut di penggorengan. Handoko baru terlelap dalam tidur setelah hari menjelang pagi kembali. Dengan anunya yang masih ereksi.
***
Pagi datang kembali, seperti pagi kemarin yang dingin karena hujan semalaman.
“Bagaimana ini Min?” tanya Handoko kepada istrinya yang kini tidak lagi berbinar. Perempuan itu, kini jatuh kasihan kepada suaminya yang tersiksa akibat ereksi tak berkesudahan.
“Mas, kita ke dokter saja,” usul Minarni. Dan langsung diiyakan oleh Handoko.
Bergegas Minarni dan Handoko menuju garasi mobil. Handoko menggunakan sarung untuk sedikit menutupi tonjolan. Minarni mengambil alih setir mobil, ia menyupiri mobil, Handoko nyengir.
Sampailah mereka di sebuah klinik dokter. Sengaja mereka mencari dokter spesialis kulit dan kelamin, agar urusan ereksi Handoko bisa segara teratasi dengan akurat. Bukankah Handoko bermasalah dengan kelaminnya?
Dengan berat hati karena malu, Handoko turun dari mobil dengan menggunakan sarung. Minarni telah lebih dahulu masuk ke dalam klinik untuk mendaftarkan diri.
Suster yang menerima mereka mencatat nama Handoko di buku pasien. Sesaat kemudian, Handoko bersama Minarni masuk ke dalam ruang prakter dokter. Mereka tidak menyangka dokter spesialis kulit dan kelamin, berkelamin perempuan.
Handoko menjadi gelisah, keringatnya malah mengucur deras. Ia, merasakan ereksi anunya makin menjadi-jadi. Minarni kelihatan ragu-ragu, tiba-tiba menyelinap rasa cemburu di hatinya. Dalam sekejap hatinya menjadi panas tidak karu-karuan.
Minarni tidak sudi anu suaminya yang berdiri dengan gagah perkasa ditangani oleh dokter perempuan kinclong itu. Dokter itu sangat cantik, bahkan seksi. Begitulah pandangan Minarni ketika melihat dokter spesialis kelamin itu. Ibu dokter yang di hadapan mereka, lalu bertanya.
“Yang sakit, ibunya atau bapaknya?”
“Saya dok,” kata Handoko pelan sambil cepat-cepat mengangkat tangannya sedikit. Minarni menatap suaminya, nyalang.
“Apa keluhan Bapak?” lanjut dokter itu bertanya lagi. Kali ini sambil tersenyum memandang Handoko yang tersipu.
Maka berganti-gantian Handoko dan Minarni bercerita sebab-musabab keluhan Handoko. Dokter itu hanya mengangguk-angguk dan tersenyum sedikit-sedikit.
Setelah mengerti duduk persoalannya, dokter itu kemudian mempersilakan Handoko untuk berbaring di atas tempat tidur bersprei putih khas rumah sakit. Lalu suster yang mencatat nama Handoko di buku catatan pasien tadi ikut masuk ke kamar praktek. Minarni disuruh menunggu di luar kamar praktek.
Walaupun dengan perasaan cemburu yang tidak karu-karuan. Akhirnya Minarni pasrah menunggu Handoko ditangani oleh dokter perempuan itu bersama suster yang juga perempuan, di ruang tunggu.
Beberapa saat kemudian. Setelah merasa lama sekali menunggu. Minarni dipersilakan masuk ke kamar prakter dokter itu. Rupanya upaya dokter dan suster itu membuahkan hasil. Handoko terlihat lega dengan wajah berseri-seri, ceria.
Tentu saja Minarni senang melihat ekspresi suaminya yang kini tidak murung lagi akibat ereksi hebat. Dokter dan suster juga terlihat tersenyum-senyum, mungkin malu, mungkin geli. Lalu dengan tidak sabar, Minarni bertanya kepada dokter itu.
“Kenapa dengan suami saya dokter?”
Dokter itu lalu menjawab dengan pelan dan tegas, “Bapak hanya ingin kawin lagi Bu!”
Terbelalak mata Minarni mendengar penjelasan dokter kinclong itu. Lebih-lebih ketika ia melihat sprei putih khas rumah sakit itu kusut penuh dengan gumpalan cairan putih kental seperti santan. Tentu saja Anda paham cairan apa itu pembaca yang budiman.
Kemudian ditamparnya pipi Handoko sangat keras. Plak! Plok! Pipi kiri, pipi kanan. Dokter dan suster, maklum adanya. Handoko meringis lega, sambil memegang kedua pipinya yang panas akibat tamparan Minarni. Kuping Handoko berdenging.***
Senin, 01 Maret 2010
Saut Situmorang VS Hudan Hidayat, Sahabat Sejati
Ini adalah komen-komen Saut Situmorang, aku mengumpulkannya dan kusimpan dalam blog pribadiku, karena aku sangat suka perbedaan pendapat. Tetapi, aku tak suka arogansi model Saut Situmorang.
Hudan Hidayat memang Sampah Internet! Dia merusak Sastra Indonesia dengan memberikan puja-puji palsu persis kayak yang dia ejek-ejek Sapardi lakukan atas Ayu Utami. Apa pertanggung-jawaban dia terhadap mereka yang dia tipu dengan puja-pujinya itu? Dan ada persoalan apa dengan kau kalau aku bilang Hudan Hidayat itu Sampah Internet? Begitu susah dulu... See More untuk memberikan kesan bagus bagi Sastra di Internet yang dihina redaktur koran semasa dia sendiri juga melecehkan Internet, sekarang kerna aksesnya ke Media Indonesia udah gak ada lagi dan internet begitu bebas, seenaknya aja dia memanfaatkannya demi popularitas pribadi, ATAS NAMA SASTRA! ANJING DIA ITU! apa kau pikir gak gampang berbuat kayak yang dia buat itu! tapi kenapa cumak dia sendiri yang mau melakukannya! kerna cinta pada Sastra?! kerna memang bahagia dia melihat ada bakat-bakat bagus?! Cobak kau bela dia dan jelaskan di sini!
Hudan Hidayat itu kecil! karyanya pun tak penting dan cumak dibicarakan kawan-kawannya di Media Indonesia DULU kerna dia bujuk-bujuk terus! aku pun berkali-kali dia bujuk untuk bicarain ponografinya yang berjudul "Tuan dan Nona Kosong" itu, hahaha... Kacian nih makhluk. ngejek-ngejek Tardji dan Danarto cumak kerna iri mereka selalu ... See Moredibicarakan dan selalu dapat hadiah sastra! tidak lebih dari itu alasannya! Goenawan Mohamad aja kita hajar, apalagi cumak Hudan Hidayat dan para cecunguk yang berhutang budi padanya kerna dipuja-puji gak jelas! Kalau mau perang, silahkan katakan. kami dari "boemipoetra" akan dengan senang hati memerangi mereka yang merusak Sastra Indonesia!
tapi, Bamby, suatu saat aku memang pengen kali ketemu kau, hahaha... sejak kau bilang kau mau menghajar buku eseiku itu, aku jadi pengen belajar langsung ama kau, pasti kau hebat. eh, kemaren kok gak berani ke Jogja demi bukumu itu? buku sendiri harus dibela dong, di mana pun, hahaha...
INI ADALAH PEMBUKAAN CERPEN SI BAMBY YANG BARU AJA DIA TAG-KAN KE AKU:
"Cerpen saya di Majalah Story, edisi ke-7, 25 Januari - 24 Februari 2010
TANDA CINTA DARI AKHIRAT... See More
Oleh : Bamby Cahyadi
Kami adalah keluarga pertama yang menempati rumah di kompleks perumahan perbankan, di Medan. Sebuah kompleks perumahan yang diperuntukkan bagi staf sebuah bank milik negara terbesar di Indonesia. Tentu saja kami menempati salah satu rumah di kompleks itu, karena ayahku seorang staf di perusahaan bank tersebut.
Setelah mendarat di Bandara Polonia dengan sebuah pesawat Garuda Indonesia berbadan lebar, kami langsung diantar oleh seorang perwakilan perusahaan menuju kompleks perumahan itu...."
KALOK ORANG MEMBUKA CERPEN AJA KAYAK GINIAN, GIMANA MO NERUSKAN BACANYA! PERNAH BACA CERPEN SASTRA GAK YA PENULISNYA INI! HAHAHA... TAPI PASTI HUDAN HIDAYAT AKAN BILANG "KALIMAT-KALIMATNYA DAHSYAT" DAN SEGALA TAIK KUCING LAINNYA DAN BAMBY PUN JADI CERPENIS SASTRA, BUKAN CERPENIS MAJALAH FEMINA! HAHAHA...
DISAMPING BEGITU KERINGNYA KALIMAT-KALIMAT DI PARAGRAF PERTAMA ITU, COBAK LIAT MUBAZIRISME KALIMAT PERTAMA DAN KALIMAT TERAKHIR PARAGRAF PERTAMA TERSEBUT! KALOK KITA UDAH "MENEMPATI RUMAH" SEBUAH PERUMAHAN BERARTI KITA "MENEMPATI SALAH SATU RUMAH" DI SITU KAN! HAHAHA...
KEMUDIAN APA ADA RUPANYA PESAWAT GARUDA INDONESIA YANG "BERBADAN KECIL"! DAN BUAT APA INFO INI DIBERIKAN DALAM KONTEKS PEMBUKAAN CERITA ITU? APA MEMANG ADA FUNGSINYA? TAPI HUDAN HIDAYAT PASTI AKAN BILANG: WAH PESAWAT GARUDANYA KEREN, SANGAT PUITIS, DATANG DARI JIWA SEORANG PETUALANG ANGKASA SEJATI!
mo main kata-kata ama aku kau lagi, hahaha...aku gak kayak kau, obsesif dengan pendapat orang lain. kerna kau dulu yang begitu heroik di Facebook bilang mau menghajar buku eseiku kalok udah keluar, mangkanya aku ingatkan kau! itu kan janjimu, di ruang publik lagi kau teriakkan, nah sekarang buktikanlah. sederhana aja kan, hahaha...
sorry aku gak baca bukumu dan gak akan baca bukumu, hahaha... alasannya jugak sederhana: masih terlalu banyak buku bagus yang harus aku baca dan aku gak punya waktu untuk buang-buang waktu membaca karya sekedar saja, kerna pekerjaan membaca itu serius, gak kayak membaca ala Hudan, hahaha...
cerpenmu yang jelek itu udah aku tunjukkan keburukannya kan, nah sekarang tunjukkan pada sajakku di atas yang kau anggap buruk! ayo, bung, ayo, hahaha...
Hahaha... Aih, aih, au, au! Dia tahu 'anak muda' pasti akan terbakar dgn kombur omong kosong heroiknya itu tentang dia 'mengampak' yg senior2, hahaha... Baru diundang baca cerpen aja ke Salihara dia langsung puji2 TUK di Facebooknya sendiri, hahaha... Mungkin dia lupa bawa minyak angin cap Kapak nya waktu nerima undangan Sitok Sering-ek-ek itu, hahaha...
Bambino,
gak mampu alias impoten ya untuk buktiin jeleknya sajak om Saut yg kau muat di atas itu! Tapi memang itulah ciri-utama kalian para sastrahomo tuhan Hudan: GAK MAMPU JELEK2IN LANTAS MUJI2 SETINGGI LANGIT SEMUA SAMPAH KAWAN SENDIRI! ini namanya Tragedi Inteklektual dan Moral, hahaha... Orangutan di Bohorok aja kagak sehina ini, hahaha...
Bambino, hahaha... Makin mantaf kau! Gak perlu aku ladenin iri hatimu yg obsesif pengen kayak Saut Situmorang itu kan, hahaha... Kacian deh kau gampang dipsikoanalisis, hihihi... Eh, mana tuh pembuktian darimu tentang sajakKu yg kau muat di atas dan bilang karya jurnalistik itu? Aku masih nunggu neh. Siapa tau pembuktianmu sangat berguna dan aku ... See Morepakek buat revisi sajakku itu, lumayan kan buat perkembangan karier kepenyairanKu! Sampek kapankah daku musti menunggu, Bambino sayang? Jugak hajaranmu atas buku eseiku itu. Kan kau bilang udah kau baca abis buku itu, berarti udah siap dong kau menghajarnya! Janji musti ditepatin loh! Kalok nggak maka kau itu cumak kekasih homonya Hudan doang, hahaha...
Datang dong ke acara ultah Apsas kami itu. Kau anggota Apsas jugak ya? Kok bisa ya? Padahal mutu kayak kau gak pernah ada di Apsas kami, hahaha... Kok gak berani ke Jogja sih! Kerna tuhan Hudan gak ikut ya! Gimana kalok buku2 yg kau 'sumbangkan' untuk ultah Apsas kami ini aku tolak aja ya! Kan aku yg mimpin acara ini kayak kau bilang di atas, ... berarti pemimpin punya hak dong menentukan buku2 mana yg layak beredar di acaranya dan mana yg layak langsung terjun bebas ke tong sampah! Cemmana? Hahaha...
HAHAHA... PENCINTA BUKU NIH YEEE, TAPI OGAH JADI PENCINTA KEBENARAN, HAHAHA... BORJUIS BANGET, HAHAHA...
Hudan Hidayat memang Sampah Internet! Dia merusak Sastra Indonesia dengan memberikan puja-puji palsu persis kayak yang dia ejek-ejek Sapardi lakukan atas Ayu Utami. Apa pertanggung-jawaban dia terhadap mereka yang dia tipu dengan puja-pujinya itu? Dan ada persoalan apa dengan kau kalau aku bilang Hudan Hidayat itu Sampah Internet? Begitu susah dulu... See More untuk memberikan kesan bagus bagi Sastra di Internet yang dihina redaktur koran semasa dia sendiri juga melecehkan Internet, sekarang kerna aksesnya ke Media Indonesia udah gak ada lagi dan internet begitu bebas, seenaknya aja dia memanfaatkannya demi popularitas pribadi, ATAS NAMA SASTRA! ANJING DIA ITU! apa kau pikir gak gampang berbuat kayak yang dia buat itu! tapi kenapa cumak dia sendiri yang mau melakukannya! kerna cinta pada Sastra?! kerna memang bahagia dia melihat ada bakat-bakat bagus?! Cobak kau bela dia dan jelaskan di sini!
Hudan Hidayat itu kecil! karyanya pun tak penting dan cumak dibicarakan kawan-kawannya di Media Indonesia DULU kerna dia bujuk-bujuk terus! aku pun berkali-kali dia bujuk untuk bicarain ponografinya yang berjudul "Tuan dan Nona Kosong" itu, hahaha... Kacian nih makhluk. ngejek-ngejek Tardji dan Danarto cumak kerna iri mereka selalu ... See Moredibicarakan dan selalu dapat hadiah sastra! tidak lebih dari itu alasannya! Goenawan Mohamad aja kita hajar, apalagi cumak Hudan Hidayat dan para cecunguk yang berhutang budi padanya kerna dipuja-puji gak jelas! Kalau mau perang, silahkan katakan. kami dari "boemipoetra" akan dengan senang hati memerangi mereka yang merusak Sastra Indonesia!
tapi, Bamby, suatu saat aku memang pengen kali ketemu kau, hahaha... sejak kau bilang kau mau menghajar buku eseiku itu, aku jadi pengen belajar langsung ama kau, pasti kau hebat. eh, kemaren kok gak berani ke Jogja demi bukumu itu? buku sendiri harus dibela dong, di mana pun, hahaha...
INI ADALAH PEMBUKAAN CERPEN SI BAMBY YANG BARU AJA DIA TAG-KAN KE AKU:
"Cerpen saya di Majalah Story, edisi ke-7, 25 Januari - 24 Februari 2010
TANDA CINTA DARI AKHIRAT... See More
Oleh : Bamby Cahyadi
Kami adalah keluarga pertama yang menempati rumah di kompleks perumahan perbankan, di Medan. Sebuah kompleks perumahan yang diperuntukkan bagi staf sebuah bank milik negara terbesar di Indonesia. Tentu saja kami menempati salah satu rumah di kompleks itu, karena ayahku seorang staf di perusahaan bank tersebut.
Setelah mendarat di Bandara Polonia dengan sebuah pesawat Garuda Indonesia berbadan lebar, kami langsung diantar oleh seorang perwakilan perusahaan menuju kompleks perumahan itu...."
KALOK ORANG MEMBUKA CERPEN AJA KAYAK GINIAN, GIMANA MO NERUSKAN BACANYA! PERNAH BACA CERPEN SASTRA GAK YA PENULISNYA INI! HAHAHA... TAPI PASTI HUDAN HIDAYAT AKAN BILANG "KALIMAT-KALIMATNYA DAHSYAT" DAN SEGALA TAIK KUCING LAINNYA DAN BAMBY PUN JADI CERPENIS SASTRA, BUKAN CERPENIS MAJALAH FEMINA! HAHAHA...
DISAMPING BEGITU KERINGNYA KALIMAT-KALIMAT DI PARAGRAF PERTAMA ITU, COBAK LIAT MUBAZIRISME KALIMAT PERTAMA DAN KALIMAT TERAKHIR PARAGRAF PERTAMA TERSEBUT! KALOK KITA UDAH "MENEMPATI RUMAH" SEBUAH PERUMAHAN BERARTI KITA "MENEMPATI SALAH SATU RUMAH" DI SITU KAN! HAHAHA...
KEMUDIAN APA ADA RUPANYA PESAWAT GARUDA INDONESIA YANG "BERBADAN KECIL"! DAN BUAT APA INFO INI DIBERIKAN DALAM KONTEKS PEMBUKAAN CERITA ITU? APA MEMANG ADA FUNGSINYA? TAPI HUDAN HIDAYAT PASTI AKAN BILANG: WAH PESAWAT GARUDANYA KEREN, SANGAT PUITIS, DATANG DARI JIWA SEORANG PETUALANG ANGKASA SEJATI!
mo main kata-kata ama aku kau lagi, hahaha...aku gak kayak kau, obsesif dengan pendapat orang lain. kerna kau dulu yang begitu heroik di Facebook bilang mau menghajar buku eseiku kalok udah keluar, mangkanya aku ingatkan kau! itu kan janjimu, di ruang publik lagi kau teriakkan, nah sekarang buktikanlah. sederhana aja kan, hahaha...
sorry aku gak baca bukumu dan gak akan baca bukumu, hahaha... alasannya jugak sederhana: masih terlalu banyak buku bagus yang harus aku baca dan aku gak punya waktu untuk buang-buang waktu membaca karya sekedar saja, kerna pekerjaan membaca itu serius, gak kayak membaca ala Hudan, hahaha...
cerpenmu yang jelek itu udah aku tunjukkan keburukannya kan, nah sekarang tunjukkan pada sajakku di atas yang kau anggap buruk! ayo, bung, ayo, hahaha...
Hahaha... Aih, aih, au, au! Dia tahu 'anak muda' pasti akan terbakar dgn kombur omong kosong heroiknya itu tentang dia 'mengampak' yg senior2, hahaha... Baru diundang baca cerpen aja ke Salihara dia langsung puji2 TUK di Facebooknya sendiri, hahaha... Mungkin dia lupa bawa minyak angin cap Kapak nya waktu nerima undangan Sitok Sering-ek-ek itu, hahaha...
Bambino,
gak mampu alias impoten ya untuk buktiin jeleknya sajak om Saut yg kau muat di atas itu! Tapi memang itulah ciri-utama kalian para sastrahomo tuhan Hudan: GAK MAMPU JELEK2IN LANTAS MUJI2 SETINGGI LANGIT SEMUA SAMPAH KAWAN SENDIRI! ini namanya Tragedi Inteklektual dan Moral, hahaha... Orangutan di Bohorok aja kagak sehina ini, hahaha...
Bambino, hahaha... Makin mantaf kau! Gak perlu aku ladenin iri hatimu yg obsesif pengen kayak Saut Situmorang itu kan, hahaha... Kacian deh kau gampang dipsikoanalisis, hihihi... Eh, mana tuh pembuktian darimu tentang sajakKu yg kau muat di atas dan bilang karya jurnalistik itu? Aku masih nunggu neh. Siapa tau pembuktianmu sangat berguna dan aku ... See Morepakek buat revisi sajakku itu, lumayan kan buat perkembangan karier kepenyairanKu! Sampek kapankah daku musti menunggu, Bambino sayang? Jugak hajaranmu atas buku eseiku itu. Kan kau bilang udah kau baca abis buku itu, berarti udah siap dong kau menghajarnya! Janji musti ditepatin loh! Kalok nggak maka kau itu cumak kekasih homonya Hudan doang, hahaha...
Datang dong ke acara ultah Apsas kami itu. Kau anggota Apsas jugak ya? Kok bisa ya? Padahal mutu kayak kau gak pernah ada di Apsas kami, hahaha... Kok gak berani ke Jogja sih! Kerna tuhan Hudan gak ikut ya! Gimana kalok buku2 yg kau 'sumbangkan' untuk ultah Apsas kami ini aku tolak aja ya! Kan aku yg mimpin acara ini kayak kau bilang di atas, ... berarti pemimpin punya hak dong menentukan buku2 mana yg layak beredar di acaranya dan mana yg layak langsung terjun bebas ke tong sampah! Cemmana? Hahaha...
HAHAHA... PENCINTA BUKU NIH YEEE, TAPI OGAH JADI PENCINTA KEBENARAN, HAHAHA... BORJUIS BANGET, HAHAHA...
Jumat, 15 Januari 2010
Bamby Cahyadi : Cerita dari Jejaring Maya
Bamby Cahyadi : Cerita dari Jejaring Maya
Oleh: Anggoro Gunawan
________________________________________
Pengantar Sriti.com
Bambang Cahyadi adalah formalitas, sedangkan Bamby Cahyadi adalah sebuah formula.
Sengaja saya membuka pengantar tulisan ini dengan cara yang sangat “icam” istilah ikut campur anak-anak sekarang. Nanti saya jelaskan bagaimana kita semua diperbolehkan “icam” jika berhadapan dengan sosok cerpenis yang satu ini.
***
Jauh hari sebelum niatan membukukan kumpulan cerpen terbaik Sriti.com, rekan kami Sjaiful Masri mulutnya selalu berbusa jika membincangkan cerpen “Aku Becerita dari Pesawat yang Sedang Terbang” karya Bamby Cahyadi (Koran Tempo, 26 Juli 2009). Dia katakana cerpen itu sangat "menggetarkan”, meninggikan imaji, mellow yang tidak cengeng, dan sebagainya. Singkatnya cerpen itu telah menggigit G-spot-nya, sehingga kami semua di awak Sriti.com “diwajibkan” membaca cerpen teresebut berulang-ulang, sampai mendapatkan “getaran” yang dimaksud tadi.
Dan setelah rencana penyeleksian cerpen tersebut berjalan, otomatis “impuls” dari cerpen tersebut masih meninggalkan getaran di hati kami. Singkatnya seperti itu, dan cerpen tersebut akhirnya nangkring di antara 12 cerpen pilihan.
Saya jamin, rekan Sjaiful Masri belum pernah bertatap muka langsung dengan cerpenis yang sedang kita sorot kali ini (bahkan berkontak pribadi melalui surat elektronikpun konon belum pernah mereka lakukan sama sekali). Kemanapun tanpa dipinta dia fasih menceritakan dan meminta orang lain membacanya. (Silahkan cek ke warung sebelah, apakah pernah ada permintaan khusus dari Bamby untuk hal ini? Saya yakin tidak.)
Tapi keduanya sudah menjalankan teori “post-script marketing” dalam ilmu new media. Bamby menjadi agen, sedangkan Sjaiful menjadi follower-nya. Bamby bekerja sendiri dengan “energi”-nya, lalu Sjaiful menangkapnya. Hup!
Sjaiful kemudian menjadi “energi” bagi awak Sriti.com untuk mengenal lebih lanjut apa betul cerpen tersebut memang mempunyai getaran yang kuat. Dan berkat energi itulah cerpen karya Bamby akhirnya melengkapi 12 cerpen pilihan Sriti.com diputaran kedua.
***
Bamby Cahyadi di mata saya adalah sebuah formula. Sebuah upaya untuk memberi stempel merek bagi cerpen kreasinya. Bambang sendiri milik koorporatnya, berseragam, digaji bulanan dan serusnya.
Ketika dia bekerja formal sebagai store manager di McDonald dia menjadi Bambang Cahyadi yang harus menggunakan emblem di dadanya. Ketika Bamby datang ke peluncuran buku saya tidak melihatnya lambang itu.
Ada dua ruang tempat dia berganti-ganti peran. Ruang kepengarangan dan ruang bagi tempatnya bekerja formal. Tapi kedua ruang itu nyaris tidak bersekat secara jelas. Dia sering membaurkan keduanya, mengajak orang-orang untuk mengenalnya tanpa tersandung tembok pemisah. Dia membuka tangan jika ada teman yang datang ke gerainya. Bahkan dia kadang mengajak kami untuk mampir kapan-kapan. Dia juga kerap membongkar banyak hal tanpa ragu, semisal contoh memposting kata pengantar yang ditulis Hudan Hidayat untuk buku kumpulan cerpennya Tangan untuk Utik yang meskipun bukunya masih proses cetak.
Bamby tak ragu menyatakan diri sedang membuat novel, bahkan dia mengumumkan bahwa Mirna Yulistianti akan menjadi calon editornya. Atau yang paling anget dia berfoto-ria dengan buku kumcer Bob Marley di ruang kerja formalnya. Dia menjadi model dengan rolle ciamik! Tubuh dan imajinya tidak kedap, ia pandai memainkan peran sesuai kebutuhan psiko-sosial di komunalnya. Tubuh dan imajinya ibarat banner…
Sebagai “egoleter” sosok Bamby tidak murni sebagai “on-in Media” tempat dia berziarah, berimaji-berkelena menjadi seorang petapa fiksi. Inilah formula yang saya tuduhkan padanya. Bambang dan Bamby bekerja sekaligus sehingga putaran kerja itu melontar energi yang ditangkap banyak orang. Dia tak segan menjadi bagian dari kerja “promosi” untuk bukunya, Utik. Dia mendekati secara interpersonal ke banyak penulis untuk mengapresiasikan bukunya.
Bahkan dari kata pengantar dan kata penutup untuk buku Utik, sejumlah resensi yang arsipnya tersebar di Facebook, dan bahkan wawancara rekan kami Anggoro Gunawan pun kalau boleh saya tuduh sebagai bentuk pendekatan pribadi yang unik. (Dan silakan baca sendiri bagaimana sejumlah resensi justru lebih mendekatkan diri pada pribadi pengarangnya, termasuk saya sekarang ini).
Itulah latarnya mengapa saya berusaha menulis pengantar ini dengan pendekatan pribadi juga. Sebab “energi” itulah yang dibutuhkan oleh Bamby dan juga penggemar cerpennya. Sebagai sedikit contoh aktual adalah kami kedatangan lebih dari 53 e-mail pribadi yang bertanya : apakah pengarang Utik itu juga masuk ke dalam Bob Marley.
Rasanya Bamby adalah salah satu pengarang yang sedang menuai berkah dari sikap terbukanya dan melancarkan sentuhan personal. Beruntunglah ranah sastra kita memiliki seorang Bamby yang berkat “formula”-nya itu mampu mensyiarkan kreasi tulisannya, tanpa perlu saklek, tanpa perlu banyak menunggu.
Pembaca Sriti.com yang budiman, silahkan nikmati hasil wawancara estafet antara rekan kami, Anggoro Gunawan (A) dengan Bamby Cahyadi (B). Perbincangan ini sangat menarik, karena ternyata masih ada juga “rahasia” yang belum sempat ia jabarkan di belantara maya selama ini. Selamat membaca. @ Chus
________________________________________
Bamby Cahyadi: Cerita dari Jejaring Maya
Oleh: Anggoro Gunawan
Nama Bamby Cahyadi masih baru di perbendaharaan penulis cerita rekaan Indonesia. Ia muncul dari belantara Internet. Walau nama aslinya menggunakan nama “Bambang,” ia jengah. “Posturku tidak segagah namaku yang Bambang itu, aku tidak tinggi tetapi aku juga tidak mengakui kalau aku pendek. Toh, kalau aku dikatakan berperawakan kecil aku lebih bisa menerimanya.” Demikian ia menulis di blognya(http://bambydanceritanya.blogspot.com). Pekerjaannya terhitung unik untuk urusan sastra. Saat ini ia menjadi store manager di McDonald’s. Mungkin kita bisa belajar kepada lelaki kelahiran Manado, Sulawesi Utara 5 Maret 1970 ini dalam bermimpi tentang sastra.
A: Adakah karya sastra yang begitu memicu Anda sehingga kemudian menjadi sastrawan?
B: Semula saya menulis hanya untuk terapi, khususnya terapi jiwa, menyeimbangkan (balancing) antara urusan kerjaan dengan hal-hal pribadi. Lalu tulisan-tulisan saya yang tak jelas kategorinya, saya posting ke blog (Wordpress dan Friendster) pada waktu itu. Ternyata respon/komen tulisan saya cukup baik dari teman-teman. Pada saat itulah, seorang Anita Kastubi penulis novel Ripta, Perjuangan Tentara Pecundang (Galang Press, 2003) berteman dengan saya di Friendster, tepatnya bulan Juli 2007.
Buku Ripta - karena dikasih gratis oleh penulisnya, saya lahap sampai tuntas tas-tas... Saya sangat terkesan dengan novel itu, karena Anita Kastubi adalah seorang profesional di bidang Advertising and Communication, mampu menulis novel yang cukup berat, karena novel tersebut novel sejarah, yang harus melakukan riset sana-sini.
Dan, dari chatting, email dan SMS-an Anita Kastubi selalu memberi support, bahwa menulis karya sastra itu asyik, dunia yang gembira, "Sastra itu fun banget, Bam!" begitu ia tulis dalam sebaris SMS.
A: Berapa kali Anda membaca buku Ripta itu?
B: Sejak buku tersebut saya terima 27 November 2007, saya membacanya hanya satu kali hingga tanggal 9 Desember 2007. Namun saya membacanya sangat mendalam, sesekali SMS penulisnya, chatting, atau telepon. Saya biasanya membaca buku hanya sekali, tetapi tuntas dari halaman depan sampai belakang.
A: Apa yang dimaksud dengan "saya sangat terkesan dengan novel itu"? Selain soal Anita Kastubi, bagaimana novel itu memberi Anda peluang untuk berpetualang di sastra?
B: Nah, saya sangat terkesan. Karena Anita Kastubi itu cantik (hahaha... maklum khan wajar cowok terkesan karena kecantikan perempuan hehe). Sudah cantik, ia menggarap novelnya dengan serius, melalui riset leteratur, interview dengan pelaku sejarah dan mendatangi langsung setting cerita. Padahal profesinya, bukan penulis full time…
…setelah membaca novel itu, lalu saya keranjingan membeli buku kumcer, lalu saya mencoba menulis cerpen dengan mengembangkan ide dari cerpen yang sudah ada. Hasilnya saya posting di blog Friendster dan Wordpres. Eh, tanggapan dari para blogger cukup bagus. Ya, akhirnya walaupun sebagai kegiatan rileksasi, saya terus menulis cerpen, saat itulah saya bertemu dengan situs penulis berbasis internet http://kemudian.com (yang ternyata banyak diikuti oleh para penulis senior dan juga pemula seperti saya). Beberapa nama yang lahir dari kemudian.com, misalnya: Khrisna Pabichara, Sungging Raga, Pringadi Abdi, Bernard Batubara, TS Pinang, Windry Ramadhina, Aulya Elyasa, Winna Effendi dll.
A: Apa yang menarik dari dunia sastra?
B: Ternyata dunia ini adalah dunia lain yang (dari dulu) terendap dalam dunia bawah sadar saya. Menulis cerpen, kemudian menjadi semacam penyaluran berbagai energi (baik maupun buruk) dan mimpi-mimpi serta kenangan masa kanak-kanak bagi saya. Dunia sastra adalah dunia nyata saat saya bermimpi. Atau sebaliknya, dunia mimpi saat saya tersadar dari tidur.
A: Apa yang tidak menarik dari dunia sastra?
B: Sebenarnya semua berlangsung menarik. Yang mungkin menjadi tidak menarik, ternyata sebagian sastrawan, menjadikan sastra sebagai politik, atau “POLITIK SASTRA”.Salah satunya adalah memberi stempel ini kubu itu, itu kubu ini. Sehingga para sastrawan tidak leluasa dalam berkreasi dan berunjuk gigi di mana saja.
A: Pernah mengalami efek politik sastra?
B: Saya pernah berdebat panjang dengan Saut Situmorang (sastrawan asal Yogyakarta) di note fesbuk beliau. Dan, di situlah saya merasa, saya dipolitiki sastra, saya dicap pengikut si ini, si itu dan lain-lain. Padahal saya bukan siapa-siapa dan pendapat saya adalah pendapat pribadi tidak mewakili siapa-siapa. Secara pribadi, dengan Bang Saut Situmorang, saya baik-baik saja. Begitupun dengan Hudan Hidayat. Atau dengan Komunitas Salihara (TUK) dan Boemipoetra. Kami, khususnya Komunitas Sastra Jakarta (Kosakata), tak ingin ada kubu-kubu dalam sastra Indonesia.
A: Pernah membayangkan cerita Anda dijadikan sebuah film?
B: Saya ini pemimpi. Tentu saya sangat kepengen salah satu, atau salah banyak juga tak pa-pa (Misalnya, semua cerpen saya dalam kumcer Tangan untuk Utik) di film-kan. Jadi, bukannya latah ikut-ikutan cerpen/novel yang telah difilmkan, tapi karena saya ingin, cerita yang saya buat, selain terimajinasi oleh pembaca, juga terimajinasi oleh sutradara, penulis skenario dan penonton. Walaupun banyak juga cerita yang gagal sebagai film.
A: Dalam proses kreatif, biasanya seorang seniman merasakan "sakit" terlebih dahulu. Seperti sakit perut sebelum kita berak (maaf), atau kangen gak ketulungan seperti mau jatuh cinta. Apakah proses "sakit" itu pernah Anda alami? Kalau sudah, seperti apa?
B: Proses kreatif yang menyakitkan, jelas pernah. Walaupun, saya menulis di dunia maya, tetapi ada juga beberapa yang mengkritik cerpen-cerpen saya, tapi semuanya saya terima dengan lapang dada dan menjadi masukan bagi saya untuk memperbaiki diri. Dan, mereka yang mengkritik, tidak menggunakan nama sebenarnya (padahal, saya tuh sangat terbuka dengan kritik).
Atas saran teman-teman di dunia maya, cerpen-cerpen saya diminta untuk dikirim ke media, tetapi saya agak malas. Hingga di bulan Juni 2008, saya memberanikan diri ikut lomba cerpen Femina, saya tidak juara, tetapi cerpen saya terpilih untuk dimuat.
So, cerpen pertama saya itu dimuat di Majalah Femina edisi Maret 2009. Dan, mungkin itulah awal saya jatuh cinta untuk menjadi cerpenis seutuhnya (maksud saya, selain di dunia maya, saya pun ingin menulis cerpen untuk koran dan majalah). Ternyata, SUSAH-nya minta ampun. Saya punya kebiasaan nulis cerpen di atas 12.000 karakter dan karena saya tidak punya latar belakang sastra, maka masalah diksi dan struktur bahasa menjadi kendala dalam menembus media cetak.
…tapi sejak berkenalan dengan Khrisna Pabichara, saya cukup dibimbing dalam hal teori sastra…
…hal, lain juga adalah walaupun cerpen saya belum dimuat di koran, saya mengirimkan kumpulan cerpen saya dari dunia maya itu ke beberapa penerbit, hasilnya ditolak semua. Kumcer saya dari Januari 2009 sampai Agustus 2009 mengendap di tiga penerbit. Hingga akhirnya diterbitkan juga oleh Koekoesan. (Tangan untuk Utik).
A: Berkaitan dengan cerpen Aku Bercerita di Atas Pesawat, seperti apa latar belakang proses kreatifnya?
B: Aku bercerita di atas pesawat yang sedang terbang, saya buat dalam 3 hari berturut-turut (29, 30 Juni dan 1 juli 2009). Tiba-tiba saya teringat sewaktu kami (saya, ibu saya, kakak saya dan adik saya) mengantar jenazah almarhum ayah saya yang meningal di Medan untuk dimakamkan di Tasikmalaya. Lalu idenya, saya olah sedemikian rupa, agar tidak terkesan kisah nyata. Ayah saya meninggal 15 februari 1985.
Nah, uniknya, cerpen ini semula, cerpen trilogi, 29 Juni, saya buat bagian prolognya. Tanggal 30 Juni 2009 saya buat bagian dialognya. dan tanggal 1 Juli 2009 saya buat bagian epilog. Dan, setiap bagian tersebut, saya sempat posting 3 hari berturut-turut dengan judul Trilogi Cerpen Mengantar Ayah. Sungguh di luar dugaan, cerpen itu banyak yang komen, bahkan Hudan Hidayat membuat pengantar cerpen segala.
A: Adakah hambatan dalam menulis karena profesi pekerjaan yang cukup asing bagi seorang sastrawan?
B: Hambatan dalam menulis banyak sekali. Seandainya saya bisa membelah diri seperti amuba, maka bagian diri saya yang satu akan terus menulis dan yang satu lagi bekerja mencari sesuap berlian di McDonald's he he.
…tapi sebenarnya hambatan utama datang dari diri sendiri, kadang saya berpikir, Facebook itu, mengurangi produktivitas kerja maupun menulis wakakak...
A: Menurut Anda, apakah Anda sudah layak menyandang gelar "sastrawan"?
B: Apakah saya sastrawan? Hmmm, menurut saya, saya penulis. Penulis cerpen, penulis fiksi, sesekali menulis esai.
A: Ada kiat-kiat dalam menulis?
B: Kiat-kiat menulis. Menulislah sesukamu dan menulislah dengan hati. Jangan menulis berpatokan pada teori menulis yang sudah ada, toh teori akan mengikuti laju kreativitas kita.
Namun, apabila kadar menulis sudah serius, perlu juga membekali diri dengan teori-teori sastra. Apalagi kalau latar belakang kepenulisan kita bukan jebolan sastra, nah perlu tuh memperkaya diri dengan teori majas, diksi, estetika, metafora, semantik dan lain-lain. @ Anggoro Gunawan
________________________________________
BIODATA RINGKAS
Bamby Cahyadi
Bamby Cahyadi adalah nama pena dan panggilan akrab dari nama asli Bambang Cahyadi. Pria kelahiran Manado, 5 Maret 1970 ini sehari-hari Bamby bekerja sebagai Store Manager di sebuah restoran cepat saji di Jakarta. Keseriusannya menulis cerpen berawal sejak tahun 2007. Bamby memulai menulis cerpen di dunia maya dan milis. Saat ini, ia menulis berbagai tema cerita pendek di Koran Tempo, majalah Femina, Jurnal Bogor, Batam Pos, Harian Global Medan, serta aktif mengelola Komunitas Sastra Jakarta (Kosakata) bersama teman-temannya.
Semasa mahasiswa, Bamby menulis esai tentang dunia kemahasiswaan, kepramukaan dan sastra di harian Pikiran Rakyat, harian Simponi, tabloid Eksponen, majalah Pramuka Kwartir Nasional dan Media Indonesia. Bamby pernah bersekolah di Manado (TK), Bitung (SD), Ampana (SD) dan di Tegal (lulus SD). Lalu lulus SMP di Medan, SMA di Tasikmalaya dan kuliah di Universitas Siliwangi, Tasikmalaya. Meraih gelar Bachelor of Hamburgerology dari McDonald’s Hamburger University Sydney, Australia. Tangan Untuk Utik (Penerbit Koekoesan, Oktober 2009) adalah buku kumpulan cerpen perdananya.
Anggoro Gunawan
Selepas dari Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro (1999), Anggoro Gunawan melanjutkan karir sebagai jurnalis di majalah periklanan Cakram, Tempo,
dan Majalah a+. Selain menulis untuk tempatnya bekerja, beberapa
tulisannya dimuat di beberapa media.sebagai penulis lepas seperti Pantau, Koran Tempo, majalah MATABACA, Jurnas, dan lain-lain.
Di samping kegiatan formal, manusia asal Magelang kelahiran 1975 ini juga ikut meramaikan kelangsungan Wikipedia dalam Bahasa Jawa. Tulisannya lebih banyak berkaitan dengan wayang kulit dan kebudayaan Jawa. Bergabung di Sriti.com sejak tahun 2007, dan banyak membantu dalam urusan teknis dan kearsipan. Karirnya sebagai jurnalis berhenti sejak Februari 2009, dan saat ini, bersama istrinya, Ratna Cahaya Rina, kegiatannya lebih banyak berhubungan dengan pembuatan situs Internet dan desain. Anggoro juga bisa dilacak lewat portal: www.desa.in
Oleh: Anggoro Gunawan
________________________________________
Pengantar Sriti.com
Bambang Cahyadi adalah formalitas, sedangkan Bamby Cahyadi adalah sebuah formula.
Sengaja saya membuka pengantar tulisan ini dengan cara yang sangat “icam” istilah ikut campur anak-anak sekarang. Nanti saya jelaskan bagaimana kita semua diperbolehkan “icam” jika berhadapan dengan sosok cerpenis yang satu ini.
***
Jauh hari sebelum niatan membukukan kumpulan cerpen terbaik Sriti.com, rekan kami Sjaiful Masri mulutnya selalu berbusa jika membincangkan cerpen “Aku Becerita dari Pesawat yang Sedang Terbang” karya Bamby Cahyadi (Koran Tempo, 26 Juli 2009). Dia katakana cerpen itu sangat "menggetarkan”, meninggikan imaji, mellow yang tidak cengeng, dan sebagainya. Singkatnya cerpen itu telah menggigit G-spot-nya, sehingga kami semua di awak Sriti.com “diwajibkan” membaca cerpen teresebut berulang-ulang, sampai mendapatkan “getaran” yang dimaksud tadi.
Dan setelah rencana penyeleksian cerpen tersebut berjalan, otomatis “impuls” dari cerpen tersebut masih meninggalkan getaran di hati kami. Singkatnya seperti itu, dan cerpen tersebut akhirnya nangkring di antara 12 cerpen pilihan.
Saya jamin, rekan Sjaiful Masri belum pernah bertatap muka langsung dengan cerpenis yang sedang kita sorot kali ini (bahkan berkontak pribadi melalui surat elektronikpun konon belum pernah mereka lakukan sama sekali). Kemanapun tanpa dipinta dia fasih menceritakan dan meminta orang lain membacanya. (Silahkan cek ke warung sebelah, apakah pernah ada permintaan khusus dari Bamby untuk hal ini? Saya yakin tidak.)
Tapi keduanya sudah menjalankan teori “post-script marketing” dalam ilmu new media. Bamby menjadi agen, sedangkan Sjaiful menjadi follower-nya. Bamby bekerja sendiri dengan “energi”-nya, lalu Sjaiful menangkapnya. Hup!
Sjaiful kemudian menjadi “energi” bagi awak Sriti.com untuk mengenal lebih lanjut apa betul cerpen tersebut memang mempunyai getaran yang kuat. Dan berkat energi itulah cerpen karya Bamby akhirnya melengkapi 12 cerpen pilihan Sriti.com diputaran kedua.
***
Bamby Cahyadi di mata saya adalah sebuah formula. Sebuah upaya untuk memberi stempel merek bagi cerpen kreasinya. Bambang sendiri milik koorporatnya, berseragam, digaji bulanan dan serusnya.
Ketika dia bekerja formal sebagai store manager di McDonald dia menjadi Bambang Cahyadi yang harus menggunakan emblem di dadanya. Ketika Bamby datang ke peluncuran buku saya tidak melihatnya lambang itu.
Ada dua ruang tempat dia berganti-ganti peran. Ruang kepengarangan dan ruang bagi tempatnya bekerja formal. Tapi kedua ruang itu nyaris tidak bersekat secara jelas. Dia sering membaurkan keduanya, mengajak orang-orang untuk mengenalnya tanpa tersandung tembok pemisah. Dia membuka tangan jika ada teman yang datang ke gerainya. Bahkan dia kadang mengajak kami untuk mampir kapan-kapan. Dia juga kerap membongkar banyak hal tanpa ragu, semisal contoh memposting kata pengantar yang ditulis Hudan Hidayat untuk buku kumpulan cerpennya Tangan untuk Utik yang meskipun bukunya masih proses cetak.
Bamby tak ragu menyatakan diri sedang membuat novel, bahkan dia mengumumkan bahwa Mirna Yulistianti akan menjadi calon editornya. Atau yang paling anget dia berfoto-ria dengan buku kumcer Bob Marley di ruang kerja formalnya. Dia menjadi model dengan rolle ciamik! Tubuh dan imajinya tidak kedap, ia pandai memainkan peran sesuai kebutuhan psiko-sosial di komunalnya. Tubuh dan imajinya ibarat banner…
Sebagai “egoleter” sosok Bamby tidak murni sebagai “on-in Media” tempat dia berziarah, berimaji-berkelena menjadi seorang petapa fiksi. Inilah formula yang saya tuduhkan padanya. Bambang dan Bamby bekerja sekaligus sehingga putaran kerja itu melontar energi yang ditangkap banyak orang. Dia tak segan menjadi bagian dari kerja “promosi” untuk bukunya, Utik. Dia mendekati secara interpersonal ke banyak penulis untuk mengapresiasikan bukunya.
Bahkan dari kata pengantar dan kata penutup untuk buku Utik, sejumlah resensi yang arsipnya tersebar di Facebook, dan bahkan wawancara rekan kami Anggoro Gunawan pun kalau boleh saya tuduh sebagai bentuk pendekatan pribadi yang unik. (Dan silakan baca sendiri bagaimana sejumlah resensi justru lebih mendekatkan diri pada pribadi pengarangnya, termasuk saya sekarang ini).
Itulah latarnya mengapa saya berusaha menulis pengantar ini dengan pendekatan pribadi juga. Sebab “energi” itulah yang dibutuhkan oleh Bamby dan juga penggemar cerpennya. Sebagai sedikit contoh aktual adalah kami kedatangan lebih dari 53 e-mail pribadi yang bertanya : apakah pengarang Utik itu juga masuk ke dalam Bob Marley.
Rasanya Bamby adalah salah satu pengarang yang sedang menuai berkah dari sikap terbukanya dan melancarkan sentuhan personal. Beruntunglah ranah sastra kita memiliki seorang Bamby yang berkat “formula”-nya itu mampu mensyiarkan kreasi tulisannya, tanpa perlu saklek, tanpa perlu banyak menunggu.
Pembaca Sriti.com yang budiman, silahkan nikmati hasil wawancara estafet antara rekan kami, Anggoro Gunawan (A) dengan Bamby Cahyadi (B). Perbincangan ini sangat menarik, karena ternyata masih ada juga “rahasia” yang belum sempat ia jabarkan di belantara maya selama ini. Selamat membaca. @ Chus
________________________________________
Bamby Cahyadi: Cerita dari Jejaring Maya
Oleh: Anggoro Gunawan
Nama Bamby Cahyadi masih baru di perbendaharaan penulis cerita rekaan Indonesia. Ia muncul dari belantara Internet. Walau nama aslinya menggunakan nama “Bambang,” ia jengah. “Posturku tidak segagah namaku yang Bambang itu, aku tidak tinggi tetapi aku juga tidak mengakui kalau aku pendek. Toh, kalau aku dikatakan berperawakan kecil aku lebih bisa menerimanya.” Demikian ia menulis di blognya(http://bambydanceritanya.blogspot.com). Pekerjaannya terhitung unik untuk urusan sastra. Saat ini ia menjadi store manager di McDonald’s. Mungkin kita bisa belajar kepada lelaki kelahiran Manado, Sulawesi Utara 5 Maret 1970 ini dalam bermimpi tentang sastra.
A: Adakah karya sastra yang begitu memicu Anda sehingga kemudian menjadi sastrawan?
B: Semula saya menulis hanya untuk terapi, khususnya terapi jiwa, menyeimbangkan (balancing) antara urusan kerjaan dengan hal-hal pribadi. Lalu tulisan-tulisan saya yang tak jelas kategorinya, saya posting ke blog (Wordpress dan Friendster) pada waktu itu. Ternyata respon/komen tulisan saya cukup baik dari teman-teman. Pada saat itulah, seorang Anita Kastubi penulis novel Ripta, Perjuangan Tentara Pecundang (Galang Press, 2003) berteman dengan saya di Friendster, tepatnya bulan Juli 2007.
Buku Ripta - karena dikasih gratis oleh penulisnya, saya lahap sampai tuntas tas-tas... Saya sangat terkesan dengan novel itu, karena Anita Kastubi adalah seorang profesional di bidang Advertising and Communication, mampu menulis novel yang cukup berat, karena novel tersebut novel sejarah, yang harus melakukan riset sana-sini.
Dan, dari chatting, email dan SMS-an Anita Kastubi selalu memberi support, bahwa menulis karya sastra itu asyik, dunia yang gembira, "Sastra itu fun banget, Bam!" begitu ia tulis dalam sebaris SMS.
A: Berapa kali Anda membaca buku Ripta itu?
B: Sejak buku tersebut saya terima 27 November 2007, saya membacanya hanya satu kali hingga tanggal 9 Desember 2007. Namun saya membacanya sangat mendalam, sesekali SMS penulisnya, chatting, atau telepon. Saya biasanya membaca buku hanya sekali, tetapi tuntas dari halaman depan sampai belakang.
A: Apa yang dimaksud dengan "saya sangat terkesan dengan novel itu"? Selain soal Anita Kastubi, bagaimana novel itu memberi Anda peluang untuk berpetualang di sastra?
B: Nah, saya sangat terkesan. Karena Anita Kastubi itu cantik (hahaha... maklum khan wajar cowok terkesan karena kecantikan perempuan hehe). Sudah cantik, ia menggarap novelnya dengan serius, melalui riset leteratur, interview dengan pelaku sejarah dan mendatangi langsung setting cerita. Padahal profesinya, bukan penulis full time…
…setelah membaca novel itu, lalu saya keranjingan membeli buku kumcer, lalu saya mencoba menulis cerpen dengan mengembangkan ide dari cerpen yang sudah ada. Hasilnya saya posting di blog Friendster dan Wordpres. Eh, tanggapan dari para blogger cukup bagus. Ya, akhirnya walaupun sebagai kegiatan rileksasi, saya terus menulis cerpen, saat itulah saya bertemu dengan situs penulis berbasis internet http://kemudian.com (yang ternyata banyak diikuti oleh para penulis senior dan juga pemula seperti saya). Beberapa nama yang lahir dari kemudian.com, misalnya: Khrisna Pabichara, Sungging Raga, Pringadi Abdi, Bernard Batubara, TS Pinang, Windry Ramadhina, Aulya Elyasa, Winna Effendi dll.
A: Apa yang menarik dari dunia sastra?
B: Ternyata dunia ini adalah dunia lain yang (dari dulu) terendap dalam dunia bawah sadar saya. Menulis cerpen, kemudian menjadi semacam penyaluran berbagai energi (baik maupun buruk) dan mimpi-mimpi serta kenangan masa kanak-kanak bagi saya. Dunia sastra adalah dunia nyata saat saya bermimpi. Atau sebaliknya, dunia mimpi saat saya tersadar dari tidur.
A: Apa yang tidak menarik dari dunia sastra?
B: Sebenarnya semua berlangsung menarik. Yang mungkin menjadi tidak menarik, ternyata sebagian sastrawan, menjadikan sastra sebagai politik, atau “POLITIK SASTRA”.Salah satunya adalah memberi stempel ini kubu itu, itu kubu ini. Sehingga para sastrawan tidak leluasa dalam berkreasi dan berunjuk gigi di mana saja.
A: Pernah mengalami efek politik sastra?
B: Saya pernah berdebat panjang dengan Saut Situmorang (sastrawan asal Yogyakarta) di note fesbuk beliau. Dan, di situlah saya merasa, saya dipolitiki sastra, saya dicap pengikut si ini, si itu dan lain-lain. Padahal saya bukan siapa-siapa dan pendapat saya adalah pendapat pribadi tidak mewakili siapa-siapa. Secara pribadi, dengan Bang Saut Situmorang, saya baik-baik saja. Begitupun dengan Hudan Hidayat. Atau dengan Komunitas Salihara (TUK) dan Boemipoetra. Kami, khususnya Komunitas Sastra Jakarta (Kosakata), tak ingin ada kubu-kubu dalam sastra Indonesia.
A: Pernah membayangkan cerita Anda dijadikan sebuah film?
B: Saya ini pemimpi. Tentu saya sangat kepengen salah satu, atau salah banyak juga tak pa-pa (Misalnya, semua cerpen saya dalam kumcer Tangan untuk Utik) di film-kan. Jadi, bukannya latah ikut-ikutan cerpen/novel yang telah difilmkan, tapi karena saya ingin, cerita yang saya buat, selain terimajinasi oleh pembaca, juga terimajinasi oleh sutradara, penulis skenario dan penonton. Walaupun banyak juga cerita yang gagal sebagai film.
A: Dalam proses kreatif, biasanya seorang seniman merasakan "sakit" terlebih dahulu. Seperti sakit perut sebelum kita berak (maaf), atau kangen gak ketulungan seperti mau jatuh cinta. Apakah proses "sakit" itu pernah Anda alami? Kalau sudah, seperti apa?
B: Proses kreatif yang menyakitkan, jelas pernah. Walaupun, saya menulis di dunia maya, tetapi ada juga beberapa yang mengkritik cerpen-cerpen saya, tapi semuanya saya terima dengan lapang dada dan menjadi masukan bagi saya untuk memperbaiki diri. Dan, mereka yang mengkritik, tidak menggunakan nama sebenarnya (padahal, saya tuh sangat terbuka dengan kritik).
Atas saran teman-teman di dunia maya, cerpen-cerpen saya diminta untuk dikirim ke media, tetapi saya agak malas. Hingga di bulan Juni 2008, saya memberanikan diri ikut lomba cerpen Femina, saya tidak juara, tetapi cerpen saya terpilih untuk dimuat.
So, cerpen pertama saya itu dimuat di Majalah Femina edisi Maret 2009. Dan, mungkin itulah awal saya jatuh cinta untuk menjadi cerpenis seutuhnya (maksud saya, selain di dunia maya, saya pun ingin menulis cerpen untuk koran dan majalah). Ternyata, SUSAH-nya minta ampun. Saya punya kebiasaan nulis cerpen di atas 12.000 karakter dan karena saya tidak punya latar belakang sastra, maka masalah diksi dan struktur bahasa menjadi kendala dalam menembus media cetak.
…tapi sejak berkenalan dengan Khrisna Pabichara, saya cukup dibimbing dalam hal teori sastra…
…hal, lain juga adalah walaupun cerpen saya belum dimuat di koran, saya mengirimkan kumpulan cerpen saya dari dunia maya itu ke beberapa penerbit, hasilnya ditolak semua. Kumcer saya dari Januari 2009 sampai Agustus 2009 mengendap di tiga penerbit. Hingga akhirnya diterbitkan juga oleh Koekoesan. (Tangan untuk Utik).
A: Berkaitan dengan cerpen Aku Bercerita di Atas Pesawat, seperti apa latar belakang proses kreatifnya?
B: Aku bercerita di atas pesawat yang sedang terbang, saya buat dalam 3 hari berturut-turut (29, 30 Juni dan 1 juli 2009). Tiba-tiba saya teringat sewaktu kami (saya, ibu saya, kakak saya dan adik saya) mengantar jenazah almarhum ayah saya yang meningal di Medan untuk dimakamkan di Tasikmalaya. Lalu idenya, saya olah sedemikian rupa, agar tidak terkesan kisah nyata. Ayah saya meninggal 15 februari 1985.
Nah, uniknya, cerpen ini semula, cerpen trilogi, 29 Juni, saya buat bagian prolognya. Tanggal 30 Juni 2009 saya buat bagian dialognya. dan tanggal 1 Juli 2009 saya buat bagian epilog. Dan, setiap bagian tersebut, saya sempat posting 3 hari berturut-turut dengan judul Trilogi Cerpen Mengantar Ayah. Sungguh di luar dugaan, cerpen itu banyak yang komen, bahkan Hudan Hidayat membuat pengantar cerpen segala.
A: Adakah hambatan dalam menulis karena profesi pekerjaan yang cukup asing bagi seorang sastrawan?
B: Hambatan dalam menulis banyak sekali. Seandainya saya bisa membelah diri seperti amuba, maka bagian diri saya yang satu akan terus menulis dan yang satu lagi bekerja mencari sesuap berlian di McDonald's he he.
…tapi sebenarnya hambatan utama datang dari diri sendiri, kadang saya berpikir, Facebook itu, mengurangi produktivitas kerja maupun menulis wakakak...
A: Menurut Anda, apakah Anda sudah layak menyandang gelar "sastrawan"?
B: Apakah saya sastrawan? Hmmm, menurut saya, saya penulis. Penulis cerpen, penulis fiksi, sesekali menulis esai.
A: Ada kiat-kiat dalam menulis?
B: Kiat-kiat menulis. Menulislah sesukamu dan menulislah dengan hati. Jangan menulis berpatokan pada teori menulis yang sudah ada, toh teori akan mengikuti laju kreativitas kita.
Namun, apabila kadar menulis sudah serius, perlu juga membekali diri dengan teori-teori sastra. Apalagi kalau latar belakang kepenulisan kita bukan jebolan sastra, nah perlu tuh memperkaya diri dengan teori majas, diksi, estetika, metafora, semantik dan lain-lain. @ Anggoro Gunawan
________________________________________
BIODATA RINGKAS
Bamby Cahyadi
Bamby Cahyadi adalah nama pena dan panggilan akrab dari nama asli Bambang Cahyadi. Pria kelahiran Manado, 5 Maret 1970 ini sehari-hari Bamby bekerja sebagai Store Manager di sebuah restoran cepat saji di Jakarta. Keseriusannya menulis cerpen berawal sejak tahun 2007. Bamby memulai menulis cerpen di dunia maya dan milis. Saat ini, ia menulis berbagai tema cerita pendek di Koran Tempo, majalah Femina, Jurnal Bogor, Batam Pos, Harian Global Medan, serta aktif mengelola Komunitas Sastra Jakarta (Kosakata) bersama teman-temannya.
Semasa mahasiswa, Bamby menulis esai tentang dunia kemahasiswaan, kepramukaan dan sastra di harian Pikiran Rakyat, harian Simponi, tabloid Eksponen, majalah Pramuka Kwartir Nasional dan Media Indonesia. Bamby pernah bersekolah di Manado (TK), Bitung (SD), Ampana (SD) dan di Tegal (lulus SD). Lalu lulus SMP di Medan, SMA di Tasikmalaya dan kuliah di Universitas Siliwangi, Tasikmalaya. Meraih gelar Bachelor of Hamburgerology dari McDonald’s Hamburger University Sydney, Australia. Tangan Untuk Utik (Penerbit Koekoesan, Oktober 2009) adalah buku kumpulan cerpen perdananya.
Anggoro Gunawan
Selepas dari Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro (1999), Anggoro Gunawan melanjutkan karir sebagai jurnalis di majalah periklanan Cakram, Tempo,
dan Majalah a+. Selain menulis untuk tempatnya bekerja, beberapa
tulisannya dimuat di beberapa media.sebagai penulis lepas seperti Pantau, Koran Tempo, majalah MATABACA, Jurnas, dan lain-lain.
Di samping kegiatan formal, manusia asal Magelang kelahiran 1975 ini juga ikut meramaikan kelangsungan Wikipedia dalam Bahasa Jawa. Tulisannya lebih banyak berkaitan dengan wayang kulit dan kebudayaan Jawa. Bergabung di Sriti.com sejak tahun 2007, dan banyak membantu dalam urusan teknis dan kearsipan. Karirnya sebagai jurnalis berhenti sejak Februari 2009, dan saat ini, bersama istrinya, Ratna Cahaya Rina, kegiatannya lebih banyak berhubungan dengan pembuatan situs Internet dan desain. Anggoro juga bisa dilacak lewat portal: www.desa.in
Kamis, 31 Desember 2009
Idealisme Seorang Sastrawan Muda
IDEALISME YANG MEMBUNCAH ZELFENI WIMRA
Oleh: Bamby Cahyadi
Terus terang, saya mengenal lantas mengetahui Zelfeni Wimra, ketika saya membuka-buka katalog yang dibagi-bagi saat saya datang melihat malam Anugerah Sastra Khatulistiwa (Khatulistiwa Literary Award) tahun 2009 bertempat di Plaza Senayan tanggal 10 November 2009 beberapa waktu lalu.
Katalog itu berisi kata sambutan, nama-nama finalis kategori prosa, puisi dan penulis muda dengan foto-foto cover buku, serta sambutan dari pemenang kategori prosa dan puisi tahun lalu. Katalog berwarna kuning keemasan itu, lalu saya buka-buka sambil menunggu hasil diumumkan.
Nah, pada saat itulah saya membaca nama Zelfeni Wimra dengan buku Pengantin Subuh. Hmm, siapa dia? Saya tak terlalu ambil peduli. Karena, saya terpaku pada finalis kategori prosa dan puisi saja. Betapa piciknya saya ya?
Beberapa hari kemudian, sebaris sms dari Mas Chusnato menyentak saya pada 19 November 2009.
“Salam! Sesuai rapat internal Sriti, kami meminta saudara Bamby untuk menulis profil cerpenis Zelfeni Wimra yang akan ditayangkan di sriti…”
Bug! Ternyata saya harus berkarib-intim dengan Zelfeni Wimra. Maka, sibuklah saya membuka-buka pofilnya di Facebook dan beberapa situs pribadinya. Mencari lagi katalog KLA 2009 dari rak buku dan mencoba menimbang-nimbang untuk mengirim sms kepada Zelfeni yang nomor kontak hapenya saya dapat dari Mas Chusnato.
Akhirnya, saya kirimi Zelfeni sebaris sms, “Salam kenal, saya Bamby Cahyadi.
Lama sms saya tak dibalasnya, hingga malam hari sekitar pukul 20.21 WIB, hape saya bergetar. Sebaris sms balasan dari Zelfeni, muncul.
“Salam kenal juga, di sini hujan mau turun kayaknya.”
Saya juga tak langsung membalas sms itu. Saya hanya tersenyum lucu. Lho apa hubungannya, salam kenal dengan hujan mau turun di kota Padang sana.
Namun, esok hari. Saya balas sms Zelfeni tersebut. Sekitar pukul 15.30 WIB saya mengirim sebaris pesan singkat, “Saya, akan menulis tentang Anda?”
Maka, beberapa saat kemudian, saya menerima sms panjang yang membantu saya dalam menyusun tulisan ini, karena sms balasan dari Zelfeni panjangnya 1.350 karakter. Aih, betapa bahagianya saya, karena Zelfeni sangat membantu saya untuk menulis sebuah artikel tentang dirinya yang panjangnya minimal 5.000 karakter dan maksimal 7.000 karakter ini. Oh, hati saya bahagia.
Ia, tertawa senang saya kira saat menulis sms panjang itu. Namun, ia lalu dengan sangat serius membeberkan sesuatu yang sudah lama mengendap dalam hati dan benaknya. Dan, ini tulisan balasan sms panjang Zelfeni.
“Wuahahaha. Sriti memang piawai mempertemukan, sekaligus memperseterukan kita. Ini memang harus terjadi. Ketersambungan kita akan menjadi bentuk baru dari kritik sastra. Para penulis mensinergikan diri mereka. Maka akan lahir tenaga yang luar biasa, yang diharapkan mampu memeluk pembaca dan realitasnya.
Inilah kerinduan saya selama 10 tahun pertama kepenulisan saya di Indonesia yang ironis ini. Saya rindu pada suasana khidmat yang bebas dari kepanikan-kepanikan masif akibat kecepatan perubahan yang dikondisikan sedemikian rupa. Kerinduan tersebut ingin saya tular-salurkan melalui sastra.
Sebab, media lain sudah terinfeksi virus-virus yang mematikan kemanusiaan. Lihatlah media hukum dan politik kita. Minta ampun!
Kalau ternyata, sastra juga terinfeksi, kita bisa menyembuhkannya dengan menjaringkan sebuah cita-cita bersama. Kebersamaan, antivirus paling aman.
Maafkanlah saya, yang baru saja saya ceritakan berada jauh di luar diri saya. Yang ada dalam diri saya hanya pertanyaan-pertanyaan. Sangat banyak. Rumit saya untuk memaparkannya. Saya cuplik sebuah pertanyaan dari dalam diri saya: Selain menyelamatkan lambung dari kelaparan, apalagi yang saya perjuangkan dari menulis? Kampung halamankah? Budayakah? Agamakah? Kemanusiaankah? Atau tulisan hanya pelarian dari kesepian?
Nah, rumit kan? Pertanyaan ini akan terus berangkai dan tak akan pernah habis.
Jadi, Bamby yang baik, tulislah tulisan tentang penulis ini. Terserahmu. Biodataku ada di beberapa situs. Yang jelas, aku anak petani yang bahagia. Sekarang tengah menyelesaikan Studi Pascasarjana di IAIN Imam Bonjol Padang, konsentrasi syari’ah. Terima kasih.”
Sms balasan itu mebuat saya berpikir dan makin penasaran dengan cerpenis Zefeni Wimra ini. Ada semangat yang membara dan idealisme dari Zelfeni yang tiba-tiba menjadi aura positif bagi saya. Ya, bagi saya pribadi. Ijinkan saya menuliskan lanjutan artikel ini. Walau agak panjang.
***
Tanggal 26 November 2009 siang telah lewat, sore belum terlampaui. Melalui sms, saya katakan bahwa saya akan menelepon Zelfeni. Ia langsung membalas sms saya. Silakan, katanya. Saya ingin melakukan sedikit wawancara langsung dengan cerpenis yang karya-karyanya telah tersebar di mana-mana. Saya ingin tahu suaranya dan bahana tawanya yang saya rasakan dari smsnya tempo lalu.
Stop! Nanti dulu, sabar ya. Sebelum saya beberkan hasil wawancara saya tentang proses kreatif Zelfeni Wimra kepada Anda, pembaca yang budiman, ada baiknya simak dulu bio data ringkas cerpenis sekaligus penyair kita ini.
ZELFENI WIMRA (terus terang saya agak kesulitan mengejanya atau menyebutnya tanpa teks), lahir di Sungai Naniang 26 Oktober 1979, Bukit Barisan, Limo Puluah Koto, Sumatera Barat, dari sepasang petani: Yunizar Imam Bosar dan Helmi Wirda.
Karya tulisnya telah dipublikasikan berbagai media cetak. Setelah memenangkan beberapa lomba, puisi dan cerpennya mulai bermunculan dalam sejumlah buku antologi, di antaranya: Batarak, Kumpulan Puisi T-IB Padang: 2000; Narasi 34 Jam, Antologi Puisi Antikekerasan KSI Award, Jakarta: 2001; Sebelas, Antologi Cerpen Sumatera Barat 2002, DKSB: 2002; la belle noiseuse, Kumpulan Puisi T-IB, Padang: 2004; Sumatera Disastra, Antologi Puisi Forum Penyair Muda Empat Kota Indonesia, Pustaka Pujangga, Jatim: 2007; Jalan Menikung ke Bukit Timah, Antologi Cerpen Temu Sastrawan Indonesia, Bangka Belitung: 2009.
Cerpennya, Bila Jumin Tersenyum, masuk 20 Cerpen Terbaik Indonesia 2009, nominasi peraih Anugerah Sastra Pena Kencana 2009. Pengantin Subuh adalah Kumpulan Cerpen tunggalnya yang pertama, diterbikan Lingkar Pena Publishing, 2008. Dan, Kumpulan Cerpen Pengantin Subuh, masuk dalam 8 Finalis Penulis Muda Berbakat Terbaik Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2009.
Baiklah, saya lanjutkan. Perjalanan menulis Zelfeni Wimra, menurut saya banyak tikungan, tidak mulus, kadang-kadang meriah dan lebih sering sepi. Akan tetapi, dalam pandangan saya, ia termasuk penulis yang produktif dan memiliki idealisme dalam memajukan dunia sastra Indonesia.
Anda mungkin akan mencari-cari alasan, ketika ditanya, kenapa Anda menulis? Bagi Zelfeni, tidak ada alasan. Menulis adalah ekspresi bersyukur kepada Tuhan. Sungguh jawaban di luar dugaan saya. Lalu saya kejar, kenapa begitu? Maka dengan suara beratnya, ia membicarakan tentang imajinasi, imajinasi adalah kekuatan yang luar biasa dalam tahapan kehidupan manusia yang diciptakan Tuhan. Tanpa imajinasi dunia akan kosong.
Merinding saya dibuatnya. Lalu kapan Anda mulai menulis? Alamak jan! (meminjam istilah yang sering digunakan dalam cerpen-cerpen Benny Arnas). Ternyata, Zelfeni telah memulainya sejak tahun 1999. Ia pun bercerita tentang cerpen pertamanya yang dimuat di media Mimbar Minang dengan judul Pelaminan.
Maka sejak saat itulah, jalan kepenulisannya terbentang. Zelfeni mengakui, bahwa ia menulis setelah mendapat ide-ide. Lalu dari mana idemu itu muncul? Tanya saya. Biasanya ia akan jalan-jalan ke kampung-kampung, ke tempat-tempat di mana kebanyakan orang jarang mengunjunginya, misalnya tempat-tempat bersejarah, seperti Kerajaan Indrajaya. Di situ, ia bisa menangkap suasana masa lalu.
Lalu apa yang Anda lakukan, apabila tiba-tiba kehabisan ide, selain jalan-jalan? Oh lala, ternyata ia main volley dan sepak bola. Penulis harus sehat, oleh karena itu, olahraga menjadi alternatif apabila tak ada ide untuk menulis.
Lantas, kami ngobrol ngalor-ngidul. Sambil sesekali tertawa terkikik-kikik. So, saya lanjutkan pertanyaan. Beberapa cerpenmu yang saya baca, sangat kental nuansa lokalitasnya, ada alasan tertentu? Dengan diplomatis Zelfeni menjawab, tulislah sesuatu yang dekat dan kamu sangat ketahui.
Kami pun berbicara hal-hal lain, bahkan ada pembicaraan yang kategorinya off the record (tentunya pembaca yang budiman tak perlu tahu, cukup saya dan Zelfeni saja yang tahu).
Akhirnya, karena masalah pulsa telepon, wawancara tentu harus diakhiri. Maka, saya tanya ia dengan pertanyaan standar namun membuat saya terperangah dan semakin yakin, saya sedang berbicara dengan seorang sastrawan muda dan seseorang yang memiliki idealisme dalam dunia menulis.
Apa harapan Anda ke depan?
Saya ingin mengajak teman-teman sastrawan, mungkin lebih tepatnya memprovokasi teman-teman, agar sastrawan harus mempererat diri, membuat kesatuan, merapatkan diri dalam sebuah aliansi, misalnya. Agar sastrawan bisa dihargai lebih tinggi di pasar. Juga aliansi itu, secara profesional membela kepentingan penulis/sastrawan ketika ia dirugikan di pasar. Atau sastrawan tetap kerja sendiri, dengan kondisi seperti saat ini.
Lantas kami menutup pembicaraan, saya meletakkan gagang telepon pada tempatnya. Tetapi, ada sesuatu yang tiba-tiba menggantung dalam nurani saya. Oh, betapa mulianya cita-cita seorang Zelfeni Wimra. Idealisme itu membuncah, singgah di hati saya.
Saya kembali larut dalam pekerjaan saya. “One Big Mac, please!”***
Jakarta, 2 Desember 2009
Oleh: Bamby Cahyadi
Terus terang, saya mengenal lantas mengetahui Zelfeni Wimra, ketika saya membuka-buka katalog yang dibagi-bagi saat saya datang melihat malam Anugerah Sastra Khatulistiwa (Khatulistiwa Literary Award) tahun 2009 bertempat di Plaza Senayan tanggal 10 November 2009 beberapa waktu lalu.
Katalog itu berisi kata sambutan, nama-nama finalis kategori prosa, puisi dan penulis muda dengan foto-foto cover buku, serta sambutan dari pemenang kategori prosa dan puisi tahun lalu. Katalog berwarna kuning keemasan itu, lalu saya buka-buka sambil menunggu hasil diumumkan.
Nah, pada saat itulah saya membaca nama Zelfeni Wimra dengan buku Pengantin Subuh. Hmm, siapa dia? Saya tak terlalu ambil peduli. Karena, saya terpaku pada finalis kategori prosa dan puisi saja. Betapa piciknya saya ya?
Beberapa hari kemudian, sebaris sms dari Mas Chusnato menyentak saya pada 19 November 2009.
“Salam! Sesuai rapat internal Sriti, kami meminta saudara Bamby untuk menulis profil cerpenis Zelfeni Wimra yang akan ditayangkan di sriti…”
Bug! Ternyata saya harus berkarib-intim dengan Zelfeni Wimra. Maka, sibuklah saya membuka-buka pofilnya di Facebook dan beberapa situs pribadinya. Mencari lagi katalog KLA 2009 dari rak buku dan mencoba menimbang-nimbang untuk mengirim sms kepada Zelfeni yang nomor kontak hapenya saya dapat dari Mas Chusnato.
Akhirnya, saya kirimi Zelfeni sebaris sms, “Salam kenal, saya Bamby Cahyadi.
Lama sms saya tak dibalasnya, hingga malam hari sekitar pukul 20.21 WIB, hape saya bergetar. Sebaris sms balasan dari Zelfeni, muncul.
“Salam kenal juga, di sini hujan mau turun kayaknya.”
Saya juga tak langsung membalas sms itu. Saya hanya tersenyum lucu. Lho apa hubungannya, salam kenal dengan hujan mau turun di kota Padang sana.
Namun, esok hari. Saya balas sms Zelfeni tersebut. Sekitar pukul 15.30 WIB saya mengirim sebaris pesan singkat, “Saya, akan menulis tentang Anda?”
Maka, beberapa saat kemudian, saya menerima sms panjang yang membantu saya dalam menyusun tulisan ini, karena sms balasan dari Zelfeni panjangnya 1.350 karakter. Aih, betapa bahagianya saya, karena Zelfeni sangat membantu saya untuk menulis sebuah artikel tentang dirinya yang panjangnya minimal 5.000 karakter dan maksimal 7.000 karakter ini. Oh, hati saya bahagia.
Ia, tertawa senang saya kira saat menulis sms panjang itu. Namun, ia lalu dengan sangat serius membeberkan sesuatu yang sudah lama mengendap dalam hati dan benaknya. Dan, ini tulisan balasan sms panjang Zelfeni.
“Wuahahaha. Sriti memang piawai mempertemukan, sekaligus memperseterukan kita. Ini memang harus terjadi. Ketersambungan kita akan menjadi bentuk baru dari kritik sastra. Para penulis mensinergikan diri mereka. Maka akan lahir tenaga yang luar biasa, yang diharapkan mampu memeluk pembaca dan realitasnya.
Inilah kerinduan saya selama 10 tahun pertama kepenulisan saya di Indonesia yang ironis ini. Saya rindu pada suasana khidmat yang bebas dari kepanikan-kepanikan masif akibat kecepatan perubahan yang dikondisikan sedemikian rupa. Kerinduan tersebut ingin saya tular-salurkan melalui sastra.
Sebab, media lain sudah terinfeksi virus-virus yang mematikan kemanusiaan. Lihatlah media hukum dan politik kita. Minta ampun!
Kalau ternyata, sastra juga terinfeksi, kita bisa menyembuhkannya dengan menjaringkan sebuah cita-cita bersama. Kebersamaan, antivirus paling aman.
Maafkanlah saya, yang baru saja saya ceritakan berada jauh di luar diri saya. Yang ada dalam diri saya hanya pertanyaan-pertanyaan. Sangat banyak. Rumit saya untuk memaparkannya. Saya cuplik sebuah pertanyaan dari dalam diri saya: Selain menyelamatkan lambung dari kelaparan, apalagi yang saya perjuangkan dari menulis? Kampung halamankah? Budayakah? Agamakah? Kemanusiaankah? Atau tulisan hanya pelarian dari kesepian?
Nah, rumit kan? Pertanyaan ini akan terus berangkai dan tak akan pernah habis.
Jadi, Bamby yang baik, tulislah tulisan tentang penulis ini. Terserahmu. Biodataku ada di beberapa situs. Yang jelas, aku anak petani yang bahagia. Sekarang tengah menyelesaikan Studi Pascasarjana di IAIN Imam Bonjol Padang, konsentrasi syari’ah. Terima kasih.”
Sms balasan itu mebuat saya berpikir dan makin penasaran dengan cerpenis Zefeni Wimra ini. Ada semangat yang membara dan idealisme dari Zelfeni yang tiba-tiba menjadi aura positif bagi saya. Ya, bagi saya pribadi. Ijinkan saya menuliskan lanjutan artikel ini. Walau agak panjang.
***
Tanggal 26 November 2009 siang telah lewat, sore belum terlampaui. Melalui sms, saya katakan bahwa saya akan menelepon Zelfeni. Ia langsung membalas sms saya. Silakan, katanya. Saya ingin melakukan sedikit wawancara langsung dengan cerpenis yang karya-karyanya telah tersebar di mana-mana. Saya ingin tahu suaranya dan bahana tawanya yang saya rasakan dari smsnya tempo lalu.
Stop! Nanti dulu, sabar ya. Sebelum saya beberkan hasil wawancara saya tentang proses kreatif Zelfeni Wimra kepada Anda, pembaca yang budiman, ada baiknya simak dulu bio data ringkas cerpenis sekaligus penyair kita ini.
ZELFENI WIMRA (terus terang saya agak kesulitan mengejanya atau menyebutnya tanpa teks), lahir di Sungai Naniang 26 Oktober 1979, Bukit Barisan, Limo Puluah Koto, Sumatera Barat, dari sepasang petani: Yunizar Imam Bosar dan Helmi Wirda.
Karya tulisnya telah dipublikasikan berbagai media cetak. Setelah memenangkan beberapa lomba, puisi dan cerpennya mulai bermunculan dalam sejumlah buku antologi, di antaranya: Batarak, Kumpulan Puisi T-IB Padang: 2000; Narasi 34 Jam, Antologi Puisi Antikekerasan KSI Award, Jakarta: 2001; Sebelas, Antologi Cerpen Sumatera Barat 2002, DKSB: 2002; la belle noiseuse, Kumpulan Puisi T-IB, Padang: 2004; Sumatera Disastra, Antologi Puisi Forum Penyair Muda Empat Kota Indonesia, Pustaka Pujangga, Jatim: 2007; Jalan Menikung ke Bukit Timah, Antologi Cerpen Temu Sastrawan Indonesia, Bangka Belitung: 2009.
Cerpennya, Bila Jumin Tersenyum, masuk 20 Cerpen Terbaik Indonesia 2009, nominasi peraih Anugerah Sastra Pena Kencana 2009. Pengantin Subuh adalah Kumpulan Cerpen tunggalnya yang pertama, diterbikan Lingkar Pena Publishing, 2008. Dan, Kumpulan Cerpen Pengantin Subuh, masuk dalam 8 Finalis Penulis Muda Berbakat Terbaik Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2009.
Baiklah, saya lanjutkan. Perjalanan menulis Zelfeni Wimra, menurut saya banyak tikungan, tidak mulus, kadang-kadang meriah dan lebih sering sepi. Akan tetapi, dalam pandangan saya, ia termasuk penulis yang produktif dan memiliki idealisme dalam memajukan dunia sastra Indonesia.
Anda mungkin akan mencari-cari alasan, ketika ditanya, kenapa Anda menulis? Bagi Zelfeni, tidak ada alasan. Menulis adalah ekspresi bersyukur kepada Tuhan. Sungguh jawaban di luar dugaan saya. Lalu saya kejar, kenapa begitu? Maka dengan suara beratnya, ia membicarakan tentang imajinasi, imajinasi adalah kekuatan yang luar biasa dalam tahapan kehidupan manusia yang diciptakan Tuhan. Tanpa imajinasi dunia akan kosong.
Merinding saya dibuatnya. Lalu kapan Anda mulai menulis? Alamak jan! (meminjam istilah yang sering digunakan dalam cerpen-cerpen Benny Arnas). Ternyata, Zelfeni telah memulainya sejak tahun 1999. Ia pun bercerita tentang cerpen pertamanya yang dimuat di media Mimbar Minang dengan judul Pelaminan.
Maka sejak saat itulah, jalan kepenulisannya terbentang. Zelfeni mengakui, bahwa ia menulis setelah mendapat ide-ide. Lalu dari mana idemu itu muncul? Tanya saya. Biasanya ia akan jalan-jalan ke kampung-kampung, ke tempat-tempat di mana kebanyakan orang jarang mengunjunginya, misalnya tempat-tempat bersejarah, seperti Kerajaan Indrajaya. Di situ, ia bisa menangkap suasana masa lalu.
Lalu apa yang Anda lakukan, apabila tiba-tiba kehabisan ide, selain jalan-jalan? Oh lala, ternyata ia main volley dan sepak bola. Penulis harus sehat, oleh karena itu, olahraga menjadi alternatif apabila tak ada ide untuk menulis.
Lantas, kami ngobrol ngalor-ngidul. Sambil sesekali tertawa terkikik-kikik. So, saya lanjutkan pertanyaan. Beberapa cerpenmu yang saya baca, sangat kental nuansa lokalitasnya, ada alasan tertentu? Dengan diplomatis Zelfeni menjawab, tulislah sesuatu yang dekat dan kamu sangat ketahui.
Kami pun berbicara hal-hal lain, bahkan ada pembicaraan yang kategorinya off the record (tentunya pembaca yang budiman tak perlu tahu, cukup saya dan Zelfeni saja yang tahu).
Akhirnya, karena masalah pulsa telepon, wawancara tentu harus diakhiri. Maka, saya tanya ia dengan pertanyaan standar namun membuat saya terperangah dan semakin yakin, saya sedang berbicara dengan seorang sastrawan muda dan seseorang yang memiliki idealisme dalam dunia menulis.
Apa harapan Anda ke depan?
Saya ingin mengajak teman-teman sastrawan, mungkin lebih tepatnya memprovokasi teman-teman, agar sastrawan harus mempererat diri, membuat kesatuan, merapatkan diri dalam sebuah aliansi, misalnya. Agar sastrawan bisa dihargai lebih tinggi di pasar. Juga aliansi itu, secara profesional membela kepentingan penulis/sastrawan ketika ia dirugikan di pasar. Atau sastrawan tetap kerja sendiri, dengan kondisi seperti saat ini.
Lantas kami menutup pembicaraan, saya meletakkan gagang telepon pada tempatnya. Tetapi, ada sesuatu yang tiba-tiba menggantung dalam nurani saya. Oh, betapa mulianya cita-cita seorang Zelfeni Wimra. Idealisme itu membuncah, singgah di hati saya.
Saya kembali larut dalam pekerjaan saya. “One Big Mac, please!”***
Jakarta, 2 Desember 2009
Sabtu, 19 Desember 2009
DUA PARAGRAF PERTAMA KUMCER BOB MARLEY
DUA PARAGRAF PERTAMA KUMPULAN CERPEN BOB MARLEY
Sebentar lagi sebuah buku yang dinanti-nanti akan terbit, Bob Marley dan 11 Cerpen Pilihan Sriti.com, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Tentu Anda sangat penasaran. Saya kasih bocorannya, supaya Anda makin penasaran, meski hanya dua paragraf pertama dari masing-masing cerpen.
Kematian Bob Marley, Hasan Al Banna, Koran Tempo, 9 Maret 2009
Anyir mengalir. Udara berlendir. Sebagian kulit kepalanya terkelupas. Mata tak terbelalak, tapi wajahnya mendongak, menyeringai—lipatan kulit saling himpit. Mulut menganga, sekuak goa, tak henti melelehkan getah darah bercampur serpihan gigi. Lekuk tangannya menempel di atas dada, lantas kedua lutut bertekuk, semacam posisi duduk. Lebih dari itu, tak terdapat luka atau memar yang menonjol di tubuhnya. Hanya saja, dua jari tangan kiri—telunjuk dan kelingking—terputus, dan sebilah sayatan sepanjang sepuluh senti mengoyak anus.
Tadi malam, di bawah debur hujan, tiga orang pria tak dikenal mengetuk pintu salah satu rumah di lorong Dermawan. Tamu asing itu tampak menghemat gelagat. Gerak-gerik jangan sampai memancing kecurigaan, begitu hardikan pesan. Tapi tak bisa juga mereka menyimpan ketergesaan. Usai berbicara seringkasnya, mereka kemudian menjinjing sebujur mayat terbungkus terpal—lapuk, berwarna biru tua—dari pick up bak terbuka. Sesaat kemudian, ketiganya lenyap di balik jubah hujan, menelantarkan letup tangis mengerubungi mayat.
Induak Tubo, Zelfeni Wimra, Padang Ekspres, 22 Juni 2008
“Dasar orang tua. Nyinyir. Berkali-kali saya ingatkan, tidak usah ke sawah lagi. Akan lebih baik, kalau sawah itu dipaduoi saja kepada orang yang lebih kuat. Selin tugas kita ringan, hasil tanaman juga akan lebih banyak. Orang setua dia tidak layak lagi menggarap sawah barawang itu. Bisa-bisa ia terjerembab dan ditelan rawang itu hidup-hidup!”
“Anak-anaknya yang tak tahu diri. Semuanya merantau. Seharusnya, salah seorang tinggal di kampung, menemani induk yang sudah bungkuk. Sekalipun tidak akan ke sawah-ke ladang dan hidup melarat seperti kita ini, paling tidak induk mereka punya teman di rumah. Sungguh, kalian akan tahu sendiri nanti, betapa berartinya teman di hari tua. Dan, kalian juga akan tahu nanti, betapa lengang ketika di hari tua tidak ada teman, meski hanya untuk sekadar bercerita.
Kandang, Yanusa Nugroho, Jawa Pos, 12 Oktober 2008
Jika saja kau mengetahui di mana aku tinggal, mungkin kau akan sependapat dengan apa yang akan kuceritakan kepadamu. Di sini, di tempat tinggalku, kau tak akan menjumpai manusia. Ya. Kau tak akan menjumpai sesosok makhluk yang bisa layak kau sebut manusia.
Entah kebetulan, entah tidak, aku menempati rumah di ujung jalan. Lebih tepat lagi bila kusebutkan di ujung atas jalan kecil ini. Jauh lebih tepat, sebagai rumah yang paling atas, karena jalan ini adalah jalan buntu.
Cinta pada sebuah Pagi, Eep Saefulloh Fatah, Kompas, 25 Mei 2008
Sebuah rumah mungil di pinggiran timur Jakarta. Sebuah pagi berjalan sebagaimana lazimnya. Asti berkubang dalam banyak pekerjaan rumah. Arnando, seperti biasa, berkutat merampungkan lukisan di studionya.
Daster Asti tak mampu menutup seluruh kulit putih bersihnya. Tapi, daster itu tetap bisa menyembunyikan banyak tahi lalat di tempat-tempat tertutup. Hanya Arnando yang tahu persis letak-letaknya.
Satu Kunang-kunang, Seribu Tikus, Intan Paramaditha, Koran Tempo, 15 Februari 2009
Seorang pembunuh berdarah dingin, tak senang bernostalgia, mengawali rencananya dengan seorang perempuan yang mati tanpa melihat kunang-kunang. Dari ruang dan waktu yang jauh berbeda, ia mengintip Epon, seorang perempuan dengan kebiasaan ganjil. Tepat pukul dua belas malam, kala suaminya terlelap, Epon akan berjalan keluar rumah menuju kuburan demi melihat kunang-kunang. Ia percaya kunang-kunang ini--jenis betina berkilauan yang mengubah diri sesuai selera pejantan hanya untuk memangsanya kemudian--tak muncul di tempat lain. Tentu saja Toha suaminya menjadi gelisah. Di desa Cibeurit yang guyub tentram, perempuan tak berkeliaran malam-malam, apalagi pergi ke kuburan. Bisa-bisa istri Toha dianggap penganut ilmu hitam.
Beberapa malam sebelum peristiwa menyedihkan itu, Toha menyergap Epon saat ia mengendap-endap meninggalkan kamar.
Malam Basilsik, Dinar Rahayu, Suara Merdeka, 13 Juli 2008
Kau adalah kematianku
Padamu aku dapat bergantung
Ketika semuanya jatuh berguguran
(Paul Celan)
DI lautan suara dan gerakan aku mengapung. Tidak seperti binatang Kapal Perang Portugis yang sengatnya masih berfungsi walaupun ia sudah mati melainkan lebih mirip ganggang ruwet di tengah laut yang sudah dipenuhi kehidupan palsu.
Aku melewati seseorang yang mungkin akan kutemui dalam mimpi nanti malam. Mungkin juga tidak. Mungkin juga akan jadi bagian dari mimpi burukku. Aku melewati segala sesuatu yang mungkin akan kutemui kembali esok hari —mungkin juga tidak. Barangkali hari-hari yang datang akan sama dengan hari ini karena seperti keluaran pabrik kloning, hari-hari terlihat sama untukku. Aku seperti makhluk pejalan lurus yang terperangkap dalam roda di kandang hamster, seperti kuda kayu dalam komedi putar. Bergerak tanpa pergi ke mana pun juga.
Guru Safedi, Farizal Sikumbang, Kompas, 14 Desember 2008
Setelah menumpahkan kegundahan hatinya perihal kebutuhan keuangan dalam keluarganya, istri Safedi lalu beranjak dan duduk di depan pintu rumah. Kedua kakinya diluruskan ke depan. Tatapannya tertekuk ke bawah. Dari atas kursi ruang tamu, beberapa saat kemudian Safedi mendengar tangisan istrinya yang terisak.
"Berhentilah menangis, Aisia. Jika ada orang lewat, malu kita,” kata Safedi.
Malam Kunang-kunang, Rama Dira J, Kompas, 2 Agustus 2008
Merekalah bocah-bocah yang selalu bahagia. Jika malam tiba, mereka akan berlari-lari girang, mengejar-ngejar dan menggapai-gapai kunang-kunang yang berkerlap-kerlip melayang-layang serupa sebaran serbuk cahaya. Mereka jugalah bocah-bocah yang menghadirkan tawa dan canda di lembah itu hingga membuatnya hidup, terasa dihuni.
Selebihnya adalah gelap. Listrik belum masuk dan orang-orang dewasa terlalu sibuk dengan urusan ranjang. Maka, belum genap malam, bocah-bocah pun diusir pergi ke luar rumah, ke surau untuk mengaji atau berlatih silat ke lapangan sepak bola asalkan jangan bermain kunang-kunang. Karena bagaimanapun, orang-orang tua tetap meyakini kunang-kunang sebagai jelmaan kuku-kukunya orang mati. Jika menjadikannya sebagai mainan, maka akan menyebabkan kesialan.
Aku Bercerita dari Pesawat yang Sedang Terbang, Bamby Cahyadi, Koran Tempo, 26 Juli 2009
Seandainya aku tidak terlambat pulang sekolah, mungkin aku kini tak berada di atas ketinggian 30.000 kaki. Aku melihat awan-awan kelabu tebal berarak-arak yang seolah-olah ikut menangis dari balik jendela pesawat terbang ini. Aku kembali mengusap air mataku yang jatuh membasahi pipi dengan selembar tisu.
Kulihat ibuku memandang kosong ke arah jendela yang lain di sisinya. Matanya sembab, air matanya mungkin sudah kering sejak tadi pagi. Kakakku tertidur di bangku pesawat di samping ibu. Nyenyak sekali tidurnya, paling tidak ia bisa melupakan sejenak kesedihan yang tadi malam tiba-tiba merenggut kebahagiaan kami sebagai keluarga.
Tanah Lalu, Yetti A. KA, Suara Merdeka, 3 Agustus 2008
BUNYI tapak kaki saling tubruk, retak, berpentalan di udara. Kesiur angin merebahkan gumpalan-gumpalan daun. Orang-orang serupa bayang makin bergegas. Napas mereka terdengar kasar. Seakan-akan mereka tengah dikejar waktu menuju arena perburuan. Setelah sepertiga malam terdengar letusan senapan tepat di bawah pohon merambung, tempat biasa kijang-kijang menghabiskan sisa malam.
Tidak jauh dari tempat perburuan itu, aroma pagi segera menguar dari bidang-bidang sawah yang mengering, bercampur baur dengan anyir yang semakin tajam. Orang-orang bersorak. Sebuah kampung tengah mempersiapkan pesta kecil.
Kunti tak Berhenti Berlari, Berto Tukan, Batam Pos, 12 Juli 2009
Angin berhembus kencang menerpa rerumputan. Bunga-bunga ilalang putih sebesar kuku ibu jari kaki beterbangan menutupi jalan setapak. Matahari jam 12 siang menampakkan diri begitu sempurnanya. Belalang hijau satu-dua ekor terlihat menantang angin di pucuk-pucuk ilalang. Alam begitu tenang.
Kunti berjalan di jalan setapak itu. Bunga-bunga ilalang memenuhi setapak perlahan-lahan menepi ke kiri-kanannya. Mereka memberi tempat bagi kaki Kunti yang hitam tanah dan pecah kulitnya leluasa melangkah.
Batubujang, Benny Arnas, Singgalang Padang, 1 Juni 2008
ANAS benar-benar tak habis pikir bagaimana penduduk menjadi sebegitu bodohnya. Menyemen parit dengan batamerah, bahkan sebagian lebih gawat lagi, ada yang menggunakan batako.
Alamak jan, layak tak berotak apa yang berlaku di muka Anas. Apa kiranya yang telah membuat pikiran mereka tiada menimbang banyak dampak yang mungkin sekali timbul dari tindakan yang tak beralibi itu. Takkah mereka tahu kalau batamerah lebih banyak menguras rupiah daripada batubujang? Takkah jua mereka berpikir bahwa semakin berbilang masa, batamerah itu lebih mudah digerus air, walaupun orang-orang itu telah bertahan dengan rupa-rupa alasan yang terkesan terlalu dibuat-buat: bahwa batamerah akan dilapisi semen? Tetap, batubujang 1 lebih baik dibandingkan batamerah itu. Batin Anas memuncak, meredam lenguh durja.
Hahaha… penasaran khan? Mari beli bukunya.***
Jakarta, 19 Desember 2009
Sebentar lagi sebuah buku yang dinanti-nanti akan terbit, Bob Marley dan 11 Cerpen Pilihan Sriti.com, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Tentu Anda sangat penasaran. Saya kasih bocorannya, supaya Anda makin penasaran, meski hanya dua paragraf pertama dari masing-masing cerpen.
Kematian Bob Marley, Hasan Al Banna, Koran Tempo, 9 Maret 2009
Anyir mengalir. Udara berlendir. Sebagian kulit kepalanya terkelupas. Mata tak terbelalak, tapi wajahnya mendongak, menyeringai—lipatan kulit saling himpit. Mulut menganga, sekuak goa, tak henti melelehkan getah darah bercampur serpihan gigi. Lekuk tangannya menempel di atas dada, lantas kedua lutut bertekuk, semacam posisi duduk. Lebih dari itu, tak terdapat luka atau memar yang menonjol di tubuhnya. Hanya saja, dua jari tangan kiri—telunjuk dan kelingking—terputus, dan sebilah sayatan sepanjang sepuluh senti mengoyak anus.
Tadi malam, di bawah debur hujan, tiga orang pria tak dikenal mengetuk pintu salah satu rumah di lorong Dermawan. Tamu asing itu tampak menghemat gelagat. Gerak-gerik jangan sampai memancing kecurigaan, begitu hardikan pesan. Tapi tak bisa juga mereka menyimpan ketergesaan. Usai berbicara seringkasnya, mereka kemudian menjinjing sebujur mayat terbungkus terpal—lapuk, berwarna biru tua—dari pick up bak terbuka. Sesaat kemudian, ketiganya lenyap di balik jubah hujan, menelantarkan letup tangis mengerubungi mayat.
Induak Tubo, Zelfeni Wimra, Padang Ekspres, 22 Juni 2008
“Dasar orang tua. Nyinyir. Berkali-kali saya ingatkan, tidak usah ke sawah lagi. Akan lebih baik, kalau sawah itu dipaduoi saja kepada orang yang lebih kuat. Selin tugas kita ringan, hasil tanaman juga akan lebih banyak. Orang setua dia tidak layak lagi menggarap sawah barawang itu. Bisa-bisa ia terjerembab dan ditelan rawang itu hidup-hidup!”
“Anak-anaknya yang tak tahu diri. Semuanya merantau. Seharusnya, salah seorang tinggal di kampung, menemani induk yang sudah bungkuk. Sekalipun tidak akan ke sawah-ke ladang dan hidup melarat seperti kita ini, paling tidak induk mereka punya teman di rumah. Sungguh, kalian akan tahu sendiri nanti, betapa berartinya teman di hari tua. Dan, kalian juga akan tahu nanti, betapa lengang ketika di hari tua tidak ada teman, meski hanya untuk sekadar bercerita.
Kandang, Yanusa Nugroho, Jawa Pos, 12 Oktober 2008
Jika saja kau mengetahui di mana aku tinggal, mungkin kau akan sependapat dengan apa yang akan kuceritakan kepadamu. Di sini, di tempat tinggalku, kau tak akan menjumpai manusia. Ya. Kau tak akan menjumpai sesosok makhluk yang bisa layak kau sebut manusia.
Entah kebetulan, entah tidak, aku menempati rumah di ujung jalan. Lebih tepat lagi bila kusebutkan di ujung atas jalan kecil ini. Jauh lebih tepat, sebagai rumah yang paling atas, karena jalan ini adalah jalan buntu.
Cinta pada sebuah Pagi, Eep Saefulloh Fatah, Kompas, 25 Mei 2008
Sebuah rumah mungil di pinggiran timur Jakarta. Sebuah pagi berjalan sebagaimana lazimnya. Asti berkubang dalam banyak pekerjaan rumah. Arnando, seperti biasa, berkutat merampungkan lukisan di studionya.
Daster Asti tak mampu menutup seluruh kulit putih bersihnya. Tapi, daster itu tetap bisa menyembunyikan banyak tahi lalat di tempat-tempat tertutup. Hanya Arnando yang tahu persis letak-letaknya.
Satu Kunang-kunang, Seribu Tikus, Intan Paramaditha, Koran Tempo, 15 Februari 2009
Seorang pembunuh berdarah dingin, tak senang bernostalgia, mengawali rencananya dengan seorang perempuan yang mati tanpa melihat kunang-kunang. Dari ruang dan waktu yang jauh berbeda, ia mengintip Epon, seorang perempuan dengan kebiasaan ganjil. Tepat pukul dua belas malam, kala suaminya terlelap, Epon akan berjalan keluar rumah menuju kuburan demi melihat kunang-kunang. Ia percaya kunang-kunang ini--jenis betina berkilauan yang mengubah diri sesuai selera pejantan hanya untuk memangsanya kemudian--tak muncul di tempat lain. Tentu saja Toha suaminya menjadi gelisah. Di desa Cibeurit yang guyub tentram, perempuan tak berkeliaran malam-malam, apalagi pergi ke kuburan. Bisa-bisa istri Toha dianggap penganut ilmu hitam.
Beberapa malam sebelum peristiwa menyedihkan itu, Toha menyergap Epon saat ia mengendap-endap meninggalkan kamar.
Malam Basilsik, Dinar Rahayu, Suara Merdeka, 13 Juli 2008
Kau adalah kematianku
Padamu aku dapat bergantung
Ketika semuanya jatuh berguguran
(Paul Celan)
DI lautan suara dan gerakan aku mengapung. Tidak seperti binatang Kapal Perang Portugis yang sengatnya masih berfungsi walaupun ia sudah mati melainkan lebih mirip ganggang ruwet di tengah laut yang sudah dipenuhi kehidupan palsu.
Aku melewati seseorang yang mungkin akan kutemui dalam mimpi nanti malam. Mungkin juga tidak. Mungkin juga akan jadi bagian dari mimpi burukku. Aku melewati segala sesuatu yang mungkin akan kutemui kembali esok hari —mungkin juga tidak. Barangkali hari-hari yang datang akan sama dengan hari ini karena seperti keluaran pabrik kloning, hari-hari terlihat sama untukku. Aku seperti makhluk pejalan lurus yang terperangkap dalam roda di kandang hamster, seperti kuda kayu dalam komedi putar. Bergerak tanpa pergi ke mana pun juga.
Guru Safedi, Farizal Sikumbang, Kompas, 14 Desember 2008
Setelah menumpahkan kegundahan hatinya perihal kebutuhan keuangan dalam keluarganya, istri Safedi lalu beranjak dan duduk di depan pintu rumah. Kedua kakinya diluruskan ke depan. Tatapannya tertekuk ke bawah. Dari atas kursi ruang tamu, beberapa saat kemudian Safedi mendengar tangisan istrinya yang terisak.
"Berhentilah menangis, Aisia. Jika ada orang lewat, malu kita,” kata Safedi.
Malam Kunang-kunang, Rama Dira J, Kompas, 2 Agustus 2008
Merekalah bocah-bocah yang selalu bahagia. Jika malam tiba, mereka akan berlari-lari girang, mengejar-ngejar dan menggapai-gapai kunang-kunang yang berkerlap-kerlip melayang-layang serupa sebaran serbuk cahaya. Mereka jugalah bocah-bocah yang menghadirkan tawa dan canda di lembah itu hingga membuatnya hidup, terasa dihuni.
Selebihnya adalah gelap. Listrik belum masuk dan orang-orang dewasa terlalu sibuk dengan urusan ranjang. Maka, belum genap malam, bocah-bocah pun diusir pergi ke luar rumah, ke surau untuk mengaji atau berlatih silat ke lapangan sepak bola asalkan jangan bermain kunang-kunang. Karena bagaimanapun, orang-orang tua tetap meyakini kunang-kunang sebagai jelmaan kuku-kukunya orang mati. Jika menjadikannya sebagai mainan, maka akan menyebabkan kesialan.
Aku Bercerita dari Pesawat yang Sedang Terbang, Bamby Cahyadi, Koran Tempo, 26 Juli 2009
Seandainya aku tidak terlambat pulang sekolah, mungkin aku kini tak berada di atas ketinggian 30.000 kaki. Aku melihat awan-awan kelabu tebal berarak-arak yang seolah-olah ikut menangis dari balik jendela pesawat terbang ini. Aku kembali mengusap air mataku yang jatuh membasahi pipi dengan selembar tisu.
Kulihat ibuku memandang kosong ke arah jendela yang lain di sisinya. Matanya sembab, air matanya mungkin sudah kering sejak tadi pagi. Kakakku tertidur di bangku pesawat di samping ibu. Nyenyak sekali tidurnya, paling tidak ia bisa melupakan sejenak kesedihan yang tadi malam tiba-tiba merenggut kebahagiaan kami sebagai keluarga.
Tanah Lalu, Yetti A. KA, Suara Merdeka, 3 Agustus 2008
BUNYI tapak kaki saling tubruk, retak, berpentalan di udara. Kesiur angin merebahkan gumpalan-gumpalan daun. Orang-orang serupa bayang makin bergegas. Napas mereka terdengar kasar. Seakan-akan mereka tengah dikejar waktu menuju arena perburuan. Setelah sepertiga malam terdengar letusan senapan tepat di bawah pohon merambung, tempat biasa kijang-kijang menghabiskan sisa malam.
Tidak jauh dari tempat perburuan itu, aroma pagi segera menguar dari bidang-bidang sawah yang mengering, bercampur baur dengan anyir yang semakin tajam. Orang-orang bersorak. Sebuah kampung tengah mempersiapkan pesta kecil.
Kunti tak Berhenti Berlari, Berto Tukan, Batam Pos, 12 Juli 2009
Angin berhembus kencang menerpa rerumputan. Bunga-bunga ilalang putih sebesar kuku ibu jari kaki beterbangan menutupi jalan setapak. Matahari jam 12 siang menampakkan diri begitu sempurnanya. Belalang hijau satu-dua ekor terlihat menantang angin di pucuk-pucuk ilalang. Alam begitu tenang.
Kunti berjalan di jalan setapak itu. Bunga-bunga ilalang memenuhi setapak perlahan-lahan menepi ke kiri-kanannya. Mereka memberi tempat bagi kaki Kunti yang hitam tanah dan pecah kulitnya leluasa melangkah.
Batubujang, Benny Arnas, Singgalang Padang, 1 Juni 2008
ANAS benar-benar tak habis pikir bagaimana penduduk menjadi sebegitu bodohnya. Menyemen parit dengan batamerah, bahkan sebagian lebih gawat lagi, ada yang menggunakan batako.
Alamak jan, layak tak berotak apa yang berlaku di muka Anas. Apa kiranya yang telah membuat pikiran mereka tiada menimbang banyak dampak yang mungkin sekali timbul dari tindakan yang tak beralibi itu. Takkah mereka tahu kalau batamerah lebih banyak menguras rupiah daripada batubujang? Takkah jua mereka berpikir bahwa semakin berbilang masa, batamerah itu lebih mudah digerus air, walaupun orang-orang itu telah bertahan dengan rupa-rupa alasan yang terkesan terlalu dibuat-buat: bahwa batamerah akan dilapisi semen? Tetap, batubujang 1 lebih baik dibandingkan batamerah itu. Batin Anas memuncak, meredam lenguh durja.
Hahaha… penasaran khan? Mari beli bukunya.***
Jakarta, 19 Desember 2009
Selasa, 08 Desember 2009
Antologi BOB MARLEY dan 11 Cerpen Pilihan sriti.com
Langganan:
Postingan (Atom)