Selasa, 14 September 2010

BONEKA (Dimuat di Suara Pembaruan, 1 Agustus 2010)

BONEKA
Oleh : Bamby Cahyadi


Hari ketujuh setelah kematian Riri, putriku. Dan, beginilah pekerjaanku setiap petang. Menutup jendela kamar Riri dan menutup pintunya rapat-rapat. Lalu aku menuju beranda.

Di luar rumah bulan purnama telah menyembul di langit malam. Baris-baris cahaya samar-samar terpantul di lantai beranda rumah kami. Istriku sedang duduk termenung di kursi teras, sambil memeluk boneka kesayangan Riri. Begitulah pekerjaannya tiap petang. Lantas aku bergabung dengannya, duduk-duduk melamun mengenang Riri, sambil berlinang-linang air mata, aku pun menangis bersama istriku. Hingga rasa kantuk datang menyerang kami. Hingga malam benar-benar pekat dan mengajak kami tidur lelap.

Terkadang aku bermimpi bertemu Riri. Tapi putriku itu tak bisa kudekati, setiap aku lari mendekatinya, maka terbentang jarak yang semakin lebar menganga. Ia terus menjauh. Aku melihat Riri seperti daun-daun kering yang ditiup angin kemarau, hingga jauh terbang ke angkasa. Tak bisa kuraih, tak bisa kugapai. Riri hilang ditelan awan-awan.

Apabila aku tak bermimpi bertemu Riri, maka istriku yang bermimpi. Pernah istriku bercerita ia bertemu Riri di sebuah gedung tua. Dalam mimpinya ia hanya bisa memandang Riri penuh kerinduan lewat jendela tinggi yang terbuka, setiap istriku berniat memanjat jendela itu agar bisa mendekati Riri, maka jendela itu semakin meninggi. Hingga istriku hanya melihat Riri sebagai titik kecil yang bergerak-gerak dan semakin menjauh. Dan seperti aku, istriku terbangun dengan napas tersengal, lalu ia terisak-isak. Cuma itu yang bisa ia lakukan. Untuk tidur kembali, istriku memeluk boneka kesayangan Riri.

Sebelum meninggal, Riri sempat merajuk agar boneka kesayangannya diperbaiki. Boneka kesayangan Riri adalah sebuah boneka bayi. Boneka bayi itu sangat lucu, apabila perutnya ditekan satu kali mengeluarkan kata “Papa,” dua kali berkata ”Mama.” Dan, apabila posisinya ditidurkan, mata boneka itu akan terpejam. Boneka itu terbuat dari plastik seperti boneka Barbie pada umumnya tetapi ukurannya cukup besar sehingga menyerupai bayi sesungguhnya.

Boneka bayi itu tubuhnya dibalut bahan velboa, bahan dengan bulu-bulu pendek dan halus serta lembut di tangan. Tentu saja Riri sangat menyukainya. Boneka bayi itu kubeli saat aku mengikuti sebuah seminar internasional di Tokyo, kala itu Riri berusia lima tahun.

Ah, aku tak tahu kenapa boneka itu rusak. Mungkin karena boneka itu sudah cukup lama dan tua. Saat ini saja Riri sudah beranjak remaja, bulan depan, seharusnya ia genap berusia duabelas.

“Pa, mata boneka Dede udah gak bisa nutup,” begitu kata Riri sambil menyorong boneka bayinya kepadaku.

“Coba Papa lihat,” kataku sambil memegang boneka itu.

Boneka itu lalu aku baringkan di atas meja. Ya, benar. Mata boneka bayi itu tak terpejam. Mata bulat boneka itu terus terbelalak.

“Tuh kan, Pa. Ayo dong dibenerin!” rajuk Riri.

“Papa belikan yang baru saja ya?” usulku.

“Gak mau! Riri pengen boneka Dede itu dibenerin. Kasihan Dede gak tidur-tidur,” katanya sambil cemberut. Aku hanya tersenyum melihat ulah Riri. Padahal ia bukan lagi anak kecil. Boneka bayi itu sejak lama dinamai Dede olehnya. Kukira sejak boneka itu ia terima sebagai buahtangan dari Jepang, boneka Dede itu menjadi teman bermain dan teman tidurnya.

“Dibenerin di mana Ri?” tanyaku.

“Di rumah sakit dong!” jawabnya ketus.

Tentu saja aku terkekeh mendengar jawaban Riri seperti itu. Riri mengambil bonekanya dari atas meja, dan ia berlari ke kamar mengurung diri. Istriku hanya tersenyam-senyum menyaksikan adegan itu. Lantas ia menyusul Riri yang masuk ke kamar. Pasti istriku akan membujuknya, agar Riri tidak ngambek berkepanjangan.

***
Kebiasaan membeli boneka telah kulakukan di awal-awal tahun kami menikah. Apalagi saat itu istriku belum juga hamil setelah kami menikah lebih dua tahun.

Aku ingat, boneka pertama yang kubeli adalah boneka Micky Mouse. Saat itu, aku harus bertemu dengan seorang klien di Los Angeles, Amerika Serikat. Sambil menunggu waktu pertemuan dengan klien, aku sempatkan diri untuk menyambangi Disneyland di California.

Boneka Micky Mouse begitu menggodaku. Maka iseng-iseng kubeli sebagai hadiah untuk Kinar, istriku. Pasti ia senang. Aku bayangkan Kinar akan memeluk boneka itu dengan gemas.

Dan, benar saja. Saat aku berikan boneka itu pada Kinar, matanya berbinar-binar. Ia memeluk boneka Micky itu sambil dielus-elusnya penuh kasih sayang. Sebenarnya ada rasa sesal membeli boneka itu jauh-jauh di Amerika, karena, pada saat Kinar mengelus-elus boneka itu, tanpa sengaja ia melihat label kecil yang tersembul di antara paha Micky. Pada label itu tertulis “Made in Indonesia.”

Tentu saja kami berdua tertawa-tawa menyadari ketololanku. Jauh-jauh beli boneka di Disneyland Amerika Serikat, boneka itu berasal dari Indonesia juga. Namun, sebulan kemudian kami tertawa bahagia, karena Kinar hamil.

Sebenarnya aku berharap anakku laki-laki. Aku bayangkan putraku tampak gagah menunggangi sepeda gunung yang biasa kupakai menjelajahi bukit-bukit di daerah Sentul sana.

Tapi toh, aku menerima dengan lapang dada, ketika kutahu anakku perempuan. Apa bedanya? Laki-laki atau perempuan, sama saja. Lagi pula, boneka-boneka yang kami beli jumlah cukup banyak. Sehingga kami tak perlu lagi membeli boneka baru untuk anak kami saat ia lahir kelak.

Maka saat Riri lahir, telah tersedia beragam boneka. Mulai dari boneka Teddy Bear hingga Micky Mouse. Dan boneka-boneka lainnya seperti Hello Kitty, Snoopy, Twitty, Winnie the Pooh dan Barbie. Tampaknya Riri sangat suka dengan semua boneka koleksinya itu. Hingga akhirnya ia memutuskan memilih satu boneka favorit, yaitu boneka bayi yang kubeli di Tokyo.

Riri memanggilnya boneka itu Dede. Apakah ia sangat ingin mempunyai seorang adik? Padahal istriku tak boleh lagi hamil karena ada masalah pada rahimnya. Tapi apakah Riri mau tahu, bahwa ibunya telah disteril. Karena Riri tak kunjung mendapatkan seorang adik, semakin sayang ia pada boneka bayinya itu.

Hingga boneka itu rusak dan ia merajuk meminta aku memperbaikinya. Tapi, belum sempat boneka itu kuperbaiki Riri meninggal dunia karena sakit.

Betapa hancur hati kami. Serpihan-serpihan hati kami yang hancur mungkin sampai ke langit ketujuh. Kepingnya tertinggal di sana, bersama Riri. Ya, kami terlambat menyelamatkan nyawa Riri dari serangan kanker otak. Betapa benci kami pada diri kami sendiri. Sia-sia uang dan harta yang kami miliki. Uang bagi kami, kini hanya selembar kertas tanpa arti. Mungkin kah Riri benci juga pada kami?

***

Aku mendongak menatap langit malam dan melihat bulan. Bulan purnama sempurna melayang di atas pucuk-pucuk pohon. Diam-diam cahaya bulan memudar, pendarnya meredup tertutup tipisnya awan-awan hitam. Awan tipis semakin menebal. Terdengar suara halilintar di langit. Hujan pun turun tak lama setelah itu.

Malam keempatpuluh sejak kematian Riri, keadaan tak berubah. Kami malah makin tenggelam dalam lubang kesedihan yang paling dalam. Selain rutinitas bekerja sepanjang hari. Maka sepanjang malam, aku dan Kinar hanya duduk-duduk melamun mengenang Riri di teras rumah.

Istriku memeluk boneka bayi kesayangan Riri sambil berurai air mata. Kesedihan kami ini bukan tanpa alasan. Betapa kami tak pernah bisa mendekati Riri dan memeluknya dalam mimpi sekalipun. Setidaknya, apabila kami bermimpi dan bertemu dengan putri kami itu, ingin rasanya memeluknya. Bercanda-canda dengannya atau menghadiahkan sebuah boneka baru untuknya. Tapi kenapa Riri tak bisa kami dekati, apalagi kami dekap. Meskipun hanya dalam mimpi.

Ya, betapa sulitnya kami menghapus kenangan bersama Riri. Tak semudah dan sesederhana menghapus tulisan dari papan tulis. Riri putri kami satu-satunya, cantik, lucu dan ia adalah matahari bagi kehangatan keluarga kami.

Kini tak ada lagi kebahagiaan dalam rumah besar ini. Tak ada lagi berisik suara Riri ketika akan berangkat ke sekolah sebelum sarapan, atau saat ia menyambut kami pulang kerja di senja hari. Suara berisik Riri itu mampu menghilangkan kepenatan kerja kami. Oh, betapa hampa hidup kami ini tanpa dirinya.

Hujan kelabu terus menitik turun menyiram malam, awan tebal bergulung-gulung di udara dan mewarnai langit, saat itulah kami berdua tertidur di sofa ruang tamu.

***
“Papa, Mama….!” Suara Riri samar terdengar.

Dengan cepat dan tercengang-cengang, aku dan istriku terbangun dari tidur. Kami bangkit dengan badan gemetar. Suara Riri yang memanggil-manggil kami walau lamat-lamat namun jelas terdengar. Kami ragu, apakah ini mimpi atau nyata.

“Papa, Mama, ke sini!”

Suara Riri terdengar lirih dari luar. Kami lalu berlari dan membuka pintu rumah. Hujan telah berhenti mengguyur tanah. Bulan belum sepenuhnya bulat, dalam temaram cahaya bulan kami mengikuti arah suara Riri memanggil.

Sampai di pekarangan rumah, halaman rumah dan sekelilingnya tiba-tiba mengabur. Aku dan Kinar berpelukan, napas kami tercekat di kerongkongan. Sejenak kami tak bergerak. Waktu berjalan sangat lambat dalam gelap.

“Papa, Mama, Riri di sini.” Suara Riri membuyarkan kegelapan yang menyelimuti tanah kami berpijak.

“Riri, kamu di mana sayang?” Aku mulai cemas. Aku mengedar pandangan. Kenapa kami sudah berada di ruangan besar ini? Apakah ini hanya imajinasiku dan Kinar yang datang bersamaan. Apakah kami berada di dimensi mimpi yang sama? Aku benar-benar tak ambil peduli. Yang penting, kami bertemu Riri.

“Mas, aku pernah datang ke gedung tua ini,” ujar Kinar dengan bibir bergetar. Ya, Kinar pernah ke sini. Ia datang di tempat ini dalam mimpinya.

“Lihat ada cahaya di ujung sana!” seruku. Aku dan Kinar setengah berlari menuju ujung lorong itu. Sungguh kami melihat pemandangan yang menakjubkan di situ. Di lorong itu penuh dengan berbagai macam boneka.

Sosok-sosok boneka itu terbaring tak berdaya di lantai lorong. Dari tubuh boneka-boneka itu keluar pendar cahaya yang redup. Seperti bola lampu yang kehilangan pijar cahaya. Ada boneka yang tanpa lengan, kaki dan bahkan, kepala. Mereka memang tak bernyawa, namun denyut hidup terasa di lorong itu. Begitu bergetar.

Aku dan Kinar terpukau. Tiba-tiba aku ingat boneka Dede, boneka bayi kesayangan Riri yang rusak. Perasaan sedih menyeruak dari rongga dada, ah kenapa aku tak segera memperbaiki boneka bayi kesayangan Riri itu.

“Papa, Mama!”

Suara Riri terdengar lagi memanggil kami. Suara itu begitu jelas. Sepertinya sosok Riri berada tepat di depan kami.

Tapi, suara itu bukan dari mulut mungil Riri yang kami rindukan. Suara itu berasal dari mulut boneka bayi kesayangan Riri yang tergolek di lantai. Mata bulat boneka bayi yang tak bisa terpejam itu berkaca-kaca. Air matanya meleleh melewati pipinya yang montok.

Dari kedalaman bola mata boneka bayi yang basah itu, kami melihat Riri sedang bermain gembira bersama para bidadari, di surga. Riri melambai-lambaikan tangannya pada kami, seperti daun-daun yang tertiup kesiur angin. Tangannya terus melambai-lambai, hingga pandangan kami mengabur. Kukira kami terlelap lagi dalam tidur sampai pagi.***

Jakarta, 6 Maret 2010

Senin, 26 Juli 2010

Mahadi dan Teh Manis Hangat (Pikiran Rakyat, 25 Juli 2010)

Kerap tanpa disadari olehnya, Mahadi selalu merasa miskin. Miskin untuk ukuran Mahadi, tidak punya uang. Kalau ingin membeli sesuatu harus utang dulu sana-sini. Termasuk membeli kebutuhan hidup untuk anak dan istrinya. Padahal, ia bukanlah pengangguran. Mahadi seorang pegawai honorer di Kantor Pemda.

Memang, jabatannya tergolong rendah. Hanya semacam tukang antar surat dan pesuruh yang bertugas melakukan pekerjaan serabutan di kantor pemerintahan itu. Seperti menyapu lantai lantas mengepelnya. Menyapu halaman kantor dan merawat tanamannya. Mengganti lampu yang mati. Membetulkan genteng yang bocor dan pekerjaan-pekerjaan rendahan lainnya. Ya, uang gajinya memang sangat kecil, meski sudah memenuhi syarat upah minimum provinsi setelah dipotong kas bon sana-sini.

Dari hasil kerja serabutan di kantor, Mahadi terkadang mendapat uang tip dari atasannya atau orang yang menyuruhnya. Lumayan, seribu-duaribu perak, sangat cukup untuk menyambung hidupnya selama sehari. Karena, gajinya yang kecil itu, sudah diserahkan semua kepada istrinya setiap tanggal gajian. Tak ada sisa untuknya, kecuali untuk transportasi. Mahadi maklum, karena kelima anaknya lebih penting dari dirinya.

Mahadi yang miskin. Begitulah, yang kerap ia ucapkan pada dirinya sendiri.

“Betapa sulit hidup di negeri yang harga sembakonya selalu melambung tinggi,” gerutu Mahadi, sambil mengambil sapu lidi besar bergagang panjang dan segera menyapu pekarangan kantor kabupaten. Ia sering membayangkan dirinya menjadi orang kaya. Seperti Pak Bupati, misalnya.

Betapa senangnya menjadi orang kaya. Punya banyak uang, mau beli ini-itu tinggal merogoh kocek lalu keinginan dan kebutuhan terpenuhi. Mahadi tersenyum-senyum sendiri membayangkan dirinya punya banyak duit, sembari dengan terampil tangannya memegang tangkai sapu lidi menyapu halaman kantor yang kotor. Dengan telaten ia terus menyapu sampah-sampah dan dedaunan kering yang mengotori halaman kantor.

Begitulah Mahadi, walaupun hidup terasa begitu sulit dengan beban ekonomi yang menghimpit akibat kekurangan uang, ia tetap bekerja giat tanpa terlihat bermalas-malasan. Mahadi tidak seperti lulusan sekolah menengah umum zaman sekarang, yang tak sudi bekerja keras, hanya karena upah yang diterimanya tak bisa membeli pulsa handphone.

“Seandainya daun-daun kering itu berubah menjadi lembaran uang. Ah, betapa nikmatnya hidup ini,” batin Mahadi berkhayal.

Mahadi lalu memunguti daun-daun kering itu satu per satu dengan sangat cermat. Lalu daun-daun itu dimasukkannya ke dalam kantong sampah.

“Tentu sampai kiamat pun daun-daun itu tak akan pernah menjadi duit!” umpatnya, lalu ia tersenyum kecut. Halaman kantor pun kini bersih.

“Mahadi…!”

Seseorang memanggil namanya dengan suara keras. Mahadi menoleh ke belakang. Rupanya Jasmer, Kepala Unit Satpol PP Kantor Bupati yang memanggilnya. Dengan sopan Mahadi menyahut panggilan itu.

“Iya, saya Pak Jasmer. Ada apa?” jawab Mahadi, seraya berjalan mendekati Jasmer dengan sedikit membungkuk. Mahadi memang sangat sopan kepada semua orang.

“Tolong buatkan aku kopi,” kata Jasmer. “Nanti kopinya langsung bawa saja ke ruanganku,” lanjut Jasmer meninggalkan Mahadi sambil melangkah ke dalam ruangan kantornya.

“Segera laksanakan, Pak!” ujar Mahadi sigap. Ya, salah satu job description Mahadi adalah membuatkan kopi atau membelikan makanan untuk pegawai-pegawai dan atasannya. Tugas yang mirip office boy di kantor-kantor swasta.

Tak berselang lama Mahadi telah selesai membuat segelas kopi panas. Setelah itu, ia bergegas menuju ruang Jasmer yang tidak terkunci. Jasmer sedang menerima telepon, wajah Kepala Satpol PP itu tampak tegang.

“Gawat!” Itu kalimat yang terdengar oleh Mahadi saat ia menyeruak masuk ke ruang Jasmer. Jasmer lalu meletakkan gagang telepon. Wajahnya kini tampak gusar.

“Pak Jasmer, kopinya sudah siap… Silakan,” kata Mahadi meletakkan segelas kopi panas di meja Jasmer. Ia lalu mohon pamit pada Jasmer yang tak menjawab basa-basinya. Mahadi sangat maklum dengan Jasmer, karena ia adalah satu-satunya Kepala Unit yang tak pernah memberikan uang tip kepadanya. Akan tetapi sebelum Mahadi mencapai daun pintu, Jasmer memanggilnya.

“Hmm, apakah Pak Jasmer akan memberiku tip?” tanyanya dalam hati.

“Mahadi…! Sini dulu,” panggil Jasmer, suaranya tidak sekeras ketika memanggilnya tadi. Cukup lembut dan penuh maksud. Mahadi berpaling ke arah Jasmer.

“Ada apa Pak?” tanya Mahadi, sopan.

“Begini…,” ragu-ragu Jasmer mengutarakan maksudnya. “Enggg, sudahlah! Nanti saja, enggak jadi!” kata Jasmer sambil mempersilakan Mahadi untuk keluar ruangannya dengan mengibaskan tangan. Mahadi tak banyak menyahut, lelaki itu keluar dengan patuh. Ada semacam perasaan dongkol, tapi langsung ditepisnya jauh-jauh. Jasmer tak memberikan tip itu sudah biasa. Namun Mahadi bertanya-tanya, kenapa tiba-tiba Jasmer memanggilnya dan kemudian tak jadi mengungkapkan sesuatu? Lalu ia pun berpikir, situasi gawat macam apa yang sedang melanda Jasmer.

“Ah, ada apa dengan Pak Jasmer? Seperti orang ragu-ragu dan apa pula yang gawat?” batin Mahadi, lalu ia menggeleng-geleng kepalanya tanda tak mengerti. Adalah sebuah pilihan yang tepat untuk tidak mencampuri urusan orang lain. Toh, kalaupun namanya sempat dipanggil untuk sesuatu hal, belum tentu hal itu berlaku bagi dirinya. Mahadi kemudian menuju ruangannya yang terletak di belakang kantor.

Belum sempat sampai ke ruangannya. Ia mendengar namanya dipanggil. Kali ini yang memanggilnya, Rustam, supir pribadi Bupati.

Bapak Bupati memang aneh, padahal selaku Kepala Daerah, ada beberapa supir yang disediakan oleh Pemda, tetapi Pak Bupati selalu mempercayai mobilnya disupiri oleh Rustam. Walaupun begitu, Rustam tidak serta-merta menjadi PNS. Menurut informasi, Rustam digaji langsung oleh Bupati. Gaji Rustam bukan dari kas Pemda. Lagi pula sebelum jadi Bupati, Karyadi Khasnawan–nama lengkap Bupati–sudah jadi pengusaha yang sukses. Sehingga supir-supir resmi Bupati, akhirnya sering makan gaji buta, mereka banyak nganggurnya. Paling-paling sesekali menyupiri staf-staf Pemda yang mau belanja atau jalan-jalan ke mal.

Rustam kembali memanggil Mahadi. Dikiranya Mahadi tidak mendengar panggilannya yang pertama.

“Ada apa Pak Rustam?”

“Gawat!”

“Gawat apa Pak? Tadi juga Pak Jasmer bilang gawat saat bertelepon.”

“Begini, tadi Pak Bupati hampir saja terbunuh?”

“Terbunuh?”

“Iya, mobil kami ada yang menyeruduk dengan sengaja. Untung Pak Bupati dan saya tak cidera, hanya mobilnya saja yang lumayan parah.”

“Diseruduk apa?”

“Truk tronton!”

“Gila!”

Oh, rupanya saat ia masuk ke ruang Jasmer, Sang Kepala Satpol PP itu menerima telepon mengenai mobil Bupati yang diseruduk truk tronton. Mahadi membuat kesimpulan sendiri atas peristiwa itu dengan kesimpulan sederhana.

***

Berita ditabraknya mobil Bupati keesokan hari mendominasi halaman depan koran-koran lokal. Menjadi berita utama. Berbagai opini, ulasan dan spekulasi membumbui berita heboh itu. Spekulasi yang bikin gerah Pemda adalah masalah perselingkuhan Karyadi.

Sudah bukan rahasia umum, Pak Bupati terlibat asmara dengan seorang perempuan pengusaha batik bernama Sintawati. Pengusaha batik itu memang tidak tinggal di ibukota kabupaten, ia menetap di Jakarta. Hanya sesekali ia datang ke kabupaten untuk melihat pabrik dan proses produksi batiknya. Dan, tentu saja bertemu diam-diam dengan Pak Bupati. Begitu juga sebaliknya, demi alasan tugas Pemda ke Jakarta, Karyadi sering menyelinap diam-diam ke kamar apartemen Sintawati.

Kemungkinan besar, Ibu Bupati yang ingin mencelakai suaminya yang berselingkuh itu. Begitulah spekulasi yang terjadi di beberapa paragraf koran-koran. Sudah lama Karyadi dan Wartina–nama istri Bupati–pisah ranjang. Namun, berita-berita tak sedap tentang kehidupan orang nomor satu di kabupaten itu tak jadi besar berkat kelihaian partai politik pendukung Karyadi yang bergerilya untuk meredam media dan para wartawannya.

Mahadi membaca koran lokal dengan saksama. Ia merasa rugi apabila tak membacanya secara detail dan tuntas. Tentu, karena berita-berita itu begitu heboh menggosipkan orang nomor satu di kabupaten ini.

”Mahadi....!”

Seseorang memanggilnya dengan lantang, siapa lagi kalau bukan Jasmer. Bergegas Mahadi menuju ruangan Jasmer.

Di ruangan itu Mahadi melihat seorang perempuan yang ia sudah sangat kenal, istri Karyadi. Ibu Bupati itu berada di ruang kantor Jasmer. Ia terlihat begitu gelisah, duduk berdiri, duduk lagi berdiri lagi. Mahadi membungkukkan badannya menghormati Wartina. Kepalanya ia tundukkan dalam-dalam, tak berani ia memandang Wartina. Mahadi tampak tegang sekali.

Wartina memang kalah cantik dibanding Sintawati, selingkuhan Pak Bupati. Wartina hanya menang di tinggi badan saja, untuk ukuran kecantikan wajah Wartina tentu biasa-biasa saja. Sintawati berparas sangat cantik.

”Bu, ini Mahadi, pesuruh di kantor ini,” Jasmer melumerkan ketegangan Mahadi dan kegelisahan Wartina.

”Oh, Pak Mahadi, saya mau minta tolong,” kata Wartina dengan suara sedikit bergetar tapi berwibawa.

”Siap, Bu!” jawab Mahadi masih menunduk.

”Kau yang membuatkan minuman untuk Bapak?”

”Betul Ibu, setiap pagi saya membuatkan teh manis hangat kesukaan Bapak.”

”Pak Mahadi, mulai saat ini tolong buatkan Bapak teh manis hangat, dengan menggunakan teh celup dari saya ini,” kata Wartina, sembari menyerahkan sekotak teh celup dengan merk yang tak asing bagi Mahadi ke tangannya.

”Ingat, harus pakai teh itu. Tidak boleh teh lain!”

”Laksanakan, Bu!”

”Sana pergi!”

”Baik, Bu! Mohon pamit.”

***

Selanjutnya Mahadi selalu menyuguhkan teh manis hangat pagi-pagi untuk Pak Bupati dengan teh celup dari Ibu Bupati setiap harinya. Hingga akhirnya Mahadi tak pernah lagi membuatkan teh manis hangat. Di suatu pagi, Pak Bupati wafat karena sakit. Sakit karena apa, entahlah.

Tentu semua warga kabupaten sangat bersedih, termasuk dirinya juga Rustam, supir pribadi Pak Bupati. Pada saat pemakamam, hadir juga Sintawati. Kedua perempuan itu saling menghujam tatap. Tatapan yang saling memendam rasa. Rasa amarah yang berkobar-kobar.

Setelah acara pemakamam selesai. Wartina menghampiri Sintawati. Seraya tersenyum penuh kemenangan. Kemenangan itu telah diraihnya melalui tangan Mahadi yang tak tahu apa-apa.

Sampai kini, Mahadi tetap bekerja di Kantor Pemda dengan segala kesederhanaan dan kemiskinannya. Hanya saja, ia tak lagi menyuguhkan teh manis hangat kepada Bupati baru pengganti Karyadi, Bupati yang telah mangkat itu. Karena Bupati yang baru, sangat suka kopi panas dengan gula setengah sendok makan saja.***


Jakarta, 29 April 2009 - 01 Mei 2010

Minggu, 13 Juni 2010

Kami Pangil Dia, Babe.

KAMI PANGGIL DIA, BABE
Oleh: Bamby Cahyadi


Kami biasa memanggilnya, Babe, karena ia sudah seperti orang tua kami. Seharusnya, kami memanggilnya kakek. Usianya kata orang-orang sudah enampuluhan. Namun, karena orang-orang memanggilnya Babe, maka kami pun ikut-ikutan saja.

Wajah dan cara berjalan Babe membuat beberapa anak kecil di lingkungan kami ketakutan. Ia memiliki wajah yang terkesan seram, hidungnya pesek dan beberapa giginya di bagian tengah telah tanggal. Saat ia tertawa yang terlihat adalah gigi taringnya, hingga ia seperti menyeringai mirip drakula. Apalagi, di dahinya penuh dengan luka parut, alias codet. Kaki kanan Babe lebih pendek dibanding kaki kirinya, sehingga ia berjalan pincang. Apabila ia berjalan, jalannya terseok-seok seperti orang yang sedang mabuk kepayang.

Tapi, bagi kami, anak-anak yang sudah cukup lama mengenalnya, Babe tidaklah seseram penampilan fisiknya. Babe sangat baik dan ramah. Ia suka memberi kami makanan ringan, permen, es krim, bahkan uang tanpa kami minta.

Ia juga sangat dermawan, walaupun ia tak mempunyai pekerjaan tetap. Babe bukan pedagang, atau pegawai. Ia, hanya memulung sampah-sampah, lalu ia jual pada penadah di pinggiran kota. Babe, juga secara rutin menyumbangkan uang hasil memulung ke masjid sempit di gang perkampungan rumah kami. Aku sempat heran, Babe selalu menyumbang uang untuk masjid, padahal ia tak pernah terlihat shalat di masjid itu atau di rumahnya sekalipun.

Kalau ditanya untuk apa ia menyumbang uang ke masjid. Katanya, untuk tabungannya kelak di akhirat. Ia, tak ambil peduli tentang omongan orang mengenai shalat.

Babe hidup seorang diri. Ia tidak mempunyai sanak saudara. Menurut cerita orang-orang, ia berasal dari sebuah desa terpencil di Sumatera. Ia merantau ke Jakarta, karena anak dan istrinya meninggal akibat penyakit malaria. Dan, ia memang selalu mengulang cerita itu kepada orang-orang atau anak-anak yang sudah mengenalnya. Termasuk kepada aku dan Hasan. Mungkin juga pada Anda.

Ia dulu punya sehektar kebun kelapa sawit. Katanya, ia hidup berkecukupan saat itu. Hanya saja, sejak wabah malaria menyerang kampungnya, dan menewaskan anak dan istrinya, ia memutuskan merantau ke Jakarta. Luka parut pada wajahnya, katanya lagi, dicakar harimau liar, saat ia tengah menggarap lahan perkebunannya. Tujuannya menetap di Jakarta, untuk melupakan kenangan atas anak dan istrinya, bukan karena faktor ekonomi semata.

Rumah Babe terletak di ujung gang dekat kali. Rumahnya saling himpit dengan rumah-rumah kumuh lainnya di pinggiran kali. Aku dan Hasan sering berkunjung ke rumahnya. Seperti pagi ini kami datang menyambanginya karena kami dengar dari anak-anak jalanan yang lain ia jatuh sakit.

Kami masuk begitu saja ke dalam rumah, tanpa mengucapkan salam, begitulah kebiasaan kami. Rumah dalam keadaan lengang. Di meja ruang tamu yang sempit, tergeletak piring dan gelas kotor dengan sisa-sisa makanan yang telah mengering dan dirubungi lalat hijau.

”Babe, Babe di mana Be?” seruku.

Tak ada jawaban. Aku dan Hasan saling pandang. Hasan mengangkat bahu. Lalu kami mengetuk pintu kamar yang terbuat dari triplek penuh tempelan stiker murahan dan poster artis Miyabi. Aku tahu namanya, karena dalam poster tersebut tertera nama perempuan setengah telanjang itu sedang mengangkang dengan celana dalam yang hampir melorot.

”Be, Babe...!” Kali ini Hasan yang memanggilnya sambil berteriak. Tidak ada jawaban dari dalam kamar.

”Ke mana Babe ya? Katanya sakit, kok nggak ada di rumah?” tanyaku pada Hasan. Lagi-lagi Hasan mengangkat bahunya, tanda tak tahu. Kebiasaan yang membuat aku sebal, karena dengan begitu Hasan seperti orang tua yang acuh tak acuh.

”Mungkin Babe berobat ke Puskesmas, Rip,” kata Hasan.

”Jadi gimana dong? Kita tunggu, atau kita datang lagi entar sore?”

”Ya, udah. Kita ke sini lagi entar sore aja. Lagian kalo kita nggak ngamen, mau makan apa kita?”

”Betul juga. Yuk, jalan!”

Kami lalu keluar rumah dan menutup pintu rumah Babe.


(males ngelanjutinnya.... bersambung tanpa pandang waktu hehehe)

Jumat, 04 Juni 2010

Kakek dan Nenek dalam Kenangan

Kakek meninggal ketika tidur di sofa sembari nonton televisi. Nenek yang tak kuat menahan rasa sedih di hatinya dan kehampaan yang begitu mendadak terjadi karena ditinggal mati kakek, meninggal sebulan kemudian. Mungkin, kakek dan nenek ditakdirkan sehidup-semati. Namun mereka tak ditakdirkan mati bersama. Ada selisih waktu sebulan persisnya.

Enak sekali cara meninggal kakek, tengah asyik nonton televisi, tertidur, lalu mati. Mungkin kakek bermimpi dulu sebelum ruhnya tak balik lagi ke jasadnya. Atau, malaikat maut dengan sengaja menahan ruhnya di alam mimpi. Siapa tahu mereka tak sengaja berpapasan di alam mimpi, lalu malaikat maut mengajak kakek minum kopi dan merokok. Jadi menurutku kakek tak pernah merasakan kematiannya. Baginya, mati hanya sekadar tidur dan mimpi panjang tak berakhir. Tapi apakah memang begitu? Aku tak tahu persis.

Kasihan nenek, ia begitu sedih, setiap hari kerjanya hanya menangis dan menangis. Ia berhenti meratap, saat ia tertidur. Dalam tidurnya pun, kupastikan nenek menangis. Pantaslah kukira, nenek menangis saban hari, ia hidup bersama kakek cukup lama. Hitungannya bukan belasan tahun, tapi sudah puluhan tahun. Maka sangat wajar apabila nenek lalu sakit karena sedih, dan kemudian menyusul kakek ke alam baka.

Tapi nenek merasakan sakit dulu sebelum mati. Betapa menderita sakit sebelum mati, bukan kah begitu? Mudah-mudahan kakek dan nenek bisa bertemu di alam kematian mereka. Dan melanjutkan kehidupan mereka yang sempat terpisah sebulan serta menyelesaikan hal-hal yang sempat tertunda di dunia fana. Pasti kakek senang menyambut nenek. Kubayangkan mereka berpelukan seperti pose mereka di foto besar hitam-putih berbingkai kayu ukiran Jepara yang bertengger di kamar.

Begitulah kisah meninggalnya kakek dan nenekku. Kenangan ketika mereka meninggal tiba-tiba tumbuh kembali dalam ingatanku. Itu terjadi karena aku tertidur siang-siang. Walaupun tidurku sebentar, tapi aku sempat bermimpi. Mimpi bertemu kakek dan nenek di rumah mereka.

***

Kakek menyulut sebatang rokok kretek, ketika aku baru saja sampai di teras rumah. Secangkir kopi masih mengepulkan asap tergeletak di atas meja. Tanpa permisi, aku mengambil sebatang rokok dari kotaknya. Kakek hanya mengangguk ketika aku menatapnya. Aku menyulut rokok dan mengisapnya sekali. Lantas berkali-kali.

Tak ada percakapan, kami larut dalam isapan demi isapan rokok. Sesekali ia menyeruput kopinya. Sebenarnya ingin sekali aku menyerobot menyeruput kopinya, paling tidak menghilangkan rasa dingin yang ganjil yang menelusup dalam tulang-tulangku.

Ya, hawa dingin yang ganjil. Bukan kah ini di alam mimpi? Walaupun jelas, aku berada di ruang tamu rumah kakek dan nenek. Aku menyulut sebatang rokok lagi. Kakek belum membuka percakapan, aku pun malas memulai percakapan. Lagi pula, percakapan di alam mimpi akan menjadi bualan omong kosong yang sia-sia belaka. Aku pelupa. Pasti aku akan lupa tentang mimpiku apalagi obrolan yang terjadi di dalamnya. Ibarat membaca novel, tentu tak semua dialog-dialog dalam novel tersebut akan kita ingat baik-baik.

Seperti itulah aku, aku tak pernah mengingat-ingat perihal mimpi yang terjadi saat aku tidur. Saat terbangun dari tidur, aku tak pernah menyadari aku bermimpi saat tertidur. Kedengarannya sangat menyedihkan, hidup dan tertidur, tapi tanpa ingatan mimpi yang bisa dikenang.


(belum tamat)

Selasa, 11 Mei 2010

Aku Tidak Sehebat Kartini [Jurnal Bogor Cerpen]

Aku Tidak Sehebat Kartini
Oleh : Bamby Cahyadi



PIRING DAN GELAS KOTOR di dapur sudah menumpuk tinggi. Baru saja keluarga besarku mengadakan pesta pertunangan putriku, Bianka. Saat ini, pembantuku sedang menumpuk karpet yang kami pinjam dari musholla. Rasanya lelah sekali. Aku bayangkan bagaimana kalau Bianka menikah kelak. Pasti lebih repot, lebih lelah. Aku harus mempertimbangkan untuk menyewa gedung pertemuan kelurahan saja untuk acara pernikahan putriku nanti.

Calon mantuku, sesuai harapanku. Seorang sarjana dan memiliki pekerjaan tetap. Kalaupun ada beberapa kriteria yang tidak sesuai dengan harapanku, itu tak masalah. Lalu, aku bandingkan dengan almarhum suamiku, Kang Muslih. ”Ah, kalau saja Kang Muslih masih hidup, pasti ia akan menilai lalu membandingkan juga calon mantuku itu dengan dirinya,” batinku.

Ya, Kang Muslih selalu menginginkan anak lelakinya menjadi seperti dirinya. Persis sama dengan dirinya. Aku jadi ingat, semasa hidupnya, ia selalu mengharapkan anak tertuaku menjadi seperti dirinya, karena ia anak laki-laki. Demikian juga anak keduaku, karena ia pun anak laki-laki. ”Laki-laki itu harus sepertiku,” kata Kang Muslih.

Saat itu, Bara, anak tertuaku yang baru saja berusia 17 tahun, pulang ke rumah dengan wajah bersimbah darah karena terlibat tawuran masal dengan pelajar sekolah lain, musuh abadi sekolahnya.

Keesokan harinya, sebelum berangkat sekolah, Bara yang masih lebam akibat tawuran dibekali dengan sepucuk pistol. ”Jika masih ada yang berani menghajar kamu, tembak saja!” Kata kang Muslih waktu itu sambil menyodorkan pistol. ”Kamu itu laki-laki,” katanya lagi, sambil melangkah ke mobil dinasnya. Alih-alih membawa pistol ke sekolah, Bara malah menyerahkan pistol itu kepadaku. ”Aku bisa mengatasi masalahku tanpa harus menggunakan pistol ini,” kata Bara.

Tak dinyana, peristiwa itu merupakan kenangan terakhir suamiku kepada putra pertamanya, Bara. Ia gugur ketika sedang bertugas memimpin operasi militer di Timor-Timur. Sebagai komandan, suamiku sangat dihormati dan disegani oleh anak buahnya. Sebagai kepala rumah tangga, suamiku sangat dicintai dan dikagumi oleh anak istrinya. Demikianlah, suamiku tidak bisa menyaksikan Bara merayakan kelulusannya di sebuah SMA favorit. Kini, Bara tinggal dan bekerja di Jakarta. Hidup bahagia dengan seorang istri cantik dan dua anak. Bara tidak memiliki satu pun sifat dan watak ayahnya.

Brama, anak keduaku, mewarisi sifat dan watak ayahnya. Ia disiplin dan keras. Ketika suamiku gugur, Brama baru saja lulus SMP. Tamat SMA, atas bantuan rekan sejawat suamiku, Brama diterima sebagai Taruna Akademi Militer di Magelang. Karir dan prestasi belajar Brama sangat menonjol. Ia menjadi salah satu lulusan terbaik Akmil Magelang. Brama belum menikah. Sekarang ia bertugas di Nepal, bergabung dengan pasukan perdamaian PBB di bawah bendera Kontingen Garuda. Hanya ada satu yang membedakan Brama dengan ayahnya, Brama lebih pintar.

Aku menghela nafas. Mengenang suamiku membuat hatiku selalu teriris dan sedih. Setiap kali membuka kitab ingatan, air mata selalu berdesakan berlomba keluar dari kelopak mataku. Betapa tidak, aku dan anak-anakku tidak pernah melihat jenazah Kang Muslih. Kabarnya, tubuhnya hancur diberondong peluru tentara Fretelin dan ledakan granat yang sedang dipegangnya. Padahal, aku sangat ingin melihat jenazahnya. Melihat untuk yang terakhir kalinya. Memberi kecupan selamat jalan di keningnya. Dan menuturkan gigil doa di pelupuk matanya. Tapi peraturan militer tidak membolehkan aku dan anak-anakku melakukan hal-hal itu. Aku hanya bisa melihat peti jenazah suamiku yang tertutup bendera merah putih, sebelum dimasukkan ke liang lahat di Taman Makam Pahlawan Seroja Timor-Timur.

”Kang, Bianka sudah tunangan. Seandainya Akang masih ada di sini, pasti aku tidak secapek dan selelah ini.” Miris. Sedih. Dan mataku tak mau lepas dari sosok pada sebuah pigura, foto seorang laki-laki gagah dengan seragam militer. Tanpa terasa air mataku mengalir. Tetes demi tetes. ”Sudah dua kali aku menangis hari ini, Kang.”

“Bu, kok Ibu menangis lagi?”

Tiba-tiba suara Bianka mengagetkan aku. Lamunanku buyar.

“Ibu ingat ayahmu Bian,” jawabku singkat.

Aku tidak mau merusak kebahagiaan anak bungsuku, Bianka, yang baru saja bertunangan. Bianka kemudian merangkulku, dia ikut menangis tersedu-sedu. Akhirnya kami berdua sama-sama menangis. Melampiaskan seluruh rasa haru, rasa sedih, dan rasa bahagia.

Aku segera menyusut air mata. Menyekanya dengan punggung tangan. Aku tidak boleh terus bersedih. Jika pun harus ada air mata, maka yang pantas adalah air mata bahagia. Apalagi, sepanjang prosesi pertunangan tadi, Bianka tampak sangat bahagia. Dia banyak tersenyum, sumringah. Sesekali pipinya memerah mendengar senda gurau teman-temannya tentang misteri malam pertama, khususnya tentang rahasia hubungan badan suami-istri.

Aku memeluk Bianka sangat erat.

Aku biarkan tangisnya tumpah di dadaku. Saat ini, seperti aku, Bianka juga pasti sangat merindukan kehadiran bapaknya. Betapa bangga dan bahagianya acara tukar cincin tadi, jika disaksikan oleh Kang Muslih.

Selain itu, aku juga sedih karena harus mempersiapkan diri untuk ditinggalkan olehnya. Perasaanku sekarang berbeda sekali saat aku melepas Bara untuk menikahi Rindri. Sangat beda. Dulu, ketika Bara pergi, aku masih bisa tenang karena masih ada Bianka yang menemaniku di rumah ini. Tapi sekarang, aku bakal sendirian. Tak ada lagi yang menemani aku, selain kenangan.

Aku pasti akan kesepian, pasti. Karena setelah menikah nanti, Bianka akan diboyong oleh Harry, calon mantuku itu, ke Pekanbaru. Harry bekerja sebagai Manajer di sebuah perusahaan pengolahan kayu internasional. Bianka pun sepertinya akan bekerja di sebuah perusahaan kayu lokal. Aku tahu, dia tidak akan menyia-nyiakan gelar sarjana kehutanannya setelah dengan susah payah dia menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Kehutanan IPB. Sebuah jurusan yang sangat cocok dengan jiwa petualangnya. Aku bersyukur sekali dia menikah, karena mengurangi bebanku sebagai ibu seorang anak perempuan.

Tapi, dibalik rasa bahagia, menelusup nyeri. Sebentar lagi aku akan hidup sendiri.

***
Acara pernikahan Bianka berlangsung lancar. Meriah. Sanak-famili, handai-taulan, dan karib-kerabat, semuanya tumpah-ruah. Sangat meriah. Rasa capek dan lelahku berlalu sudah.

Dan, seperti yang aku takutkan, aku benar-benar sendirian. Tak ada siapa-siapa. Aku benar-benar sendiri. Kesendirian yang selalu memaksa aku membuka kitab-kitab kenangan. Siapa yang bisa bertahan dari gempuran keindahan masa lalu, ketika dia bersunyi sendiri? Tidak ada. Aku yakin tidak ada. Paling hanya bisa memalingkan sekejap ingatan dari kenangan dengan melakukan kegiatan ringan, seperti membaca, menulis, merawat tanaman. Sesudah itu, kenangan kembali akan merajalela.

Untung saja, sekarang aku punya mainan baru, sebuah laptop pemberian Bara. Suatu hari, sebagai rasa syukur atas kelulusan Magisternya, Bara menghadiahkan sebuah laptop. ”Bu, aku belikan laptop untuk Ibu, supaya ibu kalau mau menulis surat tidak perlu pinjam mesin ketik kelurahan,” ujar Bara serius, waktu itu. Ia pun mengajari aku bagaimana caranya menggunakan komputer jinjing itu. Aku sangat bahagia.

Hari-hari kini aku lalui dengan banyak menulis dan membaca e-mail dari Brama yang masih di Nepal. Terakhir membaca berita dari Brama ketika ia bercerita tentang temannya yang gugur akibat kecelakaan helikopter. Berita itu lalu aku ikuti di media cetak nasional. Laptop ini sekarang menjadi teman paling setiaku.

Lagi-lagi aku jadi teringat Kang Muslih.

Sungguh berat sekali rasanya membesarkan Bara, Brama, dan Bianka seorang diri. Aku bahkan sering digunjingkan oleh tetangga setiap anakku meraih kesuksesan. ”Pasti dia menjadi istri simpanan seorang Jenderal.” Begitu omongan ibu-ibu perumahan yang suka bergosip ketika Bara bisa masuk kuliah di sebuah perguruan tinggi ternama di kota Bandung. Padahal, belum genap tiga bulan aku melepas kepergian Kang Muslih untuk selama-lamanya. Aku tidak peduli.

Tetanggaku, bahkan anak-anakku sendiri, tidak tahu dari mana dan bagaimana aku bisa mendapatkan biaya hidup dan biaya kuliah. Aku hanya berpesan agar mereka selalu bersemangat belajar dan menanamkan keinginan kuat menjadi orang sukses. ”Tugas kalian hanya belajar, tidak perlu memikirkan dari mana ibu mendapatkan uang untuk biaya sekolah kalian,” kataku suatu hari ketika Brama memutuskan untuk bekerja selepas lulus SMA.

Ada satu hal yang sampai saat ini anak-anakku tidak tahu dari mana sumber keuangan untuk menghidupi dan membiayai kuliah mereka. Kejadian itu sangat berarti dalam diriku dan aku tidak pernah menceritakannya kepada mereka.

***
Suatu hari, aku menyempatkan diri mampir untuk melihat-lihat buku di sebuah toko buku. Kebiasaan membaca sudah tumbuh sejak aku kecil. Bahkan, pada saat masih ada Kang Muslih, aku mengoleksi novel dan berlangganan beberapa majalah.

Sebenarnya, pada saat itu, pikiranku sedang kalut. Bara membutuhkan sejumlah uang untuk biaya tugas praktek lapangan. Sementara penghasilan dari uang pensiunan janda veteran perang tidak cukup untuk menutupi kebutuhan Bara. Aku sempat berpikir untuk menggadaikan rumah, satu-satunya peninggalan Kang Muslih yang paling mewah, selain kenangan indah bersamanya.

Mampir ke toko buku membuat diriku agak sedikit rileks. Memang, toko buku ini tidak sebesar toko buku yang banyak bertebaran di Jakarta, tetapi cukup komplit menyediakan berbagai jenis buku. Mulai dari filsafat sampai politik, novel dan biografi, serta buku-buku yang berhubungan dengan hobi dan rumah tangga. Semua tersedia walaupun dengan jumlah yang sangat sedikit.

Seperti biasa, mataku lincah memamah setiap demi setiap judul buku. Sesekali aku meraih buku yang judulnya menarik. Membaca halaman depan dan halaman belakang. Menelisik nama pengarang dan mereka-reka isi bukunya. Kadang-kadang, setelah melirik kesana-kemari, aku suka membuka segel plastik pembungkus buku secara diam-diam. Hingga, aku tertegun di depan sebuah buku. Buku itu masih terbungkus rapi. Segel plastiknya masih utuh meski agak sedikit berdebu. Sepertinya buku itu jarang disentuh dan buku cetakan lama.

Penasaran. Akhirnya kucomot buku itu dari rak pajang. Benar, ini buku lama. Judulnya Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku karya R.A. Kartini yang diterjemahkan oleh Armijn Pane. Gila! Aku kaget. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1978. Benar, ini buku lama. Ini buku yang sangat berharga. Kenapa buku langka dan dahsyat seperti ini bisa luput dari para pencinta buku?

Aku tahu siapa Kartini. Aku mengenalnya lewat pelajaran sejarah di sekolah. Aku juga tahu kalau dulu Kartini sering surat-suratan dengan para sahabatnya, di dalam dan di luar nusantara. Tapi, terus terang, aku belum pernah membaca apalagi tahu isi bukunya. ”Buku ini tipis,” pikirku lagi. Tidak terlalu tebal bagi kutu buku sepertiku. Hanya 214 halaman.

Sesuatu dari dalam hati mendesak aku untuk membaca buku ini. Maka, setelah pemilik toko mengizinkan aku untuk membuka bungkus plastiknya, aku segera melahap daftar isi dan kata pengantarnya. ”Ah, aku suka buku ini. Suka sekali.” Aku memutuskan membeli buku langka ini, buku satu-satunya yang terpajang di rak buku itu.

Sampai di rumah, aku larut membaca buku tersebut. Hanyut. Hingga lupa akan kekalutanku. Lupa bahwa Bara sedang membutuhkan uang dan lupa kalau aku hanya seorang janda. Aku larut dengan isi buku yang dengan apik disusun oleh Armijn Pane. Padahal buku itu hanya berisikan 87 surat-surat Kartini yang ditujukan untuk teman-temannya di Belanda. Beberapa waktu kemudian aku baru tahu bahwa masih banyak surat-surat Kartini yang belum terpublikasikan di Indonesia.

”Demikian hebatnya surat-surat yang dibuat Kartini kepada sahabat-sahabat penanya,” desisku bersemangat. Beruntung sekali aku membeli buku itu. Aku sangat terinspirasi seusai membacanya. Ya, inspirasi. Begitulah perasaanku saat itu. Buku itu membakar semangatku. Aku harus mampu menyekolahkan anak-anakku dengan perjuangan sendiri. ”Tapi, bagaimana caranya? Hmm, aku kan bisa menulis. Ya, aku bisa menulis. Lalu, aku putuskan akan menulis sesuatu. Tapi, aku tidak punya mesin ketik.”

Tak apalah, tulis tangan pun bisa.

Malam itu juga aku menulis lembar demi lembar kenangan hidup bersama kang Muslih dengan tulisan tangan. Sampai aku tertidur.

Keesokan harinya, aku ke kantor Kelurahan. Salah seorang staf kelurahan masih terhitung kerabat almarhum suamiku. Aku meminjam mesin ketik untuk mengetik tulisanku semalam. Tulisan sederhana. Tulisan tentang kenangan bersama kang Muslih.

Selesai mengetik, aku memasukkan hasil ketikan itu ke dalam amplop dan mengirimkannya ke sebuah majalah wanita di Jakarta.

Aku berharap, tulisanku dimuat dan aku mendapatkan uang. ”Ah, tapi aku tidak boleh terlalu berharap.” Kalau tidak dimuat, nanti bisa kecewa. Yang penting, setelah membaca buku Habis Gelap terbitlah Terang aku sangat bersemangat. Itu saja. Tidak terpikirkan uang di benakku.

Aku akhirnya meminjam uang di Koperasi Veteran untuk menutupi biaya praktek lapangan Bara yang tertunda. Bara sampai mencium tanganku saat uang itu aku serahkan kepadanya. Seperti biasa, air mataku langsung mengalir dengan deras. ”Seandainya bapakmu masih hidup, ibu tidak akan berhutang,” batinku.

Setiap malam aku menulis. Menulis tentang apa saja. Dan keesokan harinya, setiap pagi, aku ke kantor kelurahan untuk mengetik tulisan itu. Kemudian, seperti biasa, tulisan itu aku masukkan ke dalam amplop dan mengirimnya ke media.

Apabila Brama dan Bianka bertanya ada urusan apa aku ke Kantor Kelurahan, aku selalu menjawab, ”ibu akan mengetik surat.”

Hingga suatu hari, ketika itu aku sedang membaca sebuah majalah wanita, aku sangat terkejut bercampur bahagia. Tulisanku dimuat di majalah itu. Itu tulisanku yang pertama kali dimuat di majalah. Aku sujud syukur. Bulu romaku meremang. Aku gembira sekali. Air mata bahagia pun tumpah. Saking gembiranya, aku hampir saja menceritakan perihal tulisan itu kepada anak-anakku. Aku lupa, aku menggunakan nama samaran di tulisan itu. Pun demikian pada tulisan-tulisan lainnya.

Dan aku merahasiakan hal itu.

Seumur hidupku.

Hingga kemudian beberapa tulisanku sering dimuat di majalah maupun koran. Akhirnya, walaupun tidak banyak, aku mendapatkan uang tambahan untuk memenuhi kebutuhanku sehari-hari. Bahkan untuk menambah uang kuliah anak-anakku.

Ketika Bara mulai menyusun skripsi, aku menulis sebuah novel. Mujurnya, novel tersebut diterbitkan oleh sebuah penerbit besar di Jakarta. Novel pertamaku sangat digemari oleh kalangan perempuan. Dari novel itu aku menerima sejumlah uang. Royalti atas tulisanku.

Dari royalti itu aku melahirkan semangat.

Sejak aku rasakan nikmatnya mencicipi uang dari tulisan, aku tidak pernah berhenti menulis. Pada mulanya meminjam mesin ketik di kantor kelurahan hingga akhirnya punya laptop. Pada mulanya hanya menulis pengalaman nyata, lembar-lembar kenangan bersama kang Muslih, suamiku tercinta. Sekarang aku bisa menulis apa saja. Mengarang apa saja.

Ya, aku menghidupi dan menyekolahkan anak-anakku dengan menjadi penulis. Anak-anakku belum juga tahu. Mereka juga tidak tahu tentang nama samaranku, Kartini. Biarlah anak-anakku tahu ibunya bernama Ida Kusdiah, janda veteran perang Timor-Timur.

Buku Kartini inspirasi hidupku. Namun, aku tidak sehebat Kartini.***

Jakarta, 6 Maret 2010

Sabtu, 20 Maret 2010

EREKSI

EREKSI
Bamby Cahyadi

Subuh menjadi dingin akibat hujan sepanjang malam. Seperti biasa, selayaknya laki-laki normal lainnya. Handoko merasa benda di selangkangnya mengeras dan berdiri. Anunya ereksi. Namun sebenarnya, ia tinggal menggauli istrinya yang masih tidur mendengkur di sampingnya untuk mengakhiri ereksi. Handoko gelisah, karena tak ada hasrat berahi untuk menggauli istrinya, agar ereksi berhenti. Ia tak bergairah, walaupun ia masih saja tetap ereksi.

Subuh pun menepi mendekati pagi. Istrinya sudah bangun dan menyiapkan sarapan. Handoko masih berbaring, tidak tidur. Tapi matanya terpejam. Ia hanya berguling-guling di atas kasur. Telungkup menyamping, terlentang kemudian tengkurap lagi. Baru kali ini, anuku mengeras lama sekali, batinnya. Biasanya, selayaknya laki-laki normal lainnya, setelah anunya mengeras tidak berapa lama kemudian mengecil kembali. Kempes, seperti balon yang dibuka simpul ikatannya.

Padahal kemarin, ia tidak memakan makanan yang bisa dengan mudah memicu libido, misalnya daging kambing. Ia pun tidak meminum ramu-ramuan atau jamu-jamuan peningkat stamina. Oleh karenanya ia sangat heran anunya terus ereksi.
Minarni istrinya masuk ke dalam kamar, perempuan itu ingin mencari tahu kenapa suaminya belum juga bangun untuk menuju dapur menyantap sarapan dan minum kopi yang telah tersedia.

“Mas, kamu sakit?” tanya Minarni melihat Handoko masih terbaring tengkurap memeluk guling.

“Enggak, aku masih ngantuk saja Min,” jawab Handoko sambil bergeliat. Ia pura-pura menguap.

“Benar kamu enggak sakit?” tanya istrinya lagi, masih penasaran lantas memegang dahi suaminya.

“Enggak!” Handoko menepis tangan istrinya.

“Ya, kalau begitu bangun dong!” pinta Minarni. “Aku sudah siapkan sarapan dan kopi,” lanjut Minarni, meninggalkan Handoko yang masih pegal dengan anunya yang masih tegang dan berdiri.

Bagaimana ini? Kok, enggak kempes-kempes juga. Huuuh, menyiksa sekali. Gumam Handoko di dalam hatinya.

Handoko lalu beringsut, turun dari tempat tidur. Dengan cepat ia mematut diri di depan cermin. Ia melihat dirinya dalam cermin. Bagian ujung celananya tepat di bagian depan selangkangnya menggunung. Handoko berusaha untuk menutupnya dengan memelintir anunya ke samping kiri, ke samping kanan tetapi tetap saja menonjol. Ia membengkokkan ke bawah, tetap saja menjendol.

Akhirnya Handoko mengambil sarung dan mengenakannya. Ah, ia sedikit lega, sarung itu mampu mengamuflase tonjolan anunya yang ereksi terus. Handoko pun bernyali untuk ke luar kamar. Menuju dapur untuk sarapan.

“Kok kamu pakai sarung Mas?” tanya istrinya heran.

“Aku lagi kepengen aja pakai sarung,” jawab Handoko sambil menyomot tempe mendoan buatan istrinya.

“Tumben saja, enggak biasanya,” balas Minarni.

“Min…” kata Handoko tercekat.

“Ya, Mas?”

“Aku…. Enggg…Enggak jadi deh.”

“Kamu mau ngomong apa sih, Mas?”

“Gini…” Handoko berhenti berkata, lantas ia menyeruput kopi yang masih panas.

“Apaan sih?” Minarni lalu duduk. “Mau ngomong apa?” sergah Minarni.

“Kok, burungku berdiri terus ya?” ujar Handoko akhirnya berterus terang kepada istrinya.

“Memang kita punya burung?” tanya Minarni polos tidak mengerti perihal perkataan suaminya.

“Min… Ini lho!” Handoko melorotkan sarungnya dan anunya yang sedang berdiri seolah menunjuk muka Minarni.

“Waaaw!” ucap Minarni kaget. Wajah perempuan itu bersemburat merah merona.
“Iya… gara-gara ini Min,” kata Handoko menujuk anunya yang ereksi itu dengan ujung bibirnya, manyun.

Minarni tergelak. Perempuan itu tertawa terkikik-kikik. Lalu dengan spontan Minarni menggiring suaminya untuk masuk ke dalam kamar kembali. Langkah Minarni tergesa, sementara Handoko tak bersemangat.

Di dalam kamar, Minarni lalu menanggalkan pakaiannya, termasuk beha dan celana dalamnya. Di dorongnya tubuh Handoko terjerembab ke kasur. Minarni kemudian menindih Handoko. Cukup bagian itu saja yang Anda ketahui pembaca yang budiman.
Minarni berkali-kali orgasme, tetapi anunya Handoko tetap saja ereksi. Handoko tidak sedikit pun ejakulasi.

Mata Minarni berbinar-binar karena merasakan kenikmatan bertubi-tubi. Ia akhirnya tertidur pulas, kecapaian. Sementara itu, Handoko merasakan pinggangnya pegal dan linu. Anunya Handoko masih saja dengan gagah perkasa mendongak keras menunjuk langit.
Malam pun tergelincir. Minarni masih berbinar-binar, walaupun ia juga tampak letih lantas dengan malas menyalakan lampu-lampu rumah. Di luar hujan deras mengguyur.
Sepanjang hari tadi Handoko hanya berdiam diri di rumah, ia tidak ke mana-mana. Seharian Handoko berusaha mengempeskan anunya dengan berbagai cara. Tentu sesekali dibantu oleh Minarni istrinya yang tidak melewatkan kesempatan yang melintas.

Usaha Handoko cukup keras akan tetapi sia-sia. Segala upaya pengempesan anunya yang ereksi tak membuahkan hasil. Mulai dari mengompres dengan air dingin. Menyiraminya dengan bedak gatal beraroma mint, yang diyakini mampu membuat anunya Handoko berhenti berdiri. Hingga mengolesinya dengan minyak kayu putih. Hasilnya, tetap ereksi tak berhenti dan anunya malah menjadi panas.
Karena terlampau capai, malam ini Minarni tertidur pulas sekali. Handoko tidak bisa tidur, ia bagaikan ikan belut di penggorengan. Handoko baru terlelap dalam tidur setelah hari menjelang pagi kembali. Dengan anunya yang masih ereksi.

***
Pagi datang kembali, seperti pagi kemarin yang dingin karena hujan semalaman.

“Bagaimana ini Min?” tanya Handoko kepada istrinya yang kini tidak lagi berbinar. Perempuan itu, kini jatuh kasihan kepada suaminya yang tersiksa akibat ereksi tak berkesudahan.

“Mas, kita ke dokter saja,” usul Minarni. Dan langsung diiyakan oleh Handoko.
Bergegas Minarni dan Handoko menuju garasi mobil. Handoko menggunakan sarung untuk sedikit menutupi tonjolan. Minarni mengambil alih setir mobil, ia menyupiri mobil, Handoko nyengir.

Sampailah mereka di sebuah klinik dokter. Sengaja mereka mencari dokter spesialis kulit dan kelamin, agar urusan ereksi Handoko bisa segara teratasi dengan akurat. Bukankah Handoko bermasalah dengan kelaminnya?

Dengan berat hati karena malu, Handoko turun dari mobil dengan menggunakan sarung. Minarni telah lebih dahulu masuk ke dalam klinik untuk mendaftarkan diri.
Suster yang menerima mereka mencatat nama Handoko di buku pasien. Sesaat kemudian, Handoko bersama Minarni masuk ke dalam ruang prakter dokter. Mereka tidak menyangka dokter spesialis kulit dan kelamin, berkelamin perempuan.

Handoko menjadi gelisah, keringatnya malah mengucur deras. Ia, merasakan ereksi anunya makin menjadi-jadi. Minarni kelihatan ragu-ragu, tiba-tiba menyelinap rasa cemburu di hatinya. Dalam sekejap hatinya menjadi panas tidak karu-karuan.

Minarni tidak sudi anu suaminya yang berdiri dengan gagah perkasa ditangani oleh dokter perempuan kinclong itu. Dokter itu sangat cantik, bahkan seksi. Begitulah pandangan Minarni ketika melihat dokter spesialis kelamin itu. Ibu dokter yang di hadapan mereka, lalu bertanya.

“Yang sakit, ibunya atau bapaknya?”

“Saya dok,” kata Handoko pelan sambil cepat-cepat mengangkat tangannya sedikit. Minarni menatap suaminya, nyalang.

“Apa keluhan Bapak?” lanjut dokter itu bertanya lagi. Kali ini sambil tersenyum memandang Handoko yang tersipu.

Maka berganti-gantian Handoko dan Minarni bercerita sebab-musabab keluhan Handoko. Dokter itu hanya mengangguk-angguk dan tersenyum sedikit-sedikit.
Setelah mengerti duduk persoalannya, dokter itu kemudian mempersilakan Handoko untuk berbaring di atas tempat tidur bersprei putih khas rumah sakit. Lalu suster yang mencatat nama Handoko di buku catatan pasien tadi ikut masuk ke kamar praktek. Minarni disuruh menunggu di luar kamar praktek.

Walaupun dengan perasaan cemburu yang tidak karu-karuan. Akhirnya Minarni pasrah menunggu Handoko ditangani oleh dokter perempuan itu bersama suster yang juga perempuan, di ruang tunggu.

Beberapa saat kemudian. Setelah merasa lama sekali menunggu. Minarni dipersilakan masuk ke kamar prakter dokter itu. Rupanya upaya dokter dan suster itu membuahkan hasil. Handoko terlihat lega dengan wajah berseri-seri, ceria.

Tentu saja Minarni senang melihat ekspresi suaminya yang kini tidak murung lagi akibat ereksi hebat. Dokter dan suster juga terlihat tersenyum-senyum, mungkin malu, mungkin geli. Lalu dengan tidak sabar, Minarni bertanya kepada dokter itu.
“Kenapa dengan suami saya dokter?”

Dokter itu lalu menjawab dengan pelan dan tegas, “Bapak hanya ingin kawin lagi Bu!”
Terbelalak mata Minarni mendengar penjelasan dokter kinclong itu. Lebih-lebih ketika ia melihat sprei putih khas rumah sakit itu kusut penuh dengan gumpalan cairan putih kental seperti santan. Tentu saja Anda paham cairan apa itu pembaca yang budiman.

Kemudian ditamparnya pipi Handoko sangat keras. Plak! Plok! Pipi kiri, pipi kanan. Dokter dan suster, maklum adanya. Handoko meringis lega, sambil memegang kedua pipinya yang panas akibat tamparan Minarni. Kuping Handoko berdenging.***

Senin, 01 Maret 2010

Saut Situmorang VS Hudan Hidayat, Sahabat Sejati

Ini adalah komen-komen Saut Situmorang, aku mengumpulkannya dan kusimpan dalam blog pribadiku, karena aku sangat suka perbedaan pendapat. Tetapi, aku tak suka arogansi model Saut Situmorang.


Hudan Hidayat memang Sampah Internet! Dia merusak Sastra Indonesia dengan memberikan puja-puji palsu persis kayak yang dia ejek-ejek Sapardi lakukan atas Ayu Utami. Apa pertanggung-jawaban dia terhadap mereka yang dia tipu dengan puja-pujinya itu? Dan ada persoalan apa dengan kau kalau aku bilang Hudan Hidayat itu Sampah Internet? Begitu susah dulu... See More untuk memberikan kesan bagus bagi Sastra di Internet yang dihina redaktur koran semasa dia sendiri juga melecehkan Internet, sekarang kerna aksesnya ke Media Indonesia udah gak ada lagi dan internet begitu bebas, seenaknya aja dia memanfaatkannya demi popularitas pribadi, ATAS NAMA SASTRA! ANJING DIA ITU! apa kau pikir gak gampang berbuat kayak yang dia buat itu! tapi kenapa cumak dia sendiri yang mau melakukannya! kerna cinta pada Sastra?! kerna memang bahagia dia melihat ada bakat-bakat bagus?! Cobak kau bela dia dan jelaskan di sini!

Hudan Hidayat itu kecil! karyanya pun tak penting dan cumak dibicarakan kawan-kawannya di Media Indonesia DULU kerna dia bujuk-bujuk terus! aku pun berkali-kali dia bujuk untuk bicarain ponografinya yang berjudul "Tuan dan Nona Kosong" itu, hahaha... Kacian nih makhluk. ngejek-ngejek Tardji dan Danarto cumak kerna iri mereka selalu ... See Moredibicarakan dan selalu dapat hadiah sastra! tidak lebih dari itu alasannya! Goenawan Mohamad aja kita hajar, apalagi cumak Hudan Hidayat dan para cecunguk yang berhutang budi padanya kerna dipuja-puji gak jelas! Kalau mau perang, silahkan katakan. kami dari "boemipoetra" akan dengan senang hati memerangi mereka yang merusak Sastra Indonesia!

tapi, Bamby, suatu saat aku memang pengen kali ketemu kau, hahaha... sejak kau bilang kau mau menghajar buku eseiku itu, aku jadi pengen belajar langsung ama kau, pasti kau hebat. eh, kemaren kok gak berani ke Jogja demi bukumu itu? buku sendiri harus dibela dong, di mana pun, hahaha...

INI ADALAH PEMBUKAAN CERPEN SI BAMBY YANG BARU AJA DIA TAG-KAN KE AKU:

"Cerpen saya di Majalah Story, edisi ke-7, 25 Januari - 24 Februari 2010

TANDA CINTA DARI AKHIRAT... See More
Oleh : Bamby Cahyadi

Kami adalah keluarga pertama yang menempati rumah di kompleks perumahan perbankan, di Medan. Sebuah kompleks perumahan yang diperuntukkan bagi staf sebuah bank milik negara terbesar di Indonesia. Tentu saja kami menempati salah satu rumah di kompleks itu, karena ayahku seorang staf di perusahaan bank tersebut.

Setelah mendarat di Bandara Polonia dengan sebuah pesawat Garuda Indonesia berbadan lebar, kami langsung diantar oleh seorang perwakilan perusahaan menuju kompleks perumahan itu...."

KALOK ORANG MEMBUKA CERPEN AJA KAYAK GINIAN, GIMANA MO NERUSKAN BACANYA! PERNAH BACA CERPEN SASTRA GAK YA PENULISNYA INI! HAHAHA... TAPI PASTI HUDAN HIDAYAT AKAN BILANG "KALIMAT-KALIMATNYA DAHSYAT" DAN SEGALA TAIK KUCING LAINNYA DAN BAMBY PUN JADI CERPENIS SASTRA, BUKAN CERPENIS MAJALAH FEMINA! HAHAHA...

DISAMPING BEGITU KERINGNYA KALIMAT-KALIMAT DI PARAGRAF PERTAMA ITU, COBAK LIAT MUBAZIRISME KALIMAT PERTAMA DAN KALIMAT TERAKHIR PARAGRAF PERTAMA TERSEBUT! KALOK KITA UDAH "MENEMPATI RUMAH" SEBUAH PERUMAHAN BERARTI KITA "MENEMPATI SALAH SATU RUMAH" DI SITU KAN! HAHAHA...

KEMUDIAN APA ADA RUPANYA PESAWAT GARUDA INDONESIA YANG "BERBADAN KECIL"! DAN BUAT APA INFO INI DIBERIKAN DALAM KONTEKS PEMBUKAAN CERITA ITU? APA MEMANG ADA FUNGSINYA? TAPI HUDAN HIDAYAT PASTI AKAN BILANG: WAH PESAWAT GARUDANYA KEREN, SANGAT PUITIS, DATANG DARI JIWA SEORANG PETUALANG ANGKASA SEJATI!

mo main kata-kata ama aku kau lagi, hahaha...aku gak kayak kau, obsesif dengan pendapat orang lain. kerna kau dulu yang begitu heroik di Facebook bilang mau menghajar buku eseiku kalok udah keluar, mangkanya aku ingatkan kau! itu kan janjimu, di ruang publik lagi kau teriakkan, nah sekarang buktikanlah. sederhana aja kan, hahaha...

sorry aku gak baca bukumu dan gak akan baca bukumu, hahaha... alasannya jugak sederhana: masih terlalu banyak buku bagus yang harus aku baca dan aku gak punya waktu untuk buang-buang waktu membaca karya sekedar saja, kerna pekerjaan membaca itu serius, gak kayak membaca ala Hudan, hahaha...

cerpenmu yang jelek itu udah aku tunjukkan keburukannya kan, nah sekarang tunjukkan pada sajakku di atas yang kau anggap buruk! ayo, bung, ayo, hahaha...


Hahaha... Aih, aih, au, au! Dia tahu 'anak muda' pasti akan terbakar dgn kombur omong kosong heroiknya itu tentang dia 'mengampak' yg senior2, hahaha... Baru diundang baca cerpen aja ke Salihara dia langsung puji2 TUK di Facebooknya sendiri, hahaha... Mungkin dia lupa bawa minyak angin cap Kapak nya waktu nerima undangan Sitok Sering-ek-ek itu, hahaha...

Bambino,

gak mampu alias impoten ya untuk buktiin jeleknya sajak om Saut yg kau muat di atas itu! Tapi memang itulah ciri-utama kalian para sastrahomo tuhan Hudan: GAK MAMPU JELEK2IN LANTAS MUJI2 SETINGGI LANGIT SEMUA SAMPAH KAWAN SENDIRI! ini namanya Tragedi Inteklektual dan Moral, hahaha... Orangutan di Bohorok aja kagak sehina ini, hahaha...
Bambino, hahaha... Makin mantaf kau! Gak perlu aku ladenin iri hatimu yg obsesif pengen kayak Saut Situmorang itu kan, hahaha... Kacian deh kau gampang dipsikoanalisis, hihihi... Eh, mana tuh pembuktian darimu tentang sajakKu yg kau muat di atas dan bilang karya jurnalistik itu? Aku masih nunggu neh. Siapa tau pembuktianmu sangat berguna dan aku ... See Morepakek buat revisi sajakku itu, lumayan kan buat perkembangan karier kepenyairanKu! Sampek kapankah daku musti menunggu, Bambino sayang? Jugak hajaranmu atas buku eseiku itu. Kan kau bilang udah kau baca abis buku itu, berarti udah siap dong kau menghajarnya! Janji musti ditepatin loh! Kalok nggak maka kau itu cumak kekasih homonya Hudan doang, hahaha...

Datang dong ke acara ultah Apsas kami itu. Kau anggota Apsas jugak ya? Kok bisa ya? Padahal mutu kayak kau gak pernah ada di Apsas kami, hahaha... Kok gak berani ke Jogja sih! Kerna tuhan Hudan gak ikut ya! Gimana kalok buku2 yg kau 'sumbangkan' untuk ultah Apsas kami ini aku tolak aja ya! Kan aku yg mimpin acara ini kayak kau bilang di atas, ... berarti pemimpin punya hak dong menentukan buku2 mana yg layak beredar di acaranya dan mana yg layak langsung terjun bebas ke tong sampah! Cemmana? Hahaha...

HAHAHA... PENCINTA BUKU NIH YEEE, TAPI OGAH JADI PENCINTA KEBENARAN, HAHAHA... BORJUIS BANGET, HAHAHA...