Rabu, 23 September 2009

Kumpulan Cerpen TANGAN UNTUK UTIK


Buku kumpulan cerpen Tangan Untuk Utik, pengarang Bamby Cahyadi. Terbit Oktober 2009. Penerbit Koekoesan.

Senin, 21 September 2009

Pemuda Penjaga Lift, cerpen di Jurnal Bogor

Cerpen PEMUDA PENJAGA LIFT dimuat di Jurnal Bogor, Minggu 13 September 2009:

PEMUDA PENJAGA LIFT
Oleh: Bamby Cahyadi

Seperti pagi kemarin, kulihat kamu sudah berada di lobi apartemen ini. Setelah mengganti bajumu dengan seragam, yang menurutku lucu, dan mengisi kartu absensi. Kamu telah siap untuk bertugas. Pagi ini kukira, sama saja dengan pagi-pagi sebelumnya. Pagi yang kering. Sudah lama air hujan malas turun untuk menyirami tanah. Untung kita berada di dalam apartemen ini, sehingga terik matahari tak terasa di sini.

“Selamat pagi, ke lantai berapa Pak?” Tanyamu dengan nada suara yang sangat sopan pada seorang lelaki berpakaian safari rapi dan perlente. Kini kamu telah berada di dalam lift, mengerjakan rutinitasmu, menjaga lift. Bertanya dan membantu orang yang keluar-masuk lift untuk mengantar mereka ke lantai yang mereka kehendaki.

Lelaki itu kemudian memperlihatkan lima jarinya tangannya tanpa bicara. Kamu rupanya sudah paham, tombol lift kamu pencet angka 5. Kamu selalu berpenampilan rapi, rambutmu selalu tersisir dengan sedikit minyak rambut yang membuat rambutmu berkilau apabila tertimpa cahaya lampu lift. Mengingatkan aku pada tokoh-tokoh film di tahun enampuluhan.

Lantas kamu terlibat percakapan basa-basi dengan lelaki perlente itu. Kudengar ia akan mengunjungi sanak keluarganya yang tinggal di sini. Pembicaraan kalian terhenti, ketika di lantai 2, lift berhenti. Beberapa orang masuk bersama, mereka menuju lantai paling atas. Terdapat kolam renang di sana. Mungkin mereka mau berenang pagi ini.

Ya, kamu juga selalu tersenyum ramah kepada setiap orang yang menggunakan lift ini. Setiap hari. Mungkin di setiap shift-mu karena pasti kamu pun membutuhkan libur untuk mengatasi kebosanan menjaga lift, dan rutinitas bertanya ke lantai berapa ke setiap orang yang menggunakan lift di apartemen ini. Rutinitas yang membosankan, kupikir. Namun, kamu menjalaninya dengan senang hati. Itulah, maka aku sangat suka memperhatikan kamu.

Sudah lama aku ingin berkenalan dengan kamu. Ingin sekali aku bertanya tentang minyak rambutmu yang membuat rambutmu menjadi licin berkilau. Selain itu aku sangat tertarik dengan ketulusan hatimu, menjalani profesi, yang kukatakan membosankan ini. Karena dari semua karyawan bagian servis di apartemen ini, cuma kamu yang sangat bersahaja.
***
Hari ini, kamu tidak berada di dalam lift ini. Seorang wanita muda menjaganya, mungkin kamu libur. Wanita muda itu tidak seramah kamu. Senyumannya menyerupai sebuah sunggingan bibir yang dipaksakan. Mirip menyeringai, tidak tulus. Sepertinya ia sangat terpaksa menjalani profesi penjaga lift daripada tidak bekerja sama sekali. Tidak sepertimu yang begitu tulus melakukan pekerjaanmu.

Terkadang wanita muda penjaga lift penggantimu itu, pura-pura sibuk ketika ada orang yang masuk ke dalam lift. Aku tahu, ia hanya malas membuat sebaris senyum di bibirnya. Heran juga ia bisa bekerja di sini.

Wahai pemuda penjaga lift, sudah hampir sebulan kamu tidak menjaga lift dan sebulan ini beberapa petugas pengganti silih berganti. Kamu kemana? Apakah kamu sakit? Ataukah kamu mendapatkan pekerjaan baru? Aku kok rindu kamu.

Ya, sungguh tak menyenangkan menyambut pagi tanpa kehadiran kamu. Lobi apartemen terasa hampa. Rasanya, aku berada di apartemen asing. Sungguh suasana seperti ini membuatku merasa melankoli.

Terus terang, ingin sekali aku bertanya kepada temanmu, wanita muda yang sekarang menjadi penjaga lift itu. Sebab sudah sebulan kamu tidak bertugas. Tetapi tentu tidak aku lakukan, aku tidak mau semuanya berubah menjadi runyam dan kacau. Selain itu, aku tidak suka dengan wanita muda yang berwajah masam itu. Lebih baik aku tak menegurnya saja.

Pagi ini suasana lobi apartemen terasa sangat sepi dan begitu lengang. Aktivitas apartemen belum dimulai, seperti biasa aku memasuki lift dengan langkah gontai menuju kamarku. Berharap-harap cemas, dirimu hadir di sini. Bertemu dengan kamu dan memperhatikanmu diam-diam. Oh, aku suka sekali melakukannya.

Aha…! Aku sangat senang dan gembira sekali. Pagi ini aku menemui kamu berada di dalam lift dan sudah bertugas kembali. O Tuhan, terimakasih. Harapku bisa melihatmu di pagi ini terkabul. Aku sangat gembira, kukira aku telah berlonjak-lonjak saking girangnya. Rona pipiku memerah malu.

“Mau ke lantai berapa Mbak?” tanyamu dengan suara yang sangat ramah. Aku terkejut bercampur bahagia kamu sudah menjaga lift lagi. Sambil memandang heran padamu aku mengacungkan kesepuluh jariku. Meniru gerakan lelaki perlente bersafari yang kulihat bulan lalu. Aku ke lantai 10. Kamu memencet tombol angka 10. Aku masih tak percaya, kamu bertanya kepadaku.

Aku bingung mau mengajakmu bercakap-cakap. Kulihat kamu juga terlihat malu-malu di hadapanku. Sesekali kamu melirikku. Ketika aku hendak berkata-kata mengajakmu bicara.

Tiba-tiba lift mendadak berhenti di lantai 5 padahal tidak ada seorang pun yang berhenti untuk ke luar ke lantai 5. Pintu lift terbuka, meninggalkan suara denting. Masuk wanita muda penjaga lift penggantimu itu, ia bersama temannya, tetapi mereka tidak menegurmu. Kamu pun diam saja tidak menegur mereka. Aku dan kamu terdiam dalam bisu, hanya teman-temanmu yang berbicara. Pembicaraan mereka tampak sangat serius.

“Sudah sebulan aku bekerja di sini, baru kali ini aku merasakan bulu kudukku berdiri dan merinding seperti ini,” kata wanita muda itu kepada temannya dengan ekspresi seperti orang yang ketakutan.

“Ya, aku juga merasakan hal yang sama,” balas teman wanita muda itu sambil bergidik dan memegang lehernya sendiri. Rupanya bulu kuduknya meremang.

“Apa mungkin rohnya si Markum penjaga lift yang meninggal kecelakaan motor sebulan yang lalu sedang gentayangan di sini ?” lanjut wanita muda penjaga lift itu kepada temannya sambil memencet tombol lift ke lantai dasar.

Aku tersentak, mengalihkan pandangan padamu. Kamu tertunduk.

“Mungkin saja. Dulu juga waktu seorang gadis bunuh diri loncat dari lantai 10. Dan tubuhnya hancur di halaman parkiran, di lift ini sering terjadi sesuatu yang aneh-aneh dan menyeramkan,” kata temannya sambil masih memegang tenguknya.

“Kenapa gadis itu bunuh diri?” Tanya wanita muda itu.

“Katanya sih, gadis itu kesepian. Orangtuanya memberikan fasilitas apartemen, tetapi mereka tidak pernah menjenguk gadis itu,” jelas temannya dengan bibir bergetar ketakutan.

“Iya, ya, bisa jadi si Markum lagi gentayangan di sini. Dia khan, meninggal saat mau menuju ke sini untuk menjaga lift ini. Hiiiiiih!” Kedua wanita itu menjerit dan buru-buru ke luar dari lift ketika sampai di lantai dasar.

Terus terang aku sangat terkejut mendengar pembicaraan mereka. Pandanganku beralih kepadamu yang sedang berdiri manis di pintu lift sambil tersenyum, mengangguk-angguk kepala seraya mengangkat bahumu menatapku. Kamu bernama Markum. Pantas kamu bisa menegurku pagi ini.***

Jakarta, 29 Juni 2008

Sabtu, 12 September 2009

Sebongkah Batu Es yang Merindu (Harian Global)

Cerpen ini dimuat di Harian Global Medan, Sabtu, 12 September 2009 :

SEBONGKAH BATU ES YANG MERINDU

Oleh : Bamby Cahyadi


Masih ingatkah kamu? Sewaktu kita berdua kelaparan di pinggiran jalan San Francisco yang dingin. Ketika bulir-bulir salju turun pelan-pelan menutupi trotoar jalan. Bulir salju itu serupa serpihan kapas putih yang ditebar dari atas langit mendung yang kelam jatuh menumpuk menimbun tanah.

Saat itu kita hanya sanggup duduk bersedekap memeluk lutut masing-masing dan saling melempar tatap, seraya membayangkan makanan-makanan enak yang tersaji tiba-tiba di depan mata.

“Aku lapar Yo,” ucapmu lirih dengan bibir bergetar. Mulutmu beruap. Tanganmu menggapai-gapai tanah. Mengais apa saja yang terjangkau.

“Aku juga…” balasku tak kalah lirihnya, namun aku berusaha menyembunyikan getar bibirku dengan membuat sebaris senyum. Aku hanya ingin tampak tegar di depanmu. Bagaimana pun, aku lebih tua darimu. Aku berusaha menenangkanmu saat itu.

Tentu kita berdua masih ingat Tere. Saat di mana, kau mulai berhalusinasi. Aku kira, saking laparnya kau telah kerasukan semacam roh lapar yang aneh. Pasti kamu ingat. Ketika kau mulai memakan daun-daun kering dan ranting-ranting pohon cerry yang berserak di tanah. Kau bilang, rasanya seperti makan hamburger. Ranting-ranting itu kau bilang selezat french fries panas dan renyah. Dan gumpalan salju di genggamanmu, dengan rakus kau jilati dan kau kunyah lalu lumer dalam mulutmu. Sambil kau berteriak: Sundae yang lezat!

Malah kau sempat menyodorkan tanganmu ke mulutku, berusaha menyuapiku dengan daun dan ranting-ranting. Maafkan aku Tere, aku menolak. Aku menepis tanganmu. Kamu tidak marah kan?

Aku ingin menangis. Tapi apa daya, aku pun tak berdaya. Kita berdua saat itu hanya sepasang kanak-kanak bodoh yang terjebak di keremangan senja jalanan San Francisco yang sunyi berbaur bising raungan sirine mobil-mobil polisi yang mengejar-ngejar penjahat jalanan. Tidak ada yang memperhatikan kita. Tidak ada yang peduli terhadap nasib kita yang kelaparan. Kurasa waktu itu kau mulai membeku. Selayak batu es. Aku saksikan itu. Ya, aku saksikan.

“Yo, apakah kamu merasa sangat dingin?” tanyamu memandangku. Aku mengangguk. Dan pertanyaan itu adalah kalimat terakhir yang kudengar darimu.

“Ya, aku juga merasakan dingin yang luar biasa Tere,” jawabku merapatkan jaket tebalku.

Saat itu mulutmu penuh dengan ranting-ranting yang masih kau kunyah dan belum sempat kau telan. Kita kembali saling bertatap. Kulihat dirimu perlahan-lahan dengan pasti berubah menjadi sebongkah es. Dirimu membeku. Tidak ada teriakan rasa sakit ketika seluruh tubuhmu berubah menjadi sebongkah es. Tidak ada gigil. Mungkin roh lapar yang aneh telah begitu merasukmu, sehingga saat kau berubah menjadi sebongkah es, kau pun tak merasakan apa-apa. Tapi aku yakin, sebelumnya kau telah kenyang. Perutmu telah penuh dengan daun cerry dan ranting-rantingnya.

“Tereee…!” aku tercekat. Tak ada suara yang keluar dari tenggorakanku.

Aku sendiri hanya bisa menatapmu tanpa berkedip. Kurasa aku pun telah berubah menjadi sebongkah batu es yang sangat dingin. Dingin merayapi sekujur tubuhku, dari ujung kaki hingga akhirnya kepala, membeku.

Apabila saat itu, ada orang yang sengaja memegang tubuh kita berdua, mungkin mereka akan tersengat dingin tubuh kita. Mungkin mereka pun menjadi es seperti kita.

Dan dugaanku benar.

Seorang gelandangan yang mendorong troli besar penuh barang rongsokan tak berguna, rupanya penasaran dengan onggokan batu es yang menyerupai dua manusia yang sedang meringkuk. Itu kita.

Ia, lalu mendekati kita. Aku masih bisa melihat dari balik bening es yang membalut tubuhku. Aku tahu, kau pun masih melihatku sebagai sebongkah es yang meringkuk. Kau pun melihat, perlahan-lahan, gelandangan itu mendekati kita berdua. Sepertinya ia ingin memastikan bahwa onggokan itu benar-benar es. Ia tampak ragu-ragu. Tapi rasa penasarannya mengusai dirinya, ia lalu memegang kita berdua. Ia mengelus-elus kita berdua, ia begitu takjub.

“Seniman patung es kaliber dunia manapun tak akan bisa menciptakan sebongkah batu es mirip manusia.” Ia berdesis. Kita mendengar pengemis itu begitu memuja-muji rupa es kita.

Maka kesalahan terbesar telah dilakukan oleh gelandangan itu, seperti yang aku bilang. Kita sangat teramat dingin untuk ukuran dingin es. Maka perlahan-lahan, gelandangan itu mendadak membeku dari ujung kakinya merembet hingga ujung kepalanya menjadi bongkahan es menyerupai manusia yang sedang memegang kepala kedua anaknya. Ah, Tere ia pun pasti merasakan sensasi dingin saat tubuhnya dijalari dingin menjadi batu es.

Masihkah kau ingat, bahwa musim dingin di tahun itu adalah musim dingin terpanjang dalam sejarah peradaban manusia di Amerika. Tak perlu aku ceritakan padamu, karena kuyakin kau masih ingat. Apakah ini akibat pemanasan global? Mana aku tahu Tere.

Beberapa saat setelah si gelandangan itu menjadi es seperti kita, para pejalan kaki yang kebetulan melewati trotoar jalan sepi di bawah jembatan Golden Gate yang angkuh dan sunyi itu, kemudian mengerubungi kita. Mereka terkagum-kagum dengan tubuh es kita. Bahkan ada yang berseru dan bertanya: Mana pematungnya?

Tentu mereka tak akan pernah menemukan pematung itu. Karena kita terbentuk dari dingin. Bukan dari liukan pahatan tangan manusia.

Belum juga tuntas rasa kagum mereka, seorang dari mereka, perempuan cantik berleher jenjang, memegang kita begitu lama. Mengelus, merabai setiap lekuk tubuh kita dan bahkan ia menciumi kita satu per satu.

“Ah, bukankah ini sebuah keindahan yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata, bahkan dengan sajak seindah apapun di dunia,” gumamnya pada dirinya sendiri.

Maka tak perlu kuceritakan padamu, betapa cepat ia berubah menjadi es ketika ia mendaratkan bibirnya di pipi gelandangan itu. Seperti kita, ia lantas berubah menjadi manusia es. Perempuan itu pasti merasakan sensasi beku juga kurasa. Semua orang yang melihat terkesiap tak percaya. Kau pun melihatnya dari balik bening es di matamu.

Sejak itu, tak ada lagi orang yang berani menyentuh tubuh es kita. Mereka hanya memandang kita dengan tatapan mustahil. Kulihat mulutmu masih penuh mengulum ranting-ranting kering yang tak sempat kau telan. Tentu kau melihatku juga dengan mata yang nanar menatapmu sedih. Kita berdua melihat, gelandangan yang takjub sedang mengelus kepala kita berdua. Dan perempuan berleher jenjang sedang mencium pipi gelandangan yang sedang mengelus kita. Kita bisa melihat di antara kita, namun sebagai sebongkah es batu yang menyerupai manusia. Kita tidak bisa berkomunikasi antar kita. Apalagi melakukan perlawanan.

Ya, perlawanan. Beberapa hari kemudian, kabar membekunya kita tersiar seantero kota San Francisco. Bahkan ke semua negara bagian di Amerika yang masih diguyur salju tebal berhari-hari sampai berbulan-bulan kukira. Mungkin kabar ini telah tersebar ke seluruh penjuru dunia.

Entah untuk tujuan apa. Kita dipisahkan. Kulihat orang-orang berseragam putih-putih, bermantel tebal putih, bersepatu bot putih, bermasker putih yang menutupi seluruh wajah dan dengan sarung tangan tebal anti dingin berwarna putih mengangkat kita.

Sepertinya mereka sangat takut tersengat dingin kita, sehingga kita diperlakukan selayak virus flu yang mematikan. Mereka pun tak berani menyentuh tubuh es kita walaupun mereka telah memakai sarung tangan tebal. Ya, mana ada yang mau berubah menjadi sebongkah batu es mirip manusia. Seperti kita.

Setelah mereka mengangkat kita pada sebuah tempat. Lantas mereka memisahkan kita. Mereka menggergaji kita Tere! Suara gergaji mesin sampai kini masih terngiang-ngiang ngilu di kupingku. Mata gergaji yang tajam kemudian memutus kedua telapak tangan gelandangan yang sedang memegang kepala kita, lalu dengan garang meraung menggergaji ujung mulut perempuan berleher jenjang yang tengah mencium pipi gelandangan itu.

Mereka telah membuat kita terpisah dan sekaligus berpisah.

Selesai itu, tak lama dari pemisahan. Kita lantas dimasukkan dalam sebuah kontainer mirip portable freezer seukuran tubuh kita masing-masing. Maka sejak truk yang membawa tubuh bekuku menderu meninggalkan trotoar jalanan sunyi di kolong jembatan Golden Gate. Aku tak pernah lagi mendengar kabarmu.

Kini aku sangat rindu padamu. Tujuhbelas tahun telah berlalu. Masih ingatkah kamu?

***
Plung!

Sebutir batu es jatuh di atas gelas minuman bersoda milik seorang gadis yang tengah dikerubungi oleh teman-temannya. Gadis itu tampak sangat bahagia dan melempar senyum penuh pesona. Ia kini tengah menjadi pusat perhatian semua orang. Gadis itu sedang merayakan hari ulang tahunnya. Semua orang yang ada di sini ceria dan suasana sangat meriah.

Berpuluh-puluh gelas minuman siap menuntaskan dahaga para undangan. Makanan pun berlimpah.

Plung!

Sebutir es batu jatuh lagi di gelas yang lain. Berdenting.

Plung!

Plung!

Plung!

Semakin banyak butiran-butiran batu es berjatuhan di atas gelas-gelas yang lain, bunyi air minuman bersoda bergemericik saat batu es berjatuhan. Dan gelasnya berdenting-denting.

“Apakah itu kamu Tere?” ***


Pondok Indah, Jakarta, 13 Juli 2009

Minggu, 30 Agustus 2009

Cerpen Bamby di Harian Global Medan

Cerpen ini dimuat di Harian GLOBAL Medan, edisi hari Sabtu tanggal 29 Agustus 2009:

KARYAWAN TUA

Oleh: Bamby Cahyadi


KARYAWAN tua itu terlihat lebih rapi. Kemeja warna putih membalut tubuhnya. Dasi warna biru muda terikat di lehernya. Dengan pantalon hitam, karyawan tua itu terlihat sedikit lebih muda. Ia sangat bersemangat hari ini. Sejak masuk kantor, tadi pagi, wajahnya memantulkan binar-binar keriangan. Ia menyalakan komputer di meja kerjanya, sembari menyeruput kopi yang sudah ada di genggamannya sejak tadi. Rupanya ia menyempatkan diri mampir ke kedai kopi Starbucks di ujung utara kantor. Minuman pembuka hari yang jitu di musim dingin seperti ini.

Aku dengar dari beberapa orang yang bekerja di kantor ini, seminggu lagi ia akan pensiun. Aku tidak terlalu mengenal karyawan tua itu, baru seminggu aku bekerja di sini. Sebenarnya, mejaku dan meja karyawan tua itu hanya disekat sebuah kaca tembus pandang. Namun, karena aku dan ia berbeda departemen, aku merasa tidak perlu berbasa-basi dengannya. Atau mengenalnya lebih jauh. Lagi pula, sebentar lagi ia akan pensiun.

Orang-orang di kantor memanggilnya Pak Bijak, karena tutur bahasanya selalu bijak. Keriput di wajahnya pun menyiratkan ia memang sudah berumur. Rambutnya tidak hitam, juga tidak putih. Warnanya kelabu. Seorang teman yang lebih lama bekerja di kantor ini mengatakan ia telah memiliki enam orang cucu. Tiga laki-laki dan tiga perempuan, dari tiga orang anaknya yang semuanya perempuan. Tapi mereka sendiri belum pernah bertemu dengan istri, anak, dan cucu-cucunya sekali pun.

Karyawan tua itu menerima telepon pertama. Aku perhatikan ia selalu mengangkat telepon pada dering pertama, sebelum dering kedua berbunyi. Ia tidak suka suara berisik. Apalagi dering telepon. Karena itu, cukup sekali dering telepon singgah di kupingnya. Apabila ada karyawan lain yang malas mengangkat telepon, maka ia dengan senang hati akan segera mengangkat telepon dan menjawab salam perdana.

Begitu juga dalam urusan kebersihan area kerja di kantor. Karyawan tua itu sangat resik, tidak boleh ada sampah yang terserak di mejanya atau di meja-meja karyawan lain. Apabila ada sampah kertas sekecil pasir sekalipun, maka dengan sangat telaten ia akan memungutinya satu persatu. Bahkan, ia selalu siap dengan sebuah kain pembersih untuk membereskan debu-debu yang menempel di permukaan meja, kursi, dan komputer.

Aku lihat ia selesai menerima telepon.

Ia kembali menyeruput kopinya hingga habis, lalu sibuk dengan file-file yang tertata rapi di samping komputernya. Sesekali diturunkannya kaca mata baca hingga bertengger di ujung hidungnya. Setelah itu, ia mengetik. Berhenti sejenak, menelepon seseorang entah siapa di seberang sana. Lalu, kembali berkutat dengan keyboard dan monitor komputer, melanjutkan ketikan hingga jam makan siang berdentang.

Aku melenguh, meregangkan badan dan mematikan komputer. Sejenak aku meminum air dalam kemasan yang tersedia di atas meja, lalu mengenakan mantel yang tergantung di kursi.

Ah, betapa tidak produktifnya aku hari ini. Sampai menjelang siang, aku hanya memerhatikan karyawan tua di balik sekat bening kaca di depanku. Beberapa laporan keuangan yang seharusnya telah selesai sebelum jam duabelas, menjadi hutangku selepas makan siang nanti.

Aku sendirian berjalan menuju lift. Karyawan yang lain lebih dahulu berebutan turun untuk makan siang di kantin atau pinggiran jalan di selatan kantor. Mungkin juga di restoran berkelas di food court basement. Sekilas aku lihat, ada juga yang masih tinggal di meja kerjanya, membuka bekal makanan yang telah disiapkan dari rumah. Cukup efisien dalam situasi krisis ekonomi global saat ini.

Di dalam lift, aku bertemu karyawan tua itu. Ia sedang mengenakan jas tebal hangat. Nama lengkapnya Kevin Nelson, seperti yang tertera di name tag-nya. Aku menganggukkan kepala, seraya tersenyum kepadanya. Sudah selayaknya aku menghormatinya. Selain aku masih karyawan baru, ia juga dengan sopan mulai bertanya padaku.

“Karyawan baru?” tanyanya.

“Ya, hari ini tepat seminggu,” jawabku.

Tak lama berselang, pintu lift terbuka. Kami sudah berada di lantai dasar. Karyawan tua itu mempersilakan aku keluar duluan.

“Maaf, Anda mau makan di mana?” tanyanya lagi, begitu santun.

“Ah, saya belum punya rencana. Anda ada ide?”

Terus terang, aku belum punya rencana makan siang di mana dan mau makan apa. Selama seminggu di kantor ini, setiap hari aku makan di restoran Jepang yang terletak di areal food court
.
“Bagaimana kalau ikut saya?”

“Anda mau makan di mana?” tanyaku.

“Nanti Anda akan tahu!” katanya bersemangat. “Maaf, nama saya Nelson, Kevin Nelson. Di kantor ini, orang-orang memanggil saya Pak Bijak. Mungkin Anda sudah tahu?” karyawan tua itu terkekeh.

Aku mengulum senyum. “Nama saya Tamara.”

Pak Nelson dengan tersenyum ramah dan sedikit membungkuk, menyalamiku.
Aku membalas uluran tangannya.

“So, saya berniat mentraktir Anda makan siang hari ini,” ujarnya sambil menyebutkan sebuah nama restoran India yang cukup mahal dan ternama.
Kami berjalan menuju restoran itu, beberapa blok dari perkantoran kami.

Aku memesan masakan paling khas di restoran itu, mengikuti saran Pak Nelson. Sambil menunggu menu makanan masak dan tersaji, kami bercakap-cakap dari persoalan umum di kantor, situasi perekonomian hingga akhirnya ia bercerita tentang masa pensiunnya yang tinggal menghitung hari.

Matanya selalu berbinar. Begitu hidup. Tapi tidak setelah aku menanyakan apa yang hendak dilakukannya pada masa pensiun.

“Entah apa yang bisa saya lakukan saat pensiun nanti?” katanya. Seolah bertanya pada dirinya sendiri, binar di matanya meredup.

Aku merasa bersalah. ”Maaf.”

Karyawan tua itu menggelengkan kepala. ”Tidak apa-apa.”

Matanya mengerjap, menahan air mata.

“Saya rasa Anda akan punya banyak waktu untuk bercengkerama dengan anak-cucu,” jawabku spontan.

Sebelum ia menarik napas untuk berkata lebih lanjut, seorang pelayan restoran dengan sigap meletakkan menu makan siang kami di atas meja.

“Kita makan dulu, silakan!” ujar Pak Nelson.

“Hmm, makanan yang lezat!” gumamku.

Selesai makan siang, Pak Nelson tidak banyak bicara, tidak seperti waktu kami sedang menunggu menu makan siang tadi tersaji.

Ia lebih banyak diam.

Aku tidak mengerti perasaan seperti apa yang sedang melanda karyawan tua itu.

Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih atas makan siang yang ganjil itu.
***

Sehari kemudian, San Francisco menularkan hawa dingin. Menusuk pori-pori kulit. Menelusup ke sumsum tulang. Di balik sekat kaca bening, aku lihat kepala karyawan tua itu terkulai di atas meja, di samping komputernya. Matanya terbelalak. Kepalanya rengkah, mengeluarkan darah. Sebuah pistol masih tergenggam di tangannya. Ujung pistol itu masih mengepulkan asap. Bau sisa mesiu menyeruak di udara. Hawa kematian menebar ke segala arah.

Ia benar-benar diam, benar-benar pensiun.

Malam itu, ketika polisi mengantarkan jenazah ke rumah karyawan tua itu, polisi tidak menemukan siapa-siapa. Rumahnya lengang. Polisi hanya menemukan 10 manekin. Empat manekin perempuan dewasa, tiga manekin anak kecil perempuan dan tiga manekin anak kecil laki-laki. Semuanya berpakaian rapi dengan warna senada dan sangat bersih.

Dinding rumahnya dipenuh pigura berisi foto-foto semua pegawai kantorku. Di pigura foto yang masih baru, ada fotoku sedang menatapnya.

Tidak ada sesiapa di rumah itu.

Tidak ada keriangan sebuah keluarga. Tidak ada seorang istri seperti pernah diceritakan teman-teman kerjaku. Tidak ada tiga anak perempuan. Tidak ada tiga pasang cucu.

Hanya ada 10 boneka manekin.

Dan pigura berisi foto-foto.

Di luar, halimun tebal memeluk seluruh kota, merengkuh jembatan Golden Gate yang angkuh, sampai pagi tiba kembali.***

| Jakarta | 30 November 2008 | 23.55 WIB |

Minggu, 26 Juli 2009

Cerpen Saya di Koran Tempo: Aku Bercerita dari Pesawat yang Sedang Terbang

[dimuat di Koran Tempo Minggu tanggal 26 Juli 2009]

Seandainya aku tidak terlambat pulang sekolah, mungkin aku kini tak berada di atas ketinggian 30.000 kaki. Aku melihat awan-awan kelabu tebal bararak-arak yang seolah-olah ikut menangis dari balik jendela pesawat terbang ini. Aku kembali mengusap air mataku yang jatuh membasahi pipi dengan selembar tisu.

Kulihat ibuku memandang kosong ke arah jendela yang lain di sisinya. Matanya sembab, air matanya mungkin sudah kering sejak tadi pagi. Kakakku tertidur di bangku pesawat di samping ibu. Nenyak sekali tidurnya, paling tidak ia bisa melupakan sejenak kesedihan yang tadi malam tiba-tiba merenggut kebahagiaan kami sebagai suatu keluarga.

Aku kembali menerawang memandang awan-awan kelabu tebal yang seolah menangis itu. Laju pesawat kukira membelah gerombolan awan-awan itu, buyar. Berpencar. Seperti kami, keluarga yang baru saja tercabik.

Baiklah, mungkin kalian akan bertanya-tanya, sedang membuat cerita seperti apakah aku sekarang? Mari kita kembali, di hari kemarin. Di mana ceritaku ini bermula.

***
Hari Kamis, menjelang sore. Seharusnya aku sudah berada di rumah, namun entah kenapa aku mau saja terbujuk rayuan Yopi, Turman dan Panca usai bubaran sekolah. Ya, memang ada pelajaran tambahan yang diadakan oleh sekolah dalam rangka persiapan kami mengikuti Ujian Nasional. Sehingga menjelang sore kami baru keluar dari kelas.

Semula Yopi yang iseng mengusulkan sebuah ide dan ide tersebut diamini oleh Turman dan Panca. Yopi mengajak kami untuk jalan-jalan ke sebuah mal dan nonton film. Ide itu menggodaku juga. Tanpa pikir panjang, kami beramai-ramai menuju sebuah mal, tentu dengan menutup atribut seragam sekolah dengan jaket dan rompi.

Sewaktu kami sedang di taksi meluncur ke mal. Aku teringat sesuatu. Aku belum mengabarkan kepada ibuku, bahwa aku tidak langsung pulang ke rumah selesai pelajaran tambahan. Namun ternyata hapeku mati. Baterainya habis. Teman-temanku tak memiliki pulsa cukup hanya untuk sekadar mengirim sms ke hape ibu.

Rencananya aku akan menelepon ibu sesampai di mal nanti. Tetapi ternyata kemeriahan mal sore itu membuat aku lupa untuk menelepon ibu di rumah. Kami langsung terhanyut oleh suasana keramaian dan keceriaan mal. Terus terang aku dan teman-teman memang paling senang berada dan berlama-lama di mal ketimbang di sekolah. Ya, namanya juga anak muda. Kami baru kelas tiga SMP dan bulan depan kami akan mengikuti Ujian Nasional.

Tentu saja menghadapi Ujian Nasional kami merasa tertekan, stres. Sehingga ide Yopi untuk menyambangi mal dan nonton film adalah ide yang brilian. Sebelum menuju studio bioskop, kami membeli makanan dan minuman ringan di sebuah supermarket di lantai basement. Lalu makanan dan minuman itu kami masukkan ke dalam tas dan ransel masing-masing. Karena kalau ketahuan oleh petugas bioskop, bisa-bisa kami tak bisa ngemil di dalam bioskop nanti.

Terkadang peraturan nonton yang melarang membawa makanan dan minuman dari luar cukup menjengkelkan kami para pelajar. Harga tiket masuk bioskop memang murah dan terjangkau. Tetapi, apabila kami harus membeli makanan dan minuman untuk cemilan nonton di kafetaria bioskop, sama saja bohong. Harga di situ, dua atau tiga kali lipat harga di supermarket atau di warung-warung.

Kami memilih nonton sebuah film remaja di salah satu studio di bioskop mal terbesar dan termegah di kota ini. Film yang sedang digandrungi oleh para remaja masa kini. Tentu kami sangat ceria, tertawa-tawa cekikikan dan sambil bercanda. Film yang kami tonton juga sangat seru.

Aku benar-benar lupa, bahwa aku belum pernah pulang terlambat seusai sekolah. Aku benar-benar lupa, bahwa aku belum memberitahu perihal aku jalan-jalan ke mal dan nonton hingga malam hari kepada ibu atau ayahku.

Usai nonton baru aku menyadari hari telah bergulir malam. Langit telah menghitam, lampu-lampu jalan berpendar-pendar dan pijaran lampu dari gedung-gedung bertingkat telah menerangi sebagian gelap malam.

Aku memutuskan pulang duluan. Tak kuhiraukan lagi rayuan Yopi yang akan mentraktir kami makan di sebuah restoran burger ternama.

Sesampai di rumah, ibu telah menungguku dengan cemas di depan teras rumah. Kakakku juga cemas. Mereka bernafas lega ketika aku datang. Aku merasa sangat bersalah, kuciumi tangan ibu.

Aku bertanya, mana ayah? Ternyata ayah menjemputku ke sekolah. Tetapi, malah ayah yang belum pulang. Ibu kembali dilanda rasa cemas. Tiba-tiba menyeruak juga rasa cemas yang luar biasa dari dalam jiwaku. Bukan ibu saja yang merasakan, aku, dan kakakku juga. Kami kini sama-sama cemas. Malam kian larut, ayah tak kunjung pulang.

***

Tanda mengenakan sabuk pengaman menyala, disertai suara khas yang berdenting. Lantas disusul suara pilot pesawat menyampaikan sesuatu membelah sunyi kabin. Rupanya, pesawat akan melewati badai yang terjadi di depan. Guncangan akibat badai mungkin akan terjadi beberapa saat. Penumpang tetap tenang.

Aku melihat penumpang yang lain bergegas menyematkan sabuk pengaman. Beberapa di antara mereka terlihat berkomat-kamit, mungkin berdoa. Ya, berdoa. Bukankah berdoa akan menentramkan jiwamu? Melepasmu dari kecemasan? Kulihat ibu memandangku. Kakakku masih tertidur di kursi samping ibu. Begitu nyenyak ia tertidur.

Pandangan ibu masih hampa. Ada derita di bolamatanya. Derita yang kini kutanggung juga. Sepertinya kami sepakat untuk tidak berdoa. Atau mungkin berdoa, boleh jadi berdoa untuk sesuatu yang lain.

Ketika badan pesawat betul-betul terguncang-guncang, aku sempat berharap. Berharap pesawat ini benar-benar terguncang lebih dashyat. Lebih bergoyang-goyang dari ini. Lalu tersambar petir, lalu pecah, meledak berkeping-keping bersama tubuh-tubuh di dalamnya. Atau, aku berharap pesawat ini jatuh. Menghunjam bumi atau tenggelam di dasar samudera yang berada di bawah sana. Lalu hilang bersama kami, tubuh-tubuh yang ada di dalamnya.

Aku melilirik ibuku. Ia, membalas melirikku. Ibu tersenyum hampa. Aku tahu, ibu pun ingin pesawat ini jatuh. Dan kami mati. Mati bersama. Kakakku terbangun dari tidurnya yang lelap, mungkin mimpinya terganggu oleh guncangan. Ia, lalu menggamit tangan ibuku. Ia juga menatapku lekat. Semoga kita mati bersama.

Pesawat terguncang sungguh sangat lama. Penumpang yang lain mulai panik. Ada yang berteriak-teriak, ada yang menangis dan banyak juga yang menyebut nama kebesaran Tuhan. Oh, Tuhan yang Mahaberkehendak jatuhkan pesawat ini. Jatuhkan pesawat ini. Mulutku berkomat-kamit, berdoa agar pesawat ini benar-benar jatuh.

Aku ingin bersama ayahku!

Aku menangis lagi. Menangis sejadi-jadinya. Tersedu-sedu, sangat pedih, sangat sedih. Ayah, aku ingin bersamamu. Ibu juga, kakak juga.

Pikiranku kembali melayang.

Baiklah, aku lanjutkan lagi cerita yang sedang kubuat ini. Lupakan pesawat kami yang sedang terguncang-guncang di hantam badai. Karena pilot pesawat ini telah bertindak cerdik, ia menaikkan ketinggian pesawat menjadi 35.000 kaki. Dan, pesawat kami tidak pernah jatuh.

***
Ayahku belum juga kunjung pulang sampai selarut ini. Aku menyesal telah membuat ayah bersusah payah menyusulku ke sekolah. Pasti ayah tak akan menemukan siapa-siapa. Karena pada saat itu, aku, Yopi, Turman dan Panca telah lebih dahulu meninggalkan sekolah menuju mal. Ia hanya akan menemui halaman sekolah yang telah kosong melompong.

Aku merasa sangat bersalah telah membuat ibuku cemas, menungguku. Menyesal membuat ayah menjemputku. Kakakku hanya mengusap rambutku ketika aku pulang selesai nonton. “Jangan kau lakukakan lagi, kasihan ibu,” katanya mengacak rambutku. Aku tersenyum, meminta maaf padanya. “Tak perlu Dik. Kita tunggu ayah pulang,” lanjutnya.

Ibu berkali-kali menelepon hape ayah. Tetapi ayah tak pernah menjawabnya. Ibu hanya ingin memberitahu, bahwa aku sudah berada di rumah. Aku hanya pergi menonton film di mal. Aku tidak melakukan aktivitas yang berbahaya, walaupun aku terlambat pulang dari sekolah. Mungkin ibu juga akan bilang, aku tak senakal seperti yang mereka pikirkan.

Aku nakal, aku akui. Aku sering terlibat dalam tawuran sekolah dengan musuh bebuyutan sekolah kami. Tapi aku hanya ikut-ikutan, bukan tokoh utama. Atau aku suka meninggalkan pelajaran tak aku sukai, semisal matematika dan bahasa Inggris. Tapi itu kenakalan yang wajar bukan? Lagi pula aku tak suka gurunya. Aku tak pernah terlibat narkoba atau pergaulan seks bebas. Maaf, bukan aku itu! Ya, aku tidak senakal itu. Katakan kepada ayah.

“Aneh, kenapa ayah tidak mengangkat telepon dari ibu ya?” Ibu bertanya bukan pada kami, seolah ia bertanya pada ayah yang belum juga pulang. Padahal malam semakin larut. Gelap di luar semakin kelam, kesiur angin malam menghempas daun pintu rumah kami. Tiba-tiba telepon rumah berdering.

Ibu berlari menuju meja telepon. Ibu dengan cepat mengangkat gagang telepon. Ibu tak lagi berucap selain kata halo. Lantas ibu seperti tercekat. Tangannya gemetar. Telepon itu bukan dari ayah. Ibu limbung, badannya terhuyung saat meletakkan gagang telepon pada tempatnya. Kakakku memegang ibu, aku menghampiri ibu dengan pandangan bertanya.

“Ada apa Bu?”

“Tadi telepon dari rumah sakit. Cepat kita ke sana!”

Dengan bergegas kami menyetop taksi yang lewat. Ibu menyebutkan alamat sebuah rumah sakit di kota ini. Sopir taksi paham betul letak rumah sakit itu. Ibu menyuruhnya untuk tancap gas lebih dalam. Lebih dalam lagi. Jantungku berdetak sangat keras. Pembuluh darahku membesar berdesir-desir. Ah, aku tak suka keadaan seperti ini. Mau pingsan rasanya.

***

Lampu tanda mengenakan sabuk pengaman padam, disertai suara dentingan yang khas. Ting! Penumpang menghembuskan napasnya yang tertahan, lega. Kami tak jadi mati bersama. Tubuh kami tak jadi hancur berkeping-keping bersama serpihan badan pesawat yang hancur terkena badai. Dengan intonasi suara yang tak berubah (pasti pilot telah dilatih untuk bersuara dengan irama datar), pilot melaporkan bahwa cuaca kini telah cerah kembali. Dipastikan dalam waktu tidak kurang dari 45 menit lagi kami akan mendarat di Jakarta.

Ibu tampak kecewa. Begitu juga aku, begitu juga kakakku. Bukankah kami telah memanjatkan doa agar pesawat ini jatuh? Ternyata pesawat tidak jatuh, doa kami tak dikabulkan. Mungkin karena kami hanya bertiga. Lebih banyak penumpang yang memohon keselamatan. Itulah sebab, mengapa orang lebih suka berdoa bersama-sama. Tidak bertiga, apalagi sendiri. Bukankah mereka lebih dominan di hadapan Tuhan? Apalah kami yang cuma bertiga.

Oh, tidak. Kami tidak bertiga. Ada ayah dalam pesawat ini bersama kami. Tapi, apakah tadi ayah ikut berdoa?

Pasti kalian heran. Sedari tadi aku bercerita tentang keadaan kami dalam pesawat yang sedang terbang ini, tak pernah menyinggung soal ayahku. Lalu, kenapa aku katakan bahwa kami tidak bertiga?

Ya, ayahku berada dalam pesawat ini juga. Tidak percaya? Ayah berada di tempat yang lain. Ya, di tempat yang lain masih di pesawat ini.
Bolehkah aku mengajak kalian mendengarkan kisahku lagi? Sedikit lagi saja.

***

Aroma rumah sakit menyeruak, ketika kami sampai di pelataran rumah sakit. Baunya membuatku mual. Aku tidak suka rumah sakit. Baunya, bau kematian. Seorang polisi telah menunggu di depan ruang Unit Gawat Darurat.

Ibuku berlari masuk ke ruang itu. Tak dihiraukannya polisi yang akan menjelaskan sesuatu. Aku dan kakakku mempercepat langkah setengah berlari menyusul ibu yang telah masuk duluan.

Ruangan seketika mendadak hening. Sangat senyap, sunyi menjalari malam. Sepertinya semua orang, semua benda hidup, benda mati, apakah itu malaikat atau ruh gentayangan sekalipun tahu dan bersepakat, bahwa saat ini bukan waktu yang tepat bagi mereka untuk bersuara. Saat ini waktu untuk kami. Sungguh waktu untuk kami.

Ibu menangis menyayat-nyayat. Aku menangis meraung-raung. Kakakku menangis tertahan dengan air mata berderai-derai.

Ayahku tersenyum sebagai mayat.

***

Kami tidak bertiga, kami berempat. Ayahku berada di lambung pesawat ini juga. Di dalam peti mati bersama koper-koper besar dan barang-barang kargo lainnya di bagasi pesawat. Kami mengantar ayah untuk pulang.

Hari Jumat menjelang siang. Pesawat telah mendarat dengan selamat.***

Jakarta, 29-30 Juni dan 1 Juli 2009

Minggu, 05 Juli 2009

HUDAN HIDAYAT dalam MENGANTAR AYAH cerpen Bamby Cahyadi

Sastra yang berhasil selalu meninggalkan jejak pada pembacanya. Jejak yang tak hendak hilang, jejak yang dalam. Jejak yang muncul dari totalitas cerita, menjadi kesan yang berdiam dalam benak pembacanya. Jejak yang membuat kita memikirkan terus apa dan mengapa hidup ini.

Cerita pendek Bamby Cahyadi, Mengantar Ayah, saya kira adalah cerita yang meninggalkan kesan semacam itu.

Mengantar Ayah adalah suatu satire, suatu ejekan, akan suatu "momen" panjang dalam sebuah masyarakat. Ejekan bahwa pencarian kebenaran, seolah dalam situasi malam, malam yang mengacu kepada sesuatu yang tak jelas. Pencarian sang Bapak atas sang anak di suatu malam bisa menjadi sebuah lambang pencarian sang Bapak - manusia - akan kebenaran itu sendiri. Anak yang dalam anggapan sebuah keluarga tak pulang, belum kembali, menjadi anak yang telah hilang, menjadi kebenaran yang telah hilang, dan kini sang Bapak masuk ke dalam malam, ke dalam pencarian sang anak kebenaran, yang seolah ada di suatu tempat - malam, suatu keadaan yang hitam tak jelas, penuh pertanyaan di balik misteri dan diamnya malam. Begitulah sebuah prosa yang baik bisa berwatak puisi - penuh asosiasi dalam dirinya sendiri.

Asosiasi ganda. Dari asosiasi kedua "keluarga yang membawa mayat ke dalam koper" itu, sebagai keluarga yang sedang mengalami nasib aneh yang absurd. Bahwa sang anggota keluarga kini pulang dari suatu keadaan dan telah menjadi mayat. Mengantar ayah dengan koper semacam itu, merebakkan suatu kasus kematian aktivis yang tiba-tiba meninggal dan kini tubuhnya pulang dengan koper yang ditenteng oleh pesawat udara. Lazimnya sang mayat ditaruh ke dalam peti mati. Tapi disimpan dalam koper, dibawa pesawat, bisa mengacu kepada asosiasi ganda yang lain lagi: pesawat sebagai motede kematian yang berjalan cepat, cepat cepat menghujamkan kematian kepada siapa yang dikehendakinya. Koper sebagai lambang kematian yang tak normal, dari seseorang yang ingin mendambakan kebenaran hidup bersama sesuai apa yang menjadi keyakinannya.

Begitulah cerita Bamby Cahyadi, sang pengarang yang telah mencapai tehnik bercerita seperti pengarang yang terdahulu kita yakni Putu Wijaya atau Budi Darma, telah melipatgandakan makna-makna asosiatif terhadap dunia ceritanya.

Makna asosiatif itu sendiri mungkin bukan muncul dari kehendak sang pengarang dengan sadar. Seperti galibnya cerita fiksi, biasanya pengarang ditarik oleh cerita itu sendiri. Bamby ditarik oleh misteri yang dikandung oleh cerita Mengantar Ayah. Ia mengikuti hukum cerita sebagai suatu permainan, permainan yang diperagakannya sebagai pengarang yang bisa menyetop ceritanya dalam suatu perhentian, dalam suatu stop cerita yang diberinya canda: sampai di sini dulu, bersambung, sambil melakukan hal yang jarang dilakukan oleh para pengarang yang tak hidup di dunia maya, yakni ha ha hi hi. Haha hihi sebagai suatu tehnik yang membuat pengarang tiba-tiba berjarak dengan dunia ceritanya. Seolah cerita mendadak terlepas, lepas dari momen sebelumnya di mana sang pengarang masuk sebagai narator yang bersembunyi di dalam cerita, dan kini narator itu berbicara dengan familiar kepada pembacanya.

Seolah pada saat itu ia seakan mengingatkan fungsi seorang observer, pengamat yang lagi menatapi suatu gejala masyarakat, dan cara ia mendekat kepada pembacanya serupa itu, adalah seakan suara sang observer tadi meminta perhatian kepada masyarakat pembacanya tentang sebuah satire, sebuah ejekan yang sedang dibangunkannya dalam suatu cerita. Mengantar Ayah terasa sebagai mengantar pikiran ke tengah masyarakat akan suatu upaya pencarian kebenaran. Mengantar sebuah wacana ke tengah masyarakat untuk terus menggeluit kebenaran akan tiap sesuatu yang tak terjelaskan, yang absurd, tapi diteriakkan terus oleh nurani masyarakat yang damba akan ketenangan hidup bersama.

Satire itu datang dari tingkatan relasional horisontal dalam masyarakat, dan ia bergerak menjadi ironi saat cerita ditransendir, atau saat cerita memiliki dimensi transendensinya. Pada saat inilah cerita mendapatkan watak ironinya. Yakni sebuah kesia-siaan yang datang dari nasib sang Ayah yang hendak menyelamatkan anaknya dari suatu malam yang hendak menelannya, tapi justru sang Ayah sendirilah yang ditelan oleh malam-malam dari suatu penamaan akan nasib yang menimpanya. Nasib yang mengenaskan dalam pandangan manusia. Kalau majas cerita telah ditake over oleh satire, kini cerita direnggutkan oleh ironi dari nasib yang ironis itu sendiri.

Apakah penyebab kematian sang Ayah?

Ironis sekali! Ia yang pergi meninggalkan keluarganya mencari sang anak yang hilang, pulang hanya dengan sebuah berita bahwa dirinya telah meninggal. Apakah yang menjadi penyebab kematian dirinya? Jelas kecelakaan. Tapi oleh kecelakaan apa? Ada polisi di sana - di rumah sakit itu, tapi common sensenya dilalui saja oleh Bamby: ia ingin langsung memeluk dan berhadapan dengan ironi itu sendiri. Yakni sang Ayah, sang kepala keluarga, yang kini telah mati secara ironis.

Disisihkannya penjelasan dunia atas kematian semacam itu. Ia langsung hendak memeluk absurditas dari kematian. dari wajah kematian yang selalu tak jelas. Seolah sia-sia belaka apa yang dibangunkan oleh manusia ke dalam penyebutan bahagia. Kalau kematian bisa datang di mana-mana dan kapan saja. Kalau Mengantar Ayah, adalah suatu fakta yang tak terbantahkan. Suatu fakta, suatu kepastian, yang tak bisa ditolak. Dalam situasi seperti itu, satire tak dibutuhkan lagi. Tapi kita langsung memeluk dan bergelut dengan ironi.

Kematian yang sia-sia. Dari hidup yang sia-sia, telah diperagakan dengan telak dan amat indah dalam cerita pengarang Bamby Cahyadi. Dan itulah suatu teks yang datang dari bumi. Bagaimana dengan teks dari langit sendiri tentangnya?


Dua Kesia-siaan - Langit

Saya tahu dunia tak bisa meninggalkan langit, langit yang menjadi pusat pemaknaan. Karena dunia sendiri adalah sesuatu yang harus memaknai. Bukan sesuatu yang dimaknai. Dalam perspektif luasnya, tak mungkin dunia yang sedang berpikir akan sebuah pemaknaan tiap kehadiran - katakanlah kehadiran dari sang ayah yang mati itu, bisa memaknai dirinya sendiri. Saat kita berpikir, adalah saat kita tak bisa memikirkan pikiran itu sendiri. sebab pikiran itulah yang menjadi instrumen kita berpikir. Dan pikiran selalu mengacu ke luar dirinya. Bahkan saat kita berpikir akan pikiran kita sendiri, pikiran itu sedang bergerak memikirkan dirinya. Selalu ia keluar, tak bisa ke dalam. analog barangkali bisa kita acukan dengan kita dan bayangan. Bayangan, tak bisa bergerak dan lepas dari sang badan. Selalu bayangan bergerak karena sang badan ditiup oleh angin. Sekeras apapun angin meniup bayangan, tanpa badannya, bayangan itu tidak akan bergerak. Bahkan tak ada bayangan tanpa ada suatu badan.

Kira-kira dalam situasi seperti itulah seorang pemikir filsafat berkata, bahwa dalam situasi yang kita tak bisa lagi bicara, kita harus diam. Sebuah pernyataan yang mengingatkan saya akan terdiamnya sang malaikat saat tuhan bertanya: apakah nama nama (benda benda) ini? Dan malaikat pun berdiam diri.

Kita pun akan berdiam diri. hanya hendak bicara sedikit saja. Mengacukan kediaman kita kepada dua frasa yang tersebut dengan amat indah, frasa yang datang dari langit. Indah dalam susunan bahasanya tapi mematikan dan menghidupkan dalam siratan maknanya. Sehingga cerita semacam Bamby itu bisa menjadi, atau diacukan, kepada makna yang mematikan dan menghidupkan itu.

Saya kutipkan penuh al hadid, besi.

Nah besi, suatu lambang yang bisa membawa kematian dan bisa membawa kehidupan, telah menjadi pintu masuk dari sebuah suara yang datang dari langit. Seakan dengan identitas besi, dan dengan bagian bagiannya, langit itu hendak berkata begitulah dunia yang kalian diami: ada besi yang menghidupkan kamu (kamu naik pesawat), tapi ada juga besi yang sekaligus membunuh kamu (kamu pun naik pesawat).

Dan di situlah makna kuat dari cerita semacam Mengantar Ayah, yakni saat dipakainya pesawat, burung besi itu, untuk mengantarkan sebuah kematian yang disebabkan oleh sesuatu benda keras yang menimpa sang Ayah, besi, tapi sekaligus menghidupkan pula sang keluarga yang tak jadi mati karena burung besi tak jadi jatuh, hidup kembali dengan mengantarkan sang ia yang telah mati. Bahwa ia yang telah dan masih hidup akan melanjutkan juga kehidupannya dengan besi-besi yang membuat orang, atau manusia, hidup dan bisa melanjutkan kehidupannya.

Tapi hidup memang tak bermakna. Dengan besi yang menghidupkan dan dengan besi yang mematikan, hidup memang tidak bermakna. Sebab makna hidup telah diletakkan oleh langit ke dalam suatu permainan, senda gurau, yang telah disebutkan oleh langit itu sendiri. Seperti pada bagian 20 yang bisa kita baca.

"ketahuilah olehmu, sungguh
kehidupan di dunia hanyalah
permainan dan hiburan,
bermegah megah dan adu kesombongan
antara kamu,
berlomba kekayaan dan keturunan.
dapat diumpamakan seperti hujan.
tanam tanaman yang ditumbuhkannya,
menakjubkan para petani,
kemudian menjadi layu.
lalu tampak menjadi kuning,
kemudian luluh karena kering.
tapi di akhirat ada azab
yang sangat dahsyat
dan ada pula ampunan dari allah
dan keridhaannya.
kehidupan di dunia hanyalah
kesenangan tipuan belaka."

Dan kita tahu betapa benar al hadid ini, benar karena secara empirik apa yang disuarakannya adalah wajah wajah di belahan dunia manapun, di belahan waktu di dunia manapun. Benar di dalam besi itu ada penjelasan, semacam optimisme yang berhembus, atau dihembuskan, bahwa di sana kelak ada ampunan. Tapi penjelasan semacam itu tak menentramkan kita, saat pikiran kita tak hendak diam, diam dari permintaan yang datang dari ahli filsafat yang telah kita katakan tadi, maupun diam dari kata langit itu sendiri dengan kias sang malaikat yang bungkam di depan pertanyaan, saat gagal membaui nama benda- benda.

Tapi suara semacam itu muncul pula dari kitab langit yang lain, injil, yang dalam pengkotbah satu memuat frasa kesia-siaan itu. Bagi saya frasa langit ini tak perlu dipertentangkan sebagai rentang pertanyaan, manakah yang benar dengan frasa langit yang telah saya kutip dari HB Jassin berjudul bacaan mulia tadi.

Langit itu mungkin terpecah, belah tiga oleh manusia. Tapi saya kira langit itu walau pecah dalam benak manusia, adalah tetap langit yang sama dengan wajah kisah yang sama pada esensinya. Seperti yang saya lihat kesamaannya dari pengkotbah bagian satu ini.

"Kesia-siaan belaka, kesia-siaan belaka. Segala sesuatu adalah sia-sia. Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari? Keturunan yang satu pergi dan keturunan yang lain datang, tetapi bumi tetap ada 'abadi'.

Matahari terbit, matahari terbenam, lalu terburu-buru menuju tempat ia terbit kembali. Angin bertiup ke selatan, lalu berputar putar ke utara, terus menerus ia berputar, dan dalam putarannya angin itu kembali.

Semua sungai mengalir ke luat, tapi laut tidak juga menjadi penuh; ke mana sungai mengalir, ke situ sungai mengalir selalu. Segala sesuatu menjemukan, sehingga tak terkatakan oleh manusia; mata tak kenyang melihat, telinga tak puas mendengar.

Apa yang pernah ada akan ada lagi, apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. Adakah sesuatu yang bisa dikatakan: “lihatlah ini baru? Tetapi itu sudah ada dulu, lama sebelum kita ada. Kenangan-kenangan dari masa lampau tidak ada, dan dari masa depan yang akan datang pun tidak akan ada kenangan pada mereka yang hidup sesudahnya."

Hudan Hidayat, Juli 2009

Sabtu, 20 Juni 2009

Pemihakan Goenawan Mohamad


Pada acara kuliah umum tentang Humanisme di Salihara tanggal 20 Juni 2009, GM menjawab pertanyaan tentang keberpihakannya terhadap Boediono (Cawapres SBY).

"Ya, saya memilih/memihak kepada Boediono karena, dia tidak pernah menculik teman saya!" Disambut gelak tawa hadirin. Mengenai isu neoliberalisme, GM malah balik bertanya,"memang apa itu neolib?".... Kata Andreas Harsono, sebuah pernyataan yang sangat jitu dari seorang GM. (hanya bisa dibaca di satus facebook saya)

"Sewaktu pemilu legislatif lalu, saya pun berpihak. Saya mencontreng PDIP. Karena Partai itu yang menentang UU Pornografi!" katanya, "namun setelah itu saya kecewa dengan pilihan saya, begitupun dengan PAN," lanjutnya.

"Nah, kita harus mampu membentuk komunitas di mana kapitalisme tidak mendikte kita. Dan negara tidak mendikte kita. Seperti di sini!" ujar GM sambil menunjuk ke tanah. Ya, itulah Salihara.