Minggu, 25 Oktober 2009

Menyikapi Cerpen Jurnal Bogor dan Lampung Pos

Ada dua cerita dengan nama tokoh berbeda [kasus plagiat?]
Share
Today at 8:51am | Edit Note | Delete
Pagi ini, seperti pagi hari minggu yang lalu. Biasanya aku rajin mengamati cerpen-cerpen yang tampil di koran minggu. Pas, saat itu, Vivi Diani Savitri (Cerpenis) sms. Katanya, ada cerpen karya Khrisna Pabichara yang mirip dengan cerpen yang tampil di Lampung Pos minggu ini (25/10/2009).

Silakan baca dan bandingkan ke-2 link ini.

1. Jurnal Bogor (cerpen khrisna pabichara):

http://www.jurnalbogor.com/?p=54993

2. Lampung Pos (cerpen Y. Wibowo):

http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009102418580311

Bagaimana hasilnya? Silakan membuat kesimpulan sendiri. Kita bukan hakim.
Written 15 hours ago · Comment · Like / Unlike
Ida Nursanti Basuni, Andreas T Wong, Ria Aprilia and 5 others like this.
Eri Irawan
Eri Irawan
Kita tetap harus hati-hati menyikapinya, Mas Bams. Jangan sampai sikap kita yang berlebihan malah menghabisi karis cerpenis yang bersangkutan. Bukannya permisif, sih, tapi ini mungkin menyangkut nasib orang.
14 hours ago · Delete
Eri Irawan
Eri Irawan
karir, maksudnya.
14 hours ago · Delete
Bamby Cahyadi
Bamby Cahyadi
Iya mas Eri, makanya aku tampilkan ke-2 link tersebut, agar pembaca saja yang mengambil keputusan, apakah hal tersebut kasus plagiat, atau hanya punya kesamaan ide dan deskripsi cerita yang "hampir" mirip.

Saya pun sudah konfirmasi kepada KP, apakah ia menulis cerpen dengan nama samaran, tetapi ternyata tidak.

Setahu saya Y. Wibowo, juga seorang cerpenis. Dan karya-karyanya ada. Mudah-mudahan, sikap saya ini tidak berlebihan ya? Hehehe, mantrabs.
14 hours ago · Delete
Weni Suryandari
Weni Suryandari
nah lho1. harus hati2 ya...gilee...makanya aku takut banget mau posting sering2.... kasus seperti ini kerap terjadi katanya...
14 hours ago · Delete
Benny Arnas
Benny Arnas
Baca dulu ya, Mas....
14 hours ago · Delete
Benny Arnas
Benny Arnas
Baca dulu ya, Mas....
14 hours ago · Delete
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Saya pribadi pun mencari dan menunggu kabar dari rekan Y. Wibowo. Sebagai sesama orang yang menggantungkan hidup di dunia tulisan, saya tetap berhati-hati. Saya pun tidak ingin menjadi penyebab "matinya" karier seseorang.

Salam takzim, KP
14 hours ago · Delete
Bamby Cahyadi
Bamby Cahyadi
Y. Wibowo juga cerpenis mas, karya-karya yg lain ada di sriti.com... semoga ada klarifikasinya
14 hours ago · Delete
Mh Poetra
Mh Poetra
Iya mas..
Ada sisi lain juga mungkin.

Apa karna kepepet bgt jadi limbung, eh ketepatan sedang baca cerpen mas khris yg keren, jadi seperti nemu jalan terang, yg pintas tentunya.
... Read More
Dan terjadilah..
Hehe

Tetap semangat mas
:)
14 hours ago · Delete
Bamby Cahyadi
Bamby Cahyadi
Paragraf awal versi KP (jurnal bogor)

HELGA Suryandari nama aslinya. Tak terlalu cantik dibandingkan ibu-ibu lain di desa Adi. Juga tidak terlalu kaya. Biasa saja. Tapi, orangnya sangat ramah. Karena keramahannya, warga sedesa mengenalnya. Bahkan, satu kecamatan. Tidak heran jika dia digelari Perempuan dengan Senyum Paling Ramah. Dia ramah pada ... Read Moresiapa saja, kapan dan di mana saja. Karena itu dia dipanggil Ibu Ramah, bukan Ibu Helga. Karena itu pula dia dilamar partai-yang gemar menampung orang terkenal-untuk mencalonkan diri sebagai anggota dewan.
14 hours ago · Delete
Bamby Cahyadi
Bamby Cahyadi
Paragraf kedua versi Y.W (lampung pos):

Rahayu Sari, ibu Ratna, tak terlalu cantik dibandingkan ibu-ibu lain di desa, juga tidak terlalu kaya. Biasa saja. Tapi, orangnya sangat ramah. Karena keramahannya, warga sedesa mengenalnya. Bahkan, satu kecamatan. Tidak heran jika dia digelari perempuan dengan senyum paling ramah. Dia ramah pada siapa saja, kapan, dan di mana saja. Karena itu dia dipanggil Ibu Ramah, bukan Ibu Rahayu atau Ibu Sari.
14 hours ago · Delete
Benny Arnas
Benny Arnas
BARU PERCAYA:
WAH, AKU JUGA GAK RELA!!! MAS KP, apa yg bisa saya bantu?!!! Geram nihh!
14 hours ago · Delete
Bamby Cahyadi
Bamby Cahyadi
@ KP: aku rasa, ada bagian panjang pada cerpen lampos yang ngambil dari versi naskah asli (sebelum edit) di Jurnal Bogor. Hehe... sabar ya mas khris, namamu makin berkibar saja sbg cerpenis.
14 hours ago · Delete
Aris Kurniawan
Aris Kurniawan
Kurasa ini benar kasus jiplakan. Alur dan ide ceritanya sama. Turut prihatin...
14 hours ago · Delete
Erna Rasyid
Erna Rasyid
dari dlu bxk kasus seprti ini/tp sllu sj brdalih KREATIFTAS. mgkn 'kreatftas menjiplak' ...
14 hours ago · Delete
Fajar Alayubi
Fajar Alayubi
Saya khawatir, bila tidak ditindak lanjuti, maka akan 'menjamur' kasus seperti ini. Saya doakan semoga cepat tuntas.
14 hours ago · Delete
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara
@Mas Bamby: Saya pernah pula memosting cerpen ini di facebook note dengan judul "Berburu Kursi" sewaktu diikutkan Sayembara. Dan setelah tidak menang karena pesannya terkesan tempelan, saya permak ulang, lalu dikirim ke Jurnal Bogor.
14 hours ago · Delete
Ann Straw Navie
Ann Straw Navie
Wahahah, 95% penjiplakan ini, om! Kasian Om khrisna ya

stop piracy
14 hours ago · Delete
Bamby Cahyadi
Bamby Cahyadi
@ KP: ini potongan naskah asli "Berburu Kursi":

“Menjadi wakil rakyat itu adalah amanah. Jika saya terpilih, saya akan lebih mendahulukan kepentingan rakyat sebelum mengambil keputusan. Bagi saya, partai itu hanya jembatan. Jangan tergoda oleh nama besar, penampilan, atau iming-iming hadiah. Apalah artinya uang sepuluh ribu jika ibu-ibu sekalian menggadaikan masa depan rakyat selama lima tahun.

Dan bagian itu tak ada di cerpen JB karena sudah diedit/dipangkas.
13 hours ago · Delete
Bamby Cahyadi
Bamby Cahyadi
Namun, paragraf tsb ada pada cerpen YW :

Tiba-tiba ibunya naik ke tempat tidur. "Menjadi wakil rakyat itu amanah. Bagi saya, partai itu hanya jembatan. Jika saya terpilih, kepentingan rakyat akan didahulukan setiap mengambil keputusan. Jangan tergoda bujuk rayu, penampilan, atau hadiah. Apalah artinya uang sepuluh ribu jika menggadaikan masa depan kita selama lima tahun. Karena itu, pilih yang pasti. Pilih nomor tiga, Rahayu Sari!"

Berarti, kesimpulanku, karena cerpen ini pernah diposting di FB, maka bisa dijiplak.... Read More

Pelajaran menarik dari dunia maya, mencuat lagi nich hehe
13 hours ago · Delete
Kavellania Nona Pamela
Kavellania Nona Pamela
wahhh wahh WAAAAHHH
NGGAK YANGKA SUMPEEEHHH
13 hours ago · Delete
Weni Suryandari
Weni Suryandari
Gilaaaaaaaaaa.......nggak nyangkaaa sumpeeehhh (sama dengan Kav...) luar biasa ini, menjiplak plek plek!! menyeramkan....! duuhh Gemeeess...!!!
Dindaku, sabar...makin terkenal makin keras angin bertiup..
sabar dinda...
13 hours ago · Delete
Faradina Izdhihary
Faradina Izdhihary
Gilaaaaaaaaaaaaaaa. ada pencuri juga.....Wah trs gimana dong dgn karya2 kita di FB atau blog teman2 ???? wuah
13 hours ago · Delete
Bamby Cahyadi
Bamby Cahyadi
@ Fara: mbak Fara, kita hanya bisa saling mengingatkan dan memberitahu saja...
13 hours ago · Delete
Tatan Daniel
Tatan Daniel
Menjiplak adalah pekerjaan primitif... Primitif, Bung..
13 hours ago · Delete
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara
@Weni: Dinda akan selalu bersabar, sembari menyasar hikmah di balik semua ini...
13 hours ago · Delete
Faradina Izdhihary
Faradina Izdhihary
Mas Khrisna: Yang sabar, tapi aku gak bisaaaaaaa. gak tahan! Gregetan
13 hours ago · Delete
Guntur Alam
Guntur Alam
Aku akan hunting bukunya...
13 hours ago · Delete
Bamby Cahyadi
Bamby Cahyadi
@ Fara: terima kasih sudah mampir, gak papa yo, aku tag paling akhir hehe
13 hours ago · Delete
Guntur Alam
Guntur Alam
Maaf salah post, seharusnya di promo bukumu, Mas. Bukan catatan ini. Aku jadi malu.... ^_^
13 hours ago · Delete
Guntur Alam
Guntur Alam
Seperti yang aku sms, jerat saja dengan UU No. 19 Tahun 2002..! Jangan biarkan orang seperti itu mencoreng citra penulis. Dia pikir, karena media yang jauh (tempat dan jarak) akan membuat hal ini tak diketahui. Kesamaan ide, pengemasan ataupun teknis menulis adalah hal biasa. Tetapi, meng-copy paste, sungguh hal yang membuat saya geram...
13 hours ago · Delete
Banyu Hening
Banyu Hening
Waduh2...aku mau beli lampung post hari ini kalo begitu...
12 hours ago · Delete
Anita Rachmad
Anita Rachmad
waaaah.....
lihat di web-nya bisa gak ya ?
sumpah ! jadi penasran !
12 hours ago · Delete
Anita Rachmad
Anita Rachmad
he..he..he...tentu saja bisa !
nah yg ditampilin mas bam itu apa ! sangking nafsunya pengen liat !
12 hours ago · Delete
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Setelah lima kali saya baca, ternyata hanya ada perbedaan pada nama tokoh dan latar tempat. Selebihnya, kembar identik. Sayang sekali judul cerpen tidak termuat di Lampung Post.

Terima kasih Bang Benny dan Bang Rama Dira atas informasinya. Pun kepada Bang Guntur atas supportnya. Jadi makin semangat untuk berkarya nih
12 hours ago · Delete
Anita Rachmad
Anita Rachmad
hmm....
agak mirip memang. plek malah.
mudah mudahan memang kebetulan idenya sama ^_^
12 hours ago · Delete
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara
@Banyu: ditunggu kabarnya, Bang.

@Anita: sepertinya bukan semata mirip ide, Mbak, tetapi mirip segalanya
12 hours ago · Delete
Lily Yulianti Farid
Lily Yulianti Farid
ini plagiatisme. sudah baca dan membandingkan keduanya.
12 hours ago · Delete
Banyu Hening
Banyu Hening
Abang? Hahaha...nanti ku kabari, mas....
12 hours ago · Delete
Imam Marsus
Imam Marsus
Aku ikut prihatin dengan kasus ini. Makasih, Mas atas infonya>
12 hours ago · Delete
Cepi Sabre
Cepi Sabre
seorang politisi diharapkan untuk jujur kepada rakyatnya, tapi seorang penulis, pertama sekali, harus jujur kepada dirinya sendiri (kalau tak salah ingat, kata bur rasuanto)

saya pikir, mas bamb, semua sudah memberi penilaian sesuai bacaan masing-masing pada kedua cerpen itu. tinggal menunggu mas y.wibowo membela dirinya. atau menunggu kebesaran hatinya, lebih baik.
12 hours ago · Delete
Kajitow Elkayeni
Kajitow Elkayeni
saya turut prihatin, ini memalukan. diselesaikan dengan bijak saja mas khris. salam.
12 hours ago · Delete
Ade Anita
Ade Anita
iya.. mirip banget, cuma diubah namanya ya. Menurutku sih ini termasuk plagiat deh. Tapi... ini sering nih terjadi, terutama utk karya2 di internet (mungkin krn tidak ada perlindungannya ya?). Aku dulu pernah bantu2 jadi editor majalah Surga (dah modar sayangnya sekarang), nah... ada penulis yg ngirim tulisan utk dimuat dimajalah tersebut, ... Read Moresayangnya, penulis asli tulisan yg dikirimnya itu ternyata aku sendiri!!!... waaa.. kaget, langsung aja aku tegur. Tapi ya itu, nda bisa berbuat apa-apa wong namanya juga dunia maya.. nggak bisa dibuktiin toh? Kecuali kalau roy suryo ikut bicara...hahaha..Itu sebabnya aku tidak mau lagi nulis di internet secara serius. Tulis sebagian saja, jangan edisi lengkapnya (atau setidaknya jangan sampai melebihi 3000 karakter.. hehehe, kan ini syarat kalau mau ngirim ke media cetak), jadi jikapun ada yang berniat mencuri karya kita ya.. dia agak2 kerja keras juga deh utk memenuhi kuota minimal 3000 karakter, jadi tidak ongkang-angking diatas karya orang lain, tapi ada juga sedikit tetes keringatnya).

ayo dong teman2... dimulai atuh gerakan untuk melindungi karya2 kita yang beredar di internet...katanya ada RUU-nya.. gimana tuh kabar RUU-nya?
11 hours ago · Delete
Bamby Cahyadi
Bamby Cahyadi
@ Ade anita: saya setuju harus ada UU yg melindunginya. Tapi apakah DPR mampu?
10 hours ago · Delete
Imam Marsus
Imam Marsus
@Ade Anita&Bamby : Setuju! Kita upayakan bersama dan kasih support pihak-pihak yang mengusahakannya.
Jangan sampe kehidupan intelektual meredup gara-gara pembajakan.
10 hours ago · Delete
Kajitow Elkayeni
Kajitow Elkayeni
nah, ayo semangat!
10 hours ago · Delete
Feby Indirani
Feby Indirani
sudah baca. memang jelas nyontek, cuma mengganti nama, mengubah sedikit di sana sini.artinya nyonteknya juga kurang pinter hehehe karena ketahuan banget :)
10 hours ago · Delete
Boby Ginting
Boby Ginting
Aku uda baca link yang dikasi sama bang bamby, dan menurutku memang terlalu "kebetulan"jika "tak sengaja mirip".

Tapi agak aneh juga seorang cerpenis melakukan hal begitu, ya. Bunuh diri namanya.

Aku mau liat nih, gimana kelanjutannya. Sapa tahu malah yang kurang ajar adalah media cetaknya yang suka mencaplok nama penulis (belum tentu Y.wibowo tapi malah editor yang kurang ajar). Siapa tahu, bukan?
9 hours ago · Delete
Helga Worotitjan II
Helga Worotitjan II
sangat2 menyayangkan!
9 hours ago · Delete
Teguh Setiawan Pinang
Teguh Setiawan Pinang
sudahlah, bagi yg karyanya dijiplak ikhlas saja.... kalau ketemu si penjiplak boleh langsung "ditulisi" mukanya. hehehe.....

santai aja. penulis yang mengandalkan diri pada teknik copy-paste tidak akan pernah menjadi besar. artinya, tdk layak dianggap ancaman, apalagi pesaing. cuma ya itu tadi, kalau ketemu muka, itu muka boleh "ditulisi" ;-)
9 hours ago · Delete
Weni Suryandari
Weni Suryandari
iyaa bener kata mas TS Pinang.....apa boleh buat... meski gemas, plagiatisme tetap saja akan membunuh si plagiator....
kalo ketemu tulisi saja mukanya. hehehe
8 hours ago · Delete
Helga Worotitjan II
Helga Worotitjan II
aku sudah membaca & membandingkannya, bahkan si penjiplak tidak pny ketrmpilan menjiplak dg baik, hahaha!

Khrisna, ini pelajaran, tulisanku jg sering dijiplak, tapi bgtulah resiko melepasnya di ruang publik.......
8 hours ago · Delete
Rama Dira J
Rama Dira J
jelas : INI PLAGIAT. 90% sangat mirip. Yang diubah hanya jenis kelamin beberapa tokohnya dan deskripsi di pembukaan dan ending.
8 hours ago · Delete
Bamby Cahyadi
Bamby Cahyadi
Kayak dejavu, waktu kasusnya Langit Septa di k.com hehe. Sayangnya YW gak punya fb.
7 hours ago · Delete
Bamby Cahyadi
Bamby Cahyadi
TSP, hehe mantap "ditulisi"
7 hours ago · Delete
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara
@TSP: Iya, Mas. Saya ikhlaskan. Hehehe...
6 hours ago · Delete
Eri Irawan
Eri Irawan
Bukannya permisif, tapi tak perlu berlebihan. Kelak waktu yang akan menguji daya kepenulisan kita masing-masing. Itu saja sudah cukup. Betul kata Mas Pinang.

Sanksi cukup diberikan oleh redaktur sastra Lampung Post. Biar cerpenis itu di-black list. Kalau kita ikut menghujat di sini, dan kebetulan dibaca redaktur-redaktur koran lain, wah kasihan ... Read Moresekali tuh Y. Wibowo. Meski karyanya bagus dan orisinal (ah, adakah yang orisinal di dunia ini?!), kelak tak ada yang mau menerimanya. Maju terus untuk smuanya!
5 hours ago · Delete
Norman Erikson Pasaribu
Norman Erikson Pasaribu
Y Wibowo Parahhhhhhhhhhhhhh..
4 hours ago · Delete
Norman Erikson Pasaribu
Norman Erikson Pasaribu
Sayembara yang dimaksud bang khrisna itu Sayembara tunanetra dari MataKata itu yaa?

saya lihat di situs lain direktur MataKata itu Y.Wibowo..

ohhhh.. Gilak........
4 hours ago · Delete
Bamby Cahyadi
Bamby Cahyadi
@ norman: waduh makin runyam, bukankah KP terlibat jg dgn proyek matakata? Eh, bukan begitu?
3 hours ago · Delete
Norman Erikson Pasaribu
Norman Erikson Pasaribu
kurang tahu bang,

tapi tadi lihat di situs (mencari siapakah Y. Wibowo itu?)
ternyata dia direktur MataKata..
... Read More
KP aku kurang tahu terlibat di sayembara itu.. tp tahunya begini?? nengnong.. bingung juga.. hhe
3 hours ago · Delete
Bamby Cahyadi
Bamby Cahyadi
@ Norman: ada klarifikasi dari blog matakatakita (penyelenggara kumcer tunanetra), bahwa blog matakata YW, berbeda dgn blog Matakatakita. Nama YW tdk dikenal di matakatakita. Trims.
2 hours ago · Delete
Norman Erikson Pasaribu
Norman Erikson Pasaribu
ohhhhhhhhhhhh begitu.. oknum YW, oknum YW..
2 hours ago · Delete
Johanés Koén
Johanés Koén
Halo rekan sekalian,
saya tadi dikontak kawan Bamby tentang apa ada kaitan tentang Y. Wibowo dengan Mata Kata Kita

1. Kegiatan Sayembara Cerpen mataawas - tunanetra yang kami selenggarakan bernama Mata Kata Kita dan tidak berhubungan dengan nama-nama lain seperti Mata Kata, dsb. Alamat blog resmi kami di matakatakita dot wordpress dot com
... Read More
2. Saudara Y. Wibowo hingga saat ini tidak ada keterlibatan sama sekali baik sebagai peserta maupun penyelenggara MataKataKita dan juga kegiatan lain yang kami selenggarakan seperti iRBI, dibawah koordinasi Komunitas enamPENA.

3. Jika ada suatu hal yang harus dikonfirmasikan ulang kepada kami, rekan-rekan dapat melayangkan email di matakatakita at gmail dot com

demikian penjelasanku mewakili MataKataKita sekaligus mewakili enamPENA. semoga bisa meluruskan.
tetap semangat, Mas Khrisna..

johanes.koen
about an hour ago · Delete
Bamby Cahyadi
Bamby Cahyadi
Terima kasih mas koen. Telah mampir di sini.
about an hour ago · Delete
Norman Erikson Pasaribu
Norman Erikson Pasaribu
waduh maaf bang johannes koen.. salah info saya. hehe
about an hour ago · Delete
Johanés Koén
Johanés Koén
oke sama-sama mas bamby, dan mas norman. semoga kasus y. wibowo yang cerpennya identik dgn mas KP ini bisa segera diselesaikan baik-baik.
about an hour ago · Delete
· · ·

Rabu, 23 September 2009

Kumpulan Cerpen TANGAN UNTUK UTIK


Buku kumpulan cerpen Tangan Untuk Utik, pengarang Bamby Cahyadi. Terbit Oktober 2009. Penerbit Koekoesan.

Senin, 21 September 2009

Pemuda Penjaga Lift, cerpen di Jurnal Bogor

Cerpen PEMUDA PENJAGA LIFT dimuat di Jurnal Bogor, Minggu 13 September 2009:

PEMUDA PENJAGA LIFT
Oleh: Bamby Cahyadi

Seperti pagi kemarin, kulihat kamu sudah berada di lobi apartemen ini. Setelah mengganti bajumu dengan seragam, yang menurutku lucu, dan mengisi kartu absensi. Kamu telah siap untuk bertugas. Pagi ini kukira, sama saja dengan pagi-pagi sebelumnya. Pagi yang kering. Sudah lama air hujan malas turun untuk menyirami tanah. Untung kita berada di dalam apartemen ini, sehingga terik matahari tak terasa di sini.

“Selamat pagi, ke lantai berapa Pak?” Tanyamu dengan nada suara yang sangat sopan pada seorang lelaki berpakaian safari rapi dan perlente. Kini kamu telah berada di dalam lift, mengerjakan rutinitasmu, menjaga lift. Bertanya dan membantu orang yang keluar-masuk lift untuk mengantar mereka ke lantai yang mereka kehendaki.

Lelaki itu kemudian memperlihatkan lima jarinya tangannya tanpa bicara. Kamu rupanya sudah paham, tombol lift kamu pencet angka 5. Kamu selalu berpenampilan rapi, rambutmu selalu tersisir dengan sedikit minyak rambut yang membuat rambutmu berkilau apabila tertimpa cahaya lampu lift. Mengingatkan aku pada tokoh-tokoh film di tahun enampuluhan.

Lantas kamu terlibat percakapan basa-basi dengan lelaki perlente itu. Kudengar ia akan mengunjungi sanak keluarganya yang tinggal di sini. Pembicaraan kalian terhenti, ketika di lantai 2, lift berhenti. Beberapa orang masuk bersama, mereka menuju lantai paling atas. Terdapat kolam renang di sana. Mungkin mereka mau berenang pagi ini.

Ya, kamu juga selalu tersenyum ramah kepada setiap orang yang menggunakan lift ini. Setiap hari. Mungkin di setiap shift-mu karena pasti kamu pun membutuhkan libur untuk mengatasi kebosanan menjaga lift, dan rutinitas bertanya ke lantai berapa ke setiap orang yang menggunakan lift di apartemen ini. Rutinitas yang membosankan, kupikir. Namun, kamu menjalaninya dengan senang hati. Itulah, maka aku sangat suka memperhatikan kamu.

Sudah lama aku ingin berkenalan dengan kamu. Ingin sekali aku bertanya tentang minyak rambutmu yang membuat rambutmu menjadi licin berkilau. Selain itu aku sangat tertarik dengan ketulusan hatimu, menjalani profesi, yang kukatakan membosankan ini. Karena dari semua karyawan bagian servis di apartemen ini, cuma kamu yang sangat bersahaja.
***
Hari ini, kamu tidak berada di dalam lift ini. Seorang wanita muda menjaganya, mungkin kamu libur. Wanita muda itu tidak seramah kamu. Senyumannya menyerupai sebuah sunggingan bibir yang dipaksakan. Mirip menyeringai, tidak tulus. Sepertinya ia sangat terpaksa menjalani profesi penjaga lift daripada tidak bekerja sama sekali. Tidak sepertimu yang begitu tulus melakukan pekerjaanmu.

Terkadang wanita muda penjaga lift penggantimu itu, pura-pura sibuk ketika ada orang yang masuk ke dalam lift. Aku tahu, ia hanya malas membuat sebaris senyum di bibirnya. Heran juga ia bisa bekerja di sini.

Wahai pemuda penjaga lift, sudah hampir sebulan kamu tidak menjaga lift dan sebulan ini beberapa petugas pengganti silih berganti. Kamu kemana? Apakah kamu sakit? Ataukah kamu mendapatkan pekerjaan baru? Aku kok rindu kamu.

Ya, sungguh tak menyenangkan menyambut pagi tanpa kehadiran kamu. Lobi apartemen terasa hampa. Rasanya, aku berada di apartemen asing. Sungguh suasana seperti ini membuatku merasa melankoli.

Terus terang, ingin sekali aku bertanya kepada temanmu, wanita muda yang sekarang menjadi penjaga lift itu. Sebab sudah sebulan kamu tidak bertugas. Tetapi tentu tidak aku lakukan, aku tidak mau semuanya berubah menjadi runyam dan kacau. Selain itu, aku tidak suka dengan wanita muda yang berwajah masam itu. Lebih baik aku tak menegurnya saja.

Pagi ini suasana lobi apartemen terasa sangat sepi dan begitu lengang. Aktivitas apartemen belum dimulai, seperti biasa aku memasuki lift dengan langkah gontai menuju kamarku. Berharap-harap cemas, dirimu hadir di sini. Bertemu dengan kamu dan memperhatikanmu diam-diam. Oh, aku suka sekali melakukannya.

Aha…! Aku sangat senang dan gembira sekali. Pagi ini aku menemui kamu berada di dalam lift dan sudah bertugas kembali. O Tuhan, terimakasih. Harapku bisa melihatmu di pagi ini terkabul. Aku sangat gembira, kukira aku telah berlonjak-lonjak saking girangnya. Rona pipiku memerah malu.

“Mau ke lantai berapa Mbak?” tanyamu dengan suara yang sangat ramah. Aku terkejut bercampur bahagia kamu sudah menjaga lift lagi. Sambil memandang heran padamu aku mengacungkan kesepuluh jariku. Meniru gerakan lelaki perlente bersafari yang kulihat bulan lalu. Aku ke lantai 10. Kamu memencet tombol angka 10. Aku masih tak percaya, kamu bertanya kepadaku.

Aku bingung mau mengajakmu bercakap-cakap. Kulihat kamu juga terlihat malu-malu di hadapanku. Sesekali kamu melirikku. Ketika aku hendak berkata-kata mengajakmu bicara.

Tiba-tiba lift mendadak berhenti di lantai 5 padahal tidak ada seorang pun yang berhenti untuk ke luar ke lantai 5. Pintu lift terbuka, meninggalkan suara denting. Masuk wanita muda penjaga lift penggantimu itu, ia bersama temannya, tetapi mereka tidak menegurmu. Kamu pun diam saja tidak menegur mereka. Aku dan kamu terdiam dalam bisu, hanya teman-temanmu yang berbicara. Pembicaraan mereka tampak sangat serius.

“Sudah sebulan aku bekerja di sini, baru kali ini aku merasakan bulu kudukku berdiri dan merinding seperti ini,” kata wanita muda itu kepada temannya dengan ekspresi seperti orang yang ketakutan.

“Ya, aku juga merasakan hal yang sama,” balas teman wanita muda itu sambil bergidik dan memegang lehernya sendiri. Rupanya bulu kuduknya meremang.

“Apa mungkin rohnya si Markum penjaga lift yang meninggal kecelakaan motor sebulan yang lalu sedang gentayangan di sini ?” lanjut wanita muda penjaga lift itu kepada temannya sambil memencet tombol lift ke lantai dasar.

Aku tersentak, mengalihkan pandangan padamu. Kamu tertunduk.

“Mungkin saja. Dulu juga waktu seorang gadis bunuh diri loncat dari lantai 10. Dan tubuhnya hancur di halaman parkiran, di lift ini sering terjadi sesuatu yang aneh-aneh dan menyeramkan,” kata temannya sambil masih memegang tenguknya.

“Kenapa gadis itu bunuh diri?” Tanya wanita muda itu.

“Katanya sih, gadis itu kesepian. Orangtuanya memberikan fasilitas apartemen, tetapi mereka tidak pernah menjenguk gadis itu,” jelas temannya dengan bibir bergetar ketakutan.

“Iya, ya, bisa jadi si Markum lagi gentayangan di sini. Dia khan, meninggal saat mau menuju ke sini untuk menjaga lift ini. Hiiiiiih!” Kedua wanita itu menjerit dan buru-buru ke luar dari lift ketika sampai di lantai dasar.

Terus terang aku sangat terkejut mendengar pembicaraan mereka. Pandanganku beralih kepadamu yang sedang berdiri manis di pintu lift sambil tersenyum, mengangguk-angguk kepala seraya mengangkat bahumu menatapku. Kamu bernama Markum. Pantas kamu bisa menegurku pagi ini.***

Jakarta, 29 Juni 2008

Sabtu, 12 September 2009

Sebongkah Batu Es yang Merindu (Harian Global)

Cerpen ini dimuat di Harian Global Medan, Sabtu, 12 September 2009 :

SEBONGKAH BATU ES YANG MERINDU

Oleh : Bamby Cahyadi


Masih ingatkah kamu? Sewaktu kita berdua kelaparan di pinggiran jalan San Francisco yang dingin. Ketika bulir-bulir salju turun pelan-pelan menutupi trotoar jalan. Bulir salju itu serupa serpihan kapas putih yang ditebar dari atas langit mendung yang kelam jatuh menumpuk menimbun tanah.

Saat itu kita hanya sanggup duduk bersedekap memeluk lutut masing-masing dan saling melempar tatap, seraya membayangkan makanan-makanan enak yang tersaji tiba-tiba di depan mata.

“Aku lapar Yo,” ucapmu lirih dengan bibir bergetar. Mulutmu beruap. Tanganmu menggapai-gapai tanah. Mengais apa saja yang terjangkau.

“Aku juga…” balasku tak kalah lirihnya, namun aku berusaha menyembunyikan getar bibirku dengan membuat sebaris senyum. Aku hanya ingin tampak tegar di depanmu. Bagaimana pun, aku lebih tua darimu. Aku berusaha menenangkanmu saat itu.

Tentu kita berdua masih ingat Tere. Saat di mana, kau mulai berhalusinasi. Aku kira, saking laparnya kau telah kerasukan semacam roh lapar yang aneh. Pasti kamu ingat. Ketika kau mulai memakan daun-daun kering dan ranting-ranting pohon cerry yang berserak di tanah. Kau bilang, rasanya seperti makan hamburger. Ranting-ranting itu kau bilang selezat french fries panas dan renyah. Dan gumpalan salju di genggamanmu, dengan rakus kau jilati dan kau kunyah lalu lumer dalam mulutmu. Sambil kau berteriak: Sundae yang lezat!

Malah kau sempat menyodorkan tanganmu ke mulutku, berusaha menyuapiku dengan daun dan ranting-ranting. Maafkan aku Tere, aku menolak. Aku menepis tanganmu. Kamu tidak marah kan?

Aku ingin menangis. Tapi apa daya, aku pun tak berdaya. Kita berdua saat itu hanya sepasang kanak-kanak bodoh yang terjebak di keremangan senja jalanan San Francisco yang sunyi berbaur bising raungan sirine mobil-mobil polisi yang mengejar-ngejar penjahat jalanan. Tidak ada yang memperhatikan kita. Tidak ada yang peduli terhadap nasib kita yang kelaparan. Kurasa waktu itu kau mulai membeku. Selayak batu es. Aku saksikan itu. Ya, aku saksikan.

“Yo, apakah kamu merasa sangat dingin?” tanyamu memandangku. Aku mengangguk. Dan pertanyaan itu adalah kalimat terakhir yang kudengar darimu.

“Ya, aku juga merasakan dingin yang luar biasa Tere,” jawabku merapatkan jaket tebalku.

Saat itu mulutmu penuh dengan ranting-ranting yang masih kau kunyah dan belum sempat kau telan. Kita kembali saling bertatap. Kulihat dirimu perlahan-lahan dengan pasti berubah menjadi sebongkah es. Dirimu membeku. Tidak ada teriakan rasa sakit ketika seluruh tubuhmu berubah menjadi sebongkah es. Tidak ada gigil. Mungkin roh lapar yang aneh telah begitu merasukmu, sehingga saat kau berubah menjadi sebongkah es, kau pun tak merasakan apa-apa. Tapi aku yakin, sebelumnya kau telah kenyang. Perutmu telah penuh dengan daun cerry dan ranting-rantingnya.

“Tereee…!” aku tercekat. Tak ada suara yang keluar dari tenggorakanku.

Aku sendiri hanya bisa menatapmu tanpa berkedip. Kurasa aku pun telah berubah menjadi sebongkah batu es yang sangat dingin. Dingin merayapi sekujur tubuhku, dari ujung kaki hingga akhirnya kepala, membeku.

Apabila saat itu, ada orang yang sengaja memegang tubuh kita berdua, mungkin mereka akan tersengat dingin tubuh kita. Mungkin mereka pun menjadi es seperti kita.

Dan dugaanku benar.

Seorang gelandangan yang mendorong troli besar penuh barang rongsokan tak berguna, rupanya penasaran dengan onggokan batu es yang menyerupai dua manusia yang sedang meringkuk. Itu kita.

Ia, lalu mendekati kita. Aku masih bisa melihat dari balik bening es yang membalut tubuhku. Aku tahu, kau pun masih melihatku sebagai sebongkah es yang meringkuk. Kau pun melihat, perlahan-lahan, gelandangan itu mendekati kita berdua. Sepertinya ia ingin memastikan bahwa onggokan itu benar-benar es. Ia tampak ragu-ragu. Tapi rasa penasarannya mengusai dirinya, ia lalu memegang kita berdua. Ia mengelus-elus kita berdua, ia begitu takjub.

“Seniman patung es kaliber dunia manapun tak akan bisa menciptakan sebongkah batu es mirip manusia.” Ia berdesis. Kita mendengar pengemis itu begitu memuja-muji rupa es kita.

Maka kesalahan terbesar telah dilakukan oleh gelandangan itu, seperti yang aku bilang. Kita sangat teramat dingin untuk ukuran dingin es. Maka perlahan-lahan, gelandangan itu mendadak membeku dari ujung kakinya merembet hingga ujung kepalanya menjadi bongkahan es menyerupai manusia yang sedang memegang kepala kedua anaknya. Ah, Tere ia pun pasti merasakan sensasi dingin saat tubuhnya dijalari dingin menjadi batu es.

Masihkah kau ingat, bahwa musim dingin di tahun itu adalah musim dingin terpanjang dalam sejarah peradaban manusia di Amerika. Tak perlu aku ceritakan padamu, karena kuyakin kau masih ingat. Apakah ini akibat pemanasan global? Mana aku tahu Tere.

Beberapa saat setelah si gelandangan itu menjadi es seperti kita, para pejalan kaki yang kebetulan melewati trotoar jalan sepi di bawah jembatan Golden Gate yang angkuh dan sunyi itu, kemudian mengerubungi kita. Mereka terkagum-kagum dengan tubuh es kita. Bahkan ada yang berseru dan bertanya: Mana pematungnya?

Tentu mereka tak akan pernah menemukan pematung itu. Karena kita terbentuk dari dingin. Bukan dari liukan pahatan tangan manusia.

Belum juga tuntas rasa kagum mereka, seorang dari mereka, perempuan cantik berleher jenjang, memegang kita begitu lama. Mengelus, merabai setiap lekuk tubuh kita dan bahkan ia menciumi kita satu per satu.

“Ah, bukankah ini sebuah keindahan yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata, bahkan dengan sajak seindah apapun di dunia,” gumamnya pada dirinya sendiri.

Maka tak perlu kuceritakan padamu, betapa cepat ia berubah menjadi es ketika ia mendaratkan bibirnya di pipi gelandangan itu. Seperti kita, ia lantas berubah menjadi manusia es. Perempuan itu pasti merasakan sensasi beku juga kurasa. Semua orang yang melihat terkesiap tak percaya. Kau pun melihatnya dari balik bening es di matamu.

Sejak itu, tak ada lagi orang yang berani menyentuh tubuh es kita. Mereka hanya memandang kita dengan tatapan mustahil. Kulihat mulutmu masih penuh mengulum ranting-ranting kering yang tak sempat kau telan. Tentu kau melihatku juga dengan mata yang nanar menatapmu sedih. Kita berdua melihat, gelandangan yang takjub sedang mengelus kepala kita berdua. Dan perempuan berleher jenjang sedang mencium pipi gelandangan yang sedang mengelus kita. Kita bisa melihat di antara kita, namun sebagai sebongkah es batu yang menyerupai manusia. Kita tidak bisa berkomunikasi antar kita. Apalagi melakukan perlawanan.

Ya, perlawanan. Beberapa hari kemudian, kabar membekunya kita tersiar seantero kota San Francisco. Bahkan ke semua negara bagian di Amerika yang masih diguyur salju tebal berhari-hari sampai berbulan-bulan kukira. Mungkin kabar ini telah tersebar ke seluruh penjuru dunia.

Entah untuk tujuan apa. Kita dipisahkan. Kulihat orang-orang berseragam putih-putih, bermantel tebal putih, bersepatu bot putih, bermasker putih yang menutupi seluruh wajah dan dengan sarung tangan tebal anti dingin berwarna putih mengangkat kita.

Sepertinya mereka sangat takut tersengat dingin kita, sehingga kita diperlakukan selayak virus flu yang mematikan. Mereka pun tak berani menyentuh tubuh es kita walaupun mereka telah memakai sarung tangan tebal. Ya, mana ada yang mau berubah menjadi sebongkah batu es mirip manusia. Seperti kita.

Setelah mereka mengangkat kita pada sebuah tempat. Lantas mereka memisahkan kita. Mereka menggergaji kita Tere! Suara gergaji mesin sampai kini masih terngiang-ngiang ngilu di kupingku. Mata gergaji yang tajam kemudian memutus kedua telapak tangan gelandangan yang sedang memegang kepala kita, lalu dengan garang meraung menggergaji ujung mulut perempuan berleher jenjang yang tengah mencium pipi gelandangan itu.

Mereka telah membuat kita terpisah dan sekaligus berpisah.

Selesai itu, tak lama dari pemisahan. Kita lantas dimasukkan dalam sebuah kontainer mirip portable freezer seukuran tubuh kita masing-masing. Maka sejak truk yang membawa tubuh bekuku menderu meninggalkan trotoar jalanan sunyi di kolong jembatan Golden Gate. Aku tak pernah lagi mendengar kabarmu.

Kini aku sangat rindu padamu. Tujuhbelas tahun telah berlalu. Masih ingatkah kamu?

***
Plung!

Sebutir batu es jatuh di atas gelas minuman bersoda milik seorang gadis yang tengah dikerubungi oleh teman-temannya. Gadis itu tampak sangat bahagia dan melempar senyum penuh pesona. Ia kini tengah menjadi pusat perhatian semua orang. Gadis itu sedang merayakan hari ulang tahunnya. Semua orang yang ada di sini ceria dan suasana sangat meriah.

Berpuluh-puluh gelas minuman siap menuntaskan dahaga para undangan. Makanan pun berlimpah.

Plung!

Sebutir es batu jatuh lagi di gelas yang lain. Berdenting.

Plung!

Plung!

Plung!

Semakin banyak butiran-butiran batu es berjatuhan di atas gelas-gelas yang lain, bunyi air minuman bersoda bergemericik saat batu es berjatuhan. Dan gelasnya berdenting-denting.

“Apakah itu kamu Tere?” ***


Pondok Indah, Jakarta, 13 Juli 2009

Minggu, 30 Agustus 2009

Cerpen Bamby di Harian Global Medan

Cerpen ini dimuat di Harian GLOBAL Medan, edisi hari Sabtu tanggal 29 Agustus 2009:

KARYAWAN TUA

Oleh: Bamby Cahyadi


KARYAWAN tua itu terlihat lebih rapi. Kemeja warna putih membalut tubuhnya. Dasi warna biru muda terikat di lehernya. Dengan pantalon hitam, karyawan tua itu terlihat sedikit lebih muda. Ia sangat bersemangat hari ini. Sejak masuk kantor, tadi pagi, wajahnya memantulkan binar-binar keriangan. Ia menyalakan komputer di meja kerjanya, sembari menyeruput kopi yang sudah ada di genggamannya sejak tadi. Rupanya ia menyempatkan diri mampir ke kedai kopi Starbucks di ujung utara kantor. Minuman pembuka hari yang jitu di musim dingin seperti ini.

Aku dengar dari beberapa orang yang bekerja di kantor ini, seminggu lagi ia akan pensiun. Aku tidak terlalu mengenal karyawan tua itu, baru seminggu aku bekerja di sini. Sebenarnya, mejaku dan meja karyawan tua itu hanya disekat sebuah kaca tembus pandang. Namun, karena aku dan ia berbeda departemen, aku merasa tidak perlu berbasa-basi dengannya. Atau mengenalnya lebih jauh. Lagi pula, sebentar lagi ia akan pensiun.

Orang-orang di kantor memanggilnya Pak Bijak, karena tutur bahasanya selalu bijak. Keriput di wajahnya pun menyiratkan ia memang sudah berumur. Rambutnya tidak hitam, juga tidak putih. Warnanya kelabu. Seorang teman yang lebih lama bekerja di kantor ini mengatakan ia telah memiliki enam orang cucu. Tiga laki-laki dan tiga perempuan, dari tiga orang anaknya yang semuanya perempuan. Tapi mereka sendiri belum pernah bertemu dengan istri, anak, dan cucu-cucunya sekali pun.

Karyawan tua itu menerima telepon pertama. Aku perhatikan ia selalu mengangkat telepon pada dering pertama, sebelum dering kedua berbunyi. Ia tidak suka suara berisik. Apalagi dering telepon. Karena itu, cukup sekali dering telepon singgah di kupingnya. Apabila ada karyawan lain yang malas mengangkat telepon, maka ia dengan senang hati akan segera mengangkat telepon dan menjawab salam perdana.

Begitu juga dalam urusan kebersihan area kerja di kantor. Karyawan tua itu sangat resik, tidak boleh ada sampah yang terserak di mejanya atau di meja-meja karyawan lain. Apabila ada sampah kertas sekecil pasir sekalipun, maka dengan sangat telaten ia akan memungutinya satu persatu. Bahkan, ia selalu siap dengan sebuah kain pembersih untuk membereskan debu-debu yang menempel di permukaan meja, kursi, dan komputer.

Aku lihat ia selesai menerima telepon.

Ia kembali menyeruput kopinya hingga habis, lalu sibuk dengan file-file yang tertata rapi di samping komputernya. Sesekali diturunkannya kaca mata baca hingga bertengger di ujung hidungnya. Setelah itu, ia mengetik. Berhenti sejenak, menelepon seseorang entah siapa di seberang sana. Lalu, kembali berkutat dengan keyboard dan monitor komputer, melanjutkan ketikan hingga jam makan siang berdentang.

Aku melenguh, meregangkan badan dan mematikan komputer. Sejenak aku meminum air dalam kemasan yang tersedia di atas meja, lalu mengenakan mantel yang tergantung di kursi.

Ah, betapa tidak produktifnya aku hari ini. Sampai menjelang siang, aku hanya memerhatikan karyawan tua di balik sekat bening kaca di depanku. Beberapa laporan keuangan yang seharusnya telah selesai sebelum jam duabelas, menjadi hutangku selepas makan siang nanti.

Aku sendirian berjalan menuju lift. Karyawan yang lain lebih dahulu berebutan turun untuk makan siang di kantin atau pinggiran jalan di selatan kantor. Mungkin juga di restoran berkelas di food court basement. Sekilas aku lihat, ada juga yang masih tinggal di meja kerjanya, membuka bekal makanan yang telah disiapkan dari rumah. Cukup efisien dalam situasi krisis ekonomi global saat ini.

Di dalam lift, aku bertemu karyawan tua itu. Ia sedang mengenakan jas tebal hangat. Nama lengkapnya Kevin Nelson, seperti yang tertera di name tag-nya. Aku menganggukkan kepala, seraya tersenyum kepadanya. Sudah selayaknya aku menghormatinya. Selain aku masih karyawan baru, ia juga dengan sopan mulai bertanya padaku.

“Karyawan baru?” tanyanya.

“Ya, hari ini tepat seminggu,” jawabku.

Tak lama berselang, pintu lift terbuka. Kami sudah berada di lantai dasar. Karyawan tua itu mempersilakan aku keluar duluan.

“Maaf, Anda mau makan di mana?” tanyanya lagi, begitu santun.

“Ah, saya belum punya rencana. Anda ada ide?”

Terus terang, aku belum punya rencana makan siang di mana dan mau makan apa. Selama seminggu di kantor ini, setiap hari aku makan di restoran Jepang yang terletak di areal food court
.
“Bagaimana kalau ikut saya?”

“Anda mau makan di mana?” tanyaku.

“Nanti Anda akan tahu!” katanya bersemangat. “Maaf, nama saya Nelson, Kevin Nelson. Di kantor ini, orang-orang memanggil saya Pak Bijak. Mungkin Anda sudah tahu?” karyawan tua itu terkekeh.

Aku mengulum senyum. “Nama saya Tamara.”

Pak Nelson dengan tersenyum ramah dan sedikit membungkuk, menyalamiku.
Aku membalas uluran tangannya.

“So, saya berniat mentraktir Anda makan siang hari ini,” ujarnya sambil menyebutkan sebuah nama restoran India yang cukup mahal dan ternama.
Kami berjalan menuju restoran itu, beberapa blok dari perkantoran kami.

Aku memesan masakan paling khas di restoran itu, mengikuti saran Pak Nelson. Sambil menunggu menu makanan masak dan tersaji, kami bercakap-cakap dari persoalan umum di kantor, situasi perekonomian hingga akhirnya ia bercerita tentang masa pensiunnya yang tinggal menghitung hari.

Matanya selalu berbinar. Begitu hidup. Tapi tidak setelah aku menanyakan apa yang hendak dilakukannya pada masa pensiun.

“Entah apa yang bisa saya lakukan saat pensiun nanti?” katanya. Seolah bertanya pada dirinya sendiri, binar di matanya meredup.

Aku merasa bersalah. ”Maaf.”

Karyawan tua itu menggelengkan kepala. ”Tidak apa-apa.”

Matanya mengerjap, menahan air mata.

“Saya rasa Anda akan punya banyak waktu untuk bercengkerama dengan anak-cucu,” jawabku spontan.

Sebelum ia menarik napas untuk berkata lebih lanjut, seorang pelayan restoran dengan sigap meletakkan menu makan siang kami di atas meja.

“Kita makan dulu, silakan!” ujar Pak Nelson.

“Hmm, makanan yang lezat!” gumamku.

Selesai makan siang, Pak Nelson tidak banyak bicara, tidak seperti waktu kami sedang menunggu menu makan siang tadi tersaji.

Ia lebih banyak diam.

Aku tidak mengerti perasaan seperti apa yang sedang melanda karyawan tua itu.

Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih atas makan siang yang ganjil itu.
***

Sehari kemudian, San Francisco menularkan hawa dingin. Menusuk pori-pori kulit. Menelusup ke sumsum tulang. Di balik sekat kaca bening, aku lihat kepala karyawan tua itu terkulai di atas meja, di samping komputernya. Matanya terbelalak. Kepalanya rengkah, mengeluarkan darah. Sebuah pistol masih tergenggam di tangannya. Ujung pistol itu masih mengepulkan asap. Bau sisa mesiu menyeruak di udara. Hawa kematian menebar ke segala arah.

Ia benar-benar diam, benar-benar pensiun.

Malam itu, ketika polisi mengantarkan jenazah ke rumah karyawan tua itu, polisi tidak menemukan siapa-siapa. Rumahnya lengang. Polisi hanya menemukan 10 manekin. Empat manekin perempuan dewasa, tiga manekin anak kecil perempuan dan tiga manekin anak kecil laki-laki. Semuanya berpakaian rapi dengan warna senada dan sangat bersih.

Dinding rumahnya dipenuh pigura berisi foto-foto semua pegawai kantorku. Di pigura foto yang masih baru, ada fotoku sedang menatapnya.

Tidak ada sesiapa di rumah itu.

Tidak ada keriangan sebuah keluarga. Tidak ada seorang istri seperti pernah diceritakan teman-teman kerjaku. Tidak ada tiga anak perempuan. Tidak ada tiga pasang cucu.

Hanya ada 10 boneka manekin.

Dan pigura berisi foto-foto.

Di luar, halimun tebal memeluk seluruh kota, merengkuh jembatan Golden Gate yang angkuh, sampai pagi tiba kembali.***

| Jakarta | 30 November 2008 | 23.55 WIB |

Minggu, 26 Juli 2009

Cerpen Saya di Koran Tempo: Aku Bercerita dari Pesawat yang Sedang Terbang

[dimuat di Koran Tempo Minggu tanggal 26 Juli 2009]

Seandainya aku tidak terlambat pulang sekolah, mungkin aku kini tak berada di atas ketinggian 30.000 kaki. Aku melihat awan-awan kelabu tebal bararak-arak yang seolah-olah ikut menangis dari balik jendela pesawat terbang ini. Aku kembali mengusap air mataku yang jatuh membasahi pipi dengan selembar tisu.

Kulihat ibuku memandang kosong ke arah jendela yang lain di sisinya. Matanya sembab, air matanya mungkin sudah kering sejak tadi pagi. Kakakku tertidur di bangku pesawat di samping ibu. Nenyak sekali tidurnya, paling tidak ia bisa melupakan sejenak kesedihan yang tadi malam tiba-tiba merenggut kebahagiaan kami sebagai suatu keluarga.

Aku kembali menerawang memandang awan-awan kelabu tebal yang seolah menangis itu. Laju pesawat kukira membelah gerombolan awan-awan itu, buyar. Berpencar. Seperti kami, keluarga yang baru saja tercabik.

Baiklah, mungkin kalian akan bertanya-tanya, sedang membuat cerita seperti apakah aku sekarang? Mari kita kembali, di hari kemarin. Di mana ceritaku ini bermula.

***
Hari Kamis, menjelang sore. Seharusnya aku sudah berada di rumah, namun entah kenapa aku mau saja terbujuk rayuan Yopi, Turman dan Panca usai bubaran sekolah. Ya, memang ada pelajaran tambahan yang diadakan oleh sekolah dalam rangka persiapan kami mengikuti Ujian Nasional. Sehingga menjelang sore kami baru keluar dari kelas.

Semula Yopi yang iseng mengusulkan sebuah ide dan ide tersebut diamini oleh Turman dan Panca. Yopi mengajak kami untuk jalan-jalan ke sebuah mal dan nonton film. Ide itu menggodaku juga. Tanpa pikir panjang, kami beramai-ramai menuju sebuah mal, tentu dengan menutup atribut seragam sekolah dengan jaket dan rompi.

Sewaktu kami sedang di taksi meluncur ke mal. Aku teringat sesuatu. Aku belum mengabarkan kepada ibuku, bahwa aku tidak langsung pulang ke rumah selesai pelajaran tambahan. Namun ternyata hapeku mati. Baterainya habis. Teman-temanku tak memiliki pulsa cukup hanya untuk sekadar mengirim sms ke hape ibu.

Rencananya aku akan menelepon ibu sesampai di mal nanti. Tetapi ternyata kemeriahan mal sore itu membuat aku lupa untuk menelepon ibu di rumah. Kami langsung terhanyut oleh suasana keramaian dan keceriaan mal. Terus terang aku dan teman-teman memang paling senang berada dan berlama-lama di mal ketimbang di sekolah. Ya, namanya juga anak muda. Kami baru kelas tiga SMP dan bulan depan kami akan mengikuti Ujian Nasional.

Tentu saja menghadapi Ujian Nasional kami merasa tertekan, stres. Sehingga ide Yopi untuk menyambangi mal dan nonton film adalah ide yang brilian. Sebelum menuju studio bioskop, kami membeli makanan dan minuman ringan di sebuah supermarket di lantai basement. Lalu makanan dan minuman itu kami masukkan ke dalam tas dan ransel masing-masing. Karena kalau ketahuan oleh petugas bioskop, bisa-bisa kami tak bisa ngemil di dalam bioskop nanti.

Terkadang peraturan nonton yang melarang membawa makanan dan minuman dari luar cukup menjengkelkan kami para pelajar. Harga tiket masuk bioskop memang murah dan terjangkau. Tetapi, apabila kami harus membeli makanan dan minuman untuk cemilan nonton di kafetaria bioskop, sama saja bohong. Harga di situ, dua atau tiga kali lipat harga di supermarket atau di warung-warung.

Kami memilih nonton sebuah film remaja di salah satu studio di bioskop mal terbesar dan termegah di kota ini. Film yang sedang digandrungi oleh para remaja masa kini. Tentu kami sangat ceria, tertawa-tawa cekikikan dan sambil bercanda. Film yang kami tonton juga sangat seru.

Aku benar-benar lupa, bahwa aku belum pernah pulang terlambat seusai sekolah. Aku benar-benar lupa, bahwa aku belum memberitahu perihal aku jalan-jalan ke mal dan nonton hingga malam hari kepada ibu atau ayahku.

Usai nonton baru aku menyadari hari telah bergulir malam. Langit telah menghitam, lampu-lampu jalan berpendar-pendar dan pijaran lampu dari gedung-gedung bertingkat telah menerangi sebagian gelap malam.

Aku memutuskan pulang duluan. Tak kuhiraukan lagi rayuan Yopi yang akan mentraktir kami makan di sebuah restoran burger ternama.

Sesampai di rumah, ibu telah menungguku dengan cemas di depan teras rumah. Kakakku juga cemas. Mereka bernafas lega ketika aku datang. Aku merasa sangat bersalah, kuciumi tangan ibu.

Aku bertanya, mana ayah? Ternyata ayah menjemputku ke sekolah. Tetapi, malah ayah yang belum pulang. Ibu kembali dilanda rasa cemas. Tiba-tiba menyeruak juga rasa cemas yang luar biasa dari dalam jiwaku. Bukan ibu saja yang merasakan, aku, dan kakakku juga. Kami kini sama-sama cemas. Malam kian larut, ayah tak kunjung pulang.

***

Tanda mengenakan sabuk pengaman menyala, disertai suara khas yang berdenting. Lantas disusul suara pilot pesawat menyampaikan sesuatu membelah sunyi kabin. Rupanya, pesawat akan melewati badai yang terjadi di depan. Guncangan akibat badai mungkin akan terjadi beberapa saat. Penumpang tetap tenang.

Aku melihat penumpang yang lain bergegas menyematkan sabuk pengaman. Beberapa di antara mereka terlihat berkomat-kamit, mungkin berdoa. Ya, berdoa. Bukankah berdoa akan menentramkan jiwamu? Melepasmu dari kecemasan? Kulihat ibu memandangku. Kakakku masih tertidur di kursi samping ibu. Begitu nyenyak ia tertidur.

Pandangan ibu masih hampa. Ada derita di bolamatanya. Derita yang kini kutanggung juga. Sepertinya kami sepakat untuk tidak berdoa. Atau mungkin berdoa, boleh jadi berdoa untuk sesuatu yang lain.

Ketika badan pesawat betul-betul terguncang-guncang, aku sempat berharap. Berharap pesawat ini benar-benar terguncang lebih dashyat. Lebih bergoyang-goyang dari ini. Lalu tersambar petir, lalu pecah, meledak berkeping-keping bersama tubuh-tubuh di dalamnya. Atau, aku berharap pesawat ini jatuh. Menghunjam bumi atau tenggelam di dasar samudera yang berada di bawah sana. Lalu hilang bersama kami, tubuh-tubuh yang ada di dalamnya.

Aku melilirik ibuku. Ia, membalas melirikku. Ibu tersenyum hampa. Aku tahu, ibu pun ingin pesawat ini jatuh. Dan kami mati. Mati bersama. Kakakku terbangun dari tidurnya yang lelap, mungkin mimpinya terganggu oleh guncangan. Ia, lalu menggamit tangan ibuku. Ia juga menatapku lekat. Semoga kita mati bersama.

Pesawat terguncang sungguh sangat lama. Penumpang yang lain mulai panik. Ada yang berteriak-teriak, ada yang menangis dan banyak juga yang menyebut nama kebesaran Tuhan. Oh, Tuhan yang Mahaberkehendak jatuhkan pesawat ini. Jatuhkan pesawat ini. Mulutku berkomat-kamit, berdoa agar pesawat ini benar-benar jatuh.

Aku ingin bersama ayahku!

Aku menangis lagi. Menangis sejadi-jadinya. Tersedu-sedu, sangat pedih, sangat sedih. Ayah, aku ingin bersamamu. Ibu juga, kakak juga.

Pikiranku kembali melayang.

Baiklah, aku lanjutkan lagi cerita yang sedang kubuat ini. Lupakan pesawat kami yang sedang terguncang-guncang di hantam badai. Karena pilot pesawat ini telah bertindak cerdik, ia menaikkan ketinggian pesawat menjadi 35.000 kaki. Dan, pesawat kami tidak pernah jatuh.

***
Ayahku belum juga kunjung pulang sampai selarut ini. Aku menyesal telah membuat ayah bersusah payah menyusulku ke sekolah. Pasti ayah tak akan menemukan siapa-siapa. Karena pada saat itu, aku, Yopi, Turman dan Panca telah lebih dahulu meninggalkan sekolah menuju mal. Ia hanya akan menemui halaman sekolah yang telah kosong melompong.

Aku merasa sangat bersalah telah membuat ibuku cemas, menungguku. Menyesal membuat ayah menjemputku. Kakakku hanya mengusap rambutku ketika aku pulang selesai nonton. “Jangan kau lakukakan lagi, kasihan ibu,” katanya mengacak rambutku. Aku tersenyum, meminta maaf padanya. “Tak perlu Dik. Kita tunggu ayah pulang,” lanjutnya.

Ibu berkali-kali menelepon hape ayah. Tetapi ayah tak pernah menjawabnya. Ibu hanya ingin memberitahu, bahwa aku sudah berada di rumah. Aku hanya pergi menonton film di mal. Aku tidak melakukan aktivitas yang berbahaya, walaupun aku terlambat pulang dari sekolah. Mungkin ibu juga akan bilang, aku tak senakal seperti yang mereka pikirkan.

Aku nakal, aku akui. Aku sering terlibat dalam tawuran sekolah dengan musuh bebuyutan sekolah kami. Tapi aku hanya ikut-ikutan, bukan tokoh utama. Atau aku suka meninggalkan pelajaran tak aku sukai, semisal matematika dan bahasa Inggris. Tapi itu kenakalan yang wajar bukan? Lagi pula aku tak suka gurunya. Aku tak pernah terlibat narkoba atau pergaulan seks bebas. Maaf, bukan aku itu! Ya, aku tidak senakal itu. Katakan kepada ayah.

“Aneh, kenapa ayah tidak mengangkat telepon dari ibu ya?” Ibu bertanya bukan pada kami, seolah ia bertanya pada ayah yang belum juga pulang. Padahal malam semakin larut. Gelap di luar semakin kelam, kesiur angin malam menghempas daun pintu rumah kami. Tiba-tiba telepon rumah berdering.

Ibu berlari menuju meja telepon. Ibu dengan cepat mengangkat gagang telepon. Ibu tak lagi berucap selain kata halo. Lantas ibu seperti tercekat. Tangannya gemetar. Telepon itu bukan dari ayah. Ibu limbung, badannya terhuyung saat meletakkan gagang telepon pada tempatnya. Kakakku memegang ibu, aku menghampiri ibu dengan pandangan bertanya.

“Ada apa Bu?”

“Tadi telepon dari rumah sakit. Cepat kita ke sana!”

Dengan bergegas kami menyetop taksi yang lewat. Ibu menyebutkan alamat sebuah rumah sakit di kota ini. Sopir taksi paham betul letak rumah sakit itu. Ibu menyuruhnya untuk tancap gas lebih dalam. Lebih dalam lagi. Jantungku berdetak sangat keras. Pembuluh darahku membesar berdesir-desir. Ah, aku tak suka keadaan seperti ini. Mau pingsan rasanya.

***

Lampu tanda mengenakan sabuk pengaman padam, disertai suara dentingan yang khas. Ting! Penumpang menghembuskan napasnya yang tertahan, lega. Kami tak jadi mati bersama. Tubuh kami tak jadi hancur berkeping-keping bersama serpihan badan pesawat yang hancur terkena badai. Dengan intonasi suara yang tak berubah (pasti pilot telah dilatih untuk bersuara dengan irama datar), pilot melaporkan bahwa cuaca kini telah cerah kembali. Dipastikan dalam waktu tidak kurang dari 45 menit lagi kami akan mendarat di Jakarta.

Ibu tampak kecewa. Begitu juga aku, begitu juga kakakku. Bukankah kami telah memanjatkan doa agar pesawat ini jatuh? Ternyata pesawat tidak jatuh, doa kami tak dikabulkan. Mungkin karena kami hanya bertiga. Lebih banyak penumpang yang memohon keselamatan. Itulah sebab, mengapa orang lebih suka berdoa bersama-sama. Tidak bertiga, apalagi sendiri. Bukankah mereka lebih dominan di hadapan Tuhan? Apalah kami yang cuma bertiga.

Oh, tidak. Kami tidak bertiga. Ada ayah dalam pesawat ini bersama kami. Tapi, apakah tadi ayah ikut berdoa?

Pasti kalian heran. Sedari tadi aku bercerita tentang keadaan kami dalam pesawat yang sedang terbang ini, tak pernah menyinggung soal ayahku. Lalu, kenapa aku katakan bahwa kami tidak bertiga?

Ya, ayahku berada dalam pesawat ini juga. Tidak percaya? Ayah berada di tempat yang lain. Ya, di tempat yang lain masih di pesawat ini.
Bolehkah aku mengajak kalian mendengarkan kisahku lagi? Sedikit lagi saja.

***

Aroma rumah sakit menyeruak, ketika kami sampai di pelataran rumah sakit. Baunya membuatku mual. Aku tidak suka rumah sakit. Baunya, bau kematian. Seorang polisi telah menunggu di depan ruang Unit Gawat Darurat.

Ibuku berlari masuk ke ruang itu. Tak dihiraukannya polisi yang akan menjelaskan sesuatu. Aku dan kakakku mempercepat langkah setengah berlari menyusul ibu yang telah masuk duluan.

Ruangan seketika mendadak hening. Sangat senyap, sunyi menjalari malam. Sepertinya semua orang, semua benda hidup, benda mati, apakah itu malaikat atau ruh gentayangan sekalipun tahu dan bersepakat, bahwa saat ini bukan waktu yang tepat bagi mereka untuk bersuara. Saat ini waktu untuk kami. Sungguh waktu untuk kami.

Ibu menangis menyayat-nyayat. Aku menangis meraung-raung. Kakakku menangis tertahan dengan air mata berderai-derai.

Ayahku tersenyum sebagai mayat.

***

Kami tidak bertiga, kami berempat. Ayahku berada di lambung pesawat ini juga. Di dalam peti mati bersama koper-koper besar dan barang-barang kargo lainnya di bagasi pesawat. Kami mengantar ayah untuk pulang.

Hari Jumat menjelang siang. Pesawat telah mendarat dengan selamat.***

Jakarta, 29-30 Juni dan 1 Juli 2009

Minggu, 05 Juli 2009

HUDAN HIDAYAT dalam MENGANTAR AYAH cerpen Bamby Cahyadi

Sastra yang berhasil selalu meninggalkan jejak pada pembacanya. Jejak yang tak hendak hilang, jejak yang dalam. Jejak yang muncul dari totalitas cerita, menjadi kesan yang berdiam dalam benak pembacanya. Jejak yang membuat kita memikirkan terus apa dan mengapa hidup ini.

Cerita pendek Bamby Cahyadi, Mengantar Ayah, saya kira adalah cerita yang meninggalkan kesan semacam itu.

Mengantar Ayah adalah suatu satire, suatu ejekan, akan suatu "momen" panjang dalam sebuah masyarakat. Ejekan bahwa pencarian kebenaran, seolah dalam situasi malam, malam yang mengacu kepada sesuatu yang tak jelas. Pencarian sang Bapak atas sang anak di suatu malam bisa menjadi sebuah lambang pencarian sang Bapak - manusia - akan kebenaran itu sendiri. Anak yang dalam anggapan sebuah keluarga tak pulang, belum kembali, menjadi anak yang telah hilang, menjadi kebenaran yang telah hilang, dan kini sang Bapak masuk ke dalam malam, ke dalam pencarian sang anak kebenaran, yang seolah ada di suatu tempat - malam, suatu keadaan yang hitam tak jelas, penuh pertanyaan di balik misteri dan diamnya malam. Begitulah sebuah prosa yang baik bisa berwatak puisi - penuh asosiasi dalam dirinya sendiri.

Asosiasi ganda. Dari asosiasi kedua "keluarga yang membawa mayat ke dalam koper" itu, sebagai keluarga yang sedang mengalami nasib aneh yang absurd. Bahwa sang anggota keluarga kini pulang dari suatu keadaan dan telah menjadi mayat. Mengantar ayah dengan koper semacam itu, merebakkan suatu kasus kematian aktivis yang tiba-tiba meninggal dan kini tubuhnya pulang dengan koper yang ditenteng oleh pesawat udara. Lazimnya sang mayat ditaruh ke dalam peti mati. Tapi disimpan dalam koper, dibawa pesawat, bisa mengacu kepada asosiasi ganda yang lain lagi: pesawat sebagai motede kematian yang berjalan cepat, cepat cepat menghujamkan kematian kepada siapa yang dikehendakinya. Koper sebagai lambang kematian yang tak normal, dari seseorang yang ingin mendambakan kebenaran hidup bersama sesuai apa yang menjadi keyakinannya.

Begitulah cerita Bamby Cahyadi, sang pengarang yang telah mencapai tehnik bercerita seperti pengarang yang terdahulu kita yakni Putu Wijaya atau Budi Darma, telah melipatgandakan makna-makna asosiatif terhadap dunia ceritanya.

Makna asosiatif itu sendiri mungkin bukan muncul dari kehendak sang pengarang dengan sadar. Seperti galibnya cerita fiksi, biasanya pengarang ditarik oleh cerita itu sendiri. Bamby ditarik oleh misteri yang dikandung oleh cerita Mengantar Ayah. Ia mengikuti hukum cerita sebagai suatu permainan, permainan yang diperagakannya sebagai pengarang yang bisa menyetop ceritanya dalam suatu perhentian, dalam suatu stop cerita yang diberinya canda: sampai di sini dulu, bersambung, sambil melakukan hal yang jarang dilakukan oleh para pengarang yang tak hidup di dunia maya, yakni ha ha hi hi. Haha hihi sebagai suatu tehnik yang membuat pengarang tiba-tiba berjarak dengan dunia ceritanya. Seolah cerita mendadak terlepas, lepas dari momen sebelumnya di mana sang pengarang masuk sebagai narator yang bersembunyi di dalam cerita, dan kini narator itu berbicara dengan familiar kepada pembacanya.

Seolah pada saat itu ia seakan mengingatkan fungsi seorang observer, pengamat yang lagi menatapi suatu gejala masyarakat, dan cara ia mendekat kepada pembacanya serupa itu, adalah seakan suara sang observer tadi meminta perhatian kepada masyarakat pembacanya tentang sebuah satire, sebuah ejekan yang sedang dibangunkannya dalam suatu cerita. Mengantar Ayah terasa sebagai mengantar pikiran ke tengah masyarakat akan suatu upaya pencarian kebenaran. Mengantar sebuah wacana ke tengah masyarakat untuk terus menggeluit kebenaran akan tiap sesuatu yang tak terjelaskan, yang absurd, tapi diteriakkan terus oleh nurani masyarakat yang damba akan ketenangan hidup bersama.

Satire itu datang dari tingkatan relasional horisontal dalam masyarakat, dan ia bergerak menjadi ironi saat cerita ditransendir, atau saat cerita memiliki dimensi transendensinya. Pada saat inilah cerita mendapatkan watak ironinya. Yakni sebuah kesia-siaan yang datang dari nasib sang Ayah yang hendak menyelamatkan anaknya dari suatu malam yang hendak menelannya, tapi justru sang Ayah sendirilah yang ditelan oleh malam-malam dari suatu penamaan akan nasib yang menimpanya. Nasib yang mengenaskan dalam pandangan manusia. Kalau majas cerita telah ditake over oleh satire, kini cerita direnggutkan oleh ironi dari nasib yang ironis itu sendiri.

Apakah penyebab kematian sang Ayah?

Ironis sekali! Ia yang pergi meninggalkan keluarganya mencari sang anak yang hilang, pulang hanya dengan sebuah berita bahwa dirinya telah meninggal. Apakah yang menjadi penyebab kematian dirinya? Jelas kecelakaan. Tapi oleh kecelakaan apa? Ada polisi di sana - di rumah sakit itu, tapi common sensenya dilalui saja oleh Bamby: ia ingin langsung memeluk dan berhadapan dengan ironi itu sendiri. Yakni sang Ayah, sang kepala keluarga, yang kini telah mati secara ironis.

Disisihkannya penjelasan dunia atas kematian semacam itu. Ia langsung hendak memeluk absurditas dari kematian. dari wajah kematian yang selalu tak jelas. Seolah sia-sia belaka apa yang dibangunkan oleh manusia ke dalam penyebutan bahagia. Kalau kematian bisa datang di mana-mana dan kapan saja. Kalau Mengantar Ayah, adalah suatu fakta yang tak terbantahkan. Suatu fakta, suatu kepastian, yang tak bisa ditolak. Dalam situasi seperti itu, satire tak dibutuhkan lagi. Tapi kita langsung memeluk dan bergelut dengan ironi.

Kematian yang sia-sia. Dari hidup yang sia-sia, telah diperagakan dengan telak dan amat indah dalam cerita pengarang Bamby Cahyadi. Dan itulah suatu teks yang datang dari bumi. Bagaimana dengan teks dari langit sendiri tentangnya?


Dua Kesia-siaan - Langit

Saya tahu dunia tak bisa meninggalkan langit, langit yang menjadi pusat pemaknaan. Karena dunia sendiri adalah sesuatu yang harus memaknai. Bukan sesuatu yang dimaknai. Dalam perspektif luasnya, tak mungkin dunia yang sedang berpikir akan sebuah pemaknaan tiap kehadiran - katakanlah kehadiran dari sang ayah yang mati itu, bisa memaknai dirinya sendiri. Saat kita berpikir, adalah saat kita tak bisa memikirkan pikiran itu sendiri. sebab pikiran itulah yang menjadi instrumen kita berpikir. Dan pikiran selalu mengacu ke luar dirinya. Bahkan saat kita berpikir akan pikiran kita sendiri, pikiran itu sedang bergerak memikirkan dirinya. Selalu ia keluar, tak bisa ke dalam. analog barangkali bisa kita acukan dengan kita dan bayangan. Bayangan, tak bisa bergerak dan lepas dari sang badan. Selalu bayangan bergerak karena sang badan ditiup oleh angin. Sekeras apapun angin meniup bayangan, tanpa badannya, bayangan itu tidak akan bergerak. Bahkan tak ada bayangan tanpa ada suatu badan.

Kira-kira dalam situasi seperti itulah seorang pemikir filsafat berkata, bahwa dalam situasi yang kita tak bisa lagi bicara, kita harus diam. Sebuah pernyataan yang mengingatkan saya akan terdiamnya sang malaikat saat tuhan bertanya: apakah nama nama (benda benda) ini? Dan malaikat pun berdiam diri.

Kita pun akan berdiam diri. hanya hendak bicara sedikit saja. Mengacukan kediaman kita kepada dua frasa yang tersebut dengan amat indah, frasa yang datang dari langit. Indah dalam susunan bahasanya tapi mematikan dan menghidupkan dalam siratan maknanya. Sehingga cerita semacam Bamby itu bisa menjadi, atau diacukan, kepada makna yang mematikan dan menghidupkan itu.

Saya kutipkan penuh al hadid, besi.

Nah besi, suatu lambang yang bisa membawa kematian dan bisa membawa kehidupan, telah menjadi pintu masuk dari sebuah suara yang datang dari langit. Seakan dengan identitas besi, dan dengan bagian bagiannya, langit itu hendak berkata begitulah dunia yang kalian diami: ada besi yang menghidupkan kamu (kamu naik pesawat), tapi ada juga besi yang sekaligus membunuh kamu (kamu pun naik pesawat).

Dan di situlah makna kuat dari cerita semacam Mengantar Ayah, yakni saat dipakainya pesawat, burung besi itu, untuk mengantarkan sebuah kematian yang disebabkan oleh sesuatu benda keras yang menimpa sang Ayah, besi, tapi sekaligus menghidupkan pula sang keluarga yang tak jadi mati karena burung besi tak jadi jatuh, hidup kembali dengan mengantarkan sang ia yang telah mati. Bahwa ia yang telah dan masih hidup akan melanjutkan juga kehidupannya dengan besi-besi yang membuat orang, atau manusia, hidup dan bisa melanjutkan kehidupannya.

Tapi hidup memang tak bermakna. Dengan besi yang menghidupkan dan dengan besi yang mematikan, hidup memang tidak bermakna. Sebab makna hidup telah diletakkan oleh langit ke dalam suatu permainan, senda gurau, yang telah disebutkan oleh langit itu sendiri. Seperti pada bagian 20 yang bisa kita baca.

"ketahuilah olehmu, sungguh
kehidupan di dunia hanyalah
permainan dan hiburan,
bermegah megah dan adu kesombongan
antara kamu,
berlomba kekayaan dan keturunan.
dapat diumpamakan seperti hujan.
tanam tanaman yang ditumbuhkannya,
menakjubkan para petani,
kemudian menjadi layu.
lalu tampak menjadi kuning,
kemudian luluh karena kering.
tapi di akhirat ada azab
yang sangat dahsyat
dan ada pula ampunan dari allah
dan keridhaannya.
kehidupan di dunia hanyalah
kesenangan tipuan belaka."

Dan kita tahu betapa benar al hadid ini, benar karena secara empirik apa yang disuarakannya adalah wajah wajah di belahan dunia manapun, di belahan waktu di dunia manapun. Benar di dalam besi itu ada penjelasan, semacam optimisme yang berhembus, atau dihembuskan, bahwa di sana kelak ada ampunan. Tapi penjelasan semacam itu tak menentramkan kita, saat pikiran kita tak hendak diam, diam dari permintaan yang datang dari ahli filsafat yang telah kita katakan tadi, maupun diam dari kata langit itu sendiri dengan kias sang malaikat yang bungkam di depan pertanyaan, saat gagal membaui nama benda- benda.

Tapi suara semacam itu muncul pula dari kitab langit yang lain, injil, yang dalam pengkotbah satu memuat frasa kesia-siaan itu. Bagi saya frasa langit ini tak perlu dipertentangkan sebagai rentang pertanyaan, manakah yang benar dengan frasa langit yang telah saya kutip dari HB Jassin berjudul bacaan mulia tadi.

Langit itu mungkin terpecah, belah tiga oleh manusia. Tapi saya kira langit itu walau pecah dalam benak manusia, adalah tetap langit yang sama dengan wajah kisah yang sama pada esensinya. Seperti yang saya lihat kesamaannya dari pengkotbah bagian satu ini.

"Kesia-siaan belaka, kesia-siaan belaka. Segala sesuatu adalah sia-sia. Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari? Keturunan yang satu pergi dan keturunan yang lain datang, tetapi bumi tetap ada 'abadi'.

Matahari terbit, matahari terbenam, lalu terburu-buru menuju tempat ia terbit kembali. Angin bertiup ke selatan, lalu berputar putar ke utara, terus menerus ia berputar, dan dalam putarannya angin itu kembali.

Semua sungai mengalir ke luat, tapi laut tidak juga menjadi penuh; ke mana sungai mengalir, ke situ sungai mengalir selalu. Segala sesuatu menjemukan, sehingga tak terkatakan oleh manusia; mata tak kenyang melihat, telinga tak puas mendengar.

Apa yang pernah ada akan ada lagi, apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. Adakah sesuatu yang bisa dikatakan: “lihatlah ini baru? Tetapi itu sudah ada dulu, lama sebelum kita ada. Kenangan-kenangan dari masa lampau tidak ada, dan dari masa depan yang akan datang pun tidak akan ada kenangan pada mereka yang hidup sesudahnya."

Hudan Hidayat, Juli 2009