Aku membunuh ibuku karena aku mencintainya. Orang-orang–termasuk Anda–pasti akan bertanya, kenapa? Aku sendiri bertanya-tanya, kok bisa? Manusia macam apa aku ini? Teganya aku melakukan
terhadap orang yang begitu aku cintai.
Baiklah. Aku ingin menceritakan semua tentang ibu agar orang-orang–termasuk
Anda–mengerti
kenapa aku membunuhnya. Aku yakin, ibu tak keberatan, bahkan ia tak berkeinginan
aku berbohong. Biarlah kisah ini menjadi semacam kesaksian.
***
Ibuku
seorang perempuan berwajah cantik. Tubuhnya langsing dan sintal. Payudaranya kencang bagai menuding langit. Lelaki manapun akan menelan ludah ketika mata-keranjang mereka bertancapan pada kemolekan tubuh ibu. Rambutnya
tebal dan panjang, tentu saja menimbulkan keindahan tersendiri saat rambutnya
tersibak kesiur angin. Eksotis!
Begitu komentar
fotografer yang suka memotret ibuku. Ia tampak bugar dan lebih muda
dari usianya yang sudah kepala empat, karena ia rajin memelihara kecantikannya,
secara teratur ia mendatangi pusat-pusat kebugaran, kelas yoga, salon-salon
kecantikan, spa dan sauna. Selain selalu tampil cantik dan rapi, ia juga perempuan yang suka
tantangan.
Ibu adalah seorang yang sangat
bergairah dalam menjalani kehidupannya, walaupun jalan hidupnya tak begitu
mulus. Ia menjadi istri ketiga dari seorang ulama sekaligus pengusaha besar di
negeri ini. Ulama itu ayahku. Tapi kelihatannya ia bahagia-bahagia saja
menjalani kehidupan sebagai madu lelaki yang sebenarnya doyan kawin itu, kalau
tak salah–aku
pun tak tahu persis–ayahku mempunyai sembilan orang istri. Ibuku tak mempermasalahkan,
berapa banyak istri-istri suaminya itu, karena ia selalu berhasil memperoleh berapa
banyak uang-uang yang ia inginkan dan pasti selalu digelontorkan ayahku.
Dari beberapa istri-istri ayah yang
kukenal, ibu adalah perempuan yang
paling kuat dan dengan lihai mengatur jalan hidupnya sendiri. Ia dikenal
sebagai seorang aktivis lingkungan hidup yang terpandang di negeri ini. Bahkan,
media atau wartawan sekalipun hanya mengetahui sosok ibuku sebagai pesohor dan
kaum sosialita yang dermawan. Lajang pula. Aku pun tak pernah ambil peduli. Mungkin sudah menjadi komitmen ibu dan
ayahku tentang status mereka yang hanya aku mengetahuinya.
Dua tahun lalu, menjelang tahun
baru, sesuatu bencana menimpa ibuku. Ia terkena kanker rahim. Aku sungguh tak
percaya, ibuku yang begitu telaten merawat setiap lekuk dan lipatan tubuhnya
divonis dokter menderita kanker rahim.
“Ah, Cuma kanker,” kata
Ayahku enteng.
Aku protes. “Tapi, ibu pasti menderita.
Ia sakit, ayah!”
“Sudahlah, ibumu akan
ditangani oleh rumah sakit paling modern dan dokter paling
canggih di dunia!”
Ayah dengan uangnya berhasil membawa
ibuku ke sebuah rumah sakit di London. Ibuku dioperasi, rahimnya–tempat aku sebelumnya
bersemayam sebagai janin di situ–tentu saja harus diangkat dan kanker itu
musnah sudah. Apakah selesai?
Belum!
O. Anda perlu minum teh atau kopi barang kali, atau boleh juga
berdiri dari duduk lalu merenggangkan otot-otot pinggang yang kaku sebelum aku
melanjutkan cerita ini.
***
Lonceng pada jam antik di rumah kami
berdentang sembilan kali. Kala itu malam lebih pekat dari biasanya. Apakah
karena bulan tertutup mendung awan yang tak pernah menjadi hujan? Bisa jadi
karena masa kelam bagi ibuku menyergapnya kembali! Malam itu tiba-tiba ibuku
melolong dengan suara yang begitu menyayat hati. Aku langsung menghambur masuk ke
kamarnya.
Sejak rahim ibu diangkat melalui
operasi yang melelahkan di London, ibu lebih banyak berdiam diri di rumah.
Hanya beraktivitas di kamarnya. Menulis artikel-artikel ringan tentang
lingkungan hidup, persamaan gender, masalah perempuan dan sesekali ibu menulis
puisi-puisi pilu. Masih segar dalam ingatanku sesaat setelah mendengar jeritan kesakitannya, aku melihat ibu terkulai
di lantai. Laptopnya masih menyala.
“Ibu, ibu kenapa?” Aku peluk ibu. Tubuhnya kudekap erat.
“Mana, mana, mana... nomor telepon dokter pribadi ibu?!” Seruku panik.
“Jangan panik, jangan panik!” Aku raih handphone
ibu. Oh, syukur. Pada nomor kontak huruf D, kutemukan nama dokter itu.
“Halo Dok, segera ke rumah. Ibu pingsan. Sebelum
pingsan ia menjerit kesakitan. Dokter cepat ke sini. Tolong dokter!”
Segera kutelepon ayah. Nada sibuk.
Sudahlah, biasanya juga begitu. Ayah akan datang setelah masa kritis lewat.
Dokter datang bersama ambulans. Ibu masih pingsan, matanya
terkatup kaku, bibirnya membeku biru. Kulitnya menguning aneh dan dingin. Ibu
jangan mati, jeritku. Ibuku dilarikan ke rumah sakit di Pondok Indah. Rasanya aku tak sanggup hidup tanpa ibu. Aku tak mau ibu meninggalkan aku
untuk selama-lamanya.
Pagi harinya, ibu masih berada di ruang ICU. Ia masih belum siuman.
Dokter memanggilku ke sebuah ruangan beraroma kantor bukan karbol. Dokter mengabarkan
sesuatu padaku. Kabar itu, kabar buruk. Tapi bukan kabar tentang kematian ibu.
Ibu masih hidup. Menurutku inilah bencana terburuk setelah kanker rahim yang
menyergap ibu.
Saat itu, 15 Februari. Ia dinyatakan
dokter menderita penyakit Motor Neurone.
Terus terang aku tak paham dengan apa yang dijelaskan oleh dokter. Beruntung
ayahku datang, dokter melanjutkan penjelasannya yang sempat tertunda. Tentu
saja, dokter mengetahui ayahku itu hanya sebatas kerabat ibuku. Karena pada
saat yang sama, teman-teman ibu datang membesuk. Singkat kata, penyakit ibu
adalah penyakit yang perlahan tapi pasti merusak sistem sarafnya. Sialnya,
dokter bilang penyakitnya belum ada obatnya. O, Tuhan!
Beberapa hari kemudian, tepatnya 2 Maret, ibu
dinyatakan boleh pulang ke rumah. Aku cukup bahagia, karena aku melihat ibu sudah
segar dan bahkan ia tak sabar untuk kembali beraktivitas. Betul saja, ibuku seperti
mempunyai kekuatan baru. Ia terlibat aktif dalam diskusi-diskusi di forum-forum
aktivis lingkungan. Ikut demonstrasi di depan Istana. Orasi di Bundaran HI,
bahkan ikut arung jeram di Sungai Citarik. Ia tak lagi mengurung dirinya di
kamar, seperti pasca operasi angkat rahim beberapa bulan lalu.
Namun sekuat-kuatnya ibu, ia kalah.
Menjelang Agustusan, ia ambruk. Bahkan, ibu hampir lumpuh total. Aku menangis
dalam hati melihat ibuku kini duduk tak berdaya di kursi roda. Ketika itu, ia
sudah tak bisa menggerakkan kaki dan lengannya. Suaranya pun menghilang. Ia tak
bisa bicara dengan jelas dan lancar. Sistem pernapasannya pun mulai
terpengaruh, hampir tiap malam ia merasakan sesak napas yang luar biasa.
Berbulan-bulan ia hidup dalam
kesunyian. Ia melarang teman-temannya mengetahui tentang dirinya. Maka kami
pindah ke rumah almarhum nenekku di kota ini. Aku merasakan ia sangat tertekan
dengan penderitaannya.
Pada saat itu, kelumpuhan ibu
semakin parah. Hanya ada setitik
kecil sisa bara kehidupan pada bolamatanya. Ia bahkan tak
mampu mengusap matanya itu. Penyakit ibu memang tak menimbulkan rasa sakit yang luar biasa, tetapi
karena sendi-sendinya tak digerakkan, muncullah penyakit radang sendi dan sakit
kepala yang menetap. Pendek kata, pasti ibu sangat tersiksa dengan penyakitnya.
Akibatnya, ia begitu sensitif dan emosional. Karena, otak ibu sama sekali
tak terpengaruh. Sejujurnya, aku lebih suka meminta pada Tuhan agar otaknya
juga terkena. Kasihan sekali ibu, dengan otak yang masih sehat, ia bisa
merasakan semua yang terjadi pada bagian-bagian tubuhnya. Tubuhnya kini
ringkih, dengan kulit yang kisut, rambut yang rontok dan hanya terpaku di atas
kursi roda. Tak bisa bergerak, tak bisa bicara secara jelas. Ia tampak serupa
nenek-nenek uzur.
Ayah. Sejak kami pindah ke rumah
almarhum nenekku di kota ini. Ia hanya sekadar benda mati yang bergerak maya,
kami hanya bisa menyaksikannya di tayangan televisi atau sesekali kami baca
beritanya di koran. Ia tak pernah datang menjenguk, tapi ia masih menggelontorkan
uang melalui rekeningku.
Menjelang tengah malam sebelum
perayaan natal tiba, melalui gerak isyarat dan dengan suara yang tak begitu
jelas, ibu memanggilku. Lantas aku datang menemuinya di kamarnya, aku duduk di
sisi tempat tidurnya. Ia memandangku sambil sedikit menyunggingkan senyum
padaku.
Walaupun tak terlalu jelas, aku tahu
apa yang ibu katakan padaku.
“Apakah kamu mau membantu meringankan penderitaan Ibu?”
“Tentu Ibu!”
“Apakah kamu mau mengakhiri hidup ibu dengan membunuh Ibu?”
Aku terkesima, tak percaya ibu
berkata seperti itu dan memohon padaku untuk membunuhnya. Hatiku begitu sedih.
Aku menangis memeluk ibu.
“Tidak Ibu!”
Ia kembali memaksaku. Ia memintanya
saat itu juga aku mengakhiri hidupnya.
“Tidak ada orang lain selain kamu, sayang. Lakukanlah
sekarang. Bukan kah kematianku hanya soal waktu belaka?”
“Ibu! Aku tak
bisa melakukannya. Aku sayang Ibu, aku tak mau Ibu mati!”
Ibu memandangku lagi. Sorot matanya
membara, ibu marah.
Maaf. Sebelum aku lanjutkan kembali cerita ini, ijinkan
aku barang sejenak untuk ke toilet. Aku ingin buang air kecil.
***
Ibu meninggal, tepatnya, aku
membunuhnya menjelang pagi pada 25 Desember. Ketika itu sebagian dari Anda
sedang merayakan natal. Aku tak kuasa melihat ibu menghiba-hiba padaku untuk mengakhiri
penderitaannya. Malam itu memang sangat mencekam. Ibu memintaku untuk mengaji,
merapalkan doa-doa yang aku ingat dari kitab suci.
“Agar Ibu bisa mati dengan tenang,”
kata ibu usai aku
mengaji.
Lepas aku mengaji, kulihat wajah ibu
begitu semringah, begitu terang. Ada pendar cahaya yang samar dari sekujur
wajahnya. Aku tak banyak bicara, aku pun tak menangis lagi.
Ibu menoleh padaku dan berkata, “Lakukan sekarang!”
“Tapi, apakah kamu sudah siap?” Lanjutnya bertanya.
Aku mengangguk kecil dan balik
bertanya. “Apakah
Ibu benar-benar
yakin?”
Ia mengiyakan dan aku pun
menyuapinya dengan pil-pil tidur dalam genggaman tanganku. Tanpa menggunakan
air minum. Celaka! Penyakit yang diderita ibu mempengaruhi kemampuannya untuk
menelan. Sehingga ibu seperti tercekik. Ia tersedak. Ibu
hampir saja memuntahkan pil-pil tidur yang kusuapi. Aku panik! Aku panik!
Aku melihat di meja kamar ada
kantung plastik bekas bungkusan makanan dan bantal. Dalam kepanikan, agar
pil-pil tidur tidak keluar dari mulutnya, aku bekap ibu dengan kantung plastik
dan menindih wajahnya dengan bantal. Satu detik, dua detik, tiga detik dan
detik-detik selanjutnya berlalu dalam kehampaan yang asing. Tubuh ibu berkelojotan,
lantas perlahan berhenti. Ibu telah mati. Aku telah membunuhnya.
Aku menghempaskan tubuhku ke tempat tidur, di samping
ibu yang telah tidur untuk selamanya. Aku sibak kantung plastik dan bantal yang
menutupi wajahnya, kulihat bibir ibu tersenyum.
O, Anda pasti menuding aku sebagai
manusia yang kejam. Sesungguhnya kematianlah yang diinginkan olehnya, dan aku
sangat percaya ibu akan menemukan kedamaian di alamnya. Aku betul-betul tak
peduli apa yang akan terjadi padaku. Aku juga tak peduli dengan kemungkinan
tuduhan pembunuhan terhadapku.
Banyak orang bertanya padaku,
termasuk Anda, mengapa aku memutuskan untuk membunuhnya. Mementingkan ibu
daripada hidupku yang masih panjang.
Aku akan menjawab, aku sangat
mencintai ibuku lebih dari apapun yang ada di dunia ini. Apabila harus
dihadapkan lagi pada keadaan yang sama, aku pun akan membuat keputusan yang
sama. Aku akan membunuh ibu!
“Begitulah cerita yang selama ini kusimpan, Pak Hakim.
Kumohon adililah aku dengan hukuman yang seberat-beratnya. Karena apabila aku
tak bercerita kisah pembunuhan ibuku pada Anda, aku terus menerus ditindih perasaan depresi yang berat dan didera perasaan bersalah yang tak terkira.”
***
Kita sama-sama tahu, bahkan Anda
sendiri mendengar keputusan Hakim yang mulia itu. Sudah jelas kutipannya
seperti ini dan tersiar di seluruh koran negeri ini :
”Wahai Ananda Selma, kamu sudah cukup menderita
menyimpan cerita pembunuhan atas ibumu. Kamu adalah orang yang penuh cinta kasih dan dirimu melakukan itu karena
tidak tahan melihat ibumu menderita. Hukum tidak dapat mengampuni perbuatanmu, tetapi saya akan
memperlihatkan wewenang pengadilan untuk mengampunimu dan itu sudah
sepantasnya.” ***
Jakarta,
6 September 2011 – 25 Desember 2013
Bamby Cahyadi, lahir di Manado, 5 Maret
1970. Menetap dan bekerja di Jakarta. Kumpulan Cerpennya, Tangan untuk Utik (2009), Kisah Muram di
Restoran Cepat Saji (2012) dan Perempuan Lolipop (2014)
2 komentar:
Wah...asyik dan thank you, Mas Bamby.
Aku bisa belajar banyak dari cerpen ini. Isi dan pelajaran cintanya sendiri dan juga cara penulisannya.....
Salam,
Yanti
Terima kasih sudah membaca cerpen ini di sini. Semoga berkesan :)
Posting Komentar