Cerpen oleh: Bamby Cahyadi
Sudah lama kami mendambakan seorang keturunan. Ya, seorang anak. Aku dan istriku ingin sekali punya bayi lucu sebagaimana layaknya orang tua yang suka pamer foto anaknya di profil Facebook dan BlackBerry. Dalam kehidupan berumah tangga, mungkin itu saja tujuan kami masih bertahan sebagai pasangan suami-istri. Punya anak.
Hingga kini buah-hati yang kami tunggu-tunggu belum juga dilepas-lepas dari genggaman Tuhan ke rahim istriku.
Sebenarnya Tuhan pernah melepas calon anak kepada kami, akan tetapi Tuhan hanya menyimpan di rahim istriku sangat sebentar. Sebelum roh anak kami dihembuskan oleh-Nya ke rahim istriku, Tuhan kembali merenggut roh anak kami itu. Enam tahun yang lalu istriku keguguran. Sakit hati kami. Menangis kami setiap hari.
"Oh, buah hati yang pernah singgah dalam rahim istriku, kau pergi tanpa permisi, Nak," ratapku kala itu. Kami hanya bisa termangu-mangu penuh kesedihan di subuh yang kering dan asing.
Saat itu seonggok daging merah kehitaman keluar dari vagina istriku. Istriku menahan rasa sakit sambil meraung-raung. Ketika dokter mengambil tindakan medis untuk membersihkan isi rahimnya. "Tuhan Maha Berkehendak," begitu kata dokter yang membersihkan rahim istriku. Dan, kami pasrah apa adanya tak berdaya. Mau apa lagi, coba? Kalau itu kemauan Tuhan.
***
Aku adalah pribadi dengan perilaku yang ganjil. Lebih tepat unik, aneh. Aku sering melakukan beberapa pekerjaan dalam waktu yang bersamaan. Aku seperti menjelma menjadi amuba. Bisa membelah diri. Saat aku sedang membaca di ruang tamu, maka diriku yang lain sedang menonton televisi. Atau pada saat aku mandi, maka diriku yang lain sedang menerima telepon dari seorang klien.
Ya, bahkan aku bisa menerabas lorong-lorong waktu. Bermain-main di dimensi waktu. Sesekali aku ke masa lampau dan lebih sering melesat ke masa depan. Karena, menyenangkan melihat masa depan. Di masa depan, sungguh suasananya sangat menakjubkan. Tapi, hal itu tak boleh kubeberkan di sini. Karena kalau kuceritakan di sini situasi dan kondisi di masa depan, kalian bisa ikut-ikutan gila. Lagi pula, kami–para penjelajah waktu–dilarang keras membocorkan rahasia.
Terkadang teman-temanku suka tertawa geli melihat tingkah-polahku. Bahkan ada yang sampai terkikik-kikik berguling-guling di atas trotoar jalan. Dalam pandangan mereka, aku adalah orang gila yang lucu, orang gila yang menghibur. Tetapi pada akhirnya mereka akan bungkam sendiri, saat ada kejadian yang membuat mereka takjub dan terkagum-kagum tentang ceracauku jadi kenyataan.
Sebagian dari teman-teman percaya bahwa aku bisa meramal. Menerawang masa depan atau bisa melihat hal-hal gaib. Aku memang bisa. Maka tidak sedikit yang berkonsultasi denganku masalah-masalah supranatural yang aku sendiri tidak tahu wujudnya seperti apa.
Ramalanku selalu tepat tentang sesuatu peristiwa atau perihal seseorang. Misalnya tentang bencana gempa atau gunung meletus. Atau tentang sakit dan kematian orang-orang yang kukenal atau tak kukenal. Aku sangat yakin diriku yang lain telah melompat ke masa depan, lalu ia kembali lagi menyeruak ke masa kini, kemudian ia membisikkan padaku tentang informasi masa depan itu yang dibutuhkan olehku. Tapi terkadang ia sangat pelit. Ia, memberiku informasi sedikit-sedikit dan terpotong-potong. Hingga aku harus menyusunnya sendiri, seperti potongan puzzle yang berantakan. Biasanya aku menyusun informasi gaib itu lewat energi yang kurasa dari aura seseorang atau aliran energi alam tertentu yang menjalari sekujur tubuhku.
Baiklah, lupakan dulu omong-kosongku tadi. Begini, saat ini aku sangat suka makan rujak. Istriku saja sampai terheran-heran, karena setiap hari aku makan rujak. Pagi, siang, sore, malam, dini hari bahkan subuh pun, rujak selalu kusantap. Betapa nikmatnya buah-buahan asam-manis itu kukunyah dengan bumbu terasi pedas. Ah, tak terbayangkan. Akibatnya, karena harus selalu ada persediaan rujak aku sering berburu rujak dari warung ke warung, dari penjual rujak gerobak ke penjual rujak gerobak yang lain hingga mencari rujak yang dijual di mal-mal.
Aku seperti perempuan yang sedang ngidam. Istriku terkikik-kikik, ketika suatu hari, aku sampai linglung karena ingin makan rujak tak kesampaian. "Kamu seperti orang ngidam saja Mas," kata istriku, saat aku uring-uringan mencari penjual rujak di sekitar kompleks rumah. Tetapi tak satu pun penjual rujak yang kutemui, hingga akhirnya aku putuskan mencari rujak di sebuah mal. Karena di areal food court mal tersebut tersedia counter penganan rujak.
Keadaan akan menjadi tak terkendali apabila aku tak makan rujak sehari saja. Aku akan uring-uringan sepanjang hari, dari bangun hingga kembali tidur. Emosiku akan sangat labil, aku menjadi seorang pemarah yang menjengkelkan. Kalau sudah begitu, istriku buru-buru memberiku obat penenang hingga aku tertidur lelap. Anehnya, dalam tidur pun aku bermimpi sedang mencari-cari rujak, tapi tidak ketemu. Sehingga aku mengigau tak karuan.
Melihat kondisiku ini, istriku menjadi prihatin. Aku pun menyetujui usulan istriku untuk berkonsultasi dengan dokter ahli jiwa atau semacam psikiater. Setelah beberapa kali pertemuan dengan dokter ahli jiwa itu. Akhirnya aku direkomendasi untuk menemui dokter spesialis kandungan oleh dokter ahli jiwa itu. Lho kok?
Tentu saja aku marah. Aku tersinggung pada dokter ahli jiwa itu. Masak aku disuruh menemui dokter kandungan! Namun dengan sabar dokter itu berkata, "Bapak dan Ibu, saya persilakan untuk tes kesuburan di sana. Nah, dokter spesialis kandunganlah ahlinya."
Lantas dokter jiwa itu melanjutkan ucapannya. "Mungkin, Bapak sangat berharap mempunyai seorang anak, sehingga Bapak merasa perlu makan rujak terus-menerus sehingga seolah-olah sedang ngidam."
Tanpa menunggu lebih lama aku dan istriku menuju poliklinik kandungan. Singkat cerita, dokter kandungan meminta kami untuk tes urin. Bukan tes kesuburan. Air kencing kami ditampung dalam tabung botol kecil. Lalu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Kami menunggu dengan sabar hasil tes urin tersebut.
Setelah menunggu sedikit lama, kami dipanggil kembali untuk menemui dokter kandungan tersebut. Dokter itu tidak bercakap sedikit pun. Ia memandangi kami silih berganti. Ke aku, lalu ke istriku. Aku lagi, istriku lagi. Begitu seterusnya. Sampai akhirnya ia berhenti sendiri kecapaian atau bisa jadi karena kepalanya menjadi pusing.
"Ada apa Dok?" tanyaku tak sabar.
"Begini Pak, hasil pemeriksaan urin yang kami lakukan, Bapak positif hamil!" kata dokter itu tercengang sendiri dengan suara bergetar hebat. Ia seolah tak percaya dengan hasil tes medis laboratorium rumah sakit ini. Ia tampak tak percaya dengan ucapannnya sendiri.
"Saya hamil, Dok? Betul saya hamil?" seruku kegirangan.
Istriku sampai bertepuk tangan mendengar kabar baik dari dokter itu dan mengepalkan tangannya, diacungkan tinjunya ke langit, lalu ditariknya ke bawah lagi di atas perutnya. "Yes!" sorak istriku histeris.
Beberapa saat kemudian, dokter kandungan itu terkulai pingsan di kursi duduknya.
Kami lalu mengabari tentang kehamilanku kepada semua orang. Kepada tetangga, kepada teman-teman, kepada keluarga dan kerabat lainnya. Mereka sangat takjub dan tercengang, bahkan ada yang sampai kena serangan jantung.
Aku dan istriku tentu sangat paham dan tak heran dengan kehamilanku. Karena aku pernah sedikit membocorkan rahasia padanya perihal masa depan kami. Tentu saja, tanpa sepengetahuan para penjelajah waktu yang lain.
Akhirnya setelah menjalani sembilan bulan masa hamil, aku melahirkan seorang bayi mungil yang lucu. Aku menjadi sangat terkenal, bukan saja di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Aku adalah laki-laki yang hamil dan kini telah melahirkan seorang anak. Bukan seperti Thomas Beatie, laki-laki yang melahirkan seorang anak, tapi ia melalui proses transgender terlebih dahulu. Aku berbeda, aku lelaki tulen.
Ah, sekarang kami sudah mempunyai seorang momongan yang terlahir dari rahimku. "Oh, Tuhan terima kasih ya," ujarku menimang bayi yang lahir dari rahimku.
Istriku tersenyum bahagia di sampingku, sambil mengusap-usap rambutku.
***
Anakku hilang. Entah mengapa ia bisa hilang. Aku takut ia diculik. Aku ngeri sekali sampai jantungku berdebar-debar hebat seakan mengedor-gedor rongga dadaku. Saking kencang debaran jantungku, aku sangat takut tulang rusukku akan patah akibat debaran yang bergemuruh. Aku memegang dadaku untuk meredam suara debar yang mengerikan itu. Keringatku mengucur deras. Istriku membangunkan aku dari tidur, ia duduk di tepian tempat tidur yang seprainya telah kusut dan basah.
"Anak kita mana, Ma?" tanyaku pada istriku saat aku terbangun dari tidur.
"Anak...? Anak kita yang mana?" balas istriku balik bertanya sambil melongo.
"Ya, anak yang lahir dari rahimku tentunya!" kataku kesal.
"Mas...Mas, kamu kok suka mimpi yang aneh-aneh," ujar istriku tertawa menahan geli melihatku bermandikan keringat.
"Kok mimpi yang aneh-aneh?" balasku.
"Makanya jangan tidur sore-sore. Pamali!" lanjutnya sembari terus terkekeh sambil berurai air mata.
Entah air mata geli atau sedih. Aku menelan ludah. Cuma mimpi rupanya. Mungkin aku yang terlalu serius memikirkan soal keturunan yang belum turun-turun. Tuhan memang lucu dan maha berkehendak.
Jakarta, 25 Desember 2011
Kamis, 02 Juni 2011
Minggu, 30 Januari 2011
Surat Pembaca untuk KOMPAS dari Bamby Cahyadi
Surat Pembaca [untuk Redaktur Desk Non Berita KOMPAS], Gugatan terhadap Cerpen Dadang Ari Murtono dan beberapa komentar teman-teman Facebook.
Jakarta, 30 Januari 2011
Kepada Yth.
Redaktur Surat Pembaca KOMPAS
u.p. Redaktur Desk Non Berita Kompas
Salam Sejahtera,
Saya sangat kecewa dengan cerpen yang dimuat di Kompas, 30 Januari 2011. Cerpen Perempuan Tua dalam Rashomon, yang ditulis oleh Saudara Dadang Ari Murtono, adalah cerpen PLAGIAT dari cerpen berjudul RASHOMON karya Akutagawa Ryunosuke.
Cerpen Rashomon karya Akutagawa Ryunosuke (cerpenis terbaik Jepang) ini, terhimpun dalam kumpulan cerita yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), pada Januari 2008 berjudul Rashomon.
Saya tak perlu menyebutkan di mana letak Saudara Dadang memplagiat cerpen Rashomon, seharusnya Saudara Redaktur Desk Non Berita (Sastra/Cerpen), sangat tahu bahwa cerpen Saudara Dadang (Perempuan Tua dalam Rashomon), isinya sama dengan cerpen Rashomon karya Akutagawa Ryunosuke, hanya paragraf dalam cerpen itu yang dipindah-pindah oleh Saudara Dadang.
Saya kecewa kepada KOMPAS, karena selain cerpen tersebut (Perempuan Tua dalam Rashomon) sudah pernah dimuat di Lampung Post, pada 5 Desember 2010, kenapa pula cerpen PLAGIAT itu bisa lolos dan dimuat di Kompas Minggu, 30 Januari 2011. Padahal cerpen Dadang ini, sempat membuat polemik masalah plagiat mencuat dan didiskusikan secara terbuka di media Facebook oleh beberapa cerpenis termasuk saya.
Saya minta Kompas menarik cerpen Saudara Dadang dan mengumumkan bahwa cerpen tersebut tak pernah dimuat, karena kredibilitas Kompas dipertaruhkan dalam peristiwa ini. Kalau Saudara Redaktur Kompas keberatan, saya bersedia menemui Saudara Redaktur untuk membuktikan bahwa cerpen tersebut PLAGIAT.
Demikian surat pembaca saya sampaikan, tanpa bermaksud menjatuhkan nama Dadang Ari Murtono sebagai cerpenis produktif yang karya-karyanya sering dimuat di media (koran nasional dan lokal), atau memang KOMPAS sudah tak memperhatikan dan tak membaca karya cerpen yang masuk ke meja redaksi. Padahal begitu banyak karya cerpen yang bagus dan berkualitas dari para cerpenis yang mengantri untuk dimuat di Kompas.
Terima kasih.
Salam Saya,
Bamby Cahyadi (Cerpenis)
komentar:
Gemi Mohawk aku dukung 1000%
Bamby Cahyadi
Bukti-bukti plagiat yang disari oleh Sungging Raga:
saya di sini cuma melanjutkan bukti2 plagiat Dadang Ari Murtono terhadap karya Akutagawa yg berjudul Rashomon, saya sendiri belum sempat membuat esai, tapi sebagai soft opening, saya memint...a teman dekat saya yg kebetulan juga teman dekat Dadang untuk bertanya via sms, dan Dadang mengirimkan sms balasan kepada teman dekat saya itu, lalu teman saya ini lantas menerjemahkan sms Dadang yg berbahasa Jawa kedalam bahasa Indonesia kepada saya yg isinya seperti ini:
"maaf ya, aku gak peduli orang bilang apa. menyelesaikan? gimana? apa aku harus datang keorang orang seluruh indonesia satu persatu buat jelasin masalahnya? lha masalahnya apa? aku gak merasa punya masalah. terserah orang mau bilang apa. lha redakturnya aja nyantai kok, gak anggap plagiat kok. ya memang aku diam soalnya aku gak merasa ada apa-apa."
berikut ini sedikit bukti2nya antara Cerpen Dadang di Lampung Post & buku Akutagawa yg diterbitkan KPG
oya, ternyata cuplikan utuh Rashomon versi Akutagawa bisa dilihat di google books:
http://books.google.co.id/books?id=IL2M2djhQmoC&printsec=frontcover
=====
Cerpen Dadang:
Ini adalah Kyoto, kota yang ramai dan permai, dulu. Namun, beberapa tahun silam, kota ini didera bencana beruntun. Gempa bumi, angin puyuh, kebakaran, dan paceklik. Itulah sebab kota ini menjadi senyap dan porak-poranda. Menurut catatan kuno, patung Buddha dan peralatan upacara agama Buddha lainnya hancur, dan kayu-kayunya yang masih tertempel cat dan perada ditumpuk di pinggir jalan, dijual sebagai kayu bakar. Dengan kondisi seperti itu, perbaikan Rashomon sulit diharapkan. Rubah dan cerpelai, musang dan burung punai, juga para penjahat, memanfaatkan reruntuhannya sebagai tempat tinggal. Dan akhirnya, bukan perkara aneh membawa dan membuang mayat ke gerbang itu. Setiap senja seperti sekarang ini, seperti saat si perempuan tua itu berjongkok sambil memandang wajah mayat perempuan itu, suasana menjadi teramat menyeramkan. Tak seorang pun— kecuali perempuan tua itu, tentu saja—berani mendekat.
Halaman 2 Akutagawa:
Kota Kyoto sesepi itu karena beberapa tahun silam didera bencana beruntun, mulai dari gempa bumi, angin puyuh, kebakaran, dan paceklik. Karena itu Kyoto jadi senyap dan porak-poranda. Menurut catatan kuno, patung Buddha dan peralatan upacara agama Buddha lainnya hancur, dan kayu-kayunya yang masih tertempel cat dan perada ditumpuk di pinggir jalan, dijual sebagai kayu bakar. Karena kondisi Kyoto seperti itu, perbaikan Rashomon sulit diharapkan. Rubah dan cerpelai, juga para pelonceng, memanfaatkan reruntuhan sebagai tempat tinggal. Akhirnya, lazim membawa dan membuang mayat tak dikenal ke gerbang itu. Karena bila senja telah tiba suasana menjadi menyeramkan. Tidak ada orang yang berani mendekat.
========
Cerpen Dadang:
Setelah mengamati beberapa saat, perempuan itu menancapkan oncor kayu cemara di sela lantai papan, kemudian menaruh kedua belah tangannya pada leher mayat itu. Perempuan tua itu mulai mencabuti rambut panjang si mayat helai demi helai. Persis seekor monyet yang sedang mencari kutu di tubuh anaknya.
Halaman 7 Akutagawa:
Perempuan tua itu menancapkan oncor kayu cemara di sela lantai papan, kemudian menaruh kedua belah tangannya pada leher mayat yang sejak tadi dipandanginya. Perempuan tua itu mulai mencabuti rambut panjang si mayat helai demi helai, persis seekor monyet yang sedang mencari kutu di tubuh anaknya.
=======
Cerpen Dadang:
Sambil menggenggam gagang pedang, lelaki itu menghampirinya dengan langkah lebar.
Ia terkejut. Saking kagetnya, ia sampai terlonjak bagai dilontarkan dengan ketapel.
"Hei, mau ke mana kau?" hardik Genin itu seraya mencengkeram tangan perempuan itu yang bermaksud melarikan diri.
Halaman 8:
Sambil menggenggam gagang pedang ia menghampiri nenek tua itu dengan langkah lebar.
Sekilas ia melihat ke arah Genin. Dan saking kagetnya seketika itu pula iaterlonjak bagai dilontarkan dengan ketapel.
"Hei, mau ke mana kau?" hardik Genin seraya mencengkeram tangan si nenek yang bermaksud melarikan diri,
======
Cerpen Dadang:
"Apa yang sedang kamu lakukan? Jawab! Kalau tidak mau mengaku...."Genin itu melepasKan cengkeramannya seraya menghunus pedang baja putih berkilau dan mengacungkannya ke depan mata perempuan tua itu. Namun perempuan itu bungkam, kedua tangannya gemetar hebat, napasnya terengah, matanya membelalak seperti hendak melompat keluar dari kelopaknya.
Halaman 8:
"Apa yang sedang kamu lakukan? Jawab! Kalau tidak mau mengaku...."Genin itu melepaskan cengkeramannya seraya menghunus pedang baja putih berkilau dan mengacungkannya ke depan mata si nenek. Tapi, nenek tua itu tetap bungkam, kedua tangannya gemetar hebat, napasnya terengah, matanya membelalak seperti hendak melompat keluar dari kelopaknya,
======
Cerpen Dadang:
"Aku bukan petugas Badan Keamanan. Aku kebetulan lewat di dekat gerbang ini. Maka aku tidak akan mengikatmu atau melakukan tindakan apa pun terhadapmu. Kau cukup mengatakan sedang melakukan apa di sini."
Halaman 9:
"Aku bukan petugas Badan Keamanan. Aku kebetulan lewat di dekat gerbang ini. Maka aku tidak akan mengikatmu atau melakukan tindakan apapun terhadapmu. Kau cukup mengatakan sedang melakukan apa di sini."
========
Terakhir, yg sudah sempat di-paste Bung Bamby:
Cerpen Dadang:
Perempuan tua itu melanjutkan, "Ya... memang, mencabuti rambut orang yang sudah mati bagimu mungkin merupakan kejahatan besar. Tapi mayat-mayat yang ada di sini semua pantas diperlakukan seperti itu. Perempua...n yang rambutnya barusan kucabuti, biasa menjual daging ular kering yang dipotong-potong sekitar 12 cm ke barak penjaga dan mengatakannya sebagai ikan kering. Kalau tidak mati karena terserang wabah penyakit, pasti sekarang pun ia masih menjualnya. Para pengawak katanya kerap membeli, dan mengatakan rasanya enak. Perbuatannya tak dapat disalahkan, karena kalau tak melakukan itu ia akan mati kelaparan. Ia terpaksa melakukannya. Jadi, yang kulakukan pun bukan perbuatan tercela. Aku terpaksa melakukannya, karena kalau tidak, aku pun akan mati kelaparan. Maka, perempuan itu tentunya dapat pula memahami apa yang kulakukan sekarang ini."
Halaman 9 - 10:
"Ya... memang, mencabuti rambut orang yang sudah mati mungkin bagimu merupakan kejahatan besar. Tapi, mayat-mayat yang ada di sini semuanya pantas diperlakukan seperti it...u. Perempuan yang rambutnya barusan kucabuti, biasanya menjual daging ular kering yang dipotong-potong sekitar 12 sentimeter ke barak penjaga dan mengatakannnya sebagai ikan kering. Kalau tidak mati karena terserang wabah penyakit, pasti sekarang pun ia masih menjualnya. Para pengawal katanya kerap membeli, dan mengatakan rasanya enak. Perbuatannya tidak dapat disalahkan, karena kalau tidak melakukan itu ia akan mati kelaparan. Ia terpaksa melakukannya. Jadi, yang kulakukan pun bukan perbuatan tercela. Aku terpaksa melakukannya, karena kalau tidak, aku pun akan mati kelaparan. Maka, perempuan itu tentunya dapat memahami pula apa yang kulakukan sekarang ini."
====
karena terburu-buru, cukup sekian yg bisa ditampilkan :)
Jafar Fakhrurozi :redakturnya lagi pada stress mikirin gayus..
Benny Arnas: Bang Bamby seharusnya bukti-bukti plagiasi seperti yang diuraikan Bang Bamby dan Sungging Raga, juga disertakan sebagai lampiran.Karena aku gak yakin kalau REDAKTUR KOMPAS mau mencari buku terbitan KPG itu, secara dia/mereka kan pemalas .... :-)
Bamby Cahyadi : @ Benny: semoga email yang kukirim tadi pagi dibaca oleh mereka, kalaupun mereka malas membaca, saya siap dipanggil ke kantor redaksi KOMPAS yang terhormat itu!
Linda Christanty : Waah, Mas Bamby. Plagiarisme harus dilawan. Itu kejahatan. Aku dukung. Yang penting Mas Bamby punya bukti. Kalau sudah terbukti begitu, setahuku Kompas juga tegas kok pada plagiarisme. Dulu ada yang menjiplak cerpen juga dan artikel juga dan sempat dimuat di Kompas, lalu mereka black list setelah tahu bahwa para penulis itu menjiplak karya orang lain, nggak bisa menulis lagi di situ. Aku dukung Mas Bamby. Basmi plagiarisme!
Fahri Asiza:
Secara garis besar, saya sependapat dengan isi surat pembaca mas Bamby ke Kompas. Hanya saja, tampak kesalahan ini ditumpahkan ke Kompas dan sepenuhnya seolah menjadi tanggungjawab Kompas (mengingat cerpen colongan ini pun pernah dimuat di ...Lampung Post).
Padahal jelas ini adalah bentuk kecurangan dan miringnya Dadang Ari Murtono yang rupanya tak punya harga diri atau bahkan sebenarnya tak mampu menulis sebuah cerpen, dan menjadi maling dengan nyolong karya orang lain.
Sebagai cerpenis yang lebih dari tiga kali karyanya diplagiat orang, bahkan ada yang hanya mengganti nama pengarangnya saja, saya jelas "terluka" dalam kasus Dadang, sang plagiator.
Tapi apa pun itu, saya sepenuhnya mendukung Mas Bamby...
Benny Arnas: aku menampilkan semua bukti plagiasinya dalam komenku di website KOMPAS.COM. Semoga dibaca. thx
Anita Lindawaty SSi MSi : apa kita belum punya undang2 ttg plagiator yak? ummm... tentang sangsi nya misalnya? ini jelas2 melanggar Hak Kekayaan Intelektual (HKI) loh... kayaknya ada organisasi yg ngurusin HKI deh... mesti email ke sana juga barangkali?
Benny Arnas: wah, komenku di KOMPAS.COM mental. modemku bermasalah lagi dahj kayaknya.
Ini link-nya, Bang. Tapi, bang bamby kudu daftar jadi member dulu.
http://cetak.kompas.com/read/2011/01/30/04092193/perempuan.tua.dalam.rashomon
Bamby Cahyadi : @ Anita: saya tidak tahu untuk dunia tulis-menulis, namun saya rasa harus ada sanksi moral bagi plagiator. Minimal para redaktur surat kabar dan majalah, tidak memberi ruang bagi sang plagiator.
Yetti A. Ka : dukung mas Bamby,soalnya bukti terjadi plagiat itu sangat kuat...
Tina Chi : udah plagiat ga merasa bersalah pula. masih kah ada kebanggaan sebagai penulis kalo yg mampu ditampilkannya adalah copas karya orang lain? sedikit modifikasi mah ga ada artinya. semoga tak banyak yg seperti ini...
Fahri Asiza:
Hari yang mengecewakan, cerpenis Dadang Ari Murtono, jadi maling dengan nyolong karya orang lain yg diketok magic seolah jadi karyanya sendiri... bahkan karya colongan itu dimuat dua kali, pertama di Lampung Post dan kedua di Kompas (hari i...ni). Bagi teman-teman yang ingin tahu lebih jelas, silakan baca notes Bamby Cahyadi dan Tanpa Nama... *Jangan pernah jadi maling dgn nyolong karya orang lain. Basmi plagiatrisme!*
- statusku hari ini, sayang blackberry gak bisa overlink*
Lanang Sawah: wahwah. selama tujuh tahun aku jaga rubrik budaya MI, hal yang sulit dihindari pada soal teknis seperti ini. redaktur tak mungkin membaca secara menyeluruh karya-karya yang bertebaran di mana-mana. ada kasus dan sering terjadi, satu orang mengirim ke berbagai media dan dimuat bersamaan. tapi kalo unsur plagiat seperti ini, biasanya redaktur langsung beri black list bagi cerpenis...
Ahda Imran:
Awalnya saya kagum membaca nama cerpenis Kompas yg baru pekan kemarin kami muat cerpennya di Pikiran Rakyat. Tapi Kekaguman saya berubah menjadi kekagetan membaca cerpen tersebut yang rasanya saya hapal benar setiap deskripsi dan dialognya.... Ini memaksa saya mengambil buku kecil "Rashomon" Akutagawa yang diterbitkan "aku baca" (2003). Saya tak percaya mengapa teman2 Kompas bisa meloloskan cerpen sejenis ini, seperti juga saya tak habis pikir mengapa Dadang Ari Murtono (DAM) melakukannya tanpa berpikir orang akan tahu muasal gagasan cerpen ini. Tapi lebih tak mengerti lagi saya membaca forward SMS DAM di atas. Tapi apapun, thx Bamby...
Kurnia Effendi:
Bamby, berbekal obrolan kita di Penus TIM beberapa waktu lalu mengenai karier Dadang Ari Murtono, aku sudah mengirim SMS langsung kepada Redaktur Kompas. Ia berjanji akan cek ke Facebook mengenai hebohnya plagiarisme yang dilakukan Dadang. ...Bahkan surat pembacamu ini plus kutipan perbandingan dari Sungging Raga juga sudah saya kirim kepada Red Kompas via inbox. Namun demikian, kejadian ini menunjukkan bahwa Kompas tidak membaca media lain atau isu sastra di media maya.
Trims, Bamby
Tina Chi : Mas Bamby, usul ya...lain kali kalo ada kejadian seperti ini, tagging lah sebanyak mungkin temanmu, trutama yg concern sm mslh seperti ini. saya sependapat kalo ini tdk mutlak jd tg jawb redaktur, setidaknya mungkin kita bisa mempersempit ruang buat para plagiator itu. dan buat yg baru berniat...biar pikir ulang...
Endah Sulwesi : Aku pun kaget saat mlembuka lembaran sastra Kompas hari ini. Hah? Cerpen ini lagi dan pelakunya org yg sama pulak? Langsung telp bamby utk memastikan. Eh, rupanya bamby sdh bergerak cepat menyikapi hal ini. Dadang, masa kamu begitu bebal sih mengulang-ulang kesalahan yg sama? Apa bagimu tak penting sebuah nama baik dan kehormatan?
Lanang Sawah urnia : dalam satu hal keliru. redaktur sastra dengan segala keterbatasannya tak mungkin memantau semua isi rubrik sastra. Ada ratusan cerpen yang masuk setiap hari. Ini murni kesalahan cerpenis.
Isbedy Stiawan Z S : Sungguh, ini kelalaian redaktur DNB Kompas yang fatal. Cerpen 'plagiarisme' ini juga justru perah dimuat Lampung Post beberapa pekan lalu. Kita bukan saja memboikot cer[en Kompas, tapi media massa wajib membokit penulisnya. Orang-orang yang melakukan plagiat tak boleh dibiarkan 'hidup'.
Lanang Sawah: isbedy pernah jadi redaktur sastra. harus melihat dalam perspektif ketika dia di dalam. bagaimana redaktur mengelola ratusan cerpen yang masuk setiap hari. Isbedy pernah merasakan tentunya.
Anita Lindawaty SSi MSi : mohon izin punjem url link note ini utk ku posting di twitter & koprol ya bam. biar lebih banyak orang yg tau dan perduli. semoga sanksi moralnya lebih berasa...
Ahda Imran:
Benar kata Lanang. Memantau puisi, cerpen, dan esai yang bertebaran di berbagai media memang sangat sulit. Meski lewat online. Kami pun sekali pernah kecolongan memuat esai yg ternyata baru minggu dimuat di media lain, seperti sebuah media ...memuat esai yg pernah kami muat sepekan sebelumnya. Tapi dalam kasus DAM ini, saya kira sepenuhnya kelalaian redaktur. Cerpen Akutagawa itu adalah cerpen yg sangat terkenal, jadi sulit saya bisa mengerti jika seorang redaktur sastra tidak mengenal cerpen itu. Seandainya itu adalah cerpen O Henry (atau cerpenis terkenal siapapun) yang belum diterjemaahkan, maka mungkin bisa kita mengerti kalau redaktur kecolongan. Paling tidak ada celah alasan ihwal keterbatasan bacaannya. Tapi ini, Akutagawa gitu lhoo... .
Lovely Aan Loverstopia :Cerpen berjudul Pengisah Akutagawa karya Dadang Ari Murtono juga muncul di majalah Horison bulan Januari 2011. Hehew, banyak banget ya.
Lanang Sawah : ahda, kita sama2 penulis. kita sama2 menjaga rubrik sastra. terlepas dari posisi kita sebgai redaktur budaya, ada satu hal yang harus diingat, bahwa redaktur sastra dalam konstelasi kerja di media massa, tak hanya ngurus rubrik sastra. ia juga harus berurusan dengan persoalan tetek bengek teknis lainnya, yang tak punya kaitan denga soal-soal sastra. saya pikir Can, dalam konteks seperti ini, ia bukan manusia setengah dewa, yang punya ingatan per detik dan per menit, tuk mengumpulkan berbagai memori bacaan yang bersemayam dalam dirinya
Ady Azzumar : berawal pengekor + epigon + lalu menjadi plagiat. menyedihkan.
bang Bamby: izin Share untuk menjadi bahan perbincangan kami.
Isbedy Stiawan Z S:
LS: ya, itu sebabnya, sebagai redaktur boleh saja gunakan 'rasa curiga' terlebih dulu. Bedanya redaktur di luar Kompas hanya seorang, bisa saja terjadi kea;faan, tapi Kompas konon beberapa orang hingga terakhir sebagai penentu. Memang lumra...h kalau redaktur tak m[ampu membaca seluruh karya sastra yang ada di dunia ini. Tapi kan karya sastrawan Jepang ini sudah dibukukan oleh grup Kompas dan berkali-kali dipentasteaterkan dengan judul Rashomon (Komuntas Berkat Yakin -- KoBer Lampung kalau tak salah ingat juga pernah mementaskan naskah ini Taman Budaya Cak Durasim dan sejumlah panggung lainnya.
Trims Lanang dan Ahda yang telah 'mengingatkan' saya, meski untuk kasus plarisme cerpen ini tetap fatal. Sedang untuk yang lain, saya memaklumi mengingat seorang HB Jassin saja pernah salah saat memenangkan sebuah cerpen pada sebuah sayembara majalah. Namun kemudian Jassin mentolerir kemenangan naskah itu terlepas apakah hadiahnya dikembalikan ke panitia. Sekali lagi aa dan trima kasih buat Lanang dan Ahda.
Lanang Sawah : ya sama-sama isbedy. menjadi penulis dan pengarang butuh niat baik tak sekadar menguar kreativitas.
Bamby Cahyadi : Cerpen Dadang Yang di majalah horison, silakan para pembaca menilainya sendiri, apakah kisahnya mirip Kappa-nya Akutagawa, atau Dadang menjelma menjadi pentutur ulang Almarhum Akutagawa Ryunosuke. Cerpen Dadang Pengintai yang dimuat di Suara merdeka lantas dimuat ulang di Pikiran Rakyat, konon kabarnya ditujukan utk kami yang mencibir dia saat cerpen perempuan tua kami sebut plagiat. Kami tidak iri pada sdr. Dadang, tapi kami prihatin dia membunuh dirinya.
Anita Lindawaty SSi MSi : begitu banyak cerpen yg dijiplak DAM, jangan2 DAM tergolong plagiator sejati...
Ahda Imran:
Betul, Lanang. Tak hanya yg berurusan dengan teks, bahkan sampai urusan2 keluhan adminstrasi para penulis. Apalagi jika dicampur dengan kewajiban dan tugas2 peliputan yang lain. Keterbatasan ingatan itu aku paham. Tapi, seperti saya sebut,... Akutagawa bukanlah cerpenis yang asing.Terlebih lagi dengan penyebutan "Rashomon". Nama Akutagawa dan Rashomon nyaris tak bisa dipisahkan. Jika benar karena keterbatasan ingatan, yg karena itu kita harus memakluminya, untuk Akutagawa dan Rashomon, tetap sulit saya mengerti. Kecuali jika kita memang ingin melihat soal ini dari sudut pandang yang normatif, namanya juga manusia pasti ada salah dan khilafnya.
Han Gagas : Sy senang mas bam sdh bergerak jg kef, dan redaktur2 lain. Smoga upaya kt mengungkap yg dl lwt tag sungging raga terblow up lbh bsr lg dan yg terpenting adalah diketahui redaktur2 koran seluruh Indonesia.
Donatus A. Nugroho : Gawat ini ... sedih aja mendengarnya.
Han Gagas Jgn: lupa beberapa cerpen dadang dulu jg dobel dimuat media jd tak hanya ini shg spt menyimpulkan bhw dia berwatak buruk haus publikasi dg melakukan kecurangan.
Lanang Sawah:
memang agak sukar Ahda jika cerpen itu terkait seorang empu seperti Akutagawa.saya tak mencoba berpikir normatif dan skripturalis, tapi jujur agak susah memang. niat baik pengarang harusnya diutamakan. menjadi pengarang tak sekadar menguar ...karya tapi sikap pengarang menjadi bagian integral proses kreativitas.
Sekadar tambahan buat isbedy, setahu saya, bebrapa orang yang membaca cerpen kompas sebelum diacc, datang dari redaktur2 non desk sastra, wewenang sepenuhnya ada di redaktur sastra. Jadi sejatinya sama. ia sendiri, yang lain hanya ikut membaca. Tapi ini cerita yang pernah dipaparkan Bre Redana. Entah sekarang.
Han Gagas : Dan smg para redaktur2 itu slg berkontak spt yg kt lakukan di fb sbg cerpenis yg sm2 berproses.
Saut Poltak Tambunan: Bamby, suratmu tidak akan ditanggapi karena 'tidak sesuai untuk Kompas, tidak sesuai selera redaksi, dan 'tidak melebihi 10000 karakter."
Bamby Cahyadi : Hahaha, iya ya. Tapi paling tidak aku mewakili cerpenis yang suka kirim ke kompas dan ditolak, karena masalah tdk sesuai dgn kompas, dan atau kelebihan karakter 10rb, sehingga jelaslah bahwa cerpen minggu ini yang sesuai dgn kompas adalah cerpen plagiat.
Holy Adibz : lebih karya asli meski tidak dimuat di media, daripada dimuat di KOMPAS, tapi PLAGIAT. memprihatinkan.
Ribut Wijoto: kita tunggu tanggapan kompas. jika tidak ditanggapi, saya kira kompas akan rugi sendiri.
Saut Poltak Tambunan : Setuju, Bamby, kompas bukan ukuran sastra di negeri ini.
Kartika Catur Pelita : Ketika karya penulis dimuat bersamaan pada beberapa media, mungkin kita bsia maklum bawa hal ini bukan sebuah kesengajaan. Tapi jika cerpen tersebut sengaja di tebar pada beberapa media- cerpen itu ternyata plagiat pula, sangat tidak etislah yang dilakukan pengarang tersebut! Sebagai pelaku sastra(penulis) seharusnya pegang kode etik kepenulisan dan moral. Sastra merupakan kreatifitas keindahan berbasis kejujuran, tentu.Buat Bung Bamby-salut- kebenaran memang harus disuarakan!
Nita Tjindarbumi :kalo kompas bukan ukuran sastra di negeri ini, yah ngapain capek2 antri di kompas ya? mungkin lebih asyik kalo nulis cerpen untuk Bobo saja..menulis cerita anak konon susah juga...hiks..
Saut Poltak Tambunan: Nita, daripada jadi pengarang plagiat, aku lebih suka diajarin merajut saja!
Aba Mardjani : Lima atau mungkin 10 tahunan lalu, setahuku, Cerpen Kompas diseleksi 5 orang (untuk dimuat skor setidaknya harus 3-2). Belakangan kudengar 3 orang (2-1), entah sekarang....
Haya Aliya Zaki : Di Bobo juga antreee...:D
Nita Tjindarbumi:
Bang Saut...banyak membaca tulisan orang juga bisa mempengaruhi orang untuk jadi plagiat, meniru gaya, mencuri kalimat bahkan sampai parah kalo menjadi cerpenis Copas...
memang lebih baik belajar merajut aja. mending ditulis di kompas karena... merajut deh..kalo antrian panjang untuk cerpen...kan podo2 masuk kompas...hehehe
Bamby Cahyadi:
Cerpen Pengintai karya Dadang yang dimuat di suara merdeka, lantas dimuat lagi di pikiran rakyat, konon kabarnya ditujukan pada kami, krn mencibir dan menuduhnya plagiat, saat cerpen perempuan tua dimuat di lampung post. Karena dadang sendi...ri tdk pernah dgn elegan menanggapi kritik dan kecaman kami secara langsun. Dan, akibat dia "keroyok" maka dia seolah menjadi orang yg tertindas, seminggu kemudian, sampai minggu ini cerpennya dimuat diberbagai media koran dan majalah. Lucu ya, Tuhan selalu mendengar doa orang2 yg tertindas. Sehingga cerpennya dimuat di Kompas. Maka, dgn bangga Dadang berkata, "Bamby, kamu salah menilai saya! Buktinya cerpen saya diterima Kompas koran barometer sastra indonesia." (dialog itu bukan dari dadang, tapi semata buatan saya sendir)
Saut Poltak Tambunan: He he he, pengarang Kompas dan pengarang Copas. Keren!
Kartika Catur Pelita: Nita Tj@(salam kenal) Iya Mbak. Walau beberapa cerita anak sudah dimuat di media koran lokal, (seperti halnya cerpen dewasa)cerpen anak di Kompas adalah ukuran utama- prestasi prestesius ketika karya kita berhasil dimuat disana.Karena menulisi cerpen anak gampang-gampng susuah juga. Beberapa cerpen yang kukrim masih dikembalikan dengan catatan ide sama udah pernah dimuat atau bahasa masih dewasa! Hehehe
Yadhi Rusmiadi Jashar : Menyedihkan.... Saya mulai berpikir untuk menarik semua cerpen saya dari note fb. Di tangan orang kreatif (baca: kere aktif), cerpen saya yang tak bagus itu bisa saja disulap, diperindah, direkonstruksi lalu dilabeli namanya. Kemana tempat mengadu? Bagi DAM berlaku hukum "Tuhan telah Mati". Ini sebuah kejahatan!!
Nita Tjindarbumi:
kartika...hehehe..aku hanya suka dengan note ini, sama spt reaksi orang pada kasus gayus...gemes..padahal gayus gak bisa sepenuhnya disalahin. Selain itu, aku cuma penikmat saja. bukan cerpenis. belajar gak pinter2 makanya diledekin BAng Sa...ut yang tahu aku lebih suka merajut dari pada antri di kompas.
menulis cerita anak juga gak pernah. katanya susah banget ya? dengan ikut nimbrung disini harapanku bisa belajar tentang cerpen dan sastra...aku buta akan sastra...hiks..
Saut Poltak Tambunan : Aku share ya, Bamby, biar nenekku yang di kampung ikut baca.
Hutasuhut Budi : Seperti kata Budiarto Danujaya di Kompas yang sama: "orang Indonesia hanya sibuk merayakan popularisme". di sana ada ekonomi dan semua cara pasti ditempuh.
Amaq Shofia : Kompas sering kecolongan. Selektifitas rendah
Shinta Miranda : bukti kalau kompas memang mau menggampangkan saja, begitu banyak cerpen bagus menanti - tapi redaktur kompas memang malas !
Hutasuhut Budi NT: kalau sudah nulis di kampung, pasti dimuat Kompas. buktinya, cerpen Rashomon ini. ha...ha...
Kartika Catur Pelita : Hei, aku pernah baca cerpen Mbak Tita- di Anita -dulu, sekarang STORY. Jam terbang Mbak lebih banyak daripada aku. Sama lah Mbak gemes jg karea dimuatanya cerpen tersebut berarti mematikan sebuah kesemptan tampilany cerpen lain-apalagi pengarang yang belum pernah karyanya dimauat di Kompas-dan sedang berjuang keras untuk bisa tampil! Hehhe. Semoga aja di masa mendatang kejdian ini gak terulang. Btw, redaktur kecolongan. Hal ini pernah terjadi pada media lain, misal STORY. Hehehe
Nita Tjindarbumi:
HB...kebiasaanku kalo udah kirim cerpen ke satu media, ya langsung lupa deh ama cerpen itu. ada beberapa cerpenku belum ada kabarnya udah lama juga...mau aku baca ulang..lha kok raib...jadi gak mungkin deh aku kirim dobel...
tapi aku mau kok... kapan2 nulis di koran kampung halamanku...
Hutasuhut Budi : Bamby hal buruk selalu terulang, kawan. beberapa waktu lalu kita mempersoalkan cerpen yang sama. ini kita persoalkan lagi. redanden dan de javu betul. artinya, negri ini gak berubah-berubah mengulangi kekeliruan demi kekeliruan.
Nita Tjindarbumi:
Kartika....Ampun..ampun... cerpenku cuma sesekali kok. Kalo aku masa bodoh amat ah ama plagiat2 itu, aku juga gak usah pake gemes kalo cuma mematikan atau apa..santai ajalah. menulis ya menulis.
kalo cuma plagiat di urusan lain aku dah bolak...-balik alami, rajutan2ku banyak yang niru, ide2ku banyak yang curi, bahkan koleksi2 ada yang contoh...dan jadi juara...hihihi..mereka baru bilang setelah jiplak karyaku...gpp..kalo itu bermanfaat bagi mereka dan membuat mereka bangga...tokh akhirnya mereka minta maaf dan berterima kasih juga padaku....kalo gak lihat karyaku mereka belum tentu dapat juara...yang sabar aja deh hadapi begituan...soal antrian ...kalo karya kita bagus ntar juga nyampe...
Anton Dwisunu Hanung Nugrahanto
Inilah kalau dimuatnya tulisan di koran masih jadi ukuran keberhasilan seseorang dalam menulis karya sastra atau tidak, semakin populis sebuah media, maka kualifikasi akan semakin terancam degradatif, kaum sastrawan harus memperhatikan hal ...ini tapi juga tidak mengecam apa yang dilakukan Denny adalah juga sebuah pancingan untuk memperhatikan karya orang pada bangsa lain, mustinya disini yang salah redaktur Kompas. Dia harus menulis bahwa karya ini disadur dari karya Akutagawa Ryonosuke sehingga tidak terjadi polemik semacam ini, redaksional KOMPAS tentunya tidak sebodoh yang kita kira, apalagi sebelumnya mereka menerbitkan karya yang sama lewat perusahaan penerbitan satu grupnya.
Polemik ini mirip dengan kasus Gayus yang terpotret 'tanpa sengaja' kemudian beritanya jadi blow up. Dengan blow up gaya Bamby ini juga akan muncul Polemik sehingga buku terbitan kompas bisa tersosialisasi tanpa sengaja, indikasinya mengarah kesana.
Jadi Mas Bamby anda terlalu lugu membaca keadaan, serangan anda mustinya jangan ke KOMPAS tapi tunggu waktu yang tepat untuk menelanjangi Denny sampai momen penerbitan buku cerpen itu kadaluwarsa.
Selain itu janganlah kita terlalu melihat koran sebagai satu-satunya arus pusar kebudayaan, sastra koran saat ini adalah sastra yang dangkal, yang diproduksi dengan asal-asalan tidak bermutu sama sekali. Karya sastra yang hidup itu justru yang banyak bertebaran di luar koran selain buku jaringan sosial media juga pelan-pelan akan menjadi media penting bagi pertumbuhan dunia sastra kita, sudah saatnya sastra koran ditinggalkan karena dengan menghamba pada sastra koran maka kita memberikan kuasa hanya pada redaktur bukan pembaca sebagai akhir dari segala akhir.........
Kurnia Effendi:
@ Lanang: Edy, thanks. Iya sih, sebagai redaksi memang berat tanggung jawabnya. Tapi aku juga setuju dengan Ahda Imran dengan penjelasannya itu. Aku juga langsung mengingatkan Can di luar forum agar cross check serta membuka facebook. Maks...udku, kebetulan kasus ini pernah ramai dibicarakan sebulan lalu dan cerpen yang diplagiat oleh DAM bukan karya seorang pemula.
Aku setuju dengan cara Nirwan Dewanto yang selalu menelepon lebih dulu pengarangnya sebelum memuatnya untuk memastikan banyak hal mengenai cerpen bersangkutan. Salam
Nita Tjindarbumi : Setuju Keff...mungkin itu cara aman juga ya..atau kalo perlu bikin surat pernyataan din atas materai kalo cerpen itu belum pernah dimuat atau dipulbikasikan dalam bentuk apapun....aman deh...redakturnya, maksudku...
Kartika Catur Pelita NJ: Setuju, Mbak. Terus menulis sastra- meruapkan keindahan permainan kata bertumpu kejujuran@ES(salam kenal) Iya, mbak, siapapun penulis tentu terpengaruh pada pendahulu kita, sah-sah aja,tapi memplagiat nggak deh, beranak pinak ide berkeliaran dan bisa diwujudkan karya sebatas kemampuan kita yg diberi talenta menulis! BISA!
Anita Lindawaty SSi MSi: bam, note yg ini tolong dibikin public ya, biar link nya bisa dibuka & dibaca dari luar fb, termasuk temen2 yg bukan temen fb bamby. thx
Kartika Catur Pelita :Saut Poltak@ salam kenal! Sy baca karya Bung semenjak sy SMP! @Shinta M: Prihatin. Ingat ja perjuangan temen2 penulis yang bikin cerpen(orisinil) sebagus mungkin agar bs dimuat di Kompas, mereka trus kirim berharap satu hari impian mencatakan nama dan cerpenny di Kompas terwujud!@Hutasoit: PR penting penyuka n pelaku dunia sastra, termasuk penulisnya ya?!
Anita Lindawaty SSi MSi : bisa dimaklumi jika dengan segala keterbatasan sebagai manusia redaktur sastra KOMPAS kecolongan, lah yg paling penting kan SIKAP nya setelah tau dan dapat info dari banyak kalangan seperti ini.
Nancy Meinintha Brahmana: weleh...weleh....muantaplah....makanya ah ah ah..., jadilah diri sendiri ya...
Bamby Cahyadi @ Anton: koreksi mas, nama cerpenisnya Dadang, bukan Denny.
Dan, aku sangat setuju tentang barometer sastra pendapat bung Anton Djakarta ini. Namun dalam hal lugu aku kira, caraku cukup sopan hehehe.
Khrisna Pabichara : Kasihan Kompas! Ikut prihatin atas arogansi Dadang Ari Murtono. Rasanya, kritik lembut yang kerap saya tuturkan di media sama sekali tak mengendap dalam memorinya. Bahkan keledai saja enggan jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Salam takzim Kompas, salam tobat Dadang!
Saut Poltak Tambunan : He he he, nenekku sudah baca status Bamby ini di kampung. Katanya, sudah plagiaris (sudah dirame-ramein di FB), dimuat ulang, di Kompas pulak!!
("Ompung, ampunilah mereka, mereka tidak tahu apa yang sudah mereka perbuat.")
Ady Azzumar: biasanya sriti.com selalu update cerpen yang di muat di seluruh koran.
Khrisna Pabichara: @Ady: Mengingat betapa banyaknya cerpen yang masuk ke redaksi Kompas, pastilah sibuk redakturnya untuk membuka laci arsip sriti.com. Akan tetapi, dalam hal ini berpulang ke lubuk hati Dadang. Kecuali kalau Dadang telah kehilangan nurani.
Bamby Cahyadi @ Ady: Sriti.com lagi kena serangan hacker. Begitu berita dari mas chus, mas rachmat dan mas wim
Pratiwi Setyaningrum :Atau. Mungkin lagi butuh sembako BANGET, hingga rela pertaruhkan nama '.')?im.
Khrisna Pabichara @Pratiwi: Kalau alasannya seperti itu, kenapa tidak mengedarkan kotak sumbangan saja?
Nassirun Purwokartun: koin for DAM!
Khrisna Pabichara @Nas: Betul! Koin untuk DAM!
Pratiwi Setyaningrum : Aye! KOIN FOR DAM
Gunawan Maryanto: tanggung jawab terbesar ada di penulis. apa pun alasannya dia harus bisa mempertanggungjawabkannya. kompas menjadi korban karena tidak teliti. tapi rashomon gitu loh, masak gak tahu
Bamby Cahyadi Pasti arwah arwah Akutagawa sedang gelisah hehehe.
Kurasa Dadang: tdk punya masalah dgn honor, tapi dia keblinger utk cepat populer.
Panah Hujan: Wah, ini menarik. :D
Yadhi Rusmiadi Jashar: Saya telah membaca jawaban Dadang tentang polemik "Plagiarisme Rashomon" ini beberapa waktu lalu (Sebuah jawaban atas tudingan Bamby dkk. terhadap cerpennya). Dengan bahasa yang berbelit, penuh kalimat-kalimat bersayap, jawaban Dadang semakin menegaskan kalau dia dengan sadar memplagiasi karya Akutagawa itu!! Dengan bahasa yang lembut Dadang seakan menantang, "Gue emang njiplak. Eloe mau apa!".
Nassirun Purwokartun :koin for keblinger!
Ady Azzumar:
sepakat dengan bang Saut Poltak Tambunan:
"Pertanyaan: Masih pantaskan Kompas kalian jadikan ukuran sastra negeri ini?"
jujur, aku lupa baca esais siapa penulis dan pengarangnya, yang aku ingat dalam kutipan tulisan itu, "Ukuruan sastra nege...ri ini, ada 3: 1. Majalah Horison, 2. Fakultas sastra UI, 3. Koran Kompas."
entah benar atau tidak, riset dan yang di tulis ke tiga di atas, saya hanya pembaca.
Nurel Javissyarqi : Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un (انّا للہ و انّا الیہ راجعون), telah gugur pahlawanku.....:) suwon sanget infornya bung Bamby, ini sangat bermanfaat untuk sekalian alam semesta...
Binhad Nurrohmat: Gimana komentar Akutagawa Ryunosuke? Dari Gresik saya menerawang ke Jepang... Akutagawa heran, kok tiba-tiba dia bereinkarnasi menjadi orang Jawa...
Khrisna Pabichara @Binhad: Baru saja Akutagawa mengirim poesan pendek ke batin saya, Bang Binhad. Katanya, korupsi sudah merambah wilayah kepengarangan di Indonesia.
Pratiwi Setyaningrum:
OH, JADI EMANG SENGAJA. Nah, yang kasian itu yang begini ini. Hah. Kecewa de au. Maka butuh tak butuh, MY COIN FOR DAM.
Kata orang, jadilah orang terkenal. Kalo cerpenis ya cerpenis terkenal. Kalo penjiplak gatau malu, ya penjiplak gatau mal...u terkenal lah. Lumayan bisa buat dipamerin ke anak cucu, hehe
Bamby Cahyadi : Kalau Dadang mengaku dirinya reinkarnasi akutagawa maka habislah perkara hahaha
Nassirun Purwokartun :gelar pengadilan!
Budi Setiyarso : hahaha....ketika td pagi membaca cerpen itu. saya yakin pasti akan ada reaksi yang dahsyat di kalangan cerpenis
Khrisna Pabichara @Nas: Ayo, kita gelar!
Binhad Nurrohmat :Ini bukan kasus sastra. Ini kasus moral pengarang. Laporkan kasus ini ke kantor filsuf terdekat.
Lina Kelana : wah..... ini namanya kejahatan.....
Ferdinandus Moses : Atas nama OPPSI (Organisasi "Pembebasan" plagiarisme Sastra Indonesia) di mana berada, mengutuk tindakan pengambilalihan teks di atas "kekuasaan" pengarang! dukung Bamby! Dadang Ari Murtono, saya mencarimu! Dalam Republik Mimetis Sastra Indonesia (RMSI), silakan "terisnpirasi" TANPA (BUKAN) menjiplak! Sekian dulu dan terima kasih. Salam hangat kawan semua..
Katrina Prahadika: Pak Bamby memang cepat akurat, sip..sip..
Dony P Herwanto : turut prihatin...
Abdul Hadi:
Alangkahbaiknya jika kesalahan tidak hanya dijatuhkan ke Redaktur Kompas. Karena dari data yang saya ketahui bahwa dalam sehari, harian Kompas rata-rata menerima naskah cerpen dari seluruh Indonesia antara 60 hingga 80 setiap harinya! Misal...kan kita ambil rata-rata 70 naskah setiap harinya maka dalam rentang seminggu akan terkumpul 490 naskah cerpen. Bisa dibayangkan betapa beratnya tugas itu!
Kedua_ jika tidak mampu meneliti satu kan mereka (para Redaktur) bisa membaca judul-judul cerpen saja, tapi ini juga lemah. Karena penulis yang bermasalah itu dgn mudah menggonta-ganti judul yang telah ada.
Ketiga_ belum jelasnya batas-batas plagiat itu (meski saya dgn 1000 % mengatakan cerpen ini jelas plagiat). Ada 4 cerpen Agus Noor (AN) yang hampir serupa: antara Aubade (MI) dan Pagi Bening seekor Kupu-Kupu (JP), Antara Serenade (JP) dan Serenade Kunang-Kunang (KOMPAS). Apakah cerpen AN itu disebut plagiat?
Demikian Bung Bamby.
Abdul Hadi: Bagi pembaca yang ingin menyelidiki Cerpen AN di atas bisa dicari di arsip Sriti.com
Ki Ageng Joloindro : mengerikan...
Sungging Raga : weh, tadi malah ada sahabatnya dadang (akhmad fatoni) pamer ke aku via sms, "tuh lihat, rashomon dimuat di kompas, ternyata redaktur tidak sependapat dengan kamu."
hehe.
Kartolo Kempol Geyong-Geyong: terulang lagi. Katanya Lampung post, Horison, Kompas. Ajaib
Bamby Cahyadi @ abdul hadi: kalau judulnya berbeda dimuat di media yang berbeda dgn nama penulis aslinya, tentu bukan plagiat. Kekirim dobel itu namanya. Kalau kasus sdr. Dadang, dia menambah bbrp narasi pd cerpen rashomon, dan ia mencuplik hampir 99% cerpen akutagawa tsb.
Lan Fang: tadi pagi aku bingung liat cerpen itu...kok nongol di kompas.
btw, boleh share suratmu?
Joni Ariadinata Jurnal : Cerpen Indonesia pernah nyaris kebobolan dengan memuat karya seorang penulis muda berbakat, yang ternyata menjiplak 70 prosen karya Hamsad Rangkuti (diganti judul, dirubah dari paragraf pertama hingga kesekian, selanjutnya menjiplak persis). Kami menderita kerugian 4 jt lebih karena draft jurnal sdh terlanjur dicetak. Dengan mengutuk sedih kami harus menarik cerpen itu, sebelum Jurnal diedarkan.
Han Gagas:
SAYA JUGA TELAH MENGIRIM EMAIL PLAGIASI DAN DIMUAT DOBEL, PERSIS KIRIMAN MAS BAMB TAPI SEBAGIAN KUEDIT BIAR LEBIH ENAK DI BENAK REDAKTUR-MUNGKIN (Dalam derajat kesalahan, aku lebih menganggap ini karena kesalahan utama DAM dibanding redaktu...r Kompas).
Aku yakin mereka baca emailku walau mungkin tidak hari ini karena mereka kemarin mengembalikan cerpenku dan lagipula Redi Keludku dimuat juga melalui email ini.
Mari kita mengirim email serupa demi sesuatu yang bernama ANTI KECURANGAN.
SALAM.
Muhidin M Dahlan: INI BUKAN SEKALI SAJA KARYA SASTRA DIJIPLAK. Tahun 1962 (resensi pertama mempersalahkannya 7 September 1962, Lentera, Bintang Timur, hlm 3) heboh Tenggelamnya Kapal van der Wijk karya Hamka. Dan semua penulis yang melakukan kriminal itu bungkem.... Sampai mati
Han Gagas: Tapi Mas Muhidin si DAM ini tidak bungkem.... Dia kirim sms lewat tangan temannya yg masih baru masuk "dunia menulis sastra" utk berkoar bahwa dia benar dan tak seperti tuduhan orang2. Buktinya koran2, majalah masih muat cerpennya.
Muhidin M Dahlan:
Dia menulis di Kompas. Jika surat pembaca ini dimuat, dia harus menjawabnya di koran ini. Jika tak, maka dia bungkem. Hehehehe. Kalau sms, itu anggap saja kegelisahan pelaku kriminil setelah ada kasak-kusuk.
Abdullah SP di tahun 1962. Bamby ...Cahyadi di tahun 2011. Karena saking seriusnya si Abdullah SP--dan juga disokong dgn berapi-api Lentera dan Pram--sampai digambar tuh adegan2 yang mirip dalam tabel-tabel setengah halaman koran.
Muhidin M Dahlan : Dadang yang ini bukannya si Dadang Kafir Liberal itu ya...
Han Gagas : Hahahahahahahaha, masak seh Mas, aku juga kagak tahu, tanya teman Gresik mas..
Muhidin M Dahlan:
Berharap Dadang melakukan ini: "MAMPUS LU REDAKTUR KOMPAS. SAYA APUSI KALIAN. SAYA CONTEK. HANYA AKAN MENGUJI KEMAMPUAN SELEKTIF KALIAN...(padahal rashomon gitu loh, pinjam koment MG, mosok redaktur gak kenal) SETELAH INI SAYA AKAN DIBLACK... LIST, GAK APA. INI RISIKO PEMBOBOL PENGETAHUAN. TAPI INI SAYA LAKUKAN DENGAN KESADARAN PENUH, KEUSILAN PENUH, BETAPA-BETAPA DUNIA SASTRA KITA HANYA BEGINI-BEGINI SAJA...."
Jadi Mas DAM, nggak usah ngasih pleidoi macem2. Muter macem-macem .... Akui saja, bahwa ini memang menguji Kompas yang terkenal dengan Surat Sakti Penolakannya.... Ini adalah keusilan yang revolusioner....
Kartika Catur Pelita: Bung Bamby. td pagi saat baca baris-baris awal cerpen itu di Kompas, benak saya bergumam: nich cerpen berasa Japanese-ketika saya baca pengarangnya sy teringat sms temen sesama penulis tentang adanya cerpen plagiat yg dimuat sempt jd "diskusi" para penulis di fb. Yeah...saat surat terbuka Bung Bamby ini muncul : masalah semakin jelas, ketika satu demi satu bukti muncul. Semoga ha lini merupkn pembelajaran di masa mendatang hal ini tak terjadi pun pada penulis lain.
Han Gagas Mas Muhidin: malah ngajari kayak gitu, dia bakal senang dapat jurus maut itu. Dia baca ini semua lho, kan teman FBku juga, hahahaha
Han Gagas : Dadang orang Gresik (katanya jd seksi sastra Dewan Kesenian Mojokerto, seksi sekali katanya)
Muhidin M Dahlan : HAN GAGAS: Gak apa-apa, sesama iblis saling mengajari... Hahahahahaha. Bahkan seorang iblis pun dibutuhkan dalam revolusi (makin gak jelas). Seperti Sukarno, yang mengajak lonte ikut serta dalam melanjutkan revolusi yg gak selesai2, yang kemudian si FREDY S yang masyhur itu mengolok2nya dalam novel mesumnya sebanyak 6 jilid (2 ribeng halaman)
Reni Teratai Air:
media (dalam hal ini adalah redaktur fiksi/editor) punya keterbatasan. namanya juga manusia. di antara maraknya media cetak yg di dalamnya memunculkan 1 buah cerpen, atau beberapa, tentu redaktur tdk semudah itu menghapal mana saja karya yg... sudah dimuat atau dicetak, atau diplagita dll....
utk mas bamby, jgn katakan kecewa pada KOMPAS. Kompas (apalagi redakturnya) pasti terpukul dgn kejadian ini.
Salah siapa? Penulisnya!!! .... buikan media yg memuatnya.
Han Gagas : Kalau Lonte mah banyak yag suka, yang ngakunya moralis itu, juga penulis, hahaha. penyaluran stress dari pusingnya mikirin perbaiki dunia, ada gunanya juga kaum Lonte, hahahaha
Miftah Fadhli : sy sebagai penulis kecil, jujur, hari ini adalah hari paling menyakitkan selama perjuangan saya menulis cerita!!! Mas Bam, aku mengharapkanmu n penulis2 lain yg lebih bernama untuk melawan ini, ketimbang aku yg cuma penulis rendahan n pasti tdak akan diperhatikan. Aku cma bsa bntu dgan melawan sakit hti dlam driku saja mas Bam.
Han Gagas: Miftah, jangan gitulah, kita semua harus berpikir utk rendah hati, kirimlah email serupa pada email kompas. biar lebih banyak orang lebih diperhatikan, mungkin lho.
Reni Teratai Air : media juga perlu hati2. harusnya media menghubungi penulis yg naskahnya bakal dimuat, utk konfirmasi soal orisinilitas n blm pernah dipublish... konfirmasi itu juga merupakan unjuk diri bhw media tidak main2 soal pemuatyan naskah seseorang...
Faradina Izdhihary:
Huah .... rame lagi. heheh pdhl minggu lalu aku baru mulai berani kirim lagi. Duh... Kompas yg kuanggap barometer sebagaipencapaian tertinggiku, bila suatu saat akhirnya tembus, kok jadi begini???? Mengecewakan sekali!
@Reni: Ya, Mbak. Aku ...setuju, tumpukan karya yg banyak banget emang jadi beban yang berat. itu sebabnya,sewajarnya seorang redaktur sastra, harus banyak2 baca karya sastra yg hebat2. Kan gk mungkin kalau yg diplagiasi karya yg jelek.
Pun begitu aku setuju, terdakwa utamanya Tetap sang penulis.
Ayo Mas DAM, bersuaralah....!
Reni Teratai Air: aku baca di atas..., soal DAM yg bermaksud mengecoh Kompas (biar ketahuan sampai dimana batas referensi sastra yg redaktur kompas punya), andaikan kitu betul dilakukan oleh DAM utk mencari sensasi atau sengaja mengecoh kompas... aku rasa itu cara yg paling mengenaskanl sedunia... mari kita tempatkan jika kita sebagai redaktur kompas yg meloloskan naskah tsb. sekali-dua, tupai meleset, bukan?
Han Gagas : Muhidin tuh guyon ajah hahaha, malah ditanggapi serius neh ma Reni teratai. hahaha, Dadang haus publikasi
Kartika Catur Pelita @faradina I: salam kenal mbak. Kirim lagi lah mbak, cerpen karya orisnil kan? Hehehe@mbak reni: setuju konfirmasi ketika karya penulis hendak dimuat! Btw, kapan nih dpet kring dari STORY? heheh@ miftah:rendah hati bukan rendah diri! Penulis yg mnghsilkan karya orisinil penulis kelas tinggi, bro!@Han Gagas: bahsa satra lo ternyata ...buas n ganas(terpicu emosi? Hehehe( salam kenal, bro!)
Kartika Catur Pelita @Mas Muhidin MD: saya suka analisa Anda! Salam kenal tuk semua pelaku serta penikmat sastra, saya penulis 'pemula stok lama' asal Jepara.Novel perdana saya: KEPERJAKAAN( LODI-LIMANOV-LAYAN-KUAT) sedang dalam proses penerbitan di AKOER. Menterakan potret buram remaja pria yg berprofesi pekerja seks komersil, maaf, GIGOLO. Benarkah nilai keperjakaan tak berarti bagi lelaki? Oya novel ini karya ORISINIL dong ! Heheheh, salam sastra!
Khoer Jurzani Hiks, saya bahkan yang hanya seorang pembaca, yang sedang akan mencoba menulis jadi takut, takut belum apa-apa sudah di curigai oleh pihak redaksi jika besok saya mengirim naskah cerpen, mungkin redaksi akan memilih penulis yang sudah pasti punya nama saja hikss!
Bamby Cahyadi @ Khoer: jangan takut, masih banyak medium utk menulis, tdk melulu koran atau majalah. Maju terus!
Jakarta, 30 Januari 2011
Kepada Yth.
Redaktur Surat Pembaca KOMPAS
u.p. Redaktur Desk Non Berita Kompas
Salam Sejahtera,
Saya sangat kecewa dengan cerpen yang dimuat di Kompas, 30 Januari 2011. Cerpen Perempuan Tua dalam Rashomon, yang ditulis oleh Saudara Dadang Ari Murtono, adalah cerpen PLAGIAT dari cerpen berjudul RASHOMON karya Akutagawa Ryunosuke.
Cerpen Rashomon karya Akutagawa Ryunosuke (cerpenis terbaik Jepang) ini, terhimpun dalam kumpulan cerita yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), pada Januari 2008 berjudul Rashomon.
Saya tak perlu menyebutkan di mana letak Saudara Dadang memplagiat cerpen Rashomon, seharusnya Saudara Redaktur Desk Non Berita (Sastra/Cerpen), sangat tahu bahwa cerpen Saudara Dadang (Perempuan Tua dalam Rashomon), isinya sama dengan cerpen Rashomon karya Akutagawa Ryunosuke, hanya paragraf dalam cerpen itu yang dipindah-pindah oleh Saudara Dadang.
Saya kecewa kepada KOMPAS, karena selain cerpen tersebut (Perempuan Tua dalam Rashomon) sudah pernah dimuat di Lampung Post, pada 5 Desember 2010, kenapa pula cerpen PLAGIAT itu bisa lolos dan dimuat di Kompas Minggu, 30 Januari 2011. Padahal cerpen Dadang ini, sempat membuat polemik masalah plagiat mencuat dan didiskusikan secara terbuka di media Facebook oleh beberapa cerpenis termasuk saya.
Saya minta Kompas menarik cerpen Saudara Dadang dan mengumumkan bahwa cerpen tersebut tak pernah dimuat, karena kredibilitas Kompas dipertaruhkan dalam peristiwa ini. Kalau Saudara Redaktur Kompas keberatan, saya bersedia menemui Saudara Redaktur untuk membuktikan bahwa cerpen tersebut PLAGIAT.
Demikian surat pembaca saya sampaikan, tanpa bermaksud menjatuhkan nama Dadang Ari Murtono sebagai cerpenis produktif yang karya-karyanya sering dimuat di media (koran nasional dan lokal), atau memang KOMPAS sudah tak memperhatikan dan tak membaca karya cerpen yang masuk ke meja redaksi. Padahal begitu banyak karya cerpen yang bagus dan berkualitas dari para cerpenis yang mengantri untuk dimuat di Kompas.
Terima kasih.
Salam Saya,
Bamby Cahyadi (Cerpenis)
komentar:
Gemi Mohawk aku dukung 1000%
Bamby Cahyadi
Bukti-bukti plagiat yang disari oleh Sungging Raga:
saya di sini cuma melanjutkan bukti2 plagiat Dadang Ari Murtono terhadap karya Akutagawa yg berjudul Rashomon, saya sendiri belum sempat membuat esai, tapi sebagai soft opening, saya memint...a teman dekat saya yg kebetulan juga teman dekat Dadang untuk bertanya via sms, dan Dadang mengirimkan sms balasan kepada teman dekat saya itu, lalu teman saya ini lantas menerjemahkan sms Dadang yg berbahasa Jawa kedalam bahasa Indonesia kepada saya yg isinya seperti ini:
"maaf ya, aku gak peduli orang bilang apa. menyelesaikan? gimana? apa aku harus datang keorang orang seluruh indonesia satu persatu buat jelasin masalahnya? lha masalahnya apa? aku gak merasa punya masalah. terserah orang mau bilang apa. lha redakturnya aja nyantai kok, gak anggap plagiat kok. ya memang aku diam soalnya aku gak merasa ada apa-apa."
berikut ini sedikit bukti2nya antara Cerpen Dadang di Lampung Post & buku Akutagawa yg diterbitkan KPG
oya, ternyata cuplikan utuh Rashomon versi Akutagawa bisa dilihat di google books:
http://books.google.co.id/books?id=IL2M2djhQmoC&printsec=frontcover
=====
Cerpen Dadang:
Ini adalah Kyoto, kota yang ramai dan permai, dulu. Namun, beberapa tahun silam, kota ini didera bencana beruntun. Gempa bumi, angin puyuh, kebakaran, dan paceklik. Itulah sebab kota ini menjadi senyap dan porak-poranda. Menurut catatan kuno, patung Buddha dan peralatan upacara agama Buddha lainnya hancur, dan kayu-kayunya yang masih tertempel cat dan perada ditumpuk di pinggir jalan, dijual sebagai kayu bakar. Dengan kondisi seperti itu, perbaikan Rashomon sulit diharapkan. Rubah dan cerpelai, musang dan burung punai, juga para penjahat, memanfaatkan reruntuhannya sebagai tempat tinggal. Dan akhirnya, bukan perkara aneh membawa dan membuang mayat ke gerbang itu. Setiap senja seperti sekarang ini, seperti saat si perempuan tua itu berjongkok sambil memandang wajah mayat perempuan itu, suasana menjadi teramat menyeramkan. Tak seorang pun— kecuali perempuan tua itu, tentu saja—berani mendekat.
Halaman 2 Akutagawa:
Kota Kyoto sesepi itu karena beberapa tahun silam didera bencana beruntun, mulai dari gempa bumi, angin puyuh, kebakaran, dan paceklik. Karena itu Kyoto jadi senyap dan porak-poranda. Menurut catatan kuno, patung Buddha dan peralatan upacara agama Buddha lainnya hancur, dan kayu-kayunya yang masih tertempel cat dan perada ditumpuk di pinggir jalan, dijual sebagai kayu bakar. Karena kondisi Kyoto seperti itu, perbaikan Rashomon sulit diharapkan. Rubah dan cerpelai, juga para pelonceng, memanfaatkan reruntuhan sebagai tempat tinggal. Akhirnya, lazim membawa dan membuang mayat tak dikenal ke gerbang itu. Karena bila senja telah tiba suasana menjadi menyeramkan. Tidak ada orang yang berani mendekat.
========
Cerpen Dadang:
Setelah mengamati beberapa saat, perempuan itu menancapkan oncor kayu cemara di sela lantai papan, kemudian menaruh kedua belah tangannya pada leher mayat itu. Perempuan tua itu mulai mencabuti rambut panjang si mayat helai demi helai. Persis seekor monyet yang sedang mencari kutu di tubuh anaknya.
Halaman 7 Akutagawa:
Perempuan tua itu menancapkan oncor kayu cemara di sela lantai papan, kemudian menaruh kedua belah tangannya pada leher mayat yang sejak tadi dipandanginya. Perempuan tua itu mulai mencabuti rambut panjang si mayat helai demi helai, persis seekor monyet yang sedang mencari kutu di tubuh anaknya.
=======
Cerpen Dadang:
Sambil menggenggam gagang pedang, lelaki itu menghampirinya dengan langkah lebar.
Ia terkejut. Saking kagetnya, ia sampai terlonjak bagai dilontarkan dengan ketapel.
"Hei, mau ke mana kau?" hardik Genin itu seraya mencengkeram tangan perempuan itu yang bermaksud melarikan diri.
Halaman 8:
Sambil menggenggam gagang pedang ia menghampiri nenek tua itu dengan langkah lebar.
Sekilas ia melihat ke arah Genin. Dan saking kagetnya seketika itu pula iaterlonjak bagai dilontarkan dengan ketapel.
"Hei, mau ke mana kau?" hardik Genin seraya mencengkeram tangan si nenek yang bermaksud melarikan diri,
======
Cerpen Dadang:
"Apa yang sedang kamu lakukan? Jawab! Kalau tidak mau mengaku...."Genin itu melepasKan cengkeramannya seraya menghunus pedang baja putih berkilau dan mengacungkannya ke depan mata perempuan tua itu. Namun perempuan itu bungkam, kedua tangannya gemetar hebat, napasnya terengah, matanya membelalak seperti hendak melompat keluar dari kelopaknya.
Halaman 8:
"Apa yang sedang kamu lakukan? Jawab! Kalau tidak mau mengaku...."Genin itu melepaskan cengkeramannya seraya menghunus pedang baja putih berkilau dan mengacungkannya ke depan mata si nenek. Tapi, nenek tua itu tetap bungkam, kedua tangannya gemetar hebat, napasnya terengah, matanya membelalak seperti hendak melompat keluar dari kelopaknya,
======
Cerpen Dadang:
"Aku bukan petugas Badan Keamanan. Aku kebetulan lewat di dekat gerbang ini. Maka aku tidak akan mengikatmu atau melakukan tindakan apa pun terhadapmu. Kau cukup mengatakan sedang melakukan apa di sini."
Halaman 9:
"Aku bukan petugas Badan Keamanan. Aku kebetulan lewat di dekat gerbang ini. Maka aku tidak akan mengikatmu atau melakukan tindakan apapun terhadapmu. Kau cukup mengatakan sedang melakukan apa di sini."
========
Terakhir, yg sudah sempat di-paste Bung Bamby:
Cerpen Dadang:
Perempuan tua itu melanjutkan, "Ya... memang, mencabuti rambut orang yang sudah mati bagimu mungkin merupakan kejahatan besar. Tapi mayat-mayat yang ada di sini semua pantas diperlakukan seperti itu. Perempua...n yang rambutnya barusan kucabuti, biasa menjual daging ular kering yang dipotong-potong sekitar 12 cm ke barak penjaga dan mengatakannya sebagai ikan kering. Kalau tidak mati karena terserang wabah penyakit, pasti sekarang pun ia masih menjualnya. Para pengawak katanya kerap membeli, dan mengatakan rasanya enak. Perbuatannya tak dapat disalahkan, karena kalau tak melakukan itu ia akan mati kelaparan. Ia terpaksa melakukannya. Jadi, yang kulakukan pun bukan perbuatan tercela. Aku terpaksa melakukannya, karena kalau tidak, aku pun akan mati kelaparan. Maka, perempuan itu tentunya dapat pula memahami apa yang kulakukan sekarang ini."
Halaman 9 - 10:
"Ya... memang, mencabuti rambut orang yang sudah mati mungkin bagimu merupakan kejahatan besar. Tapi, mayat-mayat yang ada di sini semuanya pantas diperlakukan seperti it...u. Perempuan yang rambutnya barusan kucabuti, biasanya menjual daging ular kering yang dipotong-potong sekitar 12 sentimeter ke barak penjaga dan mengatakannnya sebagai ikan kering. Kalau tidak mati karena terserang wabah penyakit, pasti sekarang pun ia masih menjualnya. Para pengawal katanya kerap membeli, dan mengatakan rasanya enak. Perbuatannya tidak dapat disalahkan, karena kalau tidak melakukan itu ia akan mati kelaparan. Ia terpaksa melakukannya. Jadi, yang kulakukan pun bukan perbuatan tercela. Aku terpaksa melakukannya, karena kalau tidak, aku pun akan mati kelaparan. Maka, perempuan itu tentunya dapat memahami pula apa yang kulakukan sekarang ini."
====
karena terburu-buru, cukup sekian yg bisa ditampilkan :)
Jafar Fakhrurozi :redakturnya lagi pada stress mikirin gayus..
Benny Arnas: Bang Bamby seharusnya bukti-bukti plagiasi seperti yang diuraikan Bang Bamby dan Sungging Raga, juga disertakan sebagai lampiran.Karena aku gak yakin kalau REDAKTUR KOMPAS mau mencari buku terbitan KPG itu, secara dia/mereka kan pemalas .... :-)
Bamby Cahyadi : @ Benny: semoga email yang kukirim tadi pagi dibaca oleh mereka, kalaupun mereka malas membaca, saya siap dipanggil ke kantor redaksi KOMPAS yang terhormat itu!
Linda Christanty : Waah, Mas Bamby. Plagiarisme harus dilawan. Itu kejahatan. Aku dukung. Yang penting Mas Bamby punya bukti. Kalau sudah terbukti begitu, setahuku Kompas juga tegas kok pada plagiarisme. Dulu ada yang menjiplak cerpen juga dan artikel juga dan sempat dimuat di Kompas, lalu mereka black list setelah tahu bahwa para penulis itu menjiplak karya orang lain, nggak bisa menulis lagi di situ. Aku dukung Mas Bamby. Basmi plagiarisme!
Fahri Asiza:
Secara garis besar, saya sependapat dengan isi surat pembaca mas Bamby ke Kompas. Hanya saja, tampak kesalahan ini ditumpahkan ke Kompas dan sepenuhnya seolah menjadi tanggungjawab Kompas (mengingat cerpen colongan ini pun pernah dimuat di ...Lampung Post).
Padahal jelas ini adalah bentuk kecurangan dan miringnya Dadang Ari Murtono yang rupanya tak punya harga diri atau bahkan sebenarnya tak mampu menulis sebuah cerpen, dan menjadi maling dengan nyolong karya orang lain.
Sebagai cerpenis yang lebih dari tiga kali karyanya diplagiat orang, bahkan ada yang hanya mengganti nama pengarangnya saja, saya jelas "terluka" dalam kasus Dadang, sang plagiator.
Tapi apa pun itu, saya sepenuhnya mendukung Mas Bamby...
Benny Arnas: aku menampilkan semua bukti plagiasinya dalam komenku di website KOMPAS.COM. Semoga dibaca. thx
Anita Lindawaty SSi MSi : apa kita belum punya undang2 ttg plagiator yak? ummm... tentang sangsi nya misalnya? ini jelas2 melanggar Hak Kekayaan Intelektual (HKI) loh... kayaknya ada organisasi yg ngurusin HKI deh... mesti email ke sana juga barangkali?
Benny Arnas: wah, komenku di KOMPAS.COM mental. modemku bermasalah lagi dahj kayaknya.
Ini link-nya, Bang. Tapi, bang bamby kudu daftar jadi member dulu.
http://cetak.kompas.com/read/2011/01/30/04092193/perempuan.tua.dalam.rashomon
Bamby Cahyadi : @ Anita: saya tidak tahu untuk dunia tulis-menulis, namun saya rasa harus ada sanksi moral bagi plagiator. Minimal para redaktur surat kabar dan majalah, tidak memberi ruang bagi sang plagiator.
Yetti A. Ka : dukung mas Bamby,soalnya bukti terjadi plagiat itu sangat kuat...
Tina Chi : udah plagiat ga merasa bersalah pula. masih kah ada kebanggaan sebagai penulis kalo yg mampu ditampilkannya adalah copas karya orang lain? sedikit modifikasi mah ga ada artinya. semoga tak banyak yg seperti ini...
Fahri Asiza:
Hari yang mengecewakan, cerpenis Dadang Ari Murtono, jadi maling dengan nyolong karya orang lain yg diketok magic seolah jadi karyanya sendiri... bahkan karya colongan itu dimuat dua kali, pertama di Lampung Post dan kedua di Kompas (hari i...ni). Bagi teman-teman yang ingin tahu lebih jelas, silakan baca notes Bamby Cahyadi dan Tanpa Nama... *Jangan pernah jadi maling dgn nyolong karya orang lain. Basmi plagiatrisme!*
- statusku hari ini, sayang blackberry gak bisa overlink*
Lanang Sawah: wahwah. selama tujuh tahun aku jaga rubrik budaya MI, hal yang sulit dihindari pada soal teknis seperti ini. redaktur tak mungkin membaca secara menyeluruh karya-karya yang bertebaran di mana-mana. ada kasus dan sering terjadi, satu orang mengirim ke berbagai media dan dimuat bersamaan. tapi kalo unsur plagiat seperti ini, biasanya redaktur langsung beri black list bagi cerpenis...
Ahda Imran:
Awalnya saya kagum membaca nama cerpenis Kompas yg baru pekan kemarin kami muat cerpennya di Pikiran Rakyat. Tapi Kekaguman saya berubah menjadi kekagetan membaca cerpen tersebut yang rasanya saya hapal benar setiap deskripsi dan dialognya.... Ini memaksa saya mengambil buku kecil "Rashomon" Akutagawa yang diterbitkan "aku baca" (2003). Saya tak percaya mengapa teman2 Kompas bisa meloloskan cerpen sejenis ini, seperti juga saya tak habis pikir mengapa Dadang Ari Murtono (DAM) melakukannya tanpa berpikir orang akan tahu muasal gagasan cerpen ini. Tapi lebih tak mengerti lagi saya membaca forward SMS DAM di atas. Tapi apapun, thx Bamby...
Kurnia Effendi:
Bamby, berbekal obrolan kita di Penus TIM beberapa waktu lalu mengenai karier Dadang Ari Murtono, aku sudah mengirim SMS langsung kepada Redaktur Kompas. Ia berjanji akan cek ke Facebook mengenai hebohnya plagiarisme yang dilakukan Dadang. ...Bahkan surat pembacamu ini plus kutipan perbandingan dari Sungging Raga juga sudah saya kirim kepada Red Kompas via inbox. Namun demikian, kejadian ini menunjukkan bahwa Kompas tidak membaca media lain atau isu sastra di media maya.
Trims, Bamby
Tina Chi : Mas Bamby, usul ya...lain kali kalo ada kejadian seperti ini, tagging lah sebanyak mungkin temanmu, trutama yg concern sm mslh seperti ini. saya sependapat kalo ini tdk mutlak jd tg jawb redaktur, setidaknya mungkin kita bisa mempersempit ruang buat para plagiator itu. dan buat yg baru berniat...biar pikir ulang...
Endah Sulwesi : Aku pun kaget saat mlembuka lembaran sastra Kompas hari ini. Hah? Cerpen ini lagi dan pelakunya org yg sama pulak? Langsung telp bamby utk memastikan. Eh, rupanya bamby sdh bergerak cepat menyikapi hal ini. Dadang, masa kamu begitu bebal sih mengulang-ulang kesalahan yg sama? Apa bagimu tak penting sebuah nama baik dan kehormatan?
Lanang Sawah urnia : dalam satu hal keliru. redaktur sastra dengan segala keterbatasannya tak mungkin memantau semua isi rubrik sastra. Ada ratusan cerpen yang masuk setiap hari. Ini murni kesalahan cerpenis.
Isbedy Stiawan Z S : Sungguh, ini kelalaian redaktur DNB Kompas yang fatal. Cerpen 'plagiarisme' ini juga justru perah dimuat Lampung Post beberapa pekan lalu. Kita bukan saja memboikot cer[en Kompas, tapi media massa wajib membokit penulisnya. Orang-orang yang melakukan plagiat tak boleh dibiarkan 'hidup'.
Lanang Sawah: isbedy pernah jadi redaktur sastra. harus melihat dalam perspektif ketika dia di dalam. bagaimana redaktur mengelola ratusan cerpen yang masuk setiap hari. Isbedy pernah merasakan tentunya.
Anita Lindawaty SSi MSi : mohon izin punjem url link note ini utk ku posting di twitter & koprol ya bam. biar lebih banyak orang yg tau dan perduli. semoga sanksi moralnya lebih berasa...
Ahda Imran:
Benar kata Lanang. Memantau puisi, cerpen, dan esai yang bertebaran di berbagai media memang sangat sulit. Meski lewat online. Kami pun sekali pernah kecolongan memuat esai yg ternyata baru minggu dimuat di media lain, seperti sebuah media ...memuat esai yg pernah kami muat sepekan sebelumnya. Tapi dalam kasus DAM ini, saya kira sepenuhnya kelalaian redaktur. Cerpen Akutagawa itu adalah cerpen yg sangat terkenal, jadi sulit saya bisa mengerti jika seorang redaktur sastra tidak mengenal cerpen itu. Seandainya itu adalah cerpen O Henry (atau cerpenis terkenal siapapun) yang belum diterjemaahkan, maka mungkin bisa kita mengerti kalau redaktur kecolongan. Paling tidak ada celah alasan ihwal keterbatasan bacaannya. Tapi ini, Akutagawa gitu lhoo... .
Lovely Aan Loverstopia :Cerpen berjudul Pengisah Akutagawa karya Dadang Ari Murtono juga muncul di majalah Horison bulan Januari 2011. Hehew, banyak banget ya.
Lanang Sawah : ahda, kita sama2 penulis. kita sama2 menjaga rubrik sastra. terlepas dari posisi kita sebgai redaktur budaya, ada satu hal yang harus diingat, bahwa redaktur sastra dalam konstelasi kerja di media massa, tak hanya ngurus rubrik sastra. ia juga harus berurusan dengan persoalan tetek bengek teknis lainnya, yang tak punya kaitan denga soal-soal sastra. saya pikir Can, dalam konteks seperti ini, ia bukan manusia setengah dewa, yang punya ingatan per detik dan per menit, tuk mengumpulkan berbagai memori bacaan yang bersemayam dalam dirinya
Ady Azzumar : berawal pengekor + epigon + lalu menjadi plagiat. menyedihkan.
bang Bamby: izin Share untuk menjadi bahan perbincangan kami.
Isbedy Stiawan Z S:
LS: ya, itu sebabnya, sebagai redaktur boleh saja gunakan 'rasa curiga' terlebih dulu. Bedanya redaktur di luar Kompas hanya seorang, bisa saja terjadi kea;faan, tapi Kompas konon beberapa orang hingga terakhir sebagai penentu. Memang lumra...h kalau redaktur tak m[ampu membaca seluruh karya sastra yang ada di dunia ini. Tapi kan karya sastrawan Jepang ini sudah dibukukan oleh grup Kompas dan berkali-kali dipentasteaterkan dengan judul Rashomon (Komuntas Berkat Yakin -- KoBer Lampung kalau tak salah ingat juga pernah mementaskan naskah ini Taman Budaya Cak Durasim dan sejumlah panggung lainnya.
Trims Lanang dan Ahda yang telah 'mengingatkan' saya, meski untuk kasus plarisme cerpen ini tetap fatal. Sedang untuk yang lain, saya memaklumi mengingat seorang HB Jassin saja pernah salah saat memenangkan sebuah cerpen pada sebuah sayembara majalah. Namun kemudian Jassin mentolerir kemenangan naskah itu terlepas apakah hadiahnya dikembalikan ke panitia. Sekali lagi aa dan trima kasih buat Lanang dan Ahda.
Lanang Sawah : ya sama-sama isbedy. menjadi penulis dan pengarang butuh niat baik tak sekadar menguar kreativitas.
Bamby Cahyadi : Cerpen Dadang Yang di majalah horison, silakan para pembaca menilainya sendiri, apakah kisahnya mirip Kappa-nya Akutagawa, atau Dadang menjelma menjadi pentutur ulang Almarhum Akutagawa Ryunosuke. Cerpen Dadang Pengintai yang dimuat di Suara merdeka lantas dimuat ulang di Pikiran Rakyat, konon kabarnya ditujukan utk kami yang mencibir dia saat cerpen perempuan tua kami sebut plagiat. Kami tidak iri pada sdr. Dadang, tapi kami prihatin dia membunuh dirinya.
Anita Lindawaty SSi MSi : begitu banyak cerpen yg dijiplak DAM, jangan2 DAM tergolong plagiator sejati...
Ahda Imran:
Betul, Lanang. Tak hanya yg berurusan dengan teks, bahkan sampai urusan2 keluhan adminstrasi para penulis. Apalagi jika dicampur dengan kewajiban dan tugas2 peliputan yang lain. Keterbatasan ingatan itu aku paham. Tapi, seperti saya sebut,... Akutagawa bukanlah cerpenis yang asing.Terlebih lagi dengan penyebutan "Rashomon". Nama Akutagawa dan Rashomon nyaris tak bisa dipisahkan. Jika benar karena keterbatasan ingatan, yg karena itu kita harus memakluminya, untuk Akutagawa dan Rashomon, tetap sulit saya mengerti. Kecuali jika kita memang ingin melihat soal ini dari sudut pandang yang normatif, namanya juga manusia pasti ada salah dan khilafnya.
Han Gagas : Sy senang mas bam sdh bergerak jg kef, dan redaktur2 lain. Smoga upaya kt mengungkap yg dl lwt tag sungging raga terblow up lbh bsr lg dan yg terpenting adalah diketahui redaktur2 koran seluruh Indonesia.
Donatus A. Nugroho : Gawat ini ... sedih aja mendengarnya.
Han Gagas Jgn: lupa beberapa cerpen dadang dulu jg dobel dimuat media jd tak hanya ini shg spt menyimpulkan bhw dia berwatak buruk haus publikasi dg melakukan kecurangan.
Lanang Sawah:
memang agak sukar Ahda jika cerpen itu terkait seorang empu seperti Akutagawa.saya tak mencoba berpikir normatif dan skripturalis, tapi jujur agak susah memang. niat baik pengarang harusnya diutamakan. menjadi pengarang tak sekadar menguar ...karya tapi sikap pengarang menjadi bagian integral proses kreativitas.
Sekadar tambahan buat isbedy, setahu saya, bebrapa orang yang membaca cerpen kompas sebelum diacc, datang dari redaktur2 non desk sastra, wewenang sepenuhnya ada di redaktur sastra. Jadi sejatinya sama. ia sendiri, yang lain hanya ikut membaca. Tapi ini cerita yang pernah dipaparkan Bre Redana. Entah sekarang.
Han Gagas : Dan smg para redaktur2 itu slg berkontak spt yg kt lakukan di fb sbg cerpenis yg sm2 berproses.
Saut Poltak Tambunan: Bamby, suratmu tidak akan ditanggapi karena 'tidak sesuai untuk Kompas, tidak sesuai selera redaksi, dan 'tidak melebihi 10000 karakter."
Bamby Cahyadi : Hahaha, iya ya. Tapi paling tidak aku mewakili cerpenis yang suka kirim ke kompas dan ditolak, karena masalah tdk sesuai dgn kompas, dan atau kelebihan karakter 10rb, sehingga jelaslah bahwa cerpen minggu ini yang sesuai dgn kompas adalah cerpen plagiat.
Holy Adibz : lebih karya asli meski tidak dimuat di media, daripada dimuat di KOMPAS, tapi PLAGIAT. memprihatinkan.
Ribut Wijoto: kita tunggu tanggapan kompas. jika tidak ditanggapi, saya kira kompas akan rugi sendiri.
Saut Poltak Tambunan : Setuju, Bamby, kompas bukan ukuran sastra di negeri ini.
Kartika Catur Pelita : Ketika karya penulis dimuat bersamaan pada beberapa media, mungkin kita bsia maklum bawa hal ini bukan sebuah kesengajaan. Tapi jika cerpen tersebut sengaja di tebar pada beberapa media- cerpen itu ternyata plagiat pula, sangat tidak etislah yang dilakukan pengarang tersebut! Sebagai pelaku sastra(penulis) seharusnya pegang kode etik kepenulisan dan moral. Sastra merupakan kreatifitas keindahan berbasis kejujuran, tentu.Buat Bung Bamby-salut- kebenaran memang harus disuarakan!
Nita Tjindarbumi :kalo kompas bukan ukuran sastra di negeri ini, yah ngapain capek2 antri di kompas ya? mungkin lebih asyik kalo nulis cerpen untuk Bobo saja..menulis cerita anak konon susah juga...hiks..
Saut Poltak Tambunan: Nita, daripada jadi pengarang plagiat, aku lebih suka diajarin merajut saja!
Aba Mardjani : Lima atau mungkin 10 tahunan lalu, setahuku, Cerpen Kompas diseleksi 5 orang (untuk dimuat skor setidaknya harus 3-2). Belakangan kudengar 3 orang (2-1), entah sekarang....
Haya Aliya Zaki : Di Bobo juga antreee...:D
Nita Tjindarbumi:
Bang Saut...banyak membaca tulisan orang juga bisa mempengaruhi orang untuk jadi plagiat, meniru gaya, mencuri kalimat bahkan sampai parah kalo menjadi cerpenis Copas...
memang lebih baik belajar merajut aja. mending ditulis di kompas karena... merajut deh..kalo antrian panjang untuk cerpen...kan podo2 masuk kompas...hehehe
Bamby Cahyadi:
Cerpen Pengintai karya Dadang yang dimuat di suara merdeka, lantas dimuat lagi di pikiran rakyat, konon kabarnya ditujukan pada kami, krn mencibir dan menuduhnya plagiat, saat cerpen perempuan tua dimuat di lampung post. Karena dadang sendi...ri tdk pernah dgn elegan menanggapi kritik dan kecaman kami secara langsun. Dan, akibat dia "keroyok" maka dia seolah menjadi orang yg tertindas, seminggu kemudian, sampai minggu ini cerpennya dimuat diberbagai media koran dan majalah. Lucu ya, Tuhan selalu mendengar doa orang2 yg tertindas. Sehingga cerpennya dimuat di Kompas. Maka, dgn bangga Dadang berkata, "Bamby, kamu salah menilai saya! Buktinya cerpen saya diterima Kompas koran barometer sastra indonesia." (dialog itu bukan dari dadang, tapi semata buatan saya sendir)
Saut Poltak Tambunan: He he he, pengarang Kompas dan pengarang Copas. Keren!
Kartika Catur Pelita: Nita Tj@(salam kenal) Iya Mbak. Walau beberapa cerita anak sudah dimuat di media koran lokal, (seperti halnya cerpen dewasa)cerpen anak di Kompas adalah ukuran utama- prestasi prestesius ketika karya kita berhasil dimuat disana.Karena menulisi cerpen anak gampang-gampng susuah juga. Beberapa cerpen yang kukrim masih dikembalikan dengan catatan ide sama udah pernah dimuat atau bahasa masih dewasa! Hehehe
Yadhi Rusmiadi Jashar : Menyedihkan.... Saya mulai berpikir untuk menarik semua cerpen saya dari note fb. Di tangan orang kreatif (baca: kere aktif), cerpen saya yang tak bagus itu bisa saja disulap, diperindah, direkonstruksi lalu dilabeli namanya. Kemana tempat mengadu? Bagi DAM berlaku hukum "Tuhan telah Mati". Ini sebuah kejahatan!!
Nita Tjindarbumi:
kartika...hehehe..aku hanya suka dengan note ini, sama spt reaksi orang pada kasus gayus...gemes..padahal gayus gak bisa sepenuhnya disalahin. Selain itu, aku cuma penikmat saja. bukan cerpenis. belajar gak pinter2 makanya diledekin BAng Sa...ut yang tahu aku lebih suka merajut dari pada antri di kompas.
menulis cerita anak juga gak pernah. katanya susah banget ya? dengan ikut nimbrung disini harapanku bisa belajar tentang cerpen dan sastra...aku buta akan sastra...hiks..
Saut Poltak Tambunan : Aku share ya, Bamby, biar nenekku yang di kampung ikut baca.
Hutasuhut Budi : Seperti kata Budiarto Danujaya di Kompas yang sama: "orang Indonesia hanya sibuk merayakan popularisme". di sana ada ekonomi dan semua cara pasti ditempuh.
Amaq Shofia : Kompas sering kecolongan. Selektifitas rendah
Shinta Miranda : bukti kalau kompas memang mau menggampangkan saja, begitu banyak cerpen bagus menanti - tapi redaktur kompas memang malas !
Hutasuhut Budi NT: kalau sudah nulis di kampung, pasti dimuat Kompas. buktinya, cerpen Rashomon ini. ha...ha...
Kartika Catur Pelita : Hei, aku pernah baca cerpen Mbak Tita- di Anita -dulu, sekarang STORY. Jam terbang Mbak lebih banyak daripada aku. Sama lah Mbak gemes jg karea dimuatanya cerpen tersebut berarti mematikan sebuah kesemptan tampilany cerpen lain-apalagi pengarang yang belum pernah karyanya dimauat di Kompas-dan sedang berjuang keras untuk bisa tampil! Hehhe. Semoga aja di masa mendatang kejdian ini gak terulang. Btw, redaktur kecolongan. Hal ini pernah terjadi pada media lain, misal STORY. Hehehe
Nita Tjindarbumi:
HB...kebiasaanku kalo udah kirim cerpen ke satu media, ya langsung lupa deh ama cerpen itu. ada beberapa cerpenku belum ada kabarnya udah lama juga...mau aku baca ulang..lha kok raib...jadi gak mungkin deh aku kirim dobel...
tapi aku mau kok... kapan2 nulis di koran kampung halamanku...
Hutasuhut Budi : Bamby hal buruk selalu terulang, kawan. beberapa waktu lalu kita mempersoalkan cerpen yang sama. ini kita persoalkan lagi. redanden dan de javu betul. artinya, negri ini gak berubah-berubah mengulangi kekeliruan demi kekeliruan.
Nita Tjindarbumi:
Kartika....Ampun..ampun... cerpenku cuma sesekali kok. Kalo aku masa bodoh amat ah ama plagiat2 itu, aku juga gak usah pake gemes kalo cuma mematikan atau apa..santai ajalah. menulis ya menulis.
kalo cuma plagiat di urusan lain aku dah bolak...-balik alami, rajutan2ku banyak yang niru, ide2ku banyak yang curi, bahkan koleksi2 ada yang contoh...dan jadi juara...hihihi..mereka baru bilang setelah jiplak karyaku...gpp..kalo itu bermanfaat bagi mereka dan membuat mereka bangga...tokh akhirnya mereka minta maaf dan berterima kasih juga padaku....kalo gak lihat karyaku mereka belum tentu dapat juara...yang sabar aja deh hadapi begituan...soal antrian ...kalo karya kita bagus ntar juga nyampe...
Anton Dwisunu Hanung Nugrahanto
Inilah kalau dimuatnya tulisan di koran masih jadi ukuran keberhasilan seseorang dalam menulis karya sastra atau tidak, semakin populis sebuah media, maka kualifikasi akan semakin terancam degradatif, kaum sastrawan harus memperhatikan hal ...ini tapi juga tidak mengecam apa yang dilakukan Denny adalah juga sebuah pancingan untuk memperhatikan karya orang pada bangsa lain, mustinya disini yang salah redaktur Kompas. Dia harus menulis bahwa karya ini disadur dari karya Akutagawa Ryonosuke sehingga tidak terjadi polemik semacam ini, redaksional KOMPAS tentunya tidak sebodoh yang kita kira, apalagi sebelumnya mereka menerbitkan karya yang sama lewat perusahaan penerbitan satu grupnya.
Polemik ini mirip dengan kasus Gayus yang terpotret 'tanpa sengaja' kemudian beritanya jadi blow up. Dengan blow up gaya Bamby ini juga akan muncul Polemik sehingga buku terbitan kompas bisa tersosialisasi tanpa sengaja, indikasinya mengarah kesana.
Jadi Mas Bamby anda terlalu lugu membaca keadaan, serangan anda mustinya jangan ke KOMPAS tapi tunggu waktu yang tepat untuk menelanjangi Denny sampai momen penerbitan buku cerpen itu kadaluwarsa.
Selain itu janganlah kita terlalu melihat koran sebagai satu-satunya arus pusar kebudayaan, sastra koran saat ini adalah sastra yang dangkal, yang diproduksi dengan asal-asalan tidak bermutu sama sekali. Karya sastra yang hidup itu justru yang banyak bertebaran di luar koran selain buku jaringan sosial media juga pelan-pelan akan menjadi media penting bagi pertumbuhan dunia sastra kita, sudah saatnya sastra koran ditinggalkan karena dengan menghamba pada sastra koran maka kita memberikan kuasa hanya pada redaktur bukan pembaca sebagai akhir dari segala akhir.........
Kurnia Effendi:
@ Lanang: Edy, thanks. Iya sih, sebagai redaksi memang berat tanggung jawabnya. Tapi aku juga setuju dengan Ahda Imran dengan penjelasannya itu. Aku juga langsung mengingatkan Can di luar forum agar cross check serta membuka facebook. Maks...udku, kebetulan kasus ini pernah ramai dibicarakan sebulan lalu dan cerpen yang diplagiat oleh DAM bukan karya seorang pemula.
Aku setuju dengan cara Nirwan Dewanto yang selalu menelepon lebih dulu pengarangnya sebelum memuatnya untuk memastikan banyak hal mengenai cerpen bersangkutan. Salam
Nita Tjindarbumi : Setuju Keff...mungkin itu cara aman juga ya..atau kalo perlu bikin surat pernyataan din atas materai kalo cerpen itu belum pernah dimuat atau dipulbikasikan dalam bentuk apapun....aman deh...redakturnya, maksudku...
Kartika Catur Pelita NJ: Setuju, Mbak. Terus menulis sastra- meruapkan keindahan permainan kata bertumpu kejujuran@ES(salam kenal) Iya, mbak, siapapun penulis tentu terpengaruh pada pendahulu kita, sah-sah aja,tapi memplagiat nggak deh, beranak pinak ide berkeliaran dan bisa diwujudkan karya sebatas kemampuan kita yg diberi talenta menulis! BISA!
Anita Lindawaty SSi MSi: bam, note yg ini tolong dibikin public ya, biar link nya bisa dibuka & dibaca dari luar fb, termasuk temen2 yg bukan temen fb bamby. thx
Kartika Catur Pelita :Saut Poltak@ salam kenal! Sy baca karya Bung semenjak sy SMP! @Shinta M: Prihatin. Ingat ja perjuangan temen2 penulis yang bikin cerpen(orisinil) sebagus mungkin agar bs dimuat di Kompas, mereka trus kirim berharap satu hari impian mencatakan nama dan cerpenny di Kompas terwujud!@Hutasoit: PR penting penyuka n pelaku dunia sastra, termasuk penulisnya ya?!
Anita Lindawaty SSi MSi : bisa dimaklumi jika dengan segala keterbatasan sebagai manusia redaktur sastra KOMPAS kecolongan, lah yg paling penting kan SIKAP nya setelah tau dan dapat info dari banyak kalangan seperti ini.
Nancy Meinintha Brahmana: weleh...weleh....muantaplah....makanya ah ah ah..., jadilah diri sendiri ya...
Bamby Cahyadi @ Anton: koreksi mas, nama cerpenisnya Dadang, bukan Denny.
Dan, aku sangat setuju tentang barometer sastra pendapat bung Anton Djakarta ini. Namun dalam hal lugu aku kira, caraku cukup sopan hehehe.
Khrisna Pabichara : Kasihan Kompas! Ikut prihatin atas arogansi Dadang Ari Murtono. Rasanya, kritik lembut yang kerap saya tuturkan di media sama sekali tak mengendap dalam memorinya. Bahkan keledai saja enggan jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Salam takzim Kompas, salam tobat Dadang!
Saut Poltak Tambunan : He he he, nenekku sudah baca status Bamby ini di kampung. Katanya, sudah plagiaris (sudah dirame-ramein di FB), dimuat ulang, di Kompas pulak!!
("Ompung, ampunilah mereka, mereka tidak tahu apa yang sudah mereka perbuat.")
Ady Azzumar: biasanya sriti.com selalu update cerpen yang di muat di seluruh koran.
Khrisna Pabichara: @Ady: Mengingat betapa banyaknya cerpen yang masuk ke redaksi Kompas, pastilah sibuk redakturnya untuk membuka laci arsip sriti.com. Akan tetapi, dalam hal ini berpulang ke lubuk hati Dadang. Kecuali kalau Dadang telah kehilangan nurani.
Bamby Cahyadi @ Ady: Sriti.com lagi kena serangan hacker. Begitu berita dari mas chus, mas rachmat dan mas wim
Pratiwi Setyaningrum :Atau. Mungkin lagi butuh sembako BANGET, hingga rela pertaruhkan nama '.')?im.
Khrisna Pabichara @Pratiwi: Kalau alasannya seperti itu, kenapa tidak mengedarkan kotak sumbangan saja?
Nassirun Purwokartun: koin for DAM!
Khrisna Pabichara @Nas: Betul! Koin untuk DAM!
Pratiwi Setyaningrum : Aye! KOIN FOR DAM
Gunawan Maryanto: tanggung jawab terbesar ada di penulis. apa pun alasannya dia harus bisa mempertanggungjawabkannya. kompas menjadi korban karena tidak teliti. tapi rashomon gitu loh, masak gak tahu
Bamby Cahyadi Pasti arwah arwah Akutagawa sedang gelisah hehehe.
Kurasa Dadang: tdk punya masalah dgn honor, tapi dia keblinger utk cepat populer.
Panah Hujan: Wah, ini menarik. :D
Yadhi Rusmiadi Jashar: Saya telah membaca jawaban Dadang tentang polemik "Plagiarisme Rashomon" ini beberapa waktu lalu (Sebuah jawaban atas tudingan Bamby dkk. terhadap cerpennya). Dengan bahasa yang berbelit, penuh kalimat-kalimat bersayap, jawaban Dadang semakin menegaskan kalau dia dengan sadar memplagiasi karya Akutagawa itu!! Dengan bahasa yang lembut Dadang seakan menantang, "Gue emang njiplak. Eloe mau apa!".
Nassirun Purwokartun :koin for keblinger!
Ady Azzumar:
sepakat dengan bang Saut Poltak Tambunan:
"Pertanyaan: Masih pantaskan Kompas kalian jadikan ukuran sastra negeri ini?"
jujur, aku lupa baca esais siapa penulis dan pengarangnya, yang aku ingat dalam kutipan tulisan itu, "Ukuruan sastra nege...ri ini, ada 3: 1. Majalah Horison, 2. Fakultas sastra UI, 3. Koran Kompas."
entah benar atau tidak, riset dan yang di tulis ke tiga di atas, saya hanya pembaca.
Nurel Javissyarqi : Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un (انّا للہ و انّا الیہ راجعون), telah gugur pahlawanku.....:) suwon sanget infornya bung Bamby, ini sangat bermanfaat untuk sekalian alam semesta...
Binhad Nurrohmat: Gimana komentar Akutagawa Ryunosuke? Dari Gresik saya menerawang ke Jepang... Akutagawa heran, kok tiba-tiba dia bereinkarnasi menjadi orang Jawa...
Khrisna Pabichara @Binhad: Baru saja Akutagawa mengirim poesan pendek ke batin saya, Bang Binhad. Katanya, korupsi sudah merambah wilayah kepengarangan di Indonesia.
Pratiwi Setyaningrum:
OH, JADI EMANG SENGAJA. Nah, yang kasian itu yang begini ini. Hah. Kecewa de au. Maka butuh tak butuh, MY COIN FOR DAM.
Kata orang, jadilah orang terkenal. Kalo cerpenis ya cerpenis terkenal. Kalo penjiplak gatau malu, ya penjiplak gatau mal...u terkenal lah. Lumayan bisa buat dipamerin ke anak cucu, hehe
Bamby Cahyadi : Kalau Dadang mengaku dirinya reinkarnasi akutagawa maka habislah perkara hahaha
Nassirun Purwokartun :gelar pengadilan!
Budi Setiyarso : hahaha....ketika td pagi membaca cerpen itu. saya yakin pasti akan ada reaksi yang dahsyat di kalangan cerpenis
Khrisna Pabichara @Nas: Ayo, kita gelar!
Binhad Nurrohmat :Ini bukan kasus sastra. Ini kasus moral pengarang. Laporkan kasus ini ke kantor filsuf terdekat.
Lina Kelana : wah..... ini namanya kejahatan.....
Ferdinandus Moses : Atas nama OPPSI (Organisasi "Pembebasan" plagiarisme Sastra Indonesia) di mana berada, mengutuk tindakan pengambilalihan teks di atas "kekuasaan" pengarang! dukung Bamby! Dadang Ari Murtono, saya mencarimu! Dalam Republik Mimetis Sastra Indonesia (RMSI), silakan "terisnpirasi" TANPA (BUKAN) menjiplak! Sekian dulu dan terima kasih. Salam hangat kawan semua..
Katrina Prahadika: Pak Bamby memang cepat akurat, sip..sip..
Dony P Herwanto : turut prihatin...
Abdul Hadi:
Alangkahbaiknya jika kesalahan tidak hanya dijatuhkan ke Redaktur Kompas. Karena dari data yang saya ketahui bahwa dalam sehari, harian Kompas rata-rata menerima naskah cerpen dari seluruh Indonesia antara 60 hingga 80 setiap harinya! Misal...kan kita ambil rata-rata 70 naskah setiap harinya maka dalam rentang seminggu akan terkumpul 490 naskah cerpen. Bisa dibayangkan betapa beratnya tugas itu!
Kedua_ jika tidak mampu meneliti satu kan mereka (para Redaktur) bisa membaca judul-judul cerpen saja, tapi ini juga lemah. Karena penulis yang bermasalah itu dgn mudah menggonta-ganti judul yang telah ada.
Ketiga_ belum jelasnya batas-batas plagiat itu (meski saya dgn 1000 % mengatakan cerpen ini jelas plagiat). Ada 4 cerpen Agus Noor (AN) yang hampir serupa: antara Aubade (MI) dan Pagi Bening seekor Kupu-Kupu (JP), Antara Serenade (JP) dan Serenade Kunang-Kunang (KOMPAS). Apakah cerpen AN itu disebut plagiat?
Demikian Bung Bamby.
Abdul Hadi: Bagi pembaca yang ingin menyelidiki Cerpen AN di atas bisa dicari di arsip Sriti.com
Ki Ageng Joloindro : mengerikan...
Sungging Raga : weh, tadi malah ada sahabatnya dadang (akhmad fatoni) pamer ke aku via sms, "tuh lihat, rashomon dimuat di kompas, ternyata redaktur tidak sependapat dengan kamu."
hehe.
Kartolo Kempol Geyong-Geyong: terulang lagi. Katanya Lampung post, Horison, Kompas. Ajaib
Bamby Cahyadi @ abdul hadi: kalau judulnya berbeda dimuat di media yang berbeda dgn nama penulis aslinya, tentu bukan plagiat. Kekirim dobel itu namanya. Kalau kasus sdr. Dadang, dia menambah bbrp narasi pd cerpen rashomon, dan ia mencuplik hampir 99% cerpen akutagawa tsb.
Lan Fang: tadi pagi aku bingung liat cerpen itu...kok nongol di kompas.
btw, boleh share suratmu?
Joni Ariadinata Jurnal : Cerpen Indonesia pernah nyaris kebobolan dengan memuat karya seorang penulis muda berbakat, yang ternyata menjiplak 70 prosen karya Hamsad Rangkuti (diganti judul, dirubah dari paragraf pertama hingga kesekian, selanjutnya menjiplak persis). Kami menderita kerugian 4 jt lebih karena draft jurnal sdh terlanjur dicetak. Dengan mengutuk sedih kami harus menarik cerpen itu, sebelum Jurnal diedarkan.
Han Gagas:
SAYA JUGA TELAH MENGIRIM EMAIL PLAGIASI DAN DIMUAT DOBEL, PERSIS KIRIMAN MAS BAMB TAPI SEBAGIAN KUEDIT BIAR LEBIH ENAK DI BENAK REDAKTUR-MUNGKIN (Dalam derajat kesalahan, aku lebih menganggap ini karena kesalahan utama DAM dibanding redaktu...r Kompas).
Aku yakin mereka baca emailku walau mungkin tidak hari ini karena mereka kemarin mengembalikan cerpenku dan lagipula Redi Keludku dimuat juga melalui email ini.
Mari kita mengirim email serupa demi sesuatu yang bernama ANTI KECURANGAN.
SALAM.
Muhidin M Dahlan: INI BUKAN SEKALI SAJA KARYA SASTRA DIJIPLAK. Tahun 1962 (resensi pertama mempersalahkannya 7 September 1962, Lentera, Bintang Timur, hlm 3) heboh Tenggelamnya Kapal van der Wijk karya Hamka. Dan semua penulis yang melakukan kriminal itu bungkem.... Sampai mati
Han Gagas: Tapi Mas Muhidin si DAM ini tidak bungkem.... Dia kirim sms lewat tangan temannya yg masih baru masuk "dunia menulis sastra" utk berkoar bahwa dia benar dan tak seperti tuduhan orang2. Buktinya koran2, majalah masih muat cerpennya.
Muhidin M Dahlan:
Dia menulis di Kompas. Jika surat pembaca ini dimuat, dia harus menjawabnya di koran ini. Jika tak, maka dia bungkem. Hehehehe. Kalau sms, itu anggap saja kegelisahan pelaku kriminil setelah ada kasak-kusuk.
Abdullah SP di tahun 1962. Bamby ...Cahyadi di tahun 2011. Karena saking seriusnya si Abdullah SP--dan juga disokong dgn berapi-api Lentera dan Pram--sampai digambar tuh adegan2 yang mirip dalam tabel-tabel setengah halaman koran.
Muhidin M Dahlan : Dadang yang ini bukannya si Dadang Kafir Liberal itu ya...
Han Gagas : Hahahahahahahaha, masak seh Mas, aku juga kagak tahu, tanya teman Gresik mas..
Muhidin M Dahlan:
Berharap Dadang melakukan ini: "MAMPUS LU REDAKTUR KOMPAS. SAYA APUSI KALIAN. SAYA CONTEK. HANYA AKAN MENGUJI KEMAMPUAN SELEKTIF KALIAN...(padahal rashomon gitu loh, pinjam koment MG, mosok redaktur gak kenal) SETELAH INI SAYA AKAN DIBLACK... LIST, GAK APA. INI RISIKO PEMBOBOL PENGETAHUAN. TAPI INI SAYA LAKUKAN DENGAN KESADARAN PENUH, KEUSILAN PENUH, BETAPA-BETAPA DUNIA SASTRA KITA HANYA BEGINI-BEGINI SAJA...."
Jadi Mas DAM, nggak usah ngasih pleidoi macem2. Muter macem-macem .... Akui saja, bahwa ini memang menguji Kompas yang terkenal dengan Surat Sakti Penolakannya.... Ini adalah keusilan yang revolusioner....
Kartika Catur Pelita: Bung Bamby. td pagi saat baca baris-baris awal cerpen itu di Kompas, benak saya bergumam: nich cerpen berasa Japanese-ketika saya baca pengarangnya sy teringat sms temen sesama penulis tentang adanya cerpen plagiat yg dimuat sempt jd "diskusi" para penulis di fb. Yeah...saat surat terbuka Bung Bamby ini muncul : masalah semakin jelas, ketika satu demi satu bukti muncul. Semoga ha lini merupkn pembelajaran di masa mendatang hal ini tak terjadi pun pada penulis lain.
Han Gagas Mas Muhidin: malah ngajari kayak gitu, dia bakal senang dapat jurus maut itu. Dia baca ini semua lho, kan teman FBku juga, hahahaha
Han Gagas : Dadang orang Gresik (katanya jd seksi sastra Dewan Kesenian Mojokerto, seksi sekali katanya)
Muhidin M Dahlan : HAN GAGAS: Gak apa-apa, sesama iblis saling mengajari... Hahahahahaha. Bahkan seorang iblis pun dibutuhkan dalam revolusi (makin gak jelas). Seperti Sukarno, yang mengajak lonte ikut serta dalam melanjutkan revolusi yg gak selesai2, yang kemudian si FREDY S yang masyhur itu mengolok2nya dalam novel mesumnya sebanyak 6 jilid (2 ribeng halaman)
Reni Teratai Air:
media (dalam hal ini adalah redaktur fiksi/editor) punya keterbatasan. namanya juga manusia. di antara maraknya media cetak yg di dalamnya memunculkan 1 buah cerpen, atau beberapa, tentu redaktur tdk semudah itu menghapal mana saja karya yg... sudah dimuat atau dicetak, atau diplagita dll....
utk mas bamby, jgn katakan kecewa pada KOMPAS. Kompas (apalagi redakturnya) pasti terpukul dgn kejadian ini.
Salah siapa? Penulisnya!!! .... buikan media yg memuatnya.
Han Gagas : Kalau Lonte mah banyak yag suka, yang ngakunya moralis itu, juga penulis, hahaha. penyaluran stress dari pusingnya mikirin perbaiki dunia, ada gunanya juga kaum Lonte, hahahaha
Miftah Fadhli : sy sebagai penulis kecil, jujur, hari ini adalah hari paling menyakitkan selama perjuangan saya menulis cerita!!! Mas Bam, aku mengharapkanmu n penulis2 lain yg lebih bernama untuk melawan ini, ketimbang aku yg cuma penulis rendahan n pasti tdak akan diperhatikan. Aku cma bsa bntu dgan melawan sakit hti dlam driku saja mas Bam.
Han Gagas: Miftah, jangan gitulah, kita semua harus berpikir utk rendah hati, kirimlah email serupa pada email kompas. biar lebih banyak orang lebih diperhatikan, mungkin lho.
Reni Teratai Air : media juga perlu hati2. harusnya media menghubungi penulis yg naskahnya bakal dimuat, utk konfirmasi soal orisinilitas n blm pernah dipublish... konfirmasi itu juga merupakan unjuk diri bhw media tidak main2 soal pemuatyan naskah seseorang...
Faradina Izdhihary:
Huah .... rame lagi. heheh pdhl minggu lalu aku baru mulai berani kirim lagi. Duh... Kompas yg kuanggap barometer sebagaipencapaian tertinggiku, bila suatu saat akhirnya tembus, kok jadi begini???? Mengecewakan sekali!
@Reni: Ya, Mbak. Aku ...setuju, tumpukan karya yg banyak banget emang jadi beban yang berat. itu sebabnya,sewajarnya seorang redaktur sastra, harus banyak2 baca karya sastra yg hebat2. Kan gk mungkin kalau yg diplagiasi karya yg jelek.
Pun begitu aku setuju, terdakwa utamanya Tetap sang penulis.
Ayo Mas DAM, bersuaralah....!
Reni Teratai Air: aku baca di atas..., soal DAM yg bermaksud mengecoh Kompas (biar ketahuan sampai dimana batas referensi sastra yg redaktur kompas punya), andaikan kitu betul dilakukan oleh DAM utk mencari sensasi atau sengaja mengecoh kompas... aku rasa itu cara yg paling mengenaskanl sedunia... mari kita tempatkan jika kita sebagai redaktur kompas yg meloloskan naskah tsb. sekali-dua, tupai meleset, bukan?
Han Gagas : Muhidin tuh guyon ajah hahaha, malah ditanggapi serius neh ma Reni teratai. hahaha, Dadang haus publikasi
Kartika Catur Pelita @faradina I: salam kenal mbak. Kirim lagi lah mbak, cerpen karya orisnil kan? Hehehe@mbak reni: setuju konfirmasi ketika karya penulis hendak dimuat! Btw, kapan nih dpet kring dari STORY? heheh@ miftah:rendah hati bukan rendah diri! Penulis yg mnghsilkan karya orisinil penulis kelas tinggi, bro!@Han Gagas: bahsa satra lo ternyata ...buas n ganas(terpicu emosi? Hehehe( salam kenal, bro!)
Kartika Catur Pelita @Mas Muhidin MD: saya suka analisa Anda! Salam kenal tuk semua pelaku serta penikmat sastra, saya penulis 'pemula stok lama' asal Jepara.Novel perdana saya: KEPERJAKAAN( LODI-LIMANOV-LAYAN-KUAT) sedang dalam proses penerbitan di AKOER. Menterakan potret buram remaja pria yg berprofesi pekerja seks komersil, maaf, GIGOLO. Benarkah nilai keperjakaan tak berarti bagi lelaki? Oya novel ini karya ORISINIL dong ! Heheheh, salam sastra!
Khoer Jurzani Hiks, saya bahkan yang hanya seorang pembaca, yang sedang akan mencoba menulis jadi takut, takut belum apa-apa sudah di curigai oleh pihak redaksi jika besok saya mengirim naskah cerpen, mungkin redaksi akan memilih penulis yang sudah pasti punya nama saja hikss!
Bamby Cahyadi @ Khoer: jangan takut, masih banyak medium utk menulis, tdk melulu koran atau majalah. Maju terus!
Sabtu, 22 Januari 2011
Kisah Muram di Restoran Cepat Saji
KISAH MURAM DI RESTORAN CEPAT SAJI
Oleh : Bamby Cahyadi
Andai saja ia tak sedang bertugas sebagai kasir, pasti ia sudah menghambur-hamburkan kata-kata kasar dan makian. Bisa saja ia berteriak anjing, monyet, dan tahi kucing pada setiap orang yang sedang dilayaninya. Atau, kata-kata yang kerap ia lontarkan pada setiap pembicaraan santai dengan teman-temannya, ”Bangsat!”
Tapi, ia tetap memaksa membuat sebaris senyum yang manis dan mengeluarkan ucapan yang paling ramah pada lelaki yang sok kaya yang kini dilayaninya. Mungkin saja lelaki itu benar-benar orang kaya dan mampu membeli harga dirinya, berikut burger bertangkup tiga beserta kentang goreng panas dan minuman bersoda dalam gelas super besar. Terbukti, lelaki itu mengeluarkan dompet tebal dan di genggamannya terlihat BlackBerry keluaran terbaru sedang berderik-derik.
”Anjing, brengsek, Lu!” makinya dalam hati. Walaupun, ia berucap, ”Terima kasih, selamat datang kembali!” Usai memberikan semua pesanan pada lelaki perut buncit itu.
Lelaki berperut buncit itu acuh tak acuh saja, ia menerima pesanannya di atas nampan lantas memunggunginya menuju meja lobi. Tanpa ekspresi, sambil menerima panggilan telepon. ”Halo, ya, ya, oh iya.”
Sore ini restoran sangat sepi. Sudah sejam berlalu hanya lelaki perut buncit, segerombolan anak sekolahan dan seorang anak kecil dengan pembantu yang sok tahu mengenai menu-menu di restoran cepat saji itu saja yang ia layani. Bisa dibayangkan, tadi, ia hampir saja berdebat sengit dengan seorang pembantu gara-gara si pembantu sok tahu itu seolah tahu betul perihal menu burger di situ. Pembantu itu meminta burger keju pakai sayuran selada.
Untung semua telah berlalu. Hatinya agak sedikit tentram. Ia lalu pura-pura mengambil kain lap, lantas digosok-gosok kain lap itu pada meja dan dinding yang sebenarnya tidak kotor. Sesekali ia melirik ke arah sebuah ruangan kecil. Di sana ia lihat manajernya sedang mengetik sesuatu sambil memandang monitor komputer. Ia kembali menggosok-gosok meja kasir yang memang sudah bersih itu.
Sejatinya, ia telah kenyang melihat tingkah pola dan perilaku menjengkelkan pelanggan-pelanggan restoran yang terletak di kawasan elit itu. Semua yang masuk merasa menjadi raja dan paling raja. Para pelanggan di situ rata-rata orang kaya sesungguhnya, ada juga orang kere yang bertingkah lagaknya seperti orang kaya. Dan, mereka selalu tahu semboyan pelanggan adalah raja. Sebuah semboyan yang mendunia, membumi, baik di restoran kaki lima, sampai restoran mewah di hotel berbintang lima. Baik di restoran lokal, hingga restoran internasional.
Maka, ia pun melayani raja-raja itu dengan cekatan, cepat dan tentu saja ramah. Bukankah ia pelayan di sebuah restoran cepat saji? Semua harus cepat dihidangkan, menu harus masih panas dan segar, kalau tidak, raja akan mengeluh dan marah. Apabila raja mengeluh apalagi marah-marah, maka manajernya akan memberikan sepucuk surat cinta bernama surat peringatan. Mengerikan!
Kerap ia ingin menampar pelanggannya yang memesan menu makanan sembari menelepon seseorang entah siapa, mungkin pacarnya, mungkin majikannya atau mungkin orang yang sok pamer hape baru. Jelas saja ia ingin menggampar orang seperti itu, bukankah restoran ini restoran cepat saji. Semua harus dilayani dengan secepat kilat. Bagaimana mau cepat saji, ketika mau memesan menu makanan saja, orang itu leletnya minta ampun. Biasanya ia akan menerima gerutuan dari orang yang antri di belakang orang yang memesan sambil menelepon itu. ”Pelayanannya lama banget sih?”
Lho, kenapa orang yang antri di belakang orang yang sedang menelepon itu menggerutu padanya? Kenapa bukan pada orang di depannya, apakah karena ia hanya seorang pelayan? ”Dasar monyet!” umpatnya dalam hati.
Ia juga dapat memotret wajah Indonesia pada umumnya di restoran ini. Di Indonesia, orang mau makan suka kebingungan sendiri ketika sudah berada di depan meja kasir. Mereka terlongo-longo, sambil bergumam, mau makan apa ya aku? Bangsat! Mau makan saja bingung dan mikir, bagaimana memikirkan negara yang makin korup. Berpikir soal makan saja kelimpungan. Itulah mengapa, Indonesia tak pernah jadi negara maju. Coba perhatikan orang bule, saat memesan menu di restoran cepat saji, mereka telah menentukan pilihan menunya ketika ia baru saja berniat makan di situ. Itulah bedanya. Tentu, itu asumsi yang ia buat sendiri. Apalagi sore ini hatinya sedang mendidih.
Sering pula ia jumpai pelanggan yang baik hati, luar dan dalam. Terutama saat ia bekerja sampai melewati tengah malam. Mereka itu, pelanggan perempuan yang datang dengan pakaian minimalis. Mereka, sangat baik hati, karena wajah mereka terlihat cantik-cantik dari luar dan suka memamerkan pakaian dalam mereka yang dipakai di dalam. Tentu ia anggap pelanggannya baik, karena membuat ia bersemangat berkerja, kalau perlu sampai pagi.
Ia sudah terbiasa melihat payudara setengah menonjol seperti gunung yang hendak meletus disangga oleh beha berenda berbusa tebal. Atau, belahan pantat montok yang hanya ditutupi sehelai tali, celana dalam g-string, begitu yang ia tahu dari orang-orang. Belahan pantat dan jendolan payudara memang godaan luar biasa. Tapi, dari perempuan berpakaian minimalis itulah ia sering mendapat tip banyak.
***
Sore yang sepi dan hati yang panas. Teman-temannya yang lain, terlihat sibuk juga seperti dirinya. Membersihkan sesuatu, yang sebenarnya tidak kotor. Ada yang menyapu lantai yang tak ada ceceran sampahnya, ada yang mengepel lantai yang tak ada noda kotor di atasnya. Mungkin dengan begitu, hati para pelanggannya akan senang berada di restoran yang bersih dan nyaman dengan pelayan yang rajin-rajin. Mungkin dengan begitu, manajernya tidak akan menegur sebagai pemalas dan mengeluarkan sepucuk surat peringatan.
Suara musik dari album Lenka, lagu Trouble is a Friend, mendayu-dayu di seluruh area lobi. Ia pun turut bersenandung melepas gundah, sambil sesekali berkerling mata, melihat manajernya yang sedang sibuk di depan komputer. Sepertinya ia mau melakukan sesuatu. Apa itu? Tak ada yang tahu.
Nama tokoh dalam cerita ini Adimas. Seorang pemuda berwajah tampan, tapi berkantong tipis. Ia, telah dua tahun bekerja sebagai kasir di restoran cepat saji jaringan internasional ini. Semula ia masuk sebagai karyawan magang. Nyambi kerja sambil kuliah, agar terlihat keren di mata teman-teman sekampusnya.
”Begitulah yang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa kita di luar negeri,” katanya ketika ia baru saja diterima bekerja di restoran itu. ”Mereka itu, kuliah di pagi hari, dan menjadi pelayan restoran di malam hari, dan mereka menjadi orang sukses!” tandasnya.
”Jangan malu, walaupun hanya bertugas mencuci piring dan membersihkan toilet. Kerja di sini, jenjang karirnya jelas,” perkataan manajernya saat ia baru saja diterima kerja masih terngiang-ngiang.
Semula ia bekerja magang di restoran cepat saji itu untuk gengsi-gengsian, namun setelah menerima gaji pertama, betapa ia mengharapkan uang yang lebih banyak dari sambilannya itu. Tentu saja, ia masuk kerja lebih sering. Ia dijadwalkan bekerja bukan hanya di hari sabtu dan minggu sesuai kesepakatan, ia akhirnya mengajukan diri untuk dijadwalkan setiap hari.
Sejak saat itu, ia lupa pada tugas pokoknya, kuliah. Ia larut bekerja mencari uang demi uang untuk menebalkan dompetnya yang sering tipis. Enam bulan ia tak pernah menampakkan batang hidungnya di kampus. Akhirnya ia dipecat sebagai mahasiswa. Tapi, untuk urusan kerja di restoran ini, jangan diragukan. Ia hafal di luar kepala seluruh menu yang ada di restoran ini. Bahkan, ia pun hafal betul harga-harganya, baik sebelum maupun sesudah pajak.
Kinerja kerjanya sungguh bagus, berkali-kali ia terpilih sebagai karyawan terbaik tiap bulan. Hingga ia pun menyabet gelar karyawan teladan di akhir tahun. Tentu saja usahanya berbuah hasil, setahun kemudian ia diangkat menjadi karyawan tetap di restoran cepat saji itu.
Ia punya jaminan kesehatan rawat jalan. Apabila ia sakit dan perlu perawatan intensif, ia beroleh jaminan kesehatan rawat inap. Ia didaftarkan dalam kepesertaan Jamsostek. Ia pun mempunyai jatah cuti, 12 hari dalam setahun. Apabila ia bekerja tengah malam, ia akan mendapatkan uang transportasi. Dan, tentu kalau restoran ramai dan memaksanya lembur, ia akan menerima pendapatan berlipat ganda. Menggiurkan bukan?
Tentu saja menggiurkan. Saking menggiurkan, Aurora, pacarnya meminta ia segera meminangnya. Aurora, gadis manis tetangganya itu, sudah lama menjadi pacarnya. Pagi tadi, Au, begitu panggilan sayangnya, merengek minta kawin.
Nah, bagian cerita inilah yang membuat tokoh utama dalam cerita ini uring-uringan dan ingin memaki lebih banyak orang. Sayang sungguh sayang, ia adalah kasir, pelayan, pekerja restoran cepat saji yang harus melayani pelanggan dengan senyuman ramah dan ucapan kata yang penuh sopan santun. Bukan makian macam bangsat dan tahi kucing.
***
Sore tergelincir di langit senja. Semburatnya meronakan seluruh permukaan langit. Tiba-tiba saja restoran yang tadinya sepi seperti kuburan, dipenuhi oleh para pengunjung dan mereka antri dengan tertib memenuhi depan meja kasir yang tampak mengecil. Satu-satu Adimas melayani pelanggannya dengan cepat. Sambil matanya jelalatan melihat ke ruangan manajer. Manajernya masih sibuk mengetik komputer.
Restoran gaduh seketika. Suara berdentingan terdengar di dapur. Petugas dapur bahu-membahu membuat burger-burger pesanan tamu. Suara minyak goreng terdengar menetas ketika kentang beku dicelupkan ke dalam minyak yang panas itu. Aroma daging yang terpanggang menyeruak dari dapur, harum roti menguar seketika dan bau bumbu-bumbu khas untuk burger menusuk selera. Pelanggannya berebutan menerima pesanan.
Hanya dalam sekejap, ia telah melayani lebih dari belasan orang. Dan, hanya dalam sekejap ia telah memiliki uang hampir sejuta lebih. Dari mana uang sebanyak itu dalam waktu sekejap?
Nah, itulah kepintaran tokoh kita ini. Ia hanya memasukkan satu transaksi ke dalam register bayar. Setelah itu, register bayar tak ia tutup lacinya, dibiarkannya terbuka. Setelah itu, ia menerima pesanan pelanggannya, tapi ia tak masukkan dalam register bayar. Bukankah ia hafal di luar kepala semua harga menu-menu yang tersaji? Dan, tentu dengan sangat mudah ia memberi uang kembalian bagi pelanggannya. Ingat, ia mantan mahasiswa. Ada informasi yang terlewat, ia bekas mahasiswa jurusan matematika.
Ia tersenyum puas. Pelanggannya tersenyum puas. Manajernya tersenyum puas, melihat semua karyawan bekerja dengan gesit melayani pelanggan yang mendadak datang dalam jumlah yang banyak. Manajernya sangat yakin, semua karyawannya, termasuk Adimas, adalah karyawan yang dapat diandalkan. Sehingga sepanjang sore ia begitu tenang di depan komputer membuka akun Facebook-nya, pelanggan tetap bisa dilayani dengan baik. Semua tersenyum puas.
Selepas senja Aurora tersenyum puas, ketika Adimas datang bertandang ke rumahnya membawa sebuah cincin emas. Cincin itu dikenakannya pada jari manis Au. Adimas mengecup tangan Au, sembari berkata, ”Aku melamarmu sayang.”
Itulah sebuah kisah muram yang terjadi dikala senja, di sebuah restoran cepat saji yang terletak di sebuah kawasan elit di Jakarta, di mana semua orang merasa menjadi raja, di mana seorang pemuda bernama Adimas kepepet uang untuk melamar kekasihnya, dan akhirnya mengambil sesuatu yang bukan haknya untuk membahagiakan seseorang yang sangat ia sayangi. Ia memilih menjadi orang Indonesia pada umumnya. Ia tak peduli lagi betapa korup negaranya, karena ia sendiri tak bersih dari itu, bahkan kini ia bagian dari sistem itu.
Begitulah kisah ini berakhir. Kisah paling muram yang pernah kuceritakan.***
Jakarta, 20 Februari 2010
Oleh : Bamby Cahyadi
Andai saja ia tak sedang bertugas sebagai kasir, pasti ia sudah menghambur-hamburkan kata-kata kasar dan makian. Bisa saja ia berteriak anjing, monyet, dan tahi kucing pada setiap orang yang sedang dilayaninya. Atau, kata-kata yang kerap ia lontarkan pada setiap pembicaraan santai dengan teman-temannya, ”Bangsat!”
Tapi, ia tetap memaksa membuat sebaris senyum yang manis dan mengeluarkan ucapan yang paling ramah pada lelaki yang sok kaya yang kini dilayaninya. Mungkin saja lelaki itu benar-benar orang kaya dan mampu membeli harga dirinya, berikut burger bertangkup tiga beserta kentang goreng panas dan minuman bersoda dalam gelas super besar. Terbukti, lelaki itu mengeluarkan dompet tebal dan di genggamannya terlihat BlackBerry keluaran terbaru sedang berderik-derik.
”Anjing, brengsek, Lu!” makinya dalam hati. Walaupun, ia berucap, ”Terima kasih, selamat datang kembali!” Usai memberikan semua pesanan pada lelaki perut buncit itu.
Lelaki berperut buncit itu acuh tak acuh saja, ia menerima pesanannya di atas nampan lantas memunggunginya menuju meja lobi. Tanpa ekspresi, sambil menerima panggilan telepon. ”Halo, ya, ya, oh iya.”
Sore ini restoran sangat sepi. Sudah sejam berlalu hanya lelaki perut buncit, segerombolan anak sekolahan dan seorang anak kecil dengan pembantu yang sok tahu mengenai menu-menu di restoran cepat saji itu saja yang ia layani. Bisa dibayangkan, tadi, ia hampir saja berdebat sengit dengan seorang pembantu gara-gara si pembantu sok tahu itu seolah tahu betul perihal menu burger di situ. Pembantu itu meminta burger keju pakai sayuran selada.
Untung semua telah berlalu. Hatinya agak sedikit tentram. Ia lalu pura-pura mengambil kain lap, lantas digosok-gosok kain lap itu pada meja dan dinding yang sebenarnya tidak kotor. Sesekali ia melirik ke arah sebuah ruangan kecil. Di sana ia lihat manajernya sedang mengetik sesuatu sambil memandang monitor komputer. Ia kembali menggosok-gosok meja kasir yang memang sudah bersih itu.
Sejatinya, ia telah kenyang melihat tingkah pola dan perilaku menjengkelkan pelanggan-pelanggan restoran yang terletak di kawasan elit itu. Semua yang masuk merasa menjadi raja dan paling raja. Para pelanggan di situ rata-rata orang kaya sesungguhnya, ada juga orang kere yang bertingkah lagaknya seperti orang kaya. Dan, mereka selalu tahu semboyan pelanggan adalah raja. Sebuah semboyan yang mendunia, membumi, baik di restoran kaki lima, sampai restoran mewah di hotel berbintang lima. Baik di restoran lokal, hingga restoran internasional.
Maka, ia pun melayani raja-raja itu dengan cekatan, cepat dan tentu saja ramah. Bukankah ia pelayan di sebuah restoran cepat saji? Semua harus cepat dihidangkan, menu harus masih panas dan segar, kalau tidak, raja akan mengeluh dan marah. Apabila raja mengeluh apalagi marah-marah, maka manajernya akan memberikan sepucuk surat cinta bernama surat peringatan. Mengerikan!
Kerap ia ingin menampar pelanggannya yang memesan menu makanan sembari menelepon seseorang entah siapa, mungkin pacarnya, mungkin majikannya atau mungkin orang yang sok pamer hape baru. Jelas saja ia ingin menggampar orang seperti itu, bukankah restoran ini restoran cepat saji. Semua harus dilayani dengan secepat kilat. Bagaimana mau cepat saji, ketika mau memesan menu makanan saja, orang itu leletnya minta ampun. Biasanya ia akan menerima gerutuan dari orang yang antri di belakang orang yang memesan sambil menelepon itu. ”Pelayanannya lama banget sih?”
Lho, kenapa orang yang antri di belakang orang yang sedang menelepon itu menggerutu padanya? Kenapa bukan pada orang di depannya, apakah karena ia hanya seorang pelayan? ”Dasar monyet!” umpatnya dalam hati.
Ia juga dapat memotret wajah Indonesia pada umumnya di restoran ini. Di Indonesia, orang mau makan suka kebingungan sendiri ketika sudah berada di depan meja kasir. Mereka terlongo-longo, sambil bergumam, mau makan apa ya aku? Bangsat! Mau makan saja bingung dan mikir, bagaimana memikirkan negara yang makin korup. Berpikir soal makan saja kelimpungan. Itulah mengapa, Indonesia tak pernah jadi negara maju. Coba perhatikan orang bule, saat memesan menu di restoran cepat saji, mereka telah menentukan pilihan menunya ketika ia baru saja berniat makan di situ. Itulah bedanya. Tentu, itu asumsi yang ia buat sendiri. Apalagi sore ini hatinya sedang mendidih.
Sering pula ia jumpai pelanggan yang baik hati, luar dan dalam. Terutama saat ia bekerja sampai melewati tengah malam. Mereka itu, pelanggan perempuan yang datang dengan pakaian minimalis. Mereka, sangat baik hati, karena wajah mereka terlihat cantik-cantik dari luar dan suka memamerkan pakaian dalam mereka yang dipakai di dalam. Tentu ia anggap pelanggannya baik, karena membuat ia bersemangat berkerja, kalau perlu sampai pagi.
Ia sudah terbiasa melihat payudara setengah menonjol seperti gunung yang hendak meletus disangga oleh beha berenda berbusa tebal. Atau, belahan pantat montok yang hanya ditutupi sehelai tali, celana dalam g-string, begitu yang ia tahu dari orang-orang. Belahan pantat dan jendolan payudara memang godaan luar biasa. Tapi, dari perempuan berpakaian minimalis itulah ia sering mendapat tip banyak.
***
Sore yang sepi dan hati yang panas. Teman-temannya yang lain, terlihat sibuk juga seperti dirinya. Membersihkan sesuatu, yang sebenarnya tidak kotor. Ada yang menyapu lantai yang tak ada ceceran sampahnya, ada yang mengepel lantai yang tak ada noda kotor di atasnya. Mungkin dengan begitu, hati para pelanggannya akan senang berada di restoran yang bersih dan nyaman dengan pelayan yang rajin-rajin. Mungkin dengan begitu, manajernya tidak akan menegur sebagai pemalas dan mengeluarkan sepucuk surat peringatan.
Suara musik dari album Lenka, lagu Trouble is a Friend, mendayu-dayu di seluruh area lobi. Ia pun turut bersenandung melepas gundah, sambil sesekali berkerling mata, melihat manajernya yang sedang sibuk di depan komputer. Sepertinya ia mau melakukan sesuatu. Apa itu? Tak ada yang tahu.
Nama tokoh dalam cerita ini Adimas. Seorang pemuda berwajah tampan, tapi berkantong tipis. Ia, telah dua tahun bekerja sebagai kasir di restoran cepat saji jaringan internasional ini. Semula ia masuk sebagai karyawan magang. Nyambi kerja sambil kuliah, agar terlihat keren di mata teman-teman sekampusnya.
”Begitulah yang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa kita di luar negeri,” katanya ketika ia baru saja diterima bekerja di restoran itu. ”Mereka itu, kuliah di pagi hari, dan menjadi pelayan restoran di malam hari, dan mereka menjadi orang sukses!” tandasnya.
”Jangan malu, walaupun hanya bertugas mencuci piring dan membersihkan toilet. Kerja di sini, jenjang karirnya jelas,” perkataan manajernya saat ia baru saja diterima kerja masih terngiang-ngiang.
Semula ia bekerja magang di restoran cepat saji itu untuk gengsi-gengsian, namun setelah menerima gaji pertama, betapa ia mengharapkan uang yang lebih banyak dari sambilannya itu. Tentu saja, ia masuk kerja lebih sering. Ia dijadwalkan bekerja bukan hanya di hari sabtu dan minggu sesuai kesepakatan, ia akhirnya mengajukan diri untuk dijadwalkan setiap hari.
Sejak saat itu, ia lupa pada tugas pokoknya, kuliah. Ia larut bekerja mencari uang demi uang untuk menebalkan dompetnya yang sering tipis. Enam bulan ia tak pernah menampakkan batang hidungnya di kampus. Akhirnya ia dipecat sebagai mahasiswa. Tapi, untuk urusan kerja di restoran ini, jangan diragukan. Ia hafal di luar kepala seluruh menu yang ada di restoran ini. Bahkan, ia pun hafal betul harga-harganya, baik sebelum maupun sesudah pajak.
Kinerja kerjanya sungguh bagus, berkali-kali ia terpilih sebagai karyawan terbaik tiap bulan. Hingga ia pun menyabet gelar karyawan teladan di akhir tahun. Tentu saja usahanya berbuah hasil, setahun kemudian ia diangkat menjadi karyawan tetap di restoran cepat saji itu.
Ia punya jaminan kesehatan rawat jalan. Apabila ia sakit dan perlu perawatan intensif, ia beroleh jaminan kesehatan rawat inap. Ia didaftarkan dalam kepesertaan Jamsostek. Ia pun mempunyai jatah cuti, 12 hari dalam setahun. Apabila ia bekerja tengah malam, ia akan mendapatkan uang transportasi. Dan, tentu kalau restoran ramai dan memaksanya lembur, ia akan menerima pendapatan berlipat ganda. Menggiurkan bukan?
Tentu saja menggiurkan. Saking menggiurkan, Aurora, pacarnya meminta ia segera meminangnya. Aurora, gadis manis tetangganya itu, sudah lama menjadi pacarnya. Pagi tadi, Au, begitu panggilan sayangnya, merengek minta kawin.
Nah, bagian cerita inilah yang membuat tokoh utama dalam cerita ini uring-uringan dan ingin memaki lebih banyak orang. Sayang sungguh sayang, ia adalah kasir, pelayan, pekerja restoran cepat saji yang harus melayani pelanggan dengan senyuman ramah dan ucapan kata yang penuh sopan santun. Bukan makian macam bangsat dan tahi kucing.
***
Sore tergelincir di langit senja. Semburatnya meronakan seluruh permukaan langit. Tiba-tiba saja restoran yang tadinya sepi seperti kuburan, dipenuhi oleh para pengunjung dan mereka antri dengan tertib memenuhi depan meja kasir yang tampak mengecil. Satu-satu Adimas melayani pelanggannya dengan cepat. Sambil matanya jelalatan melihat ke ruangan manajer. Manajernya masih sibuk mengetik komputer.
Restoran gaduh seketika. Suara berdentingan terdengar di dapur. Petugas dapur bahu-membahu membuat burger-burger pesanan tamu. Suara minyak goreng terdengar menetas ketika kentang beku dicelupkan ke dalam minyak yang panas itu. Aroma daging yang terpanggang menyeruak dari dapur, harum roti menguar seketika dan bau bumbu-bumbu khas untuk burger menusuk selera. Pelanggannya berebutan menerima pesanan.
Hanya dalam sekejap, ia telah melayani lebih dari belasan orang. Dan, hanya dalam sekejap ia telah memiliki uang hampir sejuta lebih. Dari mana uang sebanyak itu dalam waktu sekejap?
Nah, itulah kepintaran tokoh kita ini. Ia hanya memasukkan satu transaksi ke dalam register bayar. Setelah itu, register bayar tak ia tutup lacinya, dibiarkannya terbuka. Setelah itu, ia menerima pesanan pelanggannya, tapi ia tak masukkan dalam register bayar. Bukankah ia hafal di luar kepala semua harga menu-menu yang tersaji? Dan, tentu dengan sangat mudah ia memberi uang kembalian bagi pelanggannya. Ingat, ia mantan mahasiswa. Ada informasi yang terlewat, ia bekas mahasiswa jurusan matematika.
Ia tersenyum puas. Pelanggannya tersenyum puas. Manajernya tersenyum puas, melihat semua karyawan bekerja dengan gesit melayani pelanggan yang mendadak datang dalam jumlah yang banyak. Manajernya sangat yakin, semua karyawannya, termasuk Adimas, adalah karyawan yang dapat diandalkan. Sehingga sepanjang sore ia begitu tenang di depan komputer membuka akun Facebook-nya, pelanggan tetap bisa dilayani dengan baik. Semua tersenyum puas.
Selepas senja Aurora tersenyum puas, ketika Adimas datang bertandang ke rumahnya membawa sebuah cincin emas. Cincin itu dikenakannya pada jari manis Au. Adimas mengecup tangan Au, sembari berkata, ”Aku melamarmu sayang.”
Itulah sebuah kisah muram yang terjadi dikala senja, di sebuah restoran cepat saji yang terletak di sebuah kawasan elit di Jakarta, di mana semua orang merasa menjadi raja, di mana seorang pemuda bernama Adimas kepepet uang untuk melamar kekasihnya, dan akhirnya mengambil sesuatu yang bukan haknya untuk membahagiakan seseorang yang sangat ia sayangi. Ia memilih menjadi orang Indonesia pada umumnya. Ia tak peduli lagi betapa korup negaranya, karena ia sendiri tak bersih dari itu, bahkan kini ia bagian dari sistem itu.
Begitulah kisah ini berakhir. Kisah paling muram yang pernah kuceritakan.***
Jakarta, 20 Februari 2010
Senin, 13 Desember 2010
Bila Senja Ingin Pulang (Cerpen untuk Hari Ibu)
BILA SENJA INGIN PULANG(Cerpen untuk Hari Ibu)
Oleh : Bamby Cahyadi
Bila senja tiba, perempuan itu melintas di Jalan Casablanca. Lalu dengan hati-hati ia berjingkat menapaki anak tangga jembatan penyeberangan di depan Gedung Sampoerna Strategic Square. Tatapan mata perempuan itu menerawang, seolah mengenang masa-masa kelam. Setelah itu, ia turun kembali menapaki anak tangga jembatan penyeberangan.
Petang ini hujan turun gerimis. Deras hujan telah reda beberapa waktu yang lalu. Kini hanya menyisakan rintik-rintiknya saja. Padahal tadi pagi, matahari begitu terik memanggang kulitnya. Perempuan itu, lantas memasuki sebuah jalan sempit tak beraspal.
Bekas roda sepeda motor yang digenangi air hujan, tampak meliuk-liuk, pengendara motor pasti berupaya menghindari genangan air yang berkubang di sepanjang jalan tak beraspal itu. Sesekali ia melompati tanah becek yang menghadangnya. Saat ia melompat, ia terlihat seperti terbang. Melayang sejenak, lalu kakinya menapak tanah lagi.
Ia selalu ingat betapa ia berlari-lari, ketika masa kanak-kanak dulu, menyusuri jalan kecil itu mengejar senja. Ia berteriak-teriak kegirangan dan melambai-lambaikan tangannya kepada matahari yang tenggelam pelan-pelan di ujung cakrawala. Lalu, ia hanya bisa terpesona ketika semburat jingga senja, berubah menjadi gelap. Ia menggulung benang layangan. Dan, saat itulah bencana itu terjadi.
Kini ia telah sampai ke jalanan dekat rumahnya. Gerimis telah berhenti, ketika ia melihat daun pintu rumahnya ditutup seseorang. Ia tertegun, memandang pendar cahaya lampu yang menyala dari dalam rumahnya. Terasa hangat. Seperti dulu. Sebelum bencana itu terjadi. Lampu-lampu jalanan, lampu dari gedung-gedung pencakar langit yang mengepung perkampungannya pun sudah menerangi sebagian gelap malam.
Berapa lama waktuku berhenti? Tanyanya, seolah bergumam, seperti tak mengerti dengan apa yang telah terjadi.
Tidak. Ia sangat tahu tentang apa yang telah terjadi. Ia hanya melupakan waktunya yang telah berlalu. Melintas begitu cepat. Ia selalu mengira waktu telah berhenti, padahal waktunya telah berlalu. Waktu terasa sangat pendek baginya, seolah berhenti. Berhenti berputar, berhenti berdetak. Seperti mati.
Kini ia memandang rumahnya yang temaram. Gorden jendela telah ditutup oleh seseorang. Mungkin ibunya. Oh, ibu. Ibunya mengetahui sebuah rahasia. Tapi ibunya pura-pura tidak tahu perihal rahasia mengenai putrinya. Tepatnya, ia tak pernah mau bercerita. Ketika itu, ia tahu, sangat tahu, muka ibunya pucat seperti tak dialiri darah sampai ke batas kulit. Ada sesuatu yang ia tak dapat sembunyikan di hadapan ibunya. Rasa marah. Luapan amarah hampir menjebol ubun-ubun kepala kecilnya.
Setelah itu ia tak pernah lagi melihat wajah ibunya. Gadis kecil itu berlari menerabas malam. Meninggalkan ibunya yang terisak pedih. Malam itu tiba-tiba hujan turun seperti tak mau berhenti. Malam itu malam gelap penuh darah. Malam penuh amarah. Selepas senja dimakan gelap malam, ia baru saja membunuh ayahnya. Dengan belati yang ia selipkan di tungkai kakinya.
Ia selalu membawa belati, untuk membuat layang-layang sendiri. Ia gadis kecil, penyuka layang-layang. Karena itu ia sangat suka langit dan angin. Maka, ia pun sangat suka senja. Hingga ia sering berlari mengejar-ngejar senja.
Ketika ia berteriak-teriak kegirangan mengejar senja. Ketika matahari tenggelam di ujung cakrawala, di langit tak lagi terang. Ayahnya menghampirinya, saat tangannya masih melambai-lambai ke arah matahari terbenam. Dengan kasar tangannya dicengkeram oleh tangan pejal ayahnya. Ia meronta. Gulungan benang layangan terlepas dari genggamannya. Ayahnya berkata, anak jadah kau bukan anakku!
Sebuah tamparan keras, mendarat di pipinya tatkala ia meronta-ronta lagi. Mata ayahnya berkilat nyalang, ada berahi yang sedang terbakar di sana. Tamparan itu membuatnya lunglai tak berdaya. Di jalan kecil tak beraspal itu, di belokan dekat jalan ke rumahnya, di sebuah gang sempit bau kencing dan sampah. Ayahnya menyobek-nyobek pakaiannya, hingga pakaian dalamnya tercabik dan terlepas. Napas lelaki itu tersengal kasar memburu, hembusannya menguar panas. Penuh nafsu. Tubuhnya basah berkeringat.
Lelaki yang ia tahu selama ini sebagai ayahnya lantas menindihnya dengan kasar. Akhirnya selangkangannya terasa perih. Sakit. Berdarah. Kakinya terasa berat untuk digerakkan. Seluruh uratnya kaku setengah kejang. Itulah bencana yang terjadi. Bencana yang datang ketika bulan baru saja terbit mengganti matahari.
Malam bertambah sunyi, di bawah cahaya rembulan. Ketika ayahnya kelojotan di atas tubuhnya yang ringkih, ia mengambil belati yang terselip di tungkai kakinya. Ujung belati itu berkilau, lalu suram ketika menancap tepat di ulu hati dan di jantung ayahnya. Dua tusukan membuat mata ayahnya membelalak, mulutnya setengah terbuka tanpa kata-kata. Lubang hidung yang tadi menguar hawa panas berhenti bernapas. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia merasakan separuh dari jiwanya tak ada lagi di relung raganya. Hilang, lenyap, entah ke mana.
Ia berteriak-teriak berlari setengah telanjang, menuju rumah. Ibunya keluar dan terkesiap, melihat belati terhunus berlumuran darah segar.
Ini darah Ayah!
Suasana hening, hanya isak tangis ibunya yang terdengar. Malam menjadi bening, bulan yang telah berkurang bulatnya naik pelan-pelan meninggalkan ujung kerangka gedung-gedung pencakar langit yang belum sepenuh jadi.
Bulan hilang ditelan awan hitam. Dan, tak lama kemudian hujan deras mengguyur tanah, tak mau berhenti. Ia pun terus berlari menerabas gelap malam, terseok-seok di tanah becek jalanan sempit, menuju ujung jalan raya. Saat itulah, waktunya berhenti.
***
Bila senja tiba, perempuan itu melintas di Jalan Casablanca. Mengedar pandangan, mendongak melihat langit. Langit merah jingga, semburatnya berkilau-kilau terpantul di kaca-kaca gedung bertingkat. Lalu setelah senja lenyap, ia akan menyeberang dan masuk ke sebuah jalan sempit tak beraspal. Menuju sebuah kampung kecil yang terkepung gedung pencakar langit.
“Orang jauh,” kata seorang Jockey three in one, menunjuk perempuan itu.
“Orang gila,” sahut temannya, memandang tanpa berkedip ke arah perempuan itu.
“Tapi ia cantik!”
“Tapi ia gila!”
Mereka tertawa terbahak-bahak. Lamat-lamat perempuan itu mendengar tawa kedua Jockey three in one yang sedang duduk berhadap-hadapan di atas trotoar yang berdebu. Menghitung hasil jerih-payah menjadi penunggang mobil-mobil yang tanggung membawa jumlah penumpang menuju Jalan Sudirman dan Thamrin di hari itu. Kedua Jockey itu telah melihatnya berhari-hari, melintas di jalan raya dan masuk ke jalan sempit. Setiap hari menjelang petang.
Ia tak bergeming. Terus melangkahkan kakinya, seperti melayang. Ia melangkah masuk ke jalan sempit itu. Pada setiap langkahnya, pada setiap napasnya seperti ada kerinduan yang berlarat-larat.
Langkah perempuan itu bertambah cepat dan seirama dengan suara gelegar guruh membahana di langit yang tiba-tiba kelabu. Tetesan air hujan pertama terpercik di mukanya. Ia usap mukanya dengan tapak tangan. Tetesan air hujan yang kedua bercampur dengan air matanya yang telah mengalir di sepanjang pipinya.
Di bawah rinai hujan, ia berjalan pelan-pelan di pinggiran dinding tembok rumah-rumah sepanjang jalan sempit. Sudah tak ada gang sempit bau kencing dan sampah. Telah berdiri sebuah rumah minimalis di tempat durjana itu. Tempat di mana waktunya berhenti. Ia berdiri di belokan jalan dekat rumahnya, diam seperti kemarin dan kemarinnya lagi.
Ia ingin pulang. Pulang ke rumahnya. Sudah berapa lama ia tak pulang?
Sudah sangat lama. Setelah ia membunuh ayahnya, setelah ia meninggalkan ibunya dengan kebencian di depan pagar rumah. Ia lalu menjadi anak telantar, menjadi anak jalanan di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok. Seorang pelaut dengan senang hati membawanya berlayar. Berlayar dari satu benua ke benua yang lain. Lantas ia berpindah dari pelukan satu pelaut ke pelaut yang lain.
Kisah hidupnya berakhir hampir bahagia. Ketika seorang pelaut asal Inggris mengajaknya menikah. Ia pun menikah dengan lelaki bule itu. Dan, dari situlah ia mulai merasakan waktunya berdenyut lagi. Ia teringat kampung halaman. Ia ingin pulang.
Tiga puluh dua tahun. Waktu itu terlalu panjang untuk umur manusia. Alangkah pendeknya untuk sebuah kenangan buruk.
Hujan makin deras. Ia melihat seorang perempuan yang telah renta, menutup pintu rumah rapat-rapat. Ia ingin memanggil perempuan tua itu. Namun suaranya tercekat.
Ya, ia ingin bicara dan bicara pada ibunya. Bibirnya pasti tak akan berhenti berbicara. Seperti dulu, ketika ia masih kanak-kanak, ibunya selalu menanggapi semua celoteh-celotehannya. Ia sering bercerita tentang layang-layang, meski ibunya sangat ingin mendengar putrinya bercerita tentang boneka. Tapi, ibunya selalu sabar mendengar setiap ia bicara, bercerita tentang layang-layang melulu.
Mungkin. Mungkin karena ayahnya tidak begitu ia kenal. Ayahnya memang menjadi sosok yang asing dalam rumah yang hangat. Lalu bencana itu terjadi, dan rahasia terkuak. Ia, bukan anak ayahnya. Masih terngiang-ngiang perkataan ayahnya, sebelum ia memperkosa dirinya. Anak jadah, kau bukan anakku!
Oh, sudah ia benamkan kenangan suram dalam jurang yang paling dalam. Oh, alangkah rindunya. Ia sangat rindu, rindu pada ibunya. Rindu pada pulang. Matanya masih terus mengawasi rumah yang kini temaram karena gorden jendela telah ditutup oleh seseorang dari dalam.
Semua yang telah berhenti, harus dimulai lagi, begitu batinnya bicara. Maka diterobosnya hujan yang sedang memanah tanah.
Pelan-pelan dan hati-hati ia mengetuk pintu rumah. Rumahnya dulu. Ingin sekali ia membetulkan atap genteng beranda rumah yang bocor, ingin sekali ia menadahi cucuran yang telah banyak menggenangi lantai.
Ia mengetuk pintu lagi. Terdengar samar langkah seseorang mendekati pintu. Pintu lalu terkuak. Wajah perempuan tua itu muncul dari balik pintu, terkejut mengangkat muka, melihat dengan mendadak seorang perempuan setengah baya mirip dirinya sewaktu muda, cantik. Berlinang-linang air mata menatapnya dalam keremangan malam.
“Ibu…!” serunya terisak.
Perempuan tua itu tak menyahut. Tetapi di sana ada sunggingan senyuman yang menarik keriput bibirnya. Mata perempuan tua itu bercahaya. Mata yang kering itu lalu basah dan air mata jatuh menuruni pipinya yang telah peot.
“Senja? Kamu akhirnya pulang, Nak.” Hanya itu kalimat yang terlontar.
Kedua perempuan itu lalu menangis haru, suara tangisan bersahut-sahutan lembut menyentuh rongga telinga. Seperti irama musik yang mengetuk-ngetuk ruang hati mereka. Ia, benar-benar bahagia berada di pelukan ibunya.
Suara deras hujan yang bertambah lebat, tak lagi terdengar, walaupun cucurannya telah menggenangi pekarangan hingga semata kaki.
Bila senja tiba, perempuan itu tak lagi terlihat melintas di Jalan Casablanca. Ia telah pulang ke rumahnya.***
Jakarta, 5 Desember 2009
Dimuat di Jurnal Bogor, 7 Februari 2010
Oleh : Bamby Cahyadi
Bila senja tiba, perempuan itu melintas di Jalan Casablanca. Lalu dengan hati-hati ia berjingkat menapaki anak tangga jembatan penyeberangan di depan Gedung Sampoerna Strategic Square. Tatapan mata perempuan itu menerawang, seolah mengenang masa-masa kelam. Setelah itu, ia turun kembali menapaki anak tangga jembatan penyeberangan.
Petang ini hujan turun gerimis. Deras hujan telah reda beberapa waktu yang lalu. Kini hanya menyisakan rintik-rintiknya saja. Padahal tadi pagi, matahari begitu terik memanggang kulitnya. Perempuan itu, lantas memasuki sebuah jalan sempit tak beraspal.
Bekas roda sepeda motor yang digenangi air hujan, tampak meliuk-liuk, pengendara motor pasti berupaya menghindari genangan air yang berkubang di sepanjang jalan tak beraspal itu. Sesekali ia melompati tanah becek yang menghadangnya. Saat ia melompat, ia terlihat seperti terbang. Melayang sejenak, lalu kakinya menapak tanah lagi.
Ia selalu ingat betapa ia berlari-lari, ketika masa kanak-kanak dulu, menyusuri jalan kecil itu mengejar senja. Ia berteriak-teriak kegirangan dan melambai-lambaikan tangannya kepada matahari yang tenggelam pelan-pelan di ujung cakrawala. Lalu, ia hanya bisa terpesona ketika semburat jingga senja, berubah menjadi gelap. Ia menggulung benang layangan. Dan, saat itulah bencana itu terjadi.
Kini ia telah sampai ke jalanan dekat rumahnya. Gerimis telah berhenti, ketika ia melihat daun pintu rumahnya ditutup seseorang. Ia tertegun, memandang pendar cahaya lampu yang menyala dari dalam rumahnya. Terasa hangat. Seperti dulu. Sebelum bencana itu terjadi. Lampu-lampu jalanan, lampu dari gedung-gedung pencakar langit yang mengepung perkampungannya pun sudah menerangi sebagian gelap malam.
Berapa lama waktuku berhenti? Tanyanya, seolah bergumam, seperti tak mengerti dengan apa yang telah terjadi.
Tidak. Ia sangat tahu tentang apa yang telah terjadi. Ia hanya melupakan waktunya yang telah berlalu. Melintas begitu cepat. Ia selalu mengira waktu telah berhenti, padahal waktunya telah berlalu. Waktu terasa sangat pendek baginya, seolah berhenti. Berhenti berputar, berhenti berdetak. Seperti mati.
Kini ia memandang rumahnya yang temaram. Gorden jendela telah ditutup oleh seseorang. Mungkin ibunya. Oh, ibu. Ibunya mengetahui sebuah rahasia. Tapi ibunya pura-pura tidak tahu perihal rahasia mengenai putrinya. Tepatnya, ia tak pernah mau bercerita. Ketika itu, ia tahu, sangat tahu, muka ibunya pucat seperti tak dialiri darah sampai ke batas kulit. Ada sesuatu yang ia tak dapat sembunyikan di hadapan ibunya. Rasa marah. Luapan amarah hampir menjebol ubun-ubun kepala kecilnya.
Setelah itu ia tak pernah lagi melihat wajah ibunya. Gadis kecil itu berlari menerabas malam. Meninggalkan ibunya yang terisak pedih. Malam itu tiba-tiba hujan turun seperti tak mau berhenti. Malam itu malam gelap penuh darah. Malam penuh amarah. Selepas senja dimakan gelap malam, ia baru saja membunuh ayahnya. Dengan belati yang ia selipkan di tungkai kakinya.
Ia selalu membawa belati, untuk membuat layang-layang sendiri. Ia gadis kecil, penyuka layang-layang. Karena itu ia sangat suka langit dan angin. Maka, ia pun sangat suka senja. Hingga ia sering berlari mengejar-ngejar senja.
Ketika ia berteriak-teriak kegirangan mengejar senja. Ketika matahari tenggelam di ujung cakrawala, di langit tak lagi terang. Ayahnya menghampirinya, saat tangannya masih melambai-lambai ke arah matahari terbenam. Dengan kasar tangannya dicengkeram oleh tangan pejal ayahnya. Ia meronta. Gulungan benang layangan terlepas dari genggamannya. Ayahnya berkata, anak jadah kau bukan anakku!
Sebuah tamparan keras, mendarat di pipinya tatkala ia meronta-ronta lagi. Mata ayahnya berkilat nyalang, ada berahi yang sedang terbakar di sana. Tamparan itu membuatnya lunglai tak berdaya. Di jalan kecil tak beraspal itu, di belokan dekat jalan ke rumahnya, di sebuah gang sempit bau kencing dan sampah. Ayahnya menyobek-nyobek pakaiannya, hingga pakaian dalamnya tercabik dan terlepas. Napas lelaki itu tersengal kasar memburu, hembusannya menguar panas. Penuh nafsu. Tubuhnya basah berkeringat.
Lelaki yang ia tahu selama ini sebagai ayahnya lantas menindihnya dengan kasar. Akhirnya selangkangannya terasa perih. Sakit. Berdarah. Kakinya terasa berat untuk digerakkan. Seluruh uratnya kaku setengah kejang. Itulah bencana yang terjadi. Bencana yang datang ketika bulan baru saja terbit mengganti matahari.
Malam bertambah sunyi, di bawah cahaya rembulan. Ketika ayahnya kelojotan di atas tubuhnya yang ringkih, ia mengambil belati yang terselip di tungkai kakinya. Ujung belati itu berkilau, lalu suram ketika menancap tepat di ulu hati dan di jantung ayahnya. Dua tusukan membuat mata ayahnya membelalak, mulutnya setengah terbuka tanpa kata-kata. Lubang hidung yang tadi menguar hawa panas berhenti bernapas. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia merasakan separuh dari jiwanya tak ada lagi di relung raganya. Hilang, lenyap, entah ke mana.
Ia berteriak-teriak berlari setengah telanjang, menuju rumah. Ibunya keluar dan terkesiap, melihat belati terhunus berlumuran darah segar.
Ini darah Ayah!
Suasana hening, hanya isak tangis ibunya yang terdengar. Malam menjadi bening, bulan yang telah berkurang bulatnya naik pelan-pelan meninggalkan ujung kerangka gedung-gedung pencakar langit yang belum sepenuh jadi.
Bulan hilang ditelan awan hitam. Dan, tak lama kemudian hujan deras mengguyur tanah, tak mau berhenti. Ia pun terus berlari menerabas gelap malam, terseok-seok di tanah becek jalanan sempit, menuju ujung jalan raya. Saat itulah, waktunya berhenti.
***
Bila senja tiba, perempuan itu melintas di Jalan Casablanca. Mengedar pandangan, mendongak melihat langit. Langit merah jingga, semburatnya berkilau-kilau terpantul di kaca-kaca gedung bertingkat. Lalu setelah senja lenyap, ia akan menyeberang dan masuk ke sebuah jalan sempit tak beraspal. Menuju sebuah kampung kecil yang terkepung gedung pencakar langit.
“Orang jauh,” kata seorang Jockey three in one, menunjuk perempuan itu.
“Orang gila,” sahut temannya, memandang tanpa berkedip ke arah perempuan itu.
“Tapi ia cantik!”
“Tapi ia gila!”
Mereka tertawa terbahak-bahak. Lamat-lamat perempuan itu mendengar tawa kedua Jockey three in one yang sedang duduk berhadap-hadapan di atas trotoar yang berdebu. Menghitung hasil jerih-payah menjadi penunggang mobil-mobil yang tanggung membawa jumlah penumpang menuju Jalan Sudirman dan Thamrin di hari itu. Kedua Jockey itu telah melihatnya berhari-hari, melintas di jalan raya dan masuk ke jalan sempit. Setiap hari menjelang petang.
Ia tak bergeming. Terus melangkahkan kakinya, seperti melayang. Ia melangkah masuk ke jalan sempit itu. Pada setiap langkahnya, pada setiap napasnya seperti ada kerinduan yang berlarat-larat.
Langkah perempuan itu bertambah cepat dan seirama dengan suara gelegar guruh membahana di langit yang tiba-tiba kelabu. Tetesan air hujan pertama terpercik di mukanya. Ia usap mukanya dengan tapak tangan. Tetesan air hujan yang kedua bercampur dengan air matanya yang telah mengalir di sepanjang pipinya.
Di bawah rinai hujan, ia berjalan pelan-pelan di pinggiran dinding tembok rumah-rumah sepanjang jalan sempit. Sudah tak ada gang sempit bau kencing dan sampah. Telah berdiri sebuah rumah minimalis di tempat durjana itu. Tempat di mana waktunya berhenti. Ia berdiri di belokan jalan dekat rumahnya, diam seperti kemarin dan kemarinnya lagi.
Ia ingin pulang. Pulang ke rumahnya. Sudah berapa lama ia tak pulang?
Sudah sangat lama. Setelah ia membunuh ayahnya, setelah ia meninggalkan ibunya dengan kebencian di depan pagar rumah. Ia lalu menjadi anak telantar, menjadi anak jalanan di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok. Seorang pelaut dengan senang hati membawanya berlayar. Berlayar dari satu benua ke benua yang lain. Lantas ia berpindah dari pelukan satu pelaut ke pelaut yang lain.
Kisah hidupnya berakhir hampir bahagia. Ketika seorang pelaut asal Inggris mengajaknya menikah. Ia pun menikah dengan lelaki bule itu. Dan, dari situlah ia mulai merasakan waktunya berdenyut lagi. Ia teringat kampung halaman. Ia ingin pulang.
Tiga puluh dua tahun. Waktu itu terlalu panjang untuk umur manusia. Alangkah pendeknya untuk sebuah kenangan buruk.
Hujan makin deras. Ia melihat seorang perempuan yang telah renta, menutup pintu rumah rapat-rapat. Ia ingin memanggil perempuan tua itu. Namun suaranya tercekat.
Ya, ia ingin bicara dan bicara pada ibunya. Bibirnya pasti tak akan berhenti berbicara. Seperti dulu, ketika ia masih kanak-kanak, ibunya selalu menanggapi semua celoteh-celotehannya. Ia sering bercerita tentang layang-layang, meski ibunya sangat ingin mendengar putrinya bercerita tentang boneka. Tapi, ibunya selalu sabar mendengar setiap ia bicara, bercerita tentang layang-layang melulu.
Mungkin. Mungkin karena ayahnya tidak begitu ia kenal. Ayahnya memang menjadi sosok yang asing dalam rumah yang hangat. Lalu bencana itu terjadi, dan rahasia terkuak. Ia, bukan anak ayahnya. Masih terngiang-ngiang perkataan ayahnya, sebelum ia memperkosa dirinya. Anak jadah, kau bukan anakku!
Oh, sudah ia benamkan kenangan suram dalam jurang yang paling dalam. Oh, alangkah rindunya. Ia sangat rindu, rindu pada ibunya. Rindu pada pulang. Matanya masih terus mengawasi rumah yang kini temaram karena gorden jendela telah ditutup oleh seseorang dari dalam.
Semua yang telah berhenti, harus dimulai lagi, begitu batinnya bicara. Maka diterobosnya hujan yang sedang memanah tanah.
Pelan-pelan dan hati-hati ia mengetuk pintu rumah. Rumahnya dulu. Ingin sekali ia membetulkan atap genteng beranda rumah yang bocor, ingin sekali ia menadahi cucuran yang telah banyak menggenangi lantai.
Ia mengetuk pintu lagi. Terdengar samar langkah seseorang mendekati pintu. Pintu lalu terkuak. Wajah perempuan tua itu muncul dari balik pintu, terkejut mengangkat muka, melihat dengan mendadak seorang perempuan setengah baya mirip dirinya sewaktu muda, cantik. Berlinang-linang air mata menatapnya dalam keremangan malam.
“Ibu…!” serunya terisak.
Perempuan tua itu tak menyahut. Tetapi di sana ada sunggingan senyuman yang menarik keriput bibirnya. Mata perempuan tua itu bercahaya. Mata yang kering itu lalu basah dan air mata jatuh menuruni pipinya yang telah peot.
“Senja? Kamu akhirnya pulang, Nak.” Hanya itu kalimat yang terlontar.
Kedua perempuan itu lalu menangis haru, suara tangisan bersahut-sahutan lembut menyentuh rongga telinga. Seperti irama musik yang mengetuk-ngetuk ruang hati mereka. Ia, benar-benar bahagia berada di pelukan ibunya.
Suara deras hujan yang bertambah lebat, tak lagi terdengar, walaupun cucurannya telah menggenangi pekarangan hingga semata kaki.
Bila senja tiba, perempuan itu tak lagi terlihat melintas di Jalan Casablanca. Ia telah pulang ke rumahnya.***
Jakarta, 5 Desember 2009
Dimuat di Jurnal Bogor, 7 Februari 2010
Jumat, 22 Oktober 2010
Cerpen VS Novel: Imajinasi Terbatas Industri
Cerpen vs Novel: Imajinasi Terbatas Industri
Oleh: OWL (Buzenk, Goodreads Indonesia)
Pernah tidak merasa kesulitan menulis cerita pendek tapi justru lancar-aman-terkendali berekplorasi dalam menulis prosa yang panjang semacam novel? Hasil laporan pandangan mata berikut mungkin bisa memberikan gambaran mengapa menjadi novelis lebih diminati daripada cerpenis.
Menulis cerita pendek (cerpen) ternyata lebih sulit dibanding menulis novel. Karena tidak mudah menuangkan keliaran imajinasi hanya dalam beberapa ratus kata. Hal Ini juga yang dirasakan oleh ketiga narasumber: Bamby Cahyadi, Kurnia Effendy ((kef), dan Wa Ode Wulan Ratna dalam diskusi santai Klub Buku GRI: Kumcer vs Novel di TM Bookstore Poins Square Lebak Bulus, Minggu (17/10) kemarin. Gak cuma itu, ketiga narasumber juga banyak berbagi ilmu dan pengalaman seputar dunia tulis-menulis terutama cerpen dan novel.
Ada banyak situasi ataupun kondisi yang mempengaruhi seseorang hingga memutuskan untuk menjadi penulis. Faktor x=suka menulis biasanya menjadi alasan seseorang berkecimpung dalam dunia kepenulisan. Faktor x jugalah yang kemudian menjadi latar perjalanan Wulan dan Kef menjadi penulis sampai saat ini. Sedangkan bagi Bamby, ada faktor lain yang membuatnya melirik jurusan tulis-menulis hingga menelurkan buku kumpulan cerpen Tangan Untuk Utik. Ia mengatakan bahwa terjun ke dunia sastra merupakan ketidaksengajaan. Kebiasaannya membaca cerpen di koran setiap hari minggu ternyata membuat ia tertarik untuk menulis.
Disamping itu, menulis bagi Bamby juga menjadi terapi jiwa. Pengalaman psikologis yang dialaminya mengharuskan ia menjalani suatu terapi yang salah satu rekomendasinya adalah menulis. Mulai sejak itu ia mulai giat menghasilkan cerpen demi cerpen walaupun untuk konsumsi pribadi. Hasil karyanya ia arsipkan dalam blog pribadinya, Wordpress dan Friendster, sampai kemudian ia mengenal seorang penulis perempuan yang memotivasinya untuk menulis sastra. Terpacu menekuni dunia itu, Bamby mulai menapakinya.
"Dari situ, akhirnya mulai mencari-cari satu komunitas penulis dan bertemu yang namanya kemudian.com, dan bertemu penulis-penulis lain seperti Krisna Pabicara yang akhirnya menemani saya untuk serius menekuni dunia sastra," ungkapnya.
Kumpulan cerpen Tangan Untuk Utik yang juga menjadi buku baca bareng GRI di bulan September adalah buah karya Bamby yang keseluruhan cerita dipublikasikan melalui blog pribadinya dan kemudian.com. Tidak ada satu pun cerita yang dimuat di media. Ia mengatakan bahwa justru atas usulan sang editor-lah ia mengirimkan ke koran dan majalah, sembari menunggu proses penerbitan. Akhirnya, tiga dari 13 cerpen dalam kumpulan cerpen Tangan Untuk utik dimuat di koran dan majalah.
Pengalaman berbeda justru terjadi pada Kurnia Effendi atau yang akrab di sapa Kef. Ia yang sudah menulis sejak dari sekolah dasar, memanfaatkan mesin tik di kantor OSIS sekolahnya ketika SLTA, untuk menulis cerpen dan dikirimkan ke majalah. Anugerah baginya sebab karyanya diterima dan langsung dimuat.
"Ada pengalaman yang menurut saya anugerah sehingga saya merasa dimanjakan. Ketiga karya saya yang pertama, dua puisi dan satu cerpen langsung diterima dan dimuat saat itu di majalah Gadis, Aktuil, dan koran Sinar Harapan. Tapi bukan berarti saya tidak pernah mengalami penolakan. Setelah itu ya iya," ujarnya.
Lain lagi dengan Wa Ode Wulan Ratna. Terbiasa menulis sejak SMP namun tidak berani mengirimkan karyanya ke media. Berbekal informasi berbagai perlombaan dari temannya, ia pun mulai menyertakan buah imajinasinya dalam perlombaan. Beberapa cerita dalam buku Cari Aku Di Canti memenangi ajang tersebut.
Ditambahkan oleh Wulan bahwa menulis cerpen sebenarnya lebih banyak dilakukannya ketika kuliah. Sedangkan masa SMP lebih banyak menulis prosa panjang semacam teenlit. Ada lima judul yang ia selesaikan saat itu. Satu judul diselesaikan sekitar satu bulan dengan tulisan tangan, dan menghabiskan rata-rata dua buku tulis untuk satu judul. Maka tidak heran jika ia memiliki banyak buku harian. Ketika masa SMA ia menjelajahi dunia puisi, dan sesekali menulis cerpen. Namun tetap malu untuk dipublikasikan.
“Sebenarnya saya malu untuk dipublikasikan. Tapi waktu itu pernah dipublikasikan oleh sahabat saya. Waktu SMA nulis cerpen untuk tugas sekolah mereka (sahabatnya). Saya menulis cerpen dan mereka mengirimkannya ke majalah-majalah tapi pake nama mereka. Tapi saya malah senang karena ada yang baca, teman-teman senang, dan saya ditraktir. Waktu SMA memang tidak kepikiran untuk mengirimkannya ke majalah. Teman-teman yang berinisiatif meskipun dengan nama mereka,” kenangnya.
Saat imajinasi tak terkendali, menulis menjadi cara efektif untuk merekam scene demi scene yang diproyeksikan benak kita. Dan setiap orang memiliki kebebasan dalam mengeksplorasikan perasaan, pikiran, maupun emosinya. Entah dalam bentuk puisi, cerpen, prosa, bahkan tulisan yang tidak terstruktur sekalipun. Bamby memilih cerpen sebagai media pelampiasan imajinasi dan pikiran-pikirannya, baik ataupun buruk. Alasan-nya, “cerpen tidak perlu banyak perenungan.”
Dalam prosesnya, ia banyak menerima berbagai masukan tatkala karyanya dipublikasikan di blog. Dari hasil masukan-masukan tersebut ia melakukan pembacaan ulang dan editing. Kemudian, ia yang merasa masih sangat hijau dalam dunia sastra pun menyadari bahwa menulis cerpen tidak gampang. Ia berkisah, menuangkannya memang terasa mudah, tapi ketika tahu bahwa menulis harus menggunakan bahasa baku ia pun mengalami kesulitan.
Ia mengatakan bahwa kesulitan terbesarnya adalah tidak bisa membedakan alur, jalan cerita, cara membuat tokoh, karakter, dan konflik.Ia yang sebelumnya tidak pernah membaca teori menulis hanya menuliskan apa yang ingin ditulisnya saja dengan gaya sesuka hati. Selain itu, ia pun mengalami kesulitan dalam membuat tokoh dan menentukan judul. Sehingga tokoh-tokoh dalam karyanya banyak diambil dari nama teman sendiri. Dan merupakan tantangan besar baginya untuk menuangkan segala yang ada dibenaknya.
Ada ragam waktu bagi Bamby dalam menyelesaikan satu cerita pendek. Mulai dari hitungan jam bahkan sampai berbulan-bulan. Ia menyontohkan cerita “Karyawan Tua” dalam kumpulan cerpen Tangan Untuk Utik. Ditulis pada 30 November, terinspirasi dari kisah seorang teman yang pensiun dari restoran cepat saji, dan cerita diselesaikan hanya dalam waktu 3 jam. Atau cerita “Menemui Ujang” yang bagian pembuka ditulis di Bandung dan bagian penutup di Jakarta, dan membutuhkan waktu satu minggu dalam penyelesaiannya.
Sedikit mengupas buku Tangan Untuk Utik yang tema-tema ceritanya dianggap suram. Diakui Bamby, beberapa rekannya berpendapat bahwa ada efek kejut di setiap cerpen-cerpennya dan terkesan melenceng. “Hampir beberapa tokoh di cerpen ini berusia anak-anak antara 7-11 tahun. Kemudian, delapan diantaranya bercerita tentang kematian. Adapula kehampaan, kemudian tema yang absurd yakni ada empat tokoh yang kepalanya pecah. Terus terang saya penderita vertigo dan pada suatu masa saya ingin memenggal kepala saya sendiri supaya vertigo saya hilang. Tapi kalau dipenggal kepala, saya mati. Itu sebabnya kepala menjadi sasaran untuk dihancurkan. Mengapa masa anak-anak? Ada masa anak-anak yang ingin saya lupakan. Karena ingin dilupakan maka jadi mengendap. Pada saat menulis maka saya menulis endapan yang ingin saya lupakan tersebut. Tentang tema kematian, saya suka bercerita tentang kematian karena itu sesuatu yang pasti.”
Jika Bamby memilih menaburi cerpennya dengan kesuraman, Wulan memilih memuat nuansa lokal dalam cerpen-cerpennya. Ia banyak mengangkat tema kedaerahan yang inti persoalannya juga banyak terjadi di daerah-daerah lain. Sehingga ia beranggapan penting dan perlu untuk mengemukakan persoalan-persoalan kedaerahan, tidak melulu urban. Disamping itu, mengangkat tema lokal juga menjadi pengobat rindu terhadap kampung halamannya yang telah lama ia tinggalkan. “Saya pikir saya terlalu kangen sama kampung halaman dan seumur hidup tidak pernah pulang ke kampung halaman. Waktu itu memang sudah lama terbayang di benak saya untuk menulis persitiwa yang sudah pernah saya lewati disana,” ujar Wulan yang salah satu cerpennya mengangkat Buton diikutsertakan lomba Creative Writing Institute pada tahun 2005.
Pada proses pengumpulan data, ternyata Wulan banyak memanfaatkan teknologi internet untuk mencari data. Kemampuan mengolah data dan berimajinasi lah yang ia andalkan untuk meracik data tersebut menjadi cerita pendek yang sarat wawasan. Selain menelusur melalui internet, ia mendatangi tempat-tempat yang sekiranya dapat merepresentasikan situasi atau kondisi daerah cerita tanpa harus ke lokasi. Ia pun bertutur, “Kalau mau mengangkat settingan suatu daerah atau tempat tertentu otomatis harus tahu topografinya, sedangkan untuk hal-hal tertentu bisa saya dapatkan dari kuliah atau ketika datang ke suatu tempat yang juga mungkin situasinya sama, misalnya sungai yang di Riau mungkin sama seperti yang ada di Baduy. Dalam cerpen Bulan Gendut di Tepi Gangsal datanya dicari, tapi kalau Cari Aku di Canti saya ketempatnya langsung, tapi hasilnya sangat berbeda. Kelokalannya sangat berbeda. Kelokalannya lebih kental di Bulan Gendut dibanding Cari Aku di Canti. Saya juga tidak tahu kenapa, tapi mungkin bagaimanapun modal utama seorang penulis adalah kekuatan imajinasi karena kekuatan imajinasi sangat mempengaruhi kekuatan dalam berkarya.”
Kef, yang telah malang-melintang di dunia kepenulisan berbagi pengalaman dalam menulis cerpen dan novel. Penulis novel “Merjan-Merjan Jiwa” ini menuturkan bahwa pada dasarnya cerpen bukanlah novel yang dipendekan dan novel bukan cerpen yang dipanjangkan. Baik novel maupun cerpen sesunggunnya memiliki niat yang berbeda. Ia menganalogikan perbedaan cerpen dan novel seperti pembuatan warung tenda kaki lima dengan kursi seadanya, menu yang semua orang menikmati, selesai, tanpa perlu promosi. Akan berbeda ketika membuat McD yang segala sesuatunya harus ditentukan dengan detail.
“Jadi ketika membuat novel, konfliknya akan berbeda dengan cerpen, detailnya akan berbeda dengan cerpen, hal-hal yang akan mendukung karakter manusianya akan berbeda, kemudian plot, alur, dan sebagainya juga akan berbeda dengan cerpen. Cerpen lebih simple. Ketika saya menulis novel, karena ada tuntutan juga, saya harus membuat kerangkanya terlebih dulu. Berbeda dengan cerpen yang mungkin mengalir bahkan ada yang dikerjakan selama 2 jam dan sampai berbulan-bulan. Jadi intinya disitu. Bahkan ketika kerangkannya sudah selesai saya bisa menulis dari belakang. Ketika ada hambatan ditengah-tengah karena referensinya kurang misalnya, saya bisa menulis dari bab penutup dahulu. Kalau di cerpen misalnya endingnya terlebih dahulu. Hanya persoalan inspirasi saja,” tutur pria kelahiran Tegal, 20 Oktober 1960 ini.
Pasti selalu ada pengalaman seru yang dapat dibagikan dalam proses kreatif tulisan. Cerita lebih berliku tatkala memasuki ranah industri. Ketika industri berbicara terkadang mau-tidak-mau banyak penulis yang banting setir ke segmen yang lebih dilirik pasar. Seperti memaksa imajinasi mengikuti arus.
Secara aktual, novel lebih menjual dibandingkan cerpen. Informasi dari salah seorang penanya saat sesi tanya-jawan menyebutkan bahwa dari survei terhadap 100 orang pembeli buku fiksi di toko buku, tiga orang diantaranya membeli cerpen, satu orang memilih puisi, dan sembulan puluh enam membeli novel. Sehingga ada kecenderungan pembaca lebih menyukai novel daripada cerpen.
Kef menanggapi bahwa memang saat ini seorang seniman harus bersentuhan dengan manajemen dan sistem yg terjadi di masyarakat, dan harus memperhatikan siapa pembacanya. Sedangkan Wulan merespon sangat sulit untuk menerbitkan kumpulan cerpen karena pembaca lebih banyak membaca novel. Mungkin saja karena peristiwa di cerpen sangat singkat jadi tidak menimbulkan ingatan jangka panjang. Kalau pembaca mencari cerpen mungkin penerbit akan berbondong-bondong untuk menerbitkan cerpen.
Suatu karya sastra jika sudah dilempar ke pasar maka sudah industri yang berbicara. Untuk itu dibutuhkan trik-trik penjualan untuk meraih perhatian pasar. Salah satunya adalah dengan tanpa mencantumkan "kumpulan cerpen" di dalam jilid maupun dalam halaman judul. Banyak kumpulan cerpen cetak ulang yang kemudian menggunakan trik ini supaya tetap bertahan dipasaran. Kef berharap bahwa ini hanya siklus semata walaupun memang pada faktanya sebuah karya yang pada awalnya sebuah seni ketika bertemu dengan sistem industri akan menjadi budaya massa. Semua tergantung bagaimana kecermatan penulis dalam membaca pasar tanpa harus membatasi imajinasinya.
So, cerpen atau novel?
Kef menjawab, “dua-duanya suka. Persoalannya hanya waktu. Menulis novel lebih butuh nafas panjang. Kalau cerpen menulisnya relatif lebih cepat. Saya tidak ingin berhenti menulis maka saya mengambil apapun. Kalau wakunya menulis puisi saya menulis puisi. Jadi dua-duanya saya suka. Kalau saya punya kesempatan untuk cuti melahirkan misalnya saya akan menulis novel.”
Wulan menjawab, “ternyata lebih gampang menulis novel. Saya baru ngerasain soalnya jadi ketagihan. Sudah bikin, tinggal mencari penerbit. Settingnya lokal tapi ceritanya lebih fokus.”
Bamby menjawab, “jadi satu impian untuk menghasilkan satu novel. Menulis cerpen seperti membaca cerpen, lima belas menit atau dua puluh menit selesai. Begitupun dengan menulis novel. Kadang-kadang saya berniat membuat satu naskah novel, tapi saya sendiri yang memutuskan itu akan dibuat cerpen. Contohnya, Bab satu dari novel yang ingin saya buat jadi cerpen di majalah Story. Bab dua jadi cerpen di koran Republika. Ada dua novel yang tertunda, ingin diselesaikan tapi belum punya waktu yang leluasa.”
___________________________________
Kata mereka:
"Diskusinya bagus. Yang didapetin buku gratis hehe. Em, banyak pengetahuan soal bedanya antara pembaca cerpen dan pembaca novel bedanya kayak apa."
Dini Yulianti, Kelapa Gading
"Saya baru ikut karena suami saya lihat di facebook makanya ikut kesini. Acaranya sendiri seru. Kita bisa tahu mengenai buku-buku kisah sastra, kemudian mengenai perjuangan penulis bagaimana karyanya bisa diterima jadi memotivasi untuk kita supaya kita tidak takut untuk menulis."
Dinda (30 Tahun), Guru.
"Seneng. Saya jadi ingin belajar menulis. Em, apa alamat web untuk diskusi ini?"
Irwati, Rempoa.
"Acaranya rame banget coy!. Yang didapetin: ngantuk. Yang nanya juga kelihatannya aktif, sebenernya saya juga pengen nanya tapi tadi pertanyaan pertama sudah di embat sama bang jimmy, yang kedua udah kesorean hehe..."
Nenangs, Balikpapan.
(Dari diskusi Goodreads Indonesia, di TogaMas Poins square, 17 Oktober 2010)
Oleh: OWL (Buzenk, Goodreads Indonesia)
Pernah tidak merasa kesulitan menulis cerita pendek tapi justru lancar-aman-terkendali berekplorasi dalam menulis prosa yang panjang semacam novel? Hasil laporan pandangan mata berikut mungkin bisa memberikan gambaran mengapa menjadi novelis lebih diminati daripada cerpenis.
Menulis cerita pendek (cerpen) ternyata lebih sulit dibanding menulis novel. Karena tidak mudah menuangkan keliaran imajinasi hanya dalam beberapa ratus kata. Hal Ini juga yang dirasakan oleh ketiga narasumber: Bamby Cahyadi, Kurnia Effendy ((kef), dan Wa Ode Wulan Ratna dalam diskusi santai Klub Buku GRI: Kumcer vs Novel di TM Bookstore Poins Square Lebak Bulus, Minggu (17/10) kemarin. Gak cuma itu, ketiga narasumber juga banyak berbagi ilmu dan pengalaman seputar dunia tulis-menulis terutama cerpen dan novel.
Ada banyak situasi ataupun kondisi yang mempengaruhi seseorang hingga memutuskan untuk menjadi penulis. Faktor x=suka menulis biasanya menjadi alasan seseorang berkecimpung dalam dunia kepenulisan. Faktor x jugalah yang kemudian menjadi latar perjalanan Wulan dan Kef menjadi penulis sampai saat ini. Sedangkan bagi Bamby, ada faktor lain yang membuatnya melirik jurusan tulis-menulis hingga menelurkan buku kumpulan cerpen Tangan Untuk Utik. Ia mengatakan bahwa terjun ke dunia sastra merupakan ketidaksengajaan. Kebiasaannya membaca cerpen di koran setiap hari minggu ternyata membuat ia tertarik untuk menulis.
Disamping itu, menulis bagi Bamby juga menjadi terapi jiwa. Pengalaman psikologis yang dialaminya mengharuskan ia menjalani suatu terapi yang salah satu rekomendasinya adalah menulis. Mulai sejak itu ia mulai giat menghasilkan cerpen demi cerpen walaupun untuk konsumsi pribadi. Hasil karyanya ia arsipkan dalam blog pribadinya, Wordpress dan Friendster, sampai kemudian ia mengenal seorang penulis perempuan yang memotivasinya untuk menulis sastra. Terpacu menekuni dunia itu, Bamby mulai menapakinya.
"Dari situ, akhirnya mulai mencari-cari satu komunitas penulis dan bertemu yang namanya kemudian.com, dan bertemu penulis-penulis lain seperti Krisna Pabicara yang akhirnya menemani saya untuk serius menekuni dunia sastra," ungkapnya.
Kumpulan cerpen Tangan Untuk Utik yang juga menjadi buku baca bareng GRI di bulan September adalah buah karya Bamby yang keseluruhan cerita dipublikasikan melalui blog pribadinya dan kemudian.com. Tidak ada satu pun cerita yang dimuat di media. Ia mengatakan bahwa justru atas usulan sang editor-lah ia mengirimkan ke koran dan majalah, sembari menunggu proses penerbitan. Akhirnya, tiga dari 13 cerpen dalam kumpulan cerpen Tangan Untuk utik dimuat di koran dan majalah.
Pengalaman berbeda justru terjadi pada Kurnia Effendi atau yang akrab di sapa Kef. Ia yang sudah menulis sejak dari sekolah dasar, memanfaatkan mesin tik di kantor OSIS sekolahnya ketika SLTA, untuk menulis cerpen dan dikirimkan ke majalah. Anugerah baginya sebab karyanya diterima dan langsung dimuat.
"Ada pengalaman yang menurut saya anugerah sehingga saya merasa dimanjakan. Ketiga karya saya yang pertama, dua puisi dan satu cerpen langsung diterima dan dimuat saat itu di majalah Gadis, Aktuil, dan koran Sinar Harapan. Tapi bukan berarti saya tidak pernah mengalami penolakan. Setelah itu ya iya," ujarnya.
Lain lagi dengan Wa Ode Wulan Ratna. Terbiasa menulis sejak SMP namun tidak berani mengirimkan karyanya ke media. Berbekal informasi berbagai perlombaan dari temannya, ia pun mulai menyertakan buah imajinasinya dalam perlombaan. Beberapa cerita dalam buku Cari Aku Di Canti memenangi ajang tersebut.
Ditambahkan oleh Wulan bahwa menulis cerpen sebenarnya lebih banyak dilakukannya ketika kuliah. Sedangkan masa SMP lebih banyak menulis prosa panjang semacam teenlit. Ada lima judul yang ia selesaikan saat itu. Satu judul diselesaikan sekitar satu bulan dengan tulisan tangan, dan menghabiskan rata-rata dua buku tulis untuk satu judul. Maka tidak heran jika ia memiliki banyak buku harian. Ketika masa SMA ia menjelajahi dunia puisi, dan sesekali menulis cerpen. Namun tetap malu untuk dipublikasikan.
“Sebenarnya saya malu untuk dipublikasikan. Tapi waktu itu pernah dipublikasikan oleh sahabat saya. Waktu SMA nulis cerpen untuk tugas sekolah mereka (sahabatnya). Saya menulis cerpen dan mereka mengirimkannya ke majalah-majalah tapi pake nama mereka. Tapi saya malah senang karena ada yang baca, teman-teman senang, dan saya ditraktir. Waktu SMA memang tidak kepikiran untuk mengirimkannya ke majalah. Teman-teman yang berinisiatif meskipun dengan nama mereka,” kenangnya.
Saat imajinasi tak terkendali, menulis menjadi cara efektif untuk merekam scene demi scene yang diproyeksikan benak kita. Dan setiap orang memiliki kebebasan dalam mengeksplorasikan perasaan, pikiran, maupun emosinya. Entah dalam bentuk puisi, cerpen, prosa, bahkan tulisan yang tidak terstruktur sekalipun. Bamby memilih cerpen sebagai media pelampiasan imajinasi dan pikiran-pikirannya, baik ataupun buruk. Alasan-nya, “cerpen tidak perlu banyak perenungan.”
Dalam prosesnya, ia banyak menerima berbagai masukan tatkala karyanya dipublikasikan di blog. Dari hasil masukan-masukan tersebut ia melakukan pembacaan ulang dan editing. Kemudian, ia yang merasa masih sangat hijau dalam dunia sastra pun menyadari bahwa menulis cerpen tidak gampang. Ia berkisah, menuangkannya memang terasa mudah, tapi ketika tahu bahwa menulis harus menggunakan bahasa baku ia pun mengalami kesulitan.
Ia mengatakan bahwa kesulitan terbesarnya adalah tidak bisa membedakan alur, jalan cerita, cara membuat tokoh, karakter, dan konflik.Ia yang sebelumnya tidak pernah membaca teori menulis hanya menuliskan apa yang ingin ditulisnya saja dengan gaya sesuka hati. Selain itu, ia pun mengalami kesulitan dalam membuat tokoh dan menentukan judul. Sehingga tokoh-tokoh dalam karyanya banyak diambil dari nama teman sendiri. Dan merupakan tantangan besar baginya untuk menuangkan segala yang ada dibenaknya.
Ada ragam waktu bagi Bamby dalam menyelesaikan satu cerita pendek. Mulai dari hitungan jam bahkan sampai berbulan-bulan. Ia menyontohkan cerita “Karyawan Tua” dalam kumpulan cerpen Tangan Untuk Utik. Ditulis pada 30 November, terinspirasi dari kisah seorang teman yang pensiun dari restoran cepat saji, dan cerita diselesaikan hanya dalam waktu 3 jam. Atau cerita “Menemui Ujang” yang bagian pembuka ditulis di Bandung dan bagian penutup di Jakarta, dan membutuhkan waktu satu minggu dalam penyelesaiannya.
Sedikit mengupas buku Tangan Untuk Utik yang tema-tema ceritanya dianggap suram. Diakui Bamby, beberapa rekannya berpendapat bahwa ada efek kejut di setiap cerpen-cerpennya dan terkesan melenceng. “Hampir beberapa tokoh di cerpen ini berusia anak-anak antara 7-11 tahun. Kemudian, delapan diantaranya bercerita tentang kematian. Adapula kehampaan, kemudian tema yang absurd yakni ada empat tokoh yang kepalanya pecah. Terus terang saya penderita vertigo dan pada suatu masa saya ingin memenggal kepala saya sendiri supaya vertigo saya hilang. Tapi kalau dipenggal kepala, saya mati. Itu sebabnya kepala menjadi sasaran untuk dihancurkan. Mengapa masa anak-anak? Ada masa anak-anak yang ingin saya lupakan. Karena ingin dilupakan maka jadi mengendap. Pada saat menulis maka saya menulis endapan yang ingin saya lupakan tersebut. Tentang tema kematian, saya suka bercerita tentang kematian karena itu sesuatu yang pasti.”
Jika Bamby memilih menaburi cerpennya dengan kesuraman, Wulan memilih memuat nuansa lokal dalam cerpen-cerpennya. Ia banyak mengangkat tema kedaerahan yang inti persoalannya juga banyak terjadi di daerah-daerah lain. Sehingga ia beranggapan penting dan perlu untuk mengemukakan persoalan-persoalan kedaerahan, tidak melulu urban. Disamping itu, mengangkat tema lokal juga menjadi pengobat rindu terhadap kampung halamannya yang telah lama ia tinggalkan. “Saya pikir saya terlalu kangen sama kampung halaman dan seumur hidup tidak pernah pulang ke kampung halaman. Waktu itu memang sudah lama terbayang di benak saya untuk menulis persitiwa yang sudah pernah saya lewati disana,” ujar Wulan yang salah satu cerpennya mengangkat Buton diikutsertakan lomba Creative Writing Institute pada tahun 2005.
Pada proses pengumpulan data, ternyata Wulan banyak memanfaatkan teknologi internet untuk mencari data. Kemampuan mengolah data dan berimajinasi lah yang ia andalkan untuk meracik data tersebut menjadi cerita pendek yang sarat wawasan. Selain menelusur melalui internet, ia mendatangi tempat-tempat yang sekiranya dapat merepresentasikan situasi atau kondisi daerah cerita tanpa harus ke lokasi. Ia pun bertutur, “Kalau mau mengangkat settingan suatu daerah atau tempat tertentu otomatis harus tahu topografinya, sedangkan untuk hal-hal tertentu bisa saya dapatkan dari kuliah atau ketika datang ke suatu tempat yang juga mungkin situasinya sama, misalnya sungai yang di Riau mungkin sama seperti yang ada di Baduy. Dalam cerpen Bulan Gendut di Tepi Gangsal datanya dicari, tapi kalau Cari Aku di Canti saya ketempatnya langsung, tapi hasilnya sangat berbeda. Kelokalannya sangat berbeda. Kelokalannya lebih kental di Bulan Gendut dibanding Cari Aku di Canti. Saya juga tidak tahu kenapa, tapi mungkin bagaimanapun modal utama seorang penulis adalah kekuatan imajinasi karena kekuatan imajinasi sangat mempengaruhi kekuatan dalam berkarya.”
Kef, yang telah malang-melintang di dunia kepenulisan berbagi pengalaman dalam menulis cerpen dan novel. Penulis novel “Merjan-Merjan Jiwa” ini menuturkan bahwa pada dasarnya cerpen bukanlah novel yang dipendekan dan novel bukan cerpen yang dipanjangkan. Baik novel maupun cerpen sesunggunnya memiliki niat yang berbeda. Ia menganalogikan perbedaan cerpen dan novel seperti pembuatan warung tenda kaki lima dengan kursi seadanya, menu yang semua orang menikmati, selesai, tanpa perlu promosi. Akan berbeda ketika membuat McD yang segala sesuatunya harus ditentukan dengan detail.
“Jadi ketika membuat novel, konfliknya akan berbeda dengan cerpen, detailnya akan berbeda dengan cerpen, hal-hal yang akan mendukung karakter manusianya akan berbeda, kemudian plot, alur, dan sebagainya juga akan berbeda dengan cerpen. Cerpen lebih simple. Ketika saya menulis novel, karena ada tuntutan juga, saya harus membuat kerangkanya terlebih dulu. Berbeda dengan cerpen yang mungkin mengalir bahkan ada yang dikerjakan selama 2 jam dan sampai berbulan-bulan. Jadi intinya disitu. Bahkan ketika kerangkannya sudah selesai saya bisa menulis dari belakang. Ketika ada hambatan ditengah-tengah karena referensinya kurang misalnya, saya bisa menulis dari bab penutup dahulu. Kalau di cerpen misalnya endingnya terlebih dahulu. Hanya persoalan inspirasi saja,” tutur pria kelahiran Tegal, 20 Oktober 1960 ini.
Pasti selalu ada pengalaman seru yang dapat dibagikan dalam proses kreatif tulisan. Cerita lebih berliku tatkala memasuki ranah industri. Ketika industri berbicara terkadang mau-tidak-mau banyak penulis yang banting setir ke segmen yang lebih dilirik pasar. Seperti memaksa imajinasi mengikuti arus.
Secara aktual, novel lebih menjual dibandingkan cerpen. Informasi dari salah seorang penanya saat sesi tanya-jawan menyebutkan bahwa dari survei terhadap 100 orang pembeli buku fiksi di toko buku, tiga orang diantaranya membeli cerpen, satu orang memilih puisi, dan sembulan puluh enam membeli novel. Sehingga ada kecenderungan pembaca lebih menyukai novel daripada cerpen.
Kef menanggapi bahwa memang saat ini seorang seniman harus bersentuhan dengan manajemen dan sistem yg terjadi di masyarakat, dan harus memperhatikan siapa pembacanya. Sedangkan Wulan merespon sangat sulit untuk menerbitkan kumpulan cerpen karena pembaca lebih banyak membaca novel. Mungkin saja karena peristiwa di cerpen sangat singkat jadi tidak menimbulkan ingatan jangka panjang. Kalau pembaca mencari cerpen mungkin penerbit akan berbondong-bondong untuk menerbitkan cerpen.
Suatu karya sastra jika sudah dilempar ke pasar maka sudah industri yang berbicara. Untuk itu dibutuhkan trik-trik penjualan untuk meraih perhatian pasar. Salah satunya adalah dengan tanpa mencantumkan "kumpulan cerpen" di dalam jilid maupun dalam halaman judul. Banyak kumpulan cerpen cetak ulang yang kemudian menggunakan trik ini supaya tetap bertahan dipasaran. Kef berharap bahwa ini hanya siklus semata walaupun memang pada faktanya sebuah karya yang pada awalnya sebuah seni ketika bertemu dengan sistem industri akan menjadi budaya massa. Semua tergantung bagaimana kecermatan penulis dalam membaca pasar tanpa harus membatasi imajinasinya.
So, cerpen atau novel?
Kef menjawab, “dua-duanya suka. Persoalannya hanya waktu. Menulis novel lebih butuh nafas panjang. Kalau cerpen menulisnya relatif lebih cepat. Saya tidak ingin berhenti menulis maka saya mengambil apapun. Kalau wakunya menulis puisi saya menulis puisi. Jadi dua-duanya saya suka. Kalau saya punya kesempatan untuk cuti melahirkan misalnya saya akan menulis novel.”
Wulan menjawab, “ternyata lebih gampang menulis novel. Saya baru ngerasain soalnya jadi ketagihan. Sudah bikin, tinggal mencari penerbit. Settingnya lokal tapi ceritanya lebih fokus.”
Bamby menjawab, “jadi satu impian untuk menghasilkan satu novel. Menulis cerpen seperti membaca cerpen, lima belas menit atau dua puluh menit selesai. Begitupun dengan menulis novel. Kadang-kadang saya berniat membuat satu naskah novel, tapi saya sendiri yang memutuskan itu akan dibuat cerpen. Contohnya, Bab satu dari novel yang ingin saya buat jadi cerpen di majalah Story. Bab dua jadi cerpen di koran Republika. Ada dua novel yang tertunda, ingin diselesaikan tapi belum punya waktu yang leluasa.”
___________________________________
Kata mereka:
"Diskusinya bagus. Yang didapetin buku gratis hehe. Em, banyak pengetahuan soal bedanya antara pembaca cerpen dan pembaca novel bedanya kayak apa."
Dini Yulianti, Kelapa Gading
"Saya baru ikut karena suami saya lihat di facebook makanya ikut kesini. Acaranya sendiri seru. Kita bisa tahu mengenai buku-buku kisah sastra, kemudian mengenai perjuangan penulis bagaimana karyanya bisa diterima jadi memotivasi untuk kita supaya kita tidak takut untuk menulis."
Dinda (30 Tahun), Guru.
"Seneng. Saya jadi ingin belajar menulis. Em, apa alamat web untuk diskusi ini?"
Irwati, Rempoa.
"Acaranya rame banget coy!. Yang didapetin: ngantuk. Yang nanya juga kelihatannya aktif, sebenernya saya juga pengen nanya tapi tadi pertanyaan pertama sudah di embat sama bang jimmy, yang kedua udah kesorean hehe..."
Nenangs, Balikpapan.
(Dari diskusi Goodreads Indonesia, di TogaMas Poins square, 17 Oktober 2010)
Selasa, 12 Oktober 2010
Nadya Lebaran Sendirian [Cerpen Majalah D'sari edisi September 2010]
NADYA LEBARAN SENDIRIAN
Oleh : Bamby Cahyadi
“Membayangkan bau terasi yang menyengat sepanjang perjalanan, rasanya mau muntah aku, Mas.” Begitu kata Nadya suatu ketika setahun yang lalu saat aku memutuskan untuk mudik lebaran melalui jalur pantura. “Apalagi kalau kita terjebak macet…Huuuh panas, bete, aku enggak kuat, lebih baik kita pakai pesawat saja!” katanya, sambil cemberut membuang muka.
“Tapi itu kan pilihan yang tidak ekonomis, Nadya,” sahutku. “Harga tiket pesawat saat ini sangat mahal, lagi pula kita bisa lebih leluasa ke sana kemari dengan mobil saat di Semarang nanti,” lanjutku, menanggapi usulan Nadya mudik dengan menggunakan jalur udara.
“Kalau begitu, ya sudah, pakai jalur selatan saja!” timpalnya, dengan ketus.
Nadya memang sangat suka mudik atau sekadar berlibur melalui jalur selatan menuju kota kelahirannya, Semarang. Katanya lebih nyaman dan sekaligus menyenangkan.
“Walaupun jarak tempuhnya tambah jauh, jalur selatan lebih nyaman,” ungkapnya, tetap pada pendirian, memilih jalur selatan.
Dalam hati, aku mengiyakan semua perkataan Nadya. Perjalanan dengan menggunakan kendaraan sendiri sangat menyenangkan melalui wilayah Jawa Barat bagian selatan. Dari Jakarta kami ke Bandung melalui tol Cipularang, kemudian kami bisa berjalan-jalan sejenak di kota Bandung, lalu melanjutkan perjalanan menuju kota Tasikmalaya. Lantas kami menelusuri jalan ke arah timur, ke kota Ciamis dari situ lalu masuk wilayah Jawa Tengah dan akhirnya menuju Semarang. Sepanjang perjalanan nuansa persawahan yang hijau, pepohonan yang rindang, jalanan yang berkelok dan pemandangan yang asri pasti sanggup melupakan waktu tempuh yang lebih lama ketimbang memilih jalur pantura.
Nadya kini tampak berkemas, aku memerhatikannya dengan sedikit cemas. Nadya istriku, tidak terlalu pintar untuk urusan berkemas. Ia tidak terampil menyusun pakaian dan perlengkapan perjalanan di dalam koper. Baju-baju dan perlengkapan lainnya seperti sepatu, alat mandi, kosmetik dan peralatan shalat dijejalkannya tak beraturan. Lalu resleting koper ditutupnya.
Koper tampak kembung tak karuan. Aku tersenyum getir. “Istriku Nadya, seandaikan aku…” gumamku pelan, tak jadi melanjutkan kata-kata. Aku beranjak dari tempatku duduk, kemudian berlalu meninggalkan Nadya yang sedang berkacak pinggang menatap kopernya yang buncit seperti perut kekenyangan.
***
“Kamu tidak menemaninya?” Tanya seorang Kakek berperawakan kecil berjanggut putih kepadaku, setelah aku meninggalkan Nadya. Rupanya Nadya sudah memasukkan koper dan semua keperluan pribadinya saat ia di Semarang nanti ke bagasi mobil. Tidak lupa ia membekali dirinya dengan laptop. Lalu mobil berwarna merah metalik itu menderu, melaju perlahan meninggalkan pekarangan rumah.
“Tidak Kek, nanti saja aku temui Nadya di Semarang,” kataku menjawab pertanyaan kakek berjanggut putih itu. Kakek itu pun pergi meninggalkan aku yang masih termangu di teras rumah.
Aku kembali sibuk dengan urusanku sendiri. Hari ini aku berencana menemui beberapa kerabat untuk bersilaturahmi. Aku pikir, saat ramadhan dan menjelang idul fitri adalah waktu yang tepat bagiku menemui beberapa kerabat yang kukenal untuk sekadar saling mengucap maaf lahir dan batin, sekaligus saling berbagi, memberi motivasi dan dukungan satu dengan yang lainnya.
Kami sering berkumpul di saat-saat tertentu. Mungkin aku akan menemui terlebih dahulu Arya, bocah kecil usianya kini 6 tahun. Lantas menemui sepasang suami-istri Handoko dan Pratiwi. Pasangan yang tidak pernah berpisah walaupun belum dikarunia seorang anak pun, mereka selalu mesra dan saling setia.
Mungkin kali ini aku akan mengusulkan kepada mereka, agar Arya bisa mereka angkat menjadi anak asuh. Hitung-hitung beramal, sekaligus Arya mendapat pengganti orang tuanya. Setelah itu aku akan menemui Kapten Polisi Gahana. Sekadar ngobrol tentang situasi mudik lebaran, atau kalau lagi beruntung aku bisa mendapatkan bocoran-bocoran informasi penting seputar dunia politik dan keamanan. Maklum Kapten Gahana punya banyak relasi di Mabes Polri.
Tapi, entah kenapa, tiba-tiba menyelinap rasa ragu. Aku putuskan untuk mengurungkan niat menemui kerabat-kerabatku itu. Perasaanku seketika disusupi oleh perasaan yang tidak enak. Bayangan Nadya berkelebat di benakku. “Ah, Nadya, tunggu… aku ikut!”
Namun terlambat, aku sudah tak bisa lagi menemukan jejak mobilnya. Mungkin mobilnya sudah sejak tadi melesat menuju Semarang. Dan sekarang sedang melaju bersama kendaraan-kendaraan lain dan tenggelam di jalan raya yang sesak, menuju kampung halaman masing-masing.
Rasa tidak enak terus menerus menggedor relung hatiku, perasaan melankoli menyeruak. Aku menjadi sangat sedih dan kesepian.
***
Terbayang kembali peristiwa perpisahan kami setahun yang lalu. Kenangan bagai film usang yang diputar berulang-ulang. Sebenarnya kami tidak pernah bercerai. Setelah kami berdebat sengit perihal jalur pantura atau jalur selatan yang akan kami lalui untuk mudik, akhirnya aku mengalah. Dan sepakat dengan pilihannya. Jalur selatan. Walaupun dengan perasaan dongkol, aku menuruti kemauan Nadya. Kami pun mudik melalui jalur selatan tiga hari menjelang lebaran setahun yang lalu.
Sepanjang perjalanan dengan mobil Nissan Terrano, aku tidak banyak bercakap-cakap dengannya. Aku lebih banyak diam, serius menyetir sambil menatap jalanan yang masih lengang karena puncak mudik belum tiba. Sama dengan aku, Nadya pun, mengunci mulutnya, diam. Mungkin, saling berdiam diri, adalah keputusan yang bijaksana, agar kami tidak berdebat lagi atau terlibat keributan mulut yang akan mengurangi pahala puasa kami saat itu.
Mobil kami terus melaju membelah jalan. Selepas dari pintu tol Padalarang, barulah Nadya bersuara. “Aku kangen ketupat dan opor ayam buatan ibuku,” katanya, membuka percakapan.
“Hai, akhirnya kamu bersuara juga” candaku.
“Kamu sih nyebelin, buktinya sampai Padalarang perjalanan kita lancar,” sungutnya, wajahnya tetap cantik walaupun sedang cemberut.
“Ngomong-ngomong soal ketupat dan opor, aku jadi laper nih Nad,” ujarku, sambil mengusap-usap perut. Nadya malah mencubit perutku. Aku menjerit kesakitan.
“Nanti makannya setelah tanjakan Nagreg saja ya? Kan di situ banyak restoran,” kata Nadya manja. Suasana seketika mencair. Aku dan Nadya kemudian ngobrol tentang rencana kami setiba di Semarang nanti, diselingi canda dan tawa.
Memasuki jalan tol kota Bandung menuju pintu tol Cileunyi tiba-tiba langit berubah menjadi mendung, hujan tampaknya akan turun. Dan benar saja hanya dalam hitungan detik bulir-bulir air hujan telah menimpa kaca mobil kami, semakin banyak dan akhirnya sangat deras.
Nadya kemudian tertidur, aku tetap serius menatap jalanan. Curah hujan yang deras membuat pandanganku tidak leluasa. Akhirnya kami memasuki daerah Cicalengka lantas Pamucatan, Nagreg. Jalan yang menurun landai membuat aku ekstra hati-hati, sementara dari arah berlawanan banyak mobil atau bus yang mogok karena tak sanggup menanjaki jalanan yang cukup terjal itu, sehingga mengakibatkan antrian kendaraan yang sangat panjang. Beberapa dari pengendara yang tidak sabar membunyikan klakson.
Mendadak aku melihat sekelebat bayangan hitam menyeberang di depan mobilku. Bayangan hitam itu bagai energi buruk yang membuatku kaget dan terkesiap. Dengan gugup aku membanting setir mobil yang sedang melaju kencang ke kiri jalan. Nadya terbangun dan menjerit. Karena panik aku tak sanggup menguasai keadaan. Mobilku kemudian menyeruduk motor yang sedang ditumpangi oleh pasangan suami- istri yang berboncengan. Mereka terseret bersama motornya di bawah kolong mobil kami. Seorang petugas polisi yang sedang mengatur lalu lintas jalanan pun tak luput dari terjangan mobilku yang tak terkendali.
Tubuh petugas polisi itu terpental dan kepalanya membentur aspal jalanan yang basah. Kepalanya rengkah. Sebelum terhempas ke jalan, tubuhnya membentur pengendara motor lainnya, seorang Bapak dengan anaknya yang sedang berboncengan. Motor itu terjatuh, namun Bapak pengendara motor itu berhasil merangkak dan menepi. Malang bagi bocah yang dibonceng itu, tubuhnya terguling ke jalan kemudian terlindas oleh sebuah truk dari arah belakang. Peristiwa itu berlangsung sangat cepat.
Nadya masih berteriak-teriak sambil menyebut asma Allah. Pandanganku mulai gelap, mataku nanar. Mobil lantas menerjang sebuah pohon besar dan berhenti. Tuhan Mahapenyayang, Nadya selamat. Aku berusaha untuk membebaskan diri dari jepitan setir mobil yang menghimpit dadaku. Aku melihat Nadya menangis. Aku berteriak agar ia tetap tenang dan segera ke luar dari mobil. Tapi Nadya terus menangis dan menjerit histeris. Lalu ia pingsan.
Ringan sekali tubuhku ke luar dari himpitan setir mobil dengan kondisi mobil yang ringsek. Aku memandang sekeliling, orang-orang mulai berhamburan mendekati mobil kami dan melihat motor yang berada di kolong mobil. Ada yang berteriak-teriak memberi instruksi, ada yang menangis, ada yang menutup mulutnya, tercekat. Seketika suasana jalanan Nagreg menjadi riuh rendah. Kemacetan parah pun terjadi.
Aku lihat seorang petugas polisi mendekatiku, lalu diikuti oleh pasangan suami- istri, mereka menghampiriku. Lantas seorang anak kecil berjalan pelan ke arahku. Masya Allah! Mereka tadi yang tertabrak mobilku. Mereka tidak meninggal. Mereka masih hidup! Pekikku dalam hati begitu gembira. Namun aku shock, Nadya masih pingsan.
Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi bersatu dengan Nadya. Kami berpisah di jalanan tanjakan Nagreg. Tetapi kami tidak pernah bercerai.
Petugas polisi, pasangan suami istri dan seorang anak kecil bersamaku kemudian berjalan bersama menuju sebuah lorong besar dikawal oleh seorang bertubuh tinggi dengan wajah yang samar.
Kami beristirahat setelah melewati lorong besar itu, di sebuah tempat yang luas berkabut dan dipenuhi bunga. Orang bertubuh tinggi itu menyuruh kami menunggu. Saat itulah aku berkenalan dengan Kapten Polisi Gahana, Handoko, Pratiwi dan Arya. Tetapi aku masih khawatir dengan keadaan Nadya. Apakah ia baik-baik saja?
Seorang kakek bertubuh kecil berjanggut putih menghampiri kami, ia menyalami kami satu persatu. Mengucapkan salam selamat datang di tempat yang ganjil ini. Seperti tahu isi pikiranku, ia lantas berkata. ”Istrimu akan baik-baik saja sampai lebaran tahun depan,” sambil menjabat tanganku erat.
Aku masih belum menyadari apa yang terjadi, begitu juga dengan Kapten Gahana, Handoko dan Pratiwi serta Arya.
Menyusuri sebuah lorong besar, maka akan sampailah kalian di sebuah hamparan tempat yang mahaluas penuh halimun dan bunga. Di tempat itu aku menetap bersama yang lain. Tidak jauh dari tanjakan Nagreg, kukira.
***
Mobil merah metalik milik Nadya melintas. Aku berusaha untuk menghentikan mobil itu. Nadya terkejut dan menginjak rem mendadak. Saat ini, menjelang senja. Nadya menepikan mobilnya pada sebuah pohon besar di sisi kiri tanjakan Nagreg. Ia lalu turun dari mobil. Perlahan ia berjalan mendekati pohon besar itu. Pohon setahun yang lalu ditabrak olehku. Tempat di mana aku berpisah dengan Nadya.
Dengan berlinang air mata, Nadya mengusap pohon itu dan sejenak kemudian ia bersedekap. Seperti orang berdoa. Bibirnya bergetar ketika ia berkata. “Mas, aku yakin kamu sudah tenang di alam sana.”
Aku menangis tersedu-sedu mendengar Nadya berbicara seperti itu. Aku berusaha untuk memeluk Nadya, aku begitu rindu padanya. Tapi Nadya tak bisa kuraih, tak bisa kurengkuh. Ia bagai energi gaib yang tak tersentuh. Aku ingin bercakap-cakap dengannya barang sejenak.
Seketika semuanya tampak terang. Nadya terkesima melihat cahaya terang benderang itu. “Mas, senanglah di tempatmu. Maafkan aku telah menahanmu menuju alam abadimu. Kini aku ikhlas!” jerit Nadya terisak-isak.
Aku tak pernah merasakan kedamaian seperti ini. Hatiku begitu sejuk dan tentram. Ah, Tuhan telah menyambutku rupanya.
“Maafkan aku Nadya, kamu lebaran sendirian lagi tahun ini,” ucapku lirih.
Seolah mendengar perkataanku, Nadya mengangguk-angguk. Sosok Nadya tiba-tiba hilang dari penglihatanku.***
Jakarta, 2009-2010
Oleh : Bamby Cahyadi
“Membayangkan bau terasi yang menyengat sepanjang perjalanan, rasanya mau muntah aku, Mas.” Begitu kata Nadya suatu ketika setahun yang lalu saat aku memutuskan untuk mudik lebaran melalui jalur pantura. “Apalagi kalau kita terjebak macet…Huuuh panas, bete, aku enggak kuat, lebih baik kita pakai pesawat saja!” katanya, sambil cemberut membuang muka.
“Tapi itu kan pilihan yang tidak ekonomis, Nadya,” sahutku. “Harga tiket pesawat saat ini sangat mahal, lagi pula kita bisa lebih leluasa ke sana kemari dengan mobil saat di Semarang nanti,” lanjutku, menanggapi usulan Nadya mudik dengan menggunakan jalur udara.
“Kalau begitu, ya sudah, pakai jalur selatan saja!” timpalnya, dengan ketus.
Nadya memang sangat suka mudik atau sekadar berlibur melalui jalur selatan menuju kota kelahirannya, Semarang. Katanya lebih nyaman dan sekaligus menyenangkan.
“Walaupun jarak tempuhnya tambah jauh, jalur selatan lebih nyaman,” ungkapnya, tetap pada pendirian, memilih jalur selatan.
Dalam hati, aku mengiyakan semua perkataan Nadya. Perjalanan dengan menggunakan kendaraan sendiri sangat menyenangkan melalui wilayah Jawa Barat bagian selatan. Dari Jakarta kami ke Bandung melalui tol Cipularang, kemudian kami bisa berjalan-jalan sejenak di kota Bandung, lalu melanjutkan perjalanan menuju kota Tasikmalaya. Lantas kami menelusuri jalan ke arah timur, ke kota Ciamis dari situ lalu masuk wilayah Jawa Tengah dan akhirnya menuju Semarang. Sepanjang perjalanan nuansa persawahan yang hijau, pepohonan yang rindang, jalanan yang berkelok dan pemandangan yang asri pasti sanggup melupakan waktu tempuh yang lebih lama ketimbang memilih jalur pantura.
Nadya kini tampak berkemas, aku memerhatikannya dengan sedikit cemas. Nadya istriku, tidak terlalu pintar untuk urusan berkemas. Ia tidak terampil menyusun pakaian dan perlengkapan perjalanan di dalam koper. Baju-baju dan perlengkapan lainnya seperti sepatu, alat mandi, kosmetik dan peralatan shalat dijejalkannya tak beraturan. Lalu resleting koper ditutupnya.
Koper tampak kembung tak karuan. Aku tersenyum getir. “Istriku Nadya, seandaikan aku…” gumamku pelan, tak jadi melanjutkan kata-kata. Aku beranjak dari tempatku duduk, kemudian berlalu meninggalkan Nadya yang sedang berkacak pinggang menatap kopernya yang buncit seperti perut kekenyangan.
***
“Kamu tidak menemaninya?” Tanya seorang Kakek berperawakan kecil berjanggut putih kepadaku, setelah aku meninggalkan Nadya. Rupanya Nadya sudah memasukkan koper dan semua keperluan pribadinya saat ia di Semarang nanti ke bagasi mobil. Tidak lupa ia membekali dirinya dengan laptop. Lalu mobil berwarna merah metalik itu menderu, melaju perlahan meninggalkan pekarangan rumah.
“Tidak Kek, nanti saja aku temui Nadya di Semarang,” kataku menjawab pertanyaan kakek berjanggut putih itu. Kakek itu pun pergi meninggalkan aku yang masih termangu di teras rumah.
Aku kembali sibuk dengan urusanku sendiri. Hari ini aku berencana menemui beberapa kerabat untuk bersilaturahmi. Aku pikir, saat ramadhan dan menjelang idul fitri adalah waktu yang tepat bagiku menemui beberapa kerabat yang kukenal untuk sekadar saling mengucap maaf lahir dan batin, sekaligus saling berbagi, memberi motivasi dan dukungan satu dengan yang lainnya.
Kami sering berkumpul di saat-saat tertentu. Mungkin aku akan menemui terlebih dahulu Arya, bocah kecil usianya kini 6 tahun. Lantas menemui sepasang suami-istri Handoko dan Pratiwi. Pasangan yang tidak pernah berpisah walaupun belum dikarunia seorang anak pun, mereka selalu mesra dan saling setia.
Mungkin kali ini aku akan mengusulkan kepada mereka, agar Arya bisa mereka angkat menjadi anak asuh. Hitung-hitung beramal, sekaligus Arya mendapat pengganti orang tuanya. Setelah itu aku akan menemui Kapten Polisi Gahana. Sekadar ngobrol tentang situasi mudik lebaran, atau kalau lagi beruntung aku bisa mendapatkan bocoran-bocoran informasi penting seputar dunia politik dan keamanan. Maklum Kapten Gahana punya banyak relasi di Mabes Polri.
Tapi, entah kenapa, tiba-tiba menyelinap rasa ragu. Aku putuskan untuk mengurungkan niat menemui kerabat-kerabatku itu. Perasaanku seketika disusupi oleh perasaan yang tidak enak. Bayangan Nadya berkelebat di benakku. “Ah, Nadya, tunggu… aku ikut!”
Namun terlambat, aku sudah tak bisa lagi menemukan jejak mobilnya. Mungkin mobilnya sudah sejak tadi melesat menuju Semarang. Dan sekarang sedang melaju bersama kendaraan-kendaraan lain dan tenggelam di jalan raya yang sesak, menuju kampung halaman masing-masing.
Rasa tidak enak terus menerus menggedor relung hatiku, perasaan melankoli menyeruak. Aku menjadi sangat sedih dan kesepian.
***
Terbayang kembali peristiwa perpisahan kami setahun yang lalu. Kenangan bagai film usang yang diputar berulang-ulang. Sebenarnya kami tidak pernah bercerai. Setelah kami berdebat sengit perihal jalur pantura atau jalur selatan yang akan kami lalui untuk mudik, akhirnya aku mengalah. Dan sepakat dengan pilihannya. Jalur selatan. Walaupun dengan perasaan dongkol, aku menuruti kemauan Nadya. Kami pun mudik melalui jalur selatan tiga hari menjelang lebaran setahun yang lalu.
Sepanjang perjalanan dengan mobil Nissan Terrano, aku tidak banyak bercakap-cakap dengannya. Aku lebih banyak diam, serius menyetir sambil menatap jalanan yang masih lengang karena puncak mudik belum tiba. Sama dengan aku, Nadya pun, mengunci mulutnya, diam. Mungkin, saling berdiam diri, adalah keputusan yang bijaksana, agar kami tidak berdebat lagi atau terlibat keributan mulut yang akan mengurangi pahala puasa kami saat itu.
Mobil kami terus melaju membelah jalan. Selepas dari pintu tol Padalarang, barulah Nadya bersuara. “Aku kangen ketupat dan opor ayam buatan ibuku,” katanya, membuka percakapan.
“Hai, akhirnya kamu bersuara juga” candaku.
“Kamu sih nyebelin, buktinya sampai Padalarang perjalanan kita lancar,” sungutnya, wajahnya tetap cantik walaupun sedang cemberut.
“Ngomong-ngomong soal ketupat dan opor, aku jadi laper nih Nad,” ujarku, sambil mengusap-usap perut. Nadya malah mencubit perutku. Aku menjerit kesakitan.
“Nanti makannya setelah tanjakan Nagreg saja ya? Kan di situ banyak restoran,” kata Nadya manja. Suasana seketika mencair. Aku dan Nadya kemudian ngobrol tentang rencana kami setiba di Semarang nanti, diselingi canda dan tawa.
Memasuki jalan tol kota Bandung menuju pintu tol Cileunyi tiba-tiba langit berubah menjadi mendung, hujan tampaknya akan turun. Dan benar saja hanya dalam hitungan detik bulir-bulir air hujan telah menimpa kaca mobil kami, semakin banyak dan akhirnya sangat deras.
Nadya kemudian tertidur, aku tetap serius menatap jalanan. Curah hujan yang deras membuat pandanganku tidak leluasa. Akhirnya kami memasuki daerah Cicalengka lantas Pamucatan, Nagreg. Jalan yang menurun landai membuat aku ekstra hati-hati, sementara dari arah berlawanan banyak mobil atau bus yang mogok karena tak sanggup menanjaki jalanan yang cukup terjal itu, sehingga mengakibatkan antrian kendaraan yang sangat panjang. Beberapa dari pengendara yang tidak sabar membunyikan klakson.
Mendadak aku melihat sekelebat bayangan hitam menyeberang di depan mobilku. Bayangan hitam itu bagai energi buruk yang membuatku kaget dan terkesiap. Dengan gugup aku membanting setir mobil yang sedang melaju kencang ke kiri jalan. Nadya terbangun dan menjerit. Karena panik aku tak sanggup menguasai keadaan. Mobilku kemudian menyeruduk motor yang sedang ditumpangi oleh pasangan suami- istri yang berboncengan. Mereka terseret bersama motornya di bawah kolong mobil kami. Seorang petugas polisi yang sedang mengatur lalu lintas jalanan pun tak luput dari terjangan mobilku yang tak terkendali.
Tubuh petugas polisi itu terpental dan kepalanya membentur aspal jalanan yang basah. Kepalanya rengkah. Sebelum terhempas ke jalan, tubuhnya membentur pengendara motor lainnya, seorang Bapak dengan anaknya yang sedang berboncengan. Motor itu terjatuh, namun Bapak pengendara motor itu berhasil merangkak dan menepi. Malang bagi bocah yang dibonceng itu, tubuhnya terguling ke jalan kemudian terlindas oleh sebuah truk dari arah belakang. Peristiwa itu berlangsung sangat cepat.
Nadya masih berteriak-teriak sambil menyebut asma Allah. Pandanganku mulai gelap, mataku nanar. Mobil lantas menerjang sebuah pohon besar dan berhenti. Tuhan Mahapenyayang, Nadya selamat. Aku berusaha untuk membebaskan diri dari jepitan setir mobil yang menghimpit dadaku. Aku melihat Nadya menangis. Aku berteriak agar ia tetap tenang dan segera ke luar dari mobil. Tapi Nadya terus menangis dan menjerit histeris. Lalu ia pingsan.
Ringan sekali tubuhku ke luar dari himpitan setir mobil dengan kondisi mobil yang ringsek. Aku memandang sekeliling, orang-orang mulai berhamburan mendekati mobil kami dan melihat motor yang berada di kolong mobil. Ada yang berteriak-teriak memberi instruksi, ada yang menangis, ada yang menutup mulutnya, tercekat. Seketika suasana jalanan Nagreg menjadi riuh rendah. Kemacetan parah pun terjadi.
Aku lihat seorang petugas polisi mendekatiku, lalu diikuti oleh pasangan suami- istri, mereka menghampiriku. Lantas seorang anak kecil berjalan pelan ke arahku. Masya Allah! Mereka tadi yang tertabrak mobilku. Mereka tidak meninggal. Mereka masih hidup! Pekikku dalam hati begitu gembira. Namun aku shock, Nadya masih pingsan.
Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi bersatu dengan Nadya. Kami berpisah di jalanan tanjakan Nagreg. Tetapi kami tidak pernah bercerai.
Petugas polisi, pasangan suami istri dan seorang anak kecil bersamaku kemudian berjalan bersama menuju sebuah lorong besar dikawal oleh seorang bertubuh tinggi dengan wajah yang samar.
Kami beristirahat setelah melewati lorong besar itu, di sebuah tempat yang luas berkabut dan dipenuhi bunga. Orang bertubuh tinggi itu menyuruh kami menunggu. Saat itulah aku berkenalan dengan Kapten Polisi Gahana, Handoko, Pratiwi dan Arya. Tetapi aku masih khawatir dengan keadaan Nadya. Apakah ia baik-baik saja?
Seorang kakek bertubuh kecil berjanggut putih menghampiri kami, ia menyalami kami satu persatu. Mengucapkan salam selamat datang di tempat yang ganjil ini. Seperti tahu isi pikiranku, ia lantas berkata. ”Istrimu akan baik-baik saja sampai lebaran tahun depan,” sambil menjabat tanganku erat.
Aku masih belum menyadari apa yang terjadi, begitu juga dengan Kapten Gahana, Handoko dan Pratiwi serta Arya.
Menyusuri sebuah lorong besar, maka akan sampailah kalian di sebuah hamparan tempat yang mahaluas penuh halimun dan bunga. Di tempat itu aku menetap bersama yang lain. Tidak jauh dari tanjakan Nagreg, kukira.
***
Mobil merah metalik milik Nadya melintas. Aku berusaha untuk menghentikan mobil itu. Nadya terkejut dan menginjak rem mendadak. Saat ini, menjelang senja. Nadya menepikan mobilnya pada sebuah pohon besar di sisi kiri tanjakan Nagreg. Ia lalu turun dari mobil. Perlahan ia berjalan mendekati pohon besar itu. Pohon setahun yang lalu ditabrak olehku. Tempat di mana aku berpisah dengan Nadya.
Dengan berlinang air mata, Nadya mengusap pohon itu dan sejenak kemudian ia bersedekap. Seperti orang berdoa. Bibirnya bergetar ketika ia berkata. “Mas, aku yakin kamu sudah tenang di alam sana.”
Aku menangis tersedu-sedu mendengar Nadya berbicara seperti itu. Aku berusaha untuk memeluk Nadya, aku begitu rindu padanya. Tapi Nadya tak bisa kuraih, tak bisa kurengkuh. Ia bagai energi gaib yang tak tersentuh. Aku ingin bercakap-cakap dengannya barang sejenak.
Seketika semuanya tampak terang. Nadya terkesima melihat cahaya terang benderang itu. “Mas, senanglah di tempatmu. Maafkan aku telah menahanmu menuju alam abadimu. Kini aku ikhlas!” jerit Nadya terisak-isak.
Aku tak pernah merasakan kedamaian seperti ini. Hatiku begitu sejuk dan tentram. Ah, Tuhan telah menyambutku rupanya.
“Maafkan aku Nadya, kamu lebaran sendirian lagi tahun ini,” ucapku lirih.
Seolah mendengar perkataanku, Nadya mengangguk-angguk. Sosok Nadya tiba-tiba hilang dari penglihatanku.***
Jakarta, 2009-2010
Langganan:
Postingan (Atom)